• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih 20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut. BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan sendiri.

Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan istri yang selalu menemani penderita baik pada masa rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini masih rutin dilakukannya.

Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita pada awal didiagnosa menderita skizofrenia dapat dilihat

dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan untuk berbicara sendiri.

Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol. Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri penderita.

Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga, penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai macam kegiatan.

Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita, ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan sedih dan terlihat lebih sering mengalami kebingungan

pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki nafsu makan yang bertambah.

Partisipan yang adalah ayah penderita menduga bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan. Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.

Selama merawat penderita dengan berbagai usaha yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-, belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak mereka. Di Panti tersebut, biaya perawatan tergolong

murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-. Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam mengingat dan memaknai setiap informasi yang diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan penderita, karena pemikiran yang kacau serta ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik, juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya adalah kesulitan partisipan bersama istri dalam menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan, dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang mandiri.

Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita, maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka partisipan memutuskan untuk mengalihkan pengobatan

penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di dekat rumahnya.

Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita, mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan reward, dukungan secara finansial bagi keinginan penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah. Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu, kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian, penderita memiliki kecenderungan untuk menolak tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut. Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan aktivitas yang dikehendakinya.

Selain dukungan nyata dalam berupa materi tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik. Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk menasehati dengan cara merayu penderita agar penderita

memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa, pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar. Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh penderita.

Dukungan secara emosional dan penghargaan yang diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga, namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah. Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas, melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya, melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita.

Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan kepada penderita dengan mendorong penderita untuk

melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dengan menjanjikan akan memberikan reward berupa permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan dengan mengijinkan penderita untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi, penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut, penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali dirawat di RSJ.

Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun, hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa bulan berkuliah. Penderita kembali mengalami kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk menjalani perawatan intensif di RSJ.

Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu pekerjaan, yakni dalam hal ini bertanggung jawab

terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun, sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang dipercayakan kepadanya.

Selain dukungan secara langsung yang diberikan partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut berupa penyediaan waktu untuk mencari alternatif- alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh keluarga selama merawat penderita pasca perawatan. Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam mendukung penderita selama menjalani masa pasca perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita. Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota keluarga tersebut memarahi penderita. Perubahan reaksi

keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka mengenai kondisi penderita.

Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki peran yang sangat membantu dalam mengarahkan keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak memarahi penderita ketika penderita melakukan kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan saran yang baik kepada penderita serta melibatkan penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini, partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke arah yang lebih baik.

Dalam semua keterbatasan penderita dan kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini, partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri. Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari konflik yang terjadi karena nasehat yang

sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh penderita.

Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti. Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut.

Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah, serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan beberapa pekerjaan rumah yang ringan, seperti membersihkan rumah dan membantu menjaga warung yang dimiliki keluarganya.

2. Partisipan 2

a. Gambaran umum partisipan 2

Nama : A

TTL : 31 Mei 1977

Usia : 36 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan Terakhir : SMA

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

A adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara. Pada saat ini, A tinggal bersama istri dan anaknya yang pertama. Sedangkan anak kedua A tinggal bersama mertua A di Kota Purwokerto. Ayah A adalah seorang pensiunan guru, yang kesehariannya menyibukkan diri di ladang. Sementara Ibu A, yang benama S adalah seorang penderita skizofrenia yang pada saat ini sedang menjalani masa pasca perawatan di rumah dan tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu, partisipan sehari-hari bekerja sebagai agen di salah satu surat kabar yang ada di daerah Boyolali. Istri A juga membantu A dalam menekuni pekerjaannya tersebut.

Partisipan menyelesaikan pendidikan SMAnya di Boyolali. Kemudian ia merantau ke Jakarta, dan bekerja di beberapa perusahaan swasta sekitar tahun 1996 hingga 2008. Setelah itu, partisipan melanjutkan perantauannya ke Purwokerto dan menetap di sana selama kurang lebih 2 tahun.

Saat ini A memutuskan tinggal di daerah Boyolali dengan alasan karena kedua orang tuanya hanya hidup berdua saja dan usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, A juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sering kambuh dan harus beberapa kali dimasukkan ke RSJ atau Panti rehabilitasi Mental. Keputusan partisipan ini didukung oleh istrinya, sehingga mereka juga memilih tempat tinggal yang bersebelahan dengan rumah orang

tuanya. Hal ini untuk memudahkan A dalam mengontrol konsumsi obat untuk ibunya dan juga menjaga ibunya ketika ibunya mulai menunjukkan gejala yang aneh.

