• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai-Nilai Pragmatik Cuplikan Cerita Novel

BAB III ANALISIS CERITA NOVEL “CATATAN ICHIYO”

3.2 Analisis Nilai-Nilai Pragmatik Cuplikan Cerita Novel

Untuk mengetahui nilai-nilai pragmatik sastra yang terkandung dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura maka penulis akan menganalisis beberapa cuplikan teks yang mengandung nilai tersebut. Berikut

adalah beberapa nilai pragmatik yang terdapat pada novel “Catatan Ichiyo”

karya Rei Kimura, yaitu :

3.2.1 Percaya Diri

“Aku bisa melakukannya. Ayah percaya padaku, jadi aku tak boleh mengecewakannya,”gadis kecil itu berkata pada dirinya sendiri sembari menerima lembaran kertas dengan gugup dari Noriyoshi dan mulai membaca dengan suara lantang dan jelas tidak terbata-bata, bahkan ketika mengucapkan kata-kata sulit yang jauh di luar kemampuan anak seusianya.

“Burung-burung datang memanggil dalam kabut pagi...” ... ... ...

... ... ...

“Kau melakukannya dengan baik hari ini Natsuko chan, Ayah bangga padamu!” ucap ayahnya kemudian, penuh dengan kebanggaan meluap-luap mendengar banjir pujian dari tamu-tamunya tentang betapa luar biasa anaknya yang baru berusia enam tahun, bukan hanya dalam membaca tapi juga melantunkan sajak klasik yang sulit dengan gairah dan ekspresi yang begitu kuat.

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat bahwa sejak kecil Ichiyo sudah diajarkan oleh ayahnya agar selalu percaya diri dalam melakukan apapun, bahkan di usianya yang masih enam tahun. Berkat rasa percaya diri yang dimilikinya dan juga berkat dukungan penuh ayahnya ia mampu membuat ayahnya bangga di depan rekan-rekan ayahnya.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan pribadi yang percaya diri, cuplikan cerita ini menunjukkan bahwa Ichiyo percaya diri ia bisa melakukan apa yang

dipercayakan ayahnya padanya dan membuat ayahnya bangga. Ichiyo bisa menjadi seperti ini berkat dukungan penuh.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah setiap manusia pasti memiliki orangtua yang selalu mengajarkan kebaikan, contohnya ayah Ichiyo yang sejak kecil menanamkan rasa percaya diri kepada Ichiyo. Berkat rasa percaya diri tersebut, kita bisa menjadi pribadi yang tidak malu untuk melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat untuk kita dan juga orang lain.

Cuplikan 2 : (Halaman 48-49)

“Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi seorang penulis seperti teman-teman ayah,”kata Natsuko tegas saat ia menyusup ke dalam futon-nya malam itu.

“Kau tak mungkin jadi penulis, Natsuko, karena kau perempuan,”kakaknya, Sentaro menyahut.”Tugas perempuan adalah menikah dan tinggal di rumah serta melahirkan anak dan bukan menjadi penulis atau apapun!”

“Jangan berkata begitu, Sentaro,” teriak Natsuko. “Perempuan mampu menjadi apapun yang mereka inginkan asalkan mereka memiliki otak dan sepasang tangan! Mereka sama pintarnya dengan laki-laki!”

