• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

4. Penetapan stasiun penelitian

3.4 Analisis Data

3.4.6 Analisis nilai daya dukung kawasan

3.4.6 Analisis nilai daya dukung kawasan

Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dan manusia, dan (2) standar keaslian sumberdaya alam (Yulianda 2007).

Analisis daya dukung ditujukan para pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan.

Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, dapat dilihat pada rumus:

DDK =

k

Keterangan:

DDK = Daya dukung kawasan

K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu

Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari

Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu. Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan pada (Tabel. 5). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian tetap terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti diving (menyelam) dan snorkeling untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Tabel 6.

33

Tabel 5 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)

Jenis kegiatan pengunjung

(orang) Unit area (Lt) Keterangan Snorkeling 1 500 m2 Setiap 1 orang dalam

100 m x 5 m

Diving 2 2 000 m2 Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m

Sumber : Yulianda (2007)

Tabel 6 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis kegiatan Waktu yang

dibutuhkan Wp-(jam)

Total waktu 1 hari Wt-(jam) Snorkeling 3 6 Diving 2 8 Sumber : Yulianda (2007)

86

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas di depan, maka dapat ditarik kesimpulan berikut :

1. Kondisi terumbu karang di 10 stasiun pengamatan, status terumbu karangnya masuk dalam kategori sedang sampai sangat baik. Hasil pengamatan di lokasi penelitian, bahwa dari segi ekologi terumbu karang di Desa Teluk Buton secara umum berada dalam kondisi baik, yaitu di wilayah Barat dan Timur.

2. Dari 10 stasiun observasi dilapangan dan berdasarkan analisis kesesuaian kawasan wisata bahari, 4 kawasan “sesuai” dijadikan kegiatan snorkeling dan

diving, 1 kawasan hanya ”sesuai” untuk kegiatan diving dan 1 kawasan “tidak sesuai” untuk dijadikan kegiatan snorkeling maupun diving. Keenam kawasan tersebut berada di sebelah Barat Desa Teluk Buton dan Pulau Panjang. Sementara sebelah Timur Desa Teluk Buton dan Pulau Panjang, terdapat 4 kawasan “sesuai” dijadikan kegiatan snorkeling dan diving,

berdasarkan per spot lokasi penelitian.

5.2 Saran

Dari potensi wisata bahari selama penelitian, maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan terdiri dari :

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk pengembangan wisata bahari dalam pengelolaan secara terpadu, sehingga potensi wisata bahari yang ada di Desa Teluk Buton menjadi objek andalan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna.

2. Pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan, harus ada kerja sama antar stake holder atau instansi terkait, untuk mensinergikan antara program daerah dengan hasil-hasil penelitian yang mengarah kepariwisatawan khususnya wisata bahari.

87 3. Perlu adanya promosi potensi wisata oleh Pemerintah Daerah pada umumnya dan Instansi terkait pada khususnya untuk merespon pelaku wisata agar berminat menginvestasikan usaha, guna pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan (suistainable) dengan mengandalkan potensi sumberdaya pesisir dan laut.

4. Memfasilitasi dan meningkatkan pengawasan oleh Pemerintah Daerah diwilayah pesisir dan laut untuk kelestarian ekologi terumbu karang dengan melibatkan masyakat setempat.

5. Penzonasian kegiatan wisata bahari (snorkeling dan diving) masih dapat dikembangkan bila dilihat rataan terumbu karang yang luas, sangat memungkinkan masih dapat dibuat spot-spot baru untuk kegiatan yang sama, dimana lokasi tersebut belum dapat terjangkau pada saat penelitian.

6. Kegiatan snorkeling dan diving di Desa Teluk Buton dapat dilakukan dari bulan juni-oktober, karena bulan-bulan tersebut kondisi gelombang dan angin tidak terlalu kuat sehingga aman untuk melakukan aktifitas diving dan

88

DAFTAR PUSTAKA

Arifin T, Bengen DG, Pariwono JL. 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir Teluk Palu untuk Pengembangannya Pariwisata Bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 4 [2]. hlm 25-35.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Natuna [BAPPEDA Natuna].2007. Natuna dalam Angka. BAPPEDA Natuna. Ranai.