Hingga saat ini A masih membawa ibunya untuk melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh psikiater terdekat.

b. Laporan observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 17 Desember 2012, pukul 10.18-11.48 WIB. Pada saat itu peneliti dan partisipan telah mengadakan kesepakatan mengenai jadwal wawancara melalui telepon. Saat peneliti tiba di rumah partisipan, partisipan sedang duduk di teras depan rumah, sambil membereskan beberapa surat kabar yang menumpuk di bawah salah satu meja yang berada di teras rumah tersebut.

Pada saat kedatangan peneliti ke rumahnya, partisipan menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan peneliti duduk di teras tersebut. Karena kondisi rumah dan beberapa pertimbangan akhirnya partisipan meminta kesediaan peneliti untuk melakukan wawancara di teras depan rumah tersebut. Hal ini disetujui oleh peneliti dan akhirnya wawancara tersebut dilakukan.

Wawancara yang berlangsung lebih dari satu jam ini, berjalan dengan baik, dan partisipan menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan jelas. Belum lama wawancara berlangsung, ayah partisipan tiba-tiba keluar dari rumahnya

dan kemudian melihat peneliti bersama partisipan sedang berbicara di depan rumah. Ayah partisipan mendatangi peneliti dan partisipan serta menanyakan beberapa pertanyaan kepada peneliti, termasuk tujuan kedatangan peneliti. Setelah itu, ayah partisipan duduk dan sesekali ikut menjawab pertanyaan yang ditujukan peneliti kepada partisipan.

Beberapa saat setelah wawancara dilakukan, istri partisipan membawa minuman untuk kami bertiga dan mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu partisipan tiba-tiba mengirimkan pesan ke telepon genggam peneliti yang berisi permintaan kepada peneliti untuk bersabar karena ada beberapa hal yang ingin disampaikan partisipan kepada peneliti apabila ayahnya telah pergi. Hal ini dimaksudkannya agar tidak menyinggung perasaan ayahnya. Akhirnya hal tersebut disetujui oleh peneliti.

Beberapa saat kemudian ayah partisipan memohon diri kepada peneliti untuk pergi beribadah di mesjid, dan kemudian meninggalkan peneliti bersama partisipan. Setelah ayahnya pergi ada beberapa hal yang disampaikan partisipan kepada peneliti terkait hubungan ayahnya dengan ibunya yang menderita skizofrenia. Menurut partisipan, salah satu penyebab ibunya kambuh adalah karena tekanan yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Inilah sebabnya partisipan tidak ingin membicarakan hal ini di depan ayahnya.

Setelah beberapa pertanyaan di berikan kepada partisipan, peneliti akhirnya memutuskan untuk mengakhiri karena cuaca hujan dan suara partisipan mulai tidak terdengar, mengingat tempat pada saat dilangsungkan wawancara adalah teras depan rumah yang langsung terhubung dengan halaman rumah yang terbuka. Setelah mengakhiri wawancara tersebut partisipan dan juga peneliti melanjutkan pembicaraan seputar aktivitas partisipan sehari-hari. Hal ini tidak direkam oleh peneliti karena keadaan yang tidak memungkinkan serta tidak ada informasi yang terkait dengan topik penelitian ini.

Wawancara kedua dilakukan pada hari Sabtu, 16 Febuari 2013 di kediaman partisipan, yang berada di daerah Kabupaten Boyolali. Pada saat peneliti datang ke rumah partisipan, partisipan tidak berada di rumah. Akhirnya peneliti menunggu sekitar 10 menit di teras depan rumah partisipan. Setelah kira-kira 10 menit menunggu, partisipan bersama anaknya datang dengan menggunakan sepeda motor. Partisipan meminta maaf kepada peneliti karena membuat peneliti menunggunya yang sedang menjemput anaknya dari sekolah. Setelah itu peneliti dipersilahkan duduk di teras depan rumahnya. Wawancara kedua ini berlangsung selama kurang lebih 40 menit dengan posisi duduk berhadapan.

Selama wawancara, partisipan kembali menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan baik dan seolah-olah tidak ingin menyembunyikan setiap hal

yang ditanyakan. Hal ini dapat dilihat dari keterbukaan partisipan dalam menceritakan masalah yang terjadi di dalam keluarganya, termasuk di antaranya masalah ayah dan ibunya. Ia juga menegaskan agar ayahnya jangan sampai mengetahui cerita ini karena takut menyinggung perasaan ayahnya.

Selain itu, partisipan juga menunjukkan sikap tenang dalam mengungkapkan perasaannya ketika harus bertanggung jawab lebih daripada saudara-saudaranya yang lain dalam merawat ibunya yang sakit. Setelah memberikan beberapa pertanyaan dan peneliti merasa cukup dengan cerita partisipan, akhirnya peneliti memohon diri untuk pulang.

c. Analisis verbatim

Analisis verbatim P2W1

Makna Verbatim

Lama ibu sakit serta jumlah masuk dan keluar RSJ adalah 10 kali sejak awal sakit hingga saat ini.

