BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi penyajian data penelitian dan triangulasi
data dari sumber lain mengenai dukungan sosial keluarga yang
diberikan kepada penderita skizofrenia pasca perawatan.
A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan penelitian
Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada
konsep pra penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong,
2006) yaitu meliputi:
a) Penyusunan rancangan penelitian.
Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab
3 yang mencakup latar belakang, landasan teori,
metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat
pengumpul data berupa penuntun wawancara
(interview guide). b) Pemilihan lokasi
Pada tahap pemilihan lokasi, awalnya peneliti
beberapa kali melakukan survey ke beberapa rumah
sakit jiwa di daerah Solo dan Semarang, serta
beberapa panti rehabilitasi di daerah Boyolali dan
Salatiga. Dari hasil survey tersebut, peneliti
memperoleh nama calon partisipan dari panti
rehabilitasi yang ada di kabupaten Boyolali.
berkas serta tidak ada pemberitahuan selanjutnya dari
pihak rumah sakit jiwa, maka peneliti tidak
mendapatkan calon partisipan dari pihak rumah sakit.
Selain itu, dari panti rehabilitasi yang berada di kota
Salatiga, peneliti memperoleh nama calon partisipan,
namun setelah dihubungi, partisipan tidak bersedia
untuk diwawancarai. Dengan demikian peneliti
mencari nama calon partisipan berikut dari beberapa
kerabat partisipan sendiri dan pada akhirnya peneliti
menemui calon partisipan berikut di daerah Bandung.
Dengan demikian, pemilihan lokasi telah
ditetapkan oleh peneliti dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, sehingga pengambilan data yang
dimaksud dilaksanakan di Kabupaten Boyolali dan
Kota Bandung sesuai dengan tempat tinggal
partisipan penelitian. Dengan demikian, peneliti
segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi
informan dalam penelitian ini.
c) Memilih dan memanfaatkan informan
Dalam hal ini pemilihan informan bertujuan
untuk membantu peneliti mendapatkan partisipan
yang sesuai dengan karakteristik yang akan diteliti,
yaitu partisipan yang memiliki anggota keluarga
penderita skizofrenia yang menjalani masa pasca
perawatan, tinggal bersama anggota penderita
skizofrenia pasca perawatan dengan melakukan
kontrol rutin dan pemberian obat secara rutin.
Informan pertama adalah psikiater yang
memiliki salah satu yayasan rehabilitasi mental di
daerah Boyolali. Informan berikut adalah kerabat dari
peneliti sendiri yang berdomisili di Bandung. Kedua
informan membantu memberikan informasi mengenai
beberapa partisipan yang memenuhi kriteria
penelitian. Informan kemudian menjelaskan latar
belakang partisipan serta kondisi calon partisipan
kepada peneliti. Dari 4 nama yang diajukan informan
pertama, peneliti memutuskan untuk memilih 2 nama
partisipan dikarenakan hanya 2 keluarga tersebut yang
bersedia untuk diwawancarai. Sementara dari
informan kedua peneliti diperkenalkan dengan satu
keluarga yang merupakan tetangga informan sendiri.
Oleh karena topik penelitian yang diangkat
peneliti dirasa sangat sensitif, sehingga kedua
informan merasa perlu untuk melakukan pendekatan
dengan partisipan terlebih dahulu sebelum
dipertemukan dengan peneliti. Setelah kedua informan
melakukan pendekatan dan merasa partisipan cukup
nyaman, kemudian mereka memberikan informasi
alamat partisipan dan peneliti sendiri yang mendatangi
partisipan di tempat tinggalnya masing-masing.
d) Mengurus perijinan
cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari
fakultas, dikarenakan partisipan merasa tidak
membutuhkan surat tersebut.
e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan
Tahap ini dilakukan melalui perbincangan dengan
partisipan pertama, yaitu ayah dari penderita
skizofrenia, untuk partisipan kedua adalah anak dari
penderita skizofrenia, sementara itu partisipan ke tiga
adalah saudara kandung dari penderita. Perbincangan
dengan ketiga partisipan dilakukan di rumahnya
masing-masing.
f) Persiapan perlengkapan
Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat
yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data
mencakup alat perekam, alat tulis, dan notes. g) Mengetahui persoalan etika
Memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara
terbuka kepada calon partisipan, hal ini telah
dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan ketiga
partisipan.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data melalui wawancara dilakukan
sebanyak empat kali terhadap partisipan pertama, tiga kali
terhadap partisipan kedua dan dua kali terhadap partisipan
ketiga termasuk triangulasi data. Pelaksanaan wawancara
2012 - Maret 2013. Partisipan pertama dan kedua adalah
keluarga yang dipilih dan disarankan oleh psikiater yang
selama ini merawat anggota keluarganya yang sakit.
Sementara partisipan yang ketiga direkomendasikan oleh
salah satu kerabat peneliti yang berdomisili di Bandung.
Oleh karena peneliti belum pernah menemui
ketiga partisipan sebelumnya, maka penjalinan rapport dilakukan dengan cara beberapa kali pertemuan terlebih
dahulu. Untuk memastikan apakah ketiga partisipan
memiliki karakteristik yang sesuai dengan penelitian,
maka peneliti melakukan perbincangan dengan psikiater
yang selama ini merawat anggota keluarga mereka yang
menderita skizofrenia dan juga kerabat peneliti yang
merupakan tetangga partisipan. Dari psikiater dan kerabat
peneliti inilah, peneliti mendapatkan alamat rumah, nomor
handphone serta gambaran singkat tentang ketiga partisipan.
Untuk partisipan pertama dan kedua tersebut,
peneliti langsung menemuinya di rumah mereka yang
terletak tidak jauh dari panti rehabilitasi mental yang
menjadi tempat pertemuan peneliti dengan informan
(psikiater). Sementara partisipan ketiga juga langsung
ditemui penleiti di kediamannya di kota Bandung. Ketiga
partisipan menerima dan bersedia untuk menjadi
partisipan dalam penelitian ini.
Pada wawancara awal (W0) peneliti sengaja tidak
membina rapport dan menghindari rasa tidak nyaman pada diri partisipan. Meski sifatnya informal, namun
ketiga partisipan sempat bercerita tentang kehidupan
anggota keluarga mereka masing-masing yang menderita
skizofrenia juga sekilas tentang hal-hal yang telah
dilakukan sebagai usaha dari keluarga untuk memberikan
penanganan yang tepat terhadap penderita. Kemudian
hasil pertemuan dan wawancara awal ini dituliskan
peneliti pada bagian observasi. Dengan demikian, laporan
verbatim wawancara awal (W0) tidak dimasukkan dalam
transkrip, namun tercantum dalam laporan observasi.
Setelah peneliti melakukan wawancara,
dilanjutkan dengan mengolah data dan mengubah dalam
bentuk transkrip (print out). Setelah melewati tahap tersebut, peneliti kemudian membuat janji dengan
partisipan untuk menyerahkan transkrip serta meminta
persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan.
B. ANALISIS
Analisis data kualitatif menurut Moleong (2010) pada