Barker NHL and Roberts CM. 2003 Scuba diver behaviour and the management of diving impacts on coral reefs. Biological Conservation xxx [2004] xxx– xxx. www.elsevier.com/locate/biocon.

Begon M, Haarper JL, Townsend CR. 1990. An introduction to Marine Ecology. Blackwel Scientific Publication. Oxford. 769 hlm.

Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.

Birkeland C. 1988. The Influence of Echinoderms On Coral-reef Communities Dalam : Echinoderm Biology. Burke, R.D., Mladenov, P.V., Lambert, P, Parsley, R.L. [ed], Balkema, Rotterdam.1-79 hlm.

Bhatt JJ. 1978. Oceanografi Exploring The Planet Ocean. D. Van Nostrand Company. New York. Cincinnati, Toronto, London, Melbourne. 314 hlm. BPP-PSPL UNRI, 2005. Kajian Potensi Wisata Bahari di Pulau Bunguran

Kabupaten Natuna. Riset Agenda CRTIC Daerah.

Bruce D, Hoctor Z, Garrod B, Wilson J. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the UE Atlantic Area. META-Project. Bristol: University of the Weat England.

Caballos and Lascurain H. 1995. Ekoturisme Sebagai Suatu Gejala yang Menyebar ke Seluruh Dunia. Dalam Kreg Lindberg and D. E. Hawkins. “Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelolan. hlm 11-14. Caddy JF. 1986. Modelling Stock-Recruitment Processes in Crustacea: some

pratical and theoretical perspectives. Can. J.Fish. Aquat. Sci. 43: 2330-2344.

Candra A. 2003. Kajian Pemanfaatan Ruang Pulau Natuna Kabupaten Natuna. Tesis Sekolah Pasaca Sarjana IPB. Bogor.

89 Coob JS. 1971. The Shelter Related Behavior of The Lobster Hommarus

americanus: Ecology 52:108-115.

CRITC LIPI. 2007. Studi Baseline Ekologi Kabupaten Natuna. CRITC LIPI. Jakarta.

Dahuri R, Rais J, Ginting S P, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dahuri R. 1993. Trend Kerusakan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Diskusi Pembangunan Lingkungan pada PELITA VI. Bappenas RI, Kantor Manteri Negara Lingkungan Hidup RI dan Lembaga Penelitian IPB. Bogor.

David L and Andersen. 1995. Rancangan Sarana-Sarana Ekowisata Sebagai Sebuah Jendela Kedunia Alami. dalam Kreg Lindberg and D. E. Hawkins. “Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelolan. hlm 134-154. Davis D and Tisdell C. 1995. Recreational SCUBA diving and

Carrying-Capacity in Marine Protected Areas. Ocean and Coastal Management 26: 19-40.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2009. Data Dasar Profil Desa Teluk Buton Kecamatan Bunguran Utara Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna [DKP Natuna]. 2007. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Natuna. DKP Natuna. Ranai.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna. 2006. Penyususnan Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut. DKP Natuna. Ranai.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Natuna. 2009. Kondisi Penduduk Kabupaten Natuna. Ranai : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Natuna, 2005. Profil Lokasi COREMAP II di Kabupaten Natuna. Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Natuna.

Dixon JA, Scura LF, Vant HT. (1993) ”Meeting Ecological and Economic Goals: Marine Parks in the Caribbean”. Ambio, Vol.22, Nos. 2-3. 117-12.

Dhont A. 1988. Carrying capacity : A confusing concept. Acta Oecologia 9 : 337-346.

90 Driver BL, Brown PJ, Stankey GH, Gregoire TG. 1987. “The ROS Planing System: Evolution, Basic Concepts, and Research Needed,” in Leisure Sciences, Vol. 9, no. 3, pp. 201–212.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd edition. Asean-australia Marine Science Project. Australian Institut of Marine Scienc, Townsville.

Fennel DA. 1999. Ecotourisme: An Introduction. London: Routledge. P. 61

Fogarty MJ and Idoine JS. 1986. Recruitment Dynamics in An American Lobster Hommarus americanus Population. Can J. Fish. Aquat. Sci. 43:2368-2376.