Aku tuh SD kelas 2. Sampai sekarang saya udah usia 36 tahun. Dari kecil itu udah keluar masuk rumah sakit jiwa sampai sekarang udah sekitar 10 kali (P2W1 3-6)

P mempertimbangkan tempat perawatan lain yang lebih baik bagi penderita.

Kita itu pertimbangannya gini, Solo itu apa yah kalo lansia itu pasien harus ada yang nunggu, ada keluarga yang menjaga. Padahal kayaknya sih kalo kita pertimbanginkan misalkan ditungguin terus selalu ingat rumah terus gitu loh. (P2W1 15-18)

P menemukan tempat perawatan yang baik, yang terletak di dekat rumahnya.

Karena kalau disinikan pengobatannya benar-benar apa, pokoknya pikirannya biar benar-benar istirahat gitu. Makanya kita bawa sini, lagian disini juga dekat kan? Jadi kita putusin di sini aja (P2W1 25-29)

Faktor keturunan diduga oleh keluarga P sebagai penyebab penting dari munculnya penyakit.

Awal bisa kejadian kayak gitu keturunan. Saudara- saudaranya juga ada yang begitu. Dari berapa saudara itu hampir semua itu pernah jalani pengobatan. (P2W1 31-33)

yang berbeda dengan ayahnya terkait faktor keturunan sebagai penyebab sakit ibu.

keturunan, nah kalo menurut saya keluarga dari ibu itu mentalnya lemah gitu. (P2W1 36-37)

Beban pikiran mengenai kesibukan suami yang berdampak pada

kurangnya waktu bersama untuk mengasuh ke empat anak mereka.

Misalnya pikiran sedikit, malah dipikir serius gitu loh. Begitu, jadi pikirannya yah itu terus. Mungkin gini kepikiran terlalu sibuknya. Dulu kitakan anak berempat ini jaraknya ga jauh. Aku sama adekku kan hanya 1,5 tahun. Terus kakakku sama yang nomor 2 itu begitu juga. (P2W1 39-44) Persepsi P mengenai

faktor penyebab ibu sakit, yaitu karena ada beban pikiran mengenai

kesibukan dari ayah atau suami penderita.

Ibu mungkin kerepotan. Bapak kan juga dulu ngajar, PNS kan, jadi sibuk, jadi wuah pikirannya kacau mungkin. Kalau ada yang dipikir berat terus yaudah sakit lagi (P2W1 45-47) Kebingungan P terkait hal

yang menjadi beban pikiran penderita selain kerepotan mengurus anak

Iya, kemungkinan begitu. Cuma setelah inipun masih kayak gitu. Kan anak udah pada nikah-nikah udah pada

seorang diri. mandiri, tapi sekarang itu ternyata ada kepikiran apalagi gitu loh yang buat ibu langsung drop (P2W1 49-53)

Oleh karena keadaan ekonomi bukan sebagai beban, P merasa bingung apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ibu.

Yah kita sih ga itu, apa yah pikirannya ibu tuh

pengennya apa, pengen apa. Kalau secara ekonomi sih ga. Kan bingung juga mikirin apa? Kalau ada sesuatu itu kayaknya dipikir terus tapi ga terus terang gitu loh. Ga di omongin (P2W1 56-59)

P berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan ibu.

Kemarin sempat dia kangen sama cucu-cucunya. Yah pas liburan, akhirnya aku telpon ke kakakku yang di

Purwokerto minta liburan ke sini, cucu-cucunya. (P2W1 61-64)

P menyadari bahwa dukungan yang diberikan kepada penderita tidak banyak membantu

Yah senang sih senang, cuma yah kondisinya yah memang begitu. Ga begitu membantu banget. Yah

penderita. membantu sedikit, paling kondisinya gitu lagi. Makanya aku bingung ini mikirin apa gitu loh? (P2W1 67-70)

Gejala yang muncul adalah berbicara sendiri, tanpa ada lawan bicara, mendengar bisikan, serta reaksi emosi marah.

Kalau udah nunjukin gejala gitu yah biasanya ngobrol sendiri gitu loh. Yah

katanya ada bisikan-bisikan, seolah-olah ada lawan bicara gitu. Teruskan inikan udah mulai gejalanya itu gampang marah-marah (P2W1 72-77) P bertindak tegas

terhadap ibu, terkait kedisiplinan dan

kepatuhan mengkonsumsi obat.

Iya juga sih, yah biasanya kayak ginikan jadwalnya minum obat itu memang

Dokumen terkait