“Yah tentu saja, masyarakat dan kaum perempuan sendiri tidak berpendapat demikian,”ejek Sentaro. “ Apakah kau melihat ada perempuan di antara perkumpulan sastra teman-teman ayah hari ini?”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas menunjukkan sikap percaya diri Ichiyo terhadap bakat sastra yang dimilikinya, sikap ini mampu membuat Ichiyo bermimpi untuk menjadi seorang penulis seperti teman-teman ayahnya. Ia yakin bahwa dengan dukungan ayahnya dan kegiatan sastra yang sering diadakan oleh ayahnya akan membuat Ichiyo menjadi seorang penulis hebat. Bahkan ia tidak peduli diremehkan oleh saudaranya hanya karena ia seorang perempuan, karena pada masa Meiji perempuan tidak memiliki pengaruh yang kuat dan wanita dianggap tidak terlalu penting dalam berbagai bidang. Meskipun begitu Ichiyo tetap yakin bahwa ia mampu menjadi apa yang ia inginkan tanpa ada hal apapun yang dapat menghalanginya untuk meraih mimpi tersebut.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan seseorang yang tidak peduli terhadap perbedaan gender, menurutnya semua manusia itu sama saja. Ichiyo sangat benci jika orang lain menyepelekan wanita hanya karena jenis kelaminnya. Ichiyo beranggapan semua manusia mampu berkarya dan perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu hak untuk berkarya dan mendapat penghidupan yang layak.

Nilai yang diangkat oleh Ichiyo adalah jangan pernah merasa menjadi seorang wanita adalah sebuah halangan untuk berkarya. Tetapi kita harus menunjukkan bahwa wanita mampu berkarya dan juga bersaing dengan para pria, bahkan mampu menjadi lebih baik dari mereka. Wanita dapat

menjadi apapun yang mereka inginkan jika mereka mau bekerja keras. Meskipun akhirnya wanita harus tetap mengurus rumah tangga, setidaknya wanita harus memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas sama seperti laki-laki, karena seorang Ibu yang cerdas akan melahirkan keturunan yang cerdas pula.

Cuplikan 3 : (Halaman 67-68)

“Kuharap Ayah dan Ibu tidak keberatan, tapi aku sudah memutuskan bahwa nama Natsuko terdengar terlalu biasa dan kurang menunjukkan identitasku sebagai penulis dan penyair masa depan. Aku ingin mengambil nama Ichiyo, sehelai daun, kata terindah yang pernah kutemui dan aku ingin menjadi sehelai daun dari halaman buku-buku yang ingin kutulis mulai sekarang.”

Pernyataan Natsuko mengejutkan Noriyoshi, namun mengingat emosinya yang kurang stabil belakangan ini, ia bertekad untuk menyenangkan hatinya bahkan untuk hal seserius perubahan nama, lalu ia pun berkata dengan enteng, “Jika nama Ichiyo lebih menginspirasimu daripada Natsuko, Ayah tidak keberatan dan Ayah yakin Ibumu juga.”

Furuya sangat keberatan dan mengomeli Noriyoshi yang menyerah begitu saja pada keinginan Natsuko.

“Mengubah nama lahir dan nama pemberian begitu saja adalah sebuah kesalahan,”katanya. “Ingatlah, kita memilih nama kita dengan hati- hati agar cocok dengan pertanda lahir dan ramalan bintang yang baik dan siapa yang tahu kemalangan seperti apa yang akan dialaminya jika ia keluar

dari perlindungan tersebut dan menggantinya dengan nama baru yang belum teruji!”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas menunjukkan sikap Ichiyo kecil yang mengajukan keinginan kepada orangtuanya untuk mengganti nama kecilnya, karena ia meyakini nama Ichiyo lebih menginspirasi daripada Natsuko. Ichiyo memutuskan untuk mengganti nama karena suatu alasan yang terjadi di saat perpisahannya dengan teman kecil yang juga memiliki bakat sastra yang sama dengannya, Masao Kobayashi. Saat itu, sehelai daun

(Ichiyo) jatuh sebagai tanda perpisahan mereka, menurut Ichiyo sehelai daun

merupakan kata terindah yang pernah ditemuinya dan ia ingin menjadi sehelai daun dari halaman buku-buku yang akan ia tulis. Ia memutuskan untuk mengubah namanya bahkan ketika ia masih berumur 11 tahun.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, dapat diketahui bahwa berkat rasa percaya diri yang ditanamkan ayahnya kepada Ichiyo, ia berani dan percaya diri untuk memutuskan mengganti nama kecilnya yang merupakan hal yang dianggap tabu di Jepang. Bahkan ia tidak peduli kemarahan ibunya yang tidak setuju atas keinginannya untuk mengganti nama kecil tersebut, karena menurut ibunya mengganti nama kecil dengan nama baru yang belum teruji oleh ramalan Jepang akan menyebabkan kemalangan terhadap diri pemilik nama tersebut.