Gomez ED and Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition In Kenchington R.A. and B.E.T. Hudson [eds] Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Gunn CA. 1994. Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Third Edition.

London:Taylor and Francis Ltd.

Hawkins JP and Roberts CM. 1993. Effects of recreational diving on coral reefs. Trampling of reef flat communities. Journal of Applied Ecology 30, 25–30. Helmi M. 2007. Analisis Zonasi Ekosistem Alami Pulau Kecil dengan Pendekatan

Ekologi Lanskap di Puau Karimunjawa dan Kemujan Taman Nasional Karimujawa, Kabupaten Jepara Jawa Tengah [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hidayati D, Mujiyani L, Rachmawati, Zaelani A. 2003. Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan.

Hutomo M, Suharti SR, Harahap IH. 1988. Spatial Variability In The Chaetodontid Fish Community Structure Of Sunda Straid Reefs. Proceeding of The Regional Symposium On Living Resources In Coastal Areas. Marine Science Institute, University Of The Philippines. P. 151 -162.

Jameson SC, Ammar MSA, Saadalla E, Mostafa HM, Riegl B.1999. A coral damage index and its application to diving sites in the Egyptian Red Sea. Coral Reefs [1999] 18 : 333339.

Jokiel PL and Morrissey JI. 1993. Water Motion on Coral Reefs. Marine Ecology Prog. Series 93 : 175-181.

Kamija, Sutikno, Trijoko. 2004. Kelayakan Wisata Selam di Perairan Sekitar Pulau Tabuan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia. Sains dan Sibernatika, 17[4], Oktober 2004.

91 Kantor MNLH. 2004. Keputusan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Kinsman DJJ. 1964. Reef coral tolerance of high temperature and salinities. Nature 202 : 1280-1282.

Khakim N. 2009. Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Krebs CJ. 1985. Ecology. The Experimental Analysis of Disrtibution and Abudance. 3rd.ed. Harper and Row, Publ. New York. 800 hlm.

Lawrence JM and Sammarco PW. 1982. Effects of Feeding on The Enviroment: Echinoderm Nutrition. Jangoux, M. dan Lawrence, J.M. [ed]. Balkema, Rotterdam. hlm 499-519.

Linberg K dan Richard MH. 1995. Isu-Isu Ekonomi dalam Pengelolaan Ekoturisme. Dalam Kreg Lindberg and D. E. Hawkins. “Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelolan. hlm 94-133.

LIPI COREMAP II. 2005 . Studi Pengembangan Ekowisata Bahari di Perairan Pulau Abang Kecamatan Galang. Kerjasama LIPI COREMAP II dengan UIB Batam.

Manuputty AEW, Giyanto, Winardi, Susanti SR, Djuwariah. 2006. Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). P2O-LIPI: Jakarta.

Mapstone GM. 1990. Reef Corals and Sponges of Indonesia, A. Video-Based Learning Module. Result of The Indonesia Ducth Snellius-II. Expedition, Division of Marine Science [UNISCO]. Marine/75b. Paris. June 1990. 65 pp.

McGehee MA. 1997. Correspodence Between Distribution of Coral Reef Organisms and Water Motion Measure by Metal Corrosion Rates. Proceeding 8th International Coral Reef Symposium 2 : 1115 – 1120.

McConnell R. 1995. The human carrying capacity of the Chesapeake Bay

Watershed : A preliminary analysis. Population and Environment 16 : 335 - 351.

Nybakken JW. 1997. Marine biology: An Ecologocal Approach 4th ed. Addison-Wesley Educational Publisher Inc. USA. 338-338, 395-403.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. 3rd ed. W.B. Saunders. Philadelphia. 574 hlm.

92 Purnama SIS. 2005. Penyusunan Zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba Berdasarkan Kerentanan Kawasan Dan Aktivitas Mayarakat (thesis). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pratasik SB. 1993. Habitat Use and Seasonal Change in The Relative Abudance of The Red Rock Crab, Cancer Produc tus, in Indian Arm. M.Sc. Thesis. Simon Fraser Univ. Burnaby, Canada. 69 hlm.

