• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Rawat Jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Penderita TB Paru Rawat Jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

D. Produk Layanan

5.6. Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Rawat Jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Penderita TB Paru Rawat Jalan RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

Komunikasi terapeutik dalam penelitian ini adalah penyampaian informasi tentang semua yang berhubungan dengan penyakit pasien termasuk program pengobatan yang disampaikan oleh perawat, dilakukan secara langsung dan bertatap muka dengan setiap pasien/pederita TB paru yang berobat ke RSUD Sidikalang.

Komunikasi Terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain, komunikasi ini direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Suryani, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian dengan uji chi-square dan regresi logistik menunjukkan bahwa ada pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2011. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) yang berjudul penerapan komunikasi terapeutik untuk mengoreksi perilaku klien rawat jalan dengan Diabetes Melitus, bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan dan kepatuhan dalam pengobatan pada pasien Diabetes Melitus. Kemudian hasil penelitian lain tentang komunikasi terapeutik juga dikemukakan oleh Kristina (2004) bahwa komunikasi terapeutik dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita pulpitis di Poli gigi Puskesmas Pucang Sewu Kota Surabaya.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien adalah meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien. Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru, hal ini sejalan dengan teori Stimulus-Organisme-Respon (SOR). Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya

perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme, artinya kualitas dari sumber komunikasi, misalnya sikap dan gaya berbicara perawat sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku penderita TB paru dalam menjalankan pengobatan.

Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus ini tidak efektif memengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. Hal ini sangat sesuai dengan penelitian ini bahwa komunikasi terapeutik sangat efektif untuk memengaruhi kepatuhan penderita TB paru dalam menjalankan pengobatan.

Pada penelitian ini tampak jelas bahwa dengan komunikasi yang baik antara perawat dengan penderita TB paru akan diikuti dengan perubahan sikap pasien dalam mematuhi prosedur pengobatan yang dianjurkan. Hal ini sesuai dengan teori Stimulus-Organisme-Respon, apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak sesuai dengan stimulus yang telah diterimanya, akan tetapi perubahan perilaku penderita ini harus terus didukung oleh lingkungan baik dari petugas kesehatan maupun dari keluarga penderita (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masih terdapat sebanyak 13 orang (24,5%) penderita TB paru yang tidak patuh. Walaupun sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi perawat baik tidak serta merta membuat penderita TB paru patuh berobat. Peneliti berasumi hal ini dapat terjadi karena pengaruh faktor internal penderita itu sendiri dan faktor-faktor lain yang memengaruhi , antara lain: tingkat pendidikan yang rendah, jenis pekerjaan, lama menderita penyakit, dan ada tidaknya pengawas menelan obat.

Hal ini ditegaskan juga oleh Joenoes (1998) bahwa untuk patuh minum obat berhubungan dengan faktor individu penderita (faktor internal) antara lain umur penderita, jenis kelamin dan pendidikan dan faktor di luar diri penderita (faktor eksternal) seperti lama menderita penyakit dan faktor dukungan keluarga. Hasil penelitian diatas sama dengan penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan dan penelitian Hutabarat (2008) di Kabupaten Asahan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor internal yaitu umur, jenis kelamin dan pendidikan, dan faktor eksternal yaitu lama menderita penyakit dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat.

Komunikasi terapeutik sudah lama dilakukan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi, hanya saja tidak dilakukan secara sistematis dan tidak terorganisir secara terarah, melainkan hanya berdasarkan minat dan kesempatan yang dimiliki oleh perawat. Hal ini disebabkan karena belum adanya kebijakan rumah sakit yang mengatur tentang pelayanan informasi di rumah sakit sehingga sistem, prosedur dan alur pasien yang harus mendapatkan informasi belum terlaksana. Adapun

kemungkinan penyebab dari kondisi tersebut adalah kurangnya informasi yang diperoleh pihak manajemen rumah sakit tentang pentingnya dilakukan pelayanan informasi di rumah sakit, sehingga dalam pelaksanaannya belum memenuhi kebutuhan pasien.

Komunikasi terapeutik tidak hanya untuk memberikan terapi pengobatan dan pemberian informasi, akan tetapi juga untuk membantu pasien memperjelas, mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan. Komunikasi juga berfungsi untuk mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan tenaga kesehatan secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah pasien (Mundakir, 2006). Lebih jauh, komunikasi sangat penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Disisi lain, penyebab ketidakpuasan pasien sering disebabkan karena jeleknya komunikasi yang terjadi dengan pasien (Purba, 2003).

Dewasa ini proses penyembuhan penyakit tidak hanya ditangani oleh dokter. Dengan makin meningkatnya variasi penyakit dan kerumitan teknologi kedokteran, diperlukan bantuan tenaga lain, salah satunya adalah perawat. Ruang lingkup pelayanan dan pemeliharaan kesehatan pun meluas, bukan hanya penyembuhan dan perawatan melainkan juga promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan rehabilitasi. Yang dilayani tidak saja individu pasien, melainkan juga keluarga si pasien dan masyarakat luas. Dengan demikian pendekatan petugas kesehatan tidak lagi terbatas pada pendekatan individu pasien saja, melainkan juga pendekatan sosial budaya, yang

dalam dunia keperawatan dikenal dengan istilah transcultural nursing. Di Indonesia seringkali perawat ditempatkan di daerah yang keadaan sosial budayanya tidak sama dengan latar belakang sosial budaya perawat itu. Dengan demikian maka kesulitan berkomunikasi bertambah, sebab perawat tidak menguasai bahasa setempat dan tidak mengenal budaya disana. Untuk itu diperlukan kemauan untuk mempelajari bahasa dan budaya setempat, agar perawat tidak dianggap orang asing oleh penduduk asli, dan supaya konunikasi dengan pasien ataupun masyarakat dapat menjadi lebih lancar (Sarwono, 2007).

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya. Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Sundeen, 1994).

Selain itu, komunikasi terapeutik mempunyai peran yang besar terhadap peningkatan pengetahuan pasien terhadap penyakit. Interaksi perawat dengan pasien memfasilitasi proses transfer pengetahuan maupun informasi tambahan yang belum dimengerti oleh pasien. Diskusi yang dilakukan berorientasi pada pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya, dengan adanya pemahaman pasien diharapkan pasien akan kolaboratif dan patuh dalam menjalankan program pengobatan.