Nilai yang diangkat dalam cerita novel ini adalah jika kita memiliki cita-cita yang ingin kita raih maka kita harus belajar, berusaha sungguh-

kecil seperti mengganti nama. Ichiyo mengajarkan kita bahwa hal kecil yang kita ubah dapat membawa kita menggapai mimpi kita untuk mengubah masa depan yang lebih baik. Niat baik Ichiyo mengganti nama akan menentukan bagaimana masa depan Ichiyo pada akhirnya, yaitu menjadi seorang penulis.

Cuplikan 4 : (Halaman 79)

“Oh Natsuko, kau tak mungkin menghadiri pesta megah semacam itu dengan pakaian ini, mungkin sebaiknya kau tidak usah ke sana, bagaimana kau dapat menahan malu?”

Ichiyo ragu-ragu agak lama, sangatlah menggoda untuk menyerah dan tidak datang serta mempermalukan diri sendiri, namun ia dapat melihat kekecewaan di mata ayahnya bila ia tidak mau menghadiri pertemuan bergengsi itu hanya karena sebuah kimono bekas. Setelah bergulat sejenak dengan harga dirinya, Ichiyo tahu ia tak mungkin mengecewakan Noriyoshi, tak peduli ia harus muncul dengan pakaian yang bahkan tak akan diberikan gadis lain kepada pelayan mereka.

Ia menegakkan tubuhnya dan berkata tegas, “Tak ada yang dapat menghentikanku untuk datang ke sana dan kimono ini? Mengapa memangnya? Ini hanyalah penutup tubuh, pada akhirnya yang terpenting adalah karya tulisanku kan?”

Analisis :

penting, tetapi bakatnya lah yang utama, ia tidak peduli orang lain akan mengatakan apa mengenai baju yang ia kenakan pada acara itu, bahkan godaan ibunya untuk tidak datang ke acara itu karena ia akan mempermalukan dirinya dengan kimono bekas yang ia kenakan. Tetapi Ichiyo lebih memikirkan bagaimana agar orang-orang memandangnya lebih kepada karyanya bukan penampilannya serta perasaan kecewa ayahnya jika ia tidak datang ke acara tersebut hanya karena masalah pakaian. Ichiyo tidak gengsi dan malu kepada teman-temannya yang memakai kimono indah ke acara tersebut.

Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, penulis dapat melihat bahwa Ichiyo percaya diri pada penampilannya yang biasa saja, bahkan ia tidak malu memakai kimono bekas ke acara bergengsi di sekolahnya. Ia lebih memilih orang lain melihatnya karena karya tulisannya bukan karena apa yang ia kenakan. Jadi menurutnya tak akan ada yang bisa menghentikannya datang ke acara itu hanya karena kimono bekasnya.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah kita tidak boleh malu terhadap penampilan diri sendiri. Meskipun penampilan kita sederhana dan apa adanya kita tidak boleh malu terhadap teman lain yang memiliki penampilan lebih baik dari kita, tetapi kita bisa menunjukkan dari segi lain selain penampilan, yaitu karya yang dapat kita hasilkan. Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi kita harus tetap bersyukur apapun pemberian Tuhan. Sebaliknya juga, Ichiyo pun mengajarkan kita untuk tidak menilai orang lain hanya berdasarkan

penampilan fisiknya saja, karena apa yang kita lihat dari luar belum tentu mencerminkan kepribadian seseorang tersebut.