Ridwan B. 1999. Kajian Kondisi Terumbu Karang di Perairan Antara Tanjung Kataba-Pulau Kambing Kecamatan Semau, Kab. Dati II Kupang-NTT Suatu Upaya Pelestarian Sumber Alam. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sukarno M, Hartono, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu Karang di Indonesia. Lembaga Oceanologi Nasional-LIPI. Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta. 118 pp.

Suharsono dan Yosephine MI. 1994. Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Onrust Tahun 1929, 1985 dan 1993 dan Hubungannya dengan Perubahan Perairan Teluk Jakarta.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh. Jilid 1. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Western D. 1995. Memberi Batasan Tentang Ekoturisme. Dalam Kreg Lindberg and D. E. Hawkins. “Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelolan. hlm 7-10.

World Tourism Organization [WTO]. 1992. Guidellines: Development of National Park and Protected Areas for Tourism. Madrid.

Yoeti OA. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. PT. Pradnya Paramita. Cetakan Pertama. Jakarta. 211 hlm.

Yudasmara GA. 2004. Analsis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Studi Kasus Pulau Menjangan Kab. Buleleng Bali [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Yulianda F. 2003. Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Wisata Bahari Institut Pertanian Bogor.

Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Faakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor.

93 Yusuf M. 1994. Dampak Pencemaran Perairan Pantai Terhadap Struktur Komunitas Makrozobenthos dan Kualitas Lingkungan Perairan di Laguna Pulau Tirangcawang Semarang. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zakai D and Chadwick-Furman NE. 2002. Inpacts of intensive recreational diving on reef corals at Eiliat, northern Red Sea. Biol Conserv 105. 179-187.

ABSTRACT

HADI SURYANTO. Analysis of Coral Reef Condition Status for The Development of Marine Tourism in Teluk Buton Village, Natuna Regency. Under direction of FREDINAN YULIANDA and YUSLI WARDIATNO.

Teluk Buton Village is the island that located in Natuna District area and lies at Ranai City as a capital of Natuna District. In Teluk Buton Village, there are also the small islands which have marine tourism potency attractively like clear waters, coral reefs and reef fishes. Underlying problems in this study is the absence of the coral reefs management for marine tourism development, with the purposes of zoning designation of snorkeling and diving marine tourism areas. The method that used are Line Intercept Taransect (LIT) for coral reef analysis, Underwater Visual Cencus (UVC) for reef fish analysis, Reef Check Benthos (RCB) for Bentic Fauna analysis, analysis of Tourism Suitability Index, Analysis of Scenic Beauty Estimation (SBE) and analysis of Area Carrying Capacity. For the tourism suitability index, categories of snorkling and diving in eight sites include of S2 category (suitable) of snorkeling and diving tourism, while in one site ”suitable” for diving, and then one site include of N category (unsuitable) to serve as marine tourism area (snorkeling and diving). The result from analysis of area carrying capacity suggest that suitability of one spot area for two tourism activity (snorkeling and diving) has a varied value of area carrying capacity, therefore, could not determine the highest and lowest values based on the site, and can be interpreted that the larger an area, the higher value of carrying capacity, otherwise, the smaller an area, the lower value of carrying capacity. Conclusion and recommendation that can be taken are generally the status of coral reef in Teluk Buton Village was still in good and very good condition, seen the percentage of Hard Coral cover reaches 40.07% to 79.79% and result of tourism suitability index analysis for snorkeling and diving and supported by area carrying capacity that Teluk Buton Village suitable become marine tourism area (snorkeling and diving). Recommendations that very important are the need for further research in an integrated tourism management, and synergizing with the local government program to the results of tourism research.

RINGKASAN

HADI SURYANTO. Analisis Status Terumbu Karang Untuk Pengembangan Wisata Bahari di Desa Teluk Buton Kabupaten Natuna. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA and YUSLI WARDIATNO.

Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dan tidak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km persegi yang tersebar luas dari perairan kawasan Barat Indonesia sampai kawasan Timur Indonesia.

Penelitian dilakukan di perairan Desa Teluk Buton Kecamatan Bunguran Utara Kabupaten Natuna pada bulan April sampai dengan Juni 2009. Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pertama pengumpulan data, tahap kedua observasi lapangan dan tahap ke tiga analisis data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengamatan terumbu karang dilokasi penelitian, data diambil dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al.,

(1997). Pengamatan ikan karang yaitu menggunakan metode Underwater Visual Census (UVC) yang dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (English, et al., 1997), yaitu : ikan target, ikan indikator dan ikan mayor, dan pengambilan data benthic fauna menggunakan metode LIT reef check benthic fauna.

Secara umum kondisi oseanografi perairan terumbu karang perairan Teluk Buton dapat dikatakan baik. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi, dimana memiliki nilai-nilai kisaran yang cocok bagi kehidupan organisme terumbu karang. Seperti pH yang berkisar 7.81-7.99 (pada skala 0-14) maka perairan Teluk Buton boleh dikatakan bersifat netral dan cendrung bersifat alkalis karena nilainya lebih besar 7. Rata-rata kisaran pertumbuhan Hard Coral Cover berkisar antara 40,07% sampai 79,79%. Secara keseluruhan pada stasiun penelitian untuk pertumbuhan karang hidup jenis Acropora masih mendominasi di setiap stasiun penelitian.

Underwater Fish Visual Census (UVC) menunjukkan kelimpahan tertinggi ketiga kategori ikan karang yaitu ikan mayor, dimana kelimpahannya mencapai 251.885 ind/ha, sedangkan ikan target berada pada urutan kedua kelimpahannya mencapai 2.9714 ind/ha dan ikan indikator sebagai ikan karang yang menjadi indikator kesehatan/pertumbuhan karang nilainya paling sedikit ditemukan yaitu 5.257 ind/ha. Untuk melihat jenis dan jumlah ikan yang ditemukan dimasing-masing stasiun penelitian. Hasil “Reef Check benthic Fauna” tersebut, selama pengamatan, karang jamur (Fungia) ditemukan dalam jumlah yang paling banyak yaitu 3.907 individu/ha di 10 stasiun penelitian. Hasil perhitungan nilai SBE menunjukkan bahwa nilai tertinggi SBE yang diperoleh adalah 128,44 dan nilai terendah adalah -46.00. Dari sebaran nilai SBE untuk 24 foto, analisis yang dapat diberikan berkaitan dengan hal ini adalah bahwa foto yang disajikan masih sedikit jumlahnya.

Dapat di simpulkan hasil analisis kedua IKW, bahwa zona kesesuaian wisata snorkeling dan diving dari 10 stasiun, 9 stasiun masuk kategori “sesuai” terdiri dari 8 stasiun sesuai untuk dijadikan kegiatan “snorkeling dan diving” dan 1 stasiun hanya sesuai untuk dijadikan kegiatan “diving”. Sedangkan stasiun J.02 analisis kedua IKW sama-sama menghasilkan nilai bobot kecil dari 50% (tidak sesuai) untuk dijadikan kegiatan snorkeling dan diving.

Berdasarkan daya dukung kawasan di intepretasikan, untuk wisata snorkeling

stasiun J.01 memiliki luas terbesar di banding kan dengan stasiun lainnya, yaitu 47.110 m2, dan mampu menampung jumlah pengunjung sebanyak 188 orang. Sementara untuk wisata diving stasiun J.07 memiliki daya tampung pengunjung lebih banyak di bandingkan dengan stasiun lainnya, yaitu 575 orang karena memiliki luas area lebih besar, yaitu 143.760 m2 . Hasil pengamatan di lokasi penelitian dari segi ekologi terumbu karang di Desa Teluk Buton secara umum berada dalam kondisi baik, yaitu di wilayah Barat dan Timur. Dari 10 stasiun observasi dilapangan dan berdasarkan analisis kesesuaian kawasan wisata bahari dapat disimpulkan 4 kawasan “sesuai” dijadikan kegiatan snorkeling dan diving, 1 kawasan hanya ”sesuai” untuk kegiatan diving dan 1 kawasan “tidak sesuai” untuk dijadikan kegiatan snorkeling

maupun diving.

Pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan, harus ada kerja sama antar stake holder atau instansi terkait, untuk mensinergikan antara program daerah dengan hasil-hasil penelitian yang mengarah kepariwisatawan khususnya wisata bahari.

1 PENDAHULUAN

Dokumen terkait