Cuplikan 5 : (Halaman 137)

Ia mengemukakan idenya kepada Kuniko yang ragu-ragu, yang hanya menyanggah melalui cara-cara simbolis meskipun sebenarnya ia kurang setuju dan menurut Kuniko ada kemungkinan Ichiyo benar dan Musashino adalah satu-satunya peluang baginya untuk melihat novel pertamanya dicetak.

“Aku yakin Kuniko, sungguh yakin, begitu novel pertamaku diterbitkan, aku tak akan pernah lagi menengok ke belakang dan yang lainnya akan mengikuti,” kata Ichiyo.

“Baiklah, Natsu, kau tak perlu berusaha keras membujukku, aku percaya padamu seperti biasanya dan jika menurutmu Tosui san dapat membantu menerbitkan novel pertamamu, lakukanlah!”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat sikap Ichiyo yang yakin bahwa novel pertama yang telah ia tulis selama berbulan-bulan dan membuatnya hampir putus asa akan dapat terbit melalui majalah Musashino, majalah milik Nakarai Tosui. Ichiyo sadar meskipun ia berbakat tetapi ia tidak dapat berjuang sendiri untuk menerbitkan novel pertamanya agar dapat dibaca oleh semua orang. Keputusan Ichiyo untuk bekerjasama dengan

Nakarai Tosui juga didukung oleh adiknya, Kuniko. Ichiyo yakin setelah novel pertamanya terbit akan ada novel-novel bagus selanjutnya yang ia tulis mengikuti kesuksesan dalam karir menulisnya.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan sosok yang tidak mudah putus asa dalam mengembangkan bakat menulisnya, ia terus berusaha dan mencari cara bagaimana agar karyanya dapat diterbitkan di saat begitu banyak masalah kehidupan yang sedang dihadapinya.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah kita harus tetap mengembangkan bakat dan jangan mudah putus asa. Terus mengasah bakat tersebut dan berusaha menjadi yang terbaik agar cita-cita dapat tercapai. Dalam menggapai cita-cita, kita tidak bisa sendiri karena kita juga butuh orang lain seperti orang tua, sahabat, teman dan saudara untuk terus mendukung dan memberi semangat.

3.2.2 Gigih

Cuplikan 1 : (Halaman 70-71)

Furuya benar-benar tidak bisa dibujuk dan di usia yang baru 13 tahun Ichiyo harus berhenti sekolah. Ia sangat terpukul dengan kenyataan bahwa pendidikannya harus terhenti sampai butuh waktu lama baginya untuk dapat tersenyum lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ibunya segera

mendaftarkannya masuk ke kelas menjahit, memasak dan merangkai bunga yang semuanya dijalani Ichiyo dengan keseriusan total, bukan karena ia menyukainya, namun karena dia adalah seorang perfeksionis dan harus mengerjakan apapun dengan sempurna, bahkan aktifitas yang ia anggap bodoh dan tak pantas untuknya.

“Aku merasa hancur, ibu memastikan aku memiliki sesedikit mungkin waktu dan tenaga untuk membaca buku dan aku harus mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang membosankan dan membantu kegiatan rumah tangga saat jadwal kelas ‘feminin’ ku sedang kosong. “Aku belum pernah melihat wanita yang lebih besar keinginannya untuk membunuh bakat anaknya daripada ibuku. Terimakasih Tuhan berkat ayah aku masih bisa membaca buku dan menulis!” Ayah tersayang menolak untuk menyerah dalam mengembangkan bakatku meskipun ibu terus-terusan mengomel.”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat sikap Ichiyo sangat gigih dalam menghadapi masalah hidupnya. Ibunya merupakan orang yang sangat tidak mendukung bakatnya sejak kecil karena menurut ibunya pekerjaan wanita hanyalah di dapur dan melayani suami, maka pada umur 13 tahun ibunya memutuskan Ichiyo harus berhenti sekolah dan tanpa membuang waktu lagi ibunya segera mendaftarkannya masuk ke kelas menjahit, memasak dan merangkai bunga. Ibunya memastikan Ichiyo tak akan memiliki waktu lagi untuk membaca buku dan mengasah karir menulisnya. Ichiyo sangat kesal terhadap sikap ibunya, tetapi meskipun

begitu Ichiyo tetap melakukan semua kegiatan itu dengan serius karena ia adalah seorang perfeksionis. Jika ia memiliki waktu kosong sedikit saja, Ichiyo selalu menyempatkan untuk menulis apa saja ke dalam buku hariannya. Ia gigih untuk tetap menulis meskipun ibunya sangat membenci bakatnya tersebut. Ichiyo tidak peduli dengan perkataan ibunya yang mengatakan wanita tidak perlu berkarya, ia tetap semangat menulis karena masih ada ayahnya yang tetap memberinya ruang untuk mengembangkan bakatnya dengan memberikan buku-buku bacaan baru.

Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan sosok remaja yang gigih meskipun lingkungan keluarganya tidak sepenuhnya mendukung keinginannya untuk menjadi penulis. Meskipun ibunya melarang, tetapi Ichiyo tetap bekerja keras demi impiannya, karena sejak kecil ia yakin bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi penulis.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah kita harus gigih dalam melakukan sesuatu, terutama cita-cita yang ingin kita raih sejak kecil, seperti Ichiyo yang gigih mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang penulis. Jangan mudah menyerah meskipun kita seorang wanita dan tetap semangat untuk berkarya.

Cuplikan 2 : (Halaman 86)

Ada banyak masalah yang terjadi di rumah dan aku dapat merasakan bisnis ayah tersendat. Ia terlihat pucat dan khawatir, cahaya di

matanya kembali lenyap. Aku tahu ia dalam masalah, namun terlalu bangga dan takut untuk mengakuinya.

“Aku merindukan ayah yang dulu, yang selalu mendukung, membela dan menyemangatiku untuk terus menulis dan dikenal. Sekarang aku harus berjuang sendirian, mampukah aku meraih keberhasilan? Dan aku tahu di dalam tubuh kecil ini terdapat hati yang tulus dan api semangat menulis yang berkobar-kobar dan aku bersumpah demi setiap hela nafas di tubuhku bahwa aku akan dikenang karena karya tulisanku. Bahkan jika aku harus mati untuk itu, aku tak akan membiarkan diriku dilupakan.”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat bahwa Ichiyo memiliki sikap yang tegar dalam menyikapi berbagai masalah yang terjadi dalam keluarganya. Sejak ayahnya kehilangan pekerjaan ketika usianya belum 17 tahun, ia menghadapi berbagai masalah. Mulai dari kakaknya, Sentaro yang meninggal dunia karena penyakit paru-paru, ayahnya yang kehilangan pekerjaan dan kemudian sakit-sakitan, lalu ibunya yang depresi karena semua masalah tersebut. Ia hampir putus asa melihat keadaan keluarganya yang seperti ini dan ragu akan berhasil dengan bakat menulisnya, namun di dalam dirinya ia masih memiliki semangat yang besar untuk menulis. Ichiyo bersumpah akan dikenang di Jepang karena karyanya dan jika ia harus mati untuk itu ia tak akan membiarkan dirinya dilupakan. Semua masalah ini tak menyurutkan semangat Ichiyo untuk tetap menulis.

Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan orang yang gigih meskipun ia menghadapi

banyak masalah yang kapan saja dapat menyurutkan semangat menulisnya. Namun karena tekadnya yang ingin menjadi penulis lebih besar, hal ini tak ada artinya untuk mewujudkan impiannya tersebut.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah meskipun kita mengalami berbagai masalah hidup, sebaiknya masalah tersebut jangan dijadikan sebagai penghalang untuk berkarya, tetapi dijadikan pacuan untuk lebih maju dan berkreasi. Semakin banyak masalah yang kita hadapi mengajarkan kita semakin dewasa dan menjadikan kita individu yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Cuplikan 3 : (Halaman 87-88)

“Hari ini tanggal 12 Maret, kami berpindah lagi, kali ini ke Awajicho,” Ichiyo memberitahu buku hariannya.“Ibu berharap dengan cara berpindah kami dapat menjauhkan diri dari kegagalan bisnis ayah dan memulai segalanya dari awal. Namun luka-luka tersebut terlalu baru dan dalam, aku takut mereka tak akan pernah pulih, terutama bagi ayah. Ia sepertinya telah kehilangan keinginan untuk hidup dan setiap harinya ia semakin lemah dan perlahan menjemput ajalnya.”

“Oh, sang Buddha,apa yang akan terjadi pada kami? Namun aku harus fokus dan terus menulis karena ini adalah panggilan hidupku dan alasan keberadaanku yang penuh penderitaan.”

Dari cuplikan teks cerita di atas dapat kita lihat bahwa Ichiyo dan keluarganya berpindah rumah untuk yang kesekian kalinya setelah ayahnya kehilangan pekerjaan pada Juli 1887. Mereka berharap dengan berpindah rumah mereka dapat memulai kehidupan baru dan memperbaiki finansial keluarga. Tetapi hal itu tidak terjadi, sebaliknya ayahnya sakit semakin parah dan ibunya semakin depresi. Ichiyo sangat menderita atas keadaan keluarga ini, ia hampir putus asa dan bingung dengan kehidupan yang dialaminya. Setiap hari ia terus berdoa dan memohon kepada sang Buddha agar kehidupannya membaik dan ia tetap fokus menulis untuk mengasah bakatnya. Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, penulis dapat melihat bahwa Ichiyo adalah sosok yang selalu ingat dan berdoa kepada Tuhan meskipun ia menderita karena musibah yang terus-terusan menimpa keluarganya. Seberat apapun masalah hidupnya dan semenderita apapun keadaan yang dialaminya ia tak pernah berhenti menulis karena menurut Ichiyo menulis adalah panggilan hidupnya.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah Ichiyo mengajarkan kepada kita untuk tetap tegar dan tabah dalam menghadapi masalah kehidupan, tetap ingat dan terus berdoa kepada Tuhan. Seberat apapun masalah yang kita hadapi Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk kita menuju kehidupan yang lebih baik.

Cuplikan 4 : (Halaman 129)

sama sekali belum membaik. Meskipun aku memiliki bakat dan karakter istimewa, tetapi aku bahkan belum mampu menghidupi ibuku dan kami masih saja meminjam uang untuk hidup, betapa sedihnya diriku! Tadi malam kami membicarakan masalah ini dan aku mengatakan pada ibu bahwa mungkin tidak banyak lagi orang yang sudi meminjamkan kami uang.”

“Aku telah memohon pada ibu agar membiarkanku k erja apa saja, tidak peduli pekerjaan kasar selama pekerjaan tersebut jujur untuk membantu menghidupi kami!”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas dapat kita lihat kehidupan keluarga Ichiyo sama sekali belum membaik sejak kematian ayahnya dua tahun sebelumnya. Sampai saat itu Ichiyo belum dapat menggunakan bakatnya untuk membantu memperbaiki kehidupan keluarga. Ia sangat sedih dan memohon kepada ibunya agar ia dapat bekerja apa saja agar dapat membantu menghidupi keluarga mereka, tetapi ibunya bahkan tidak mendengarkannya sama sekali. Ichiyo berusaha keras melakukan apa saja agar kehidupan keluarganya membaik.

Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, dapat dilihat bahwa Ichiyo yang merupakan penulis berbakat sejak kecil tidak malu dan gengsi untuk melakukan pekerjaan apa saja agar kehidupan keluarganya membaik. Ia rela bekerja keras asalkan pekerjaan tersebut jujur karena Ichiyo belum dapat menjual satupun karya yang ditulisnya untuk menghasilkan uang.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah Ichiyo mengajarkan

Dokumen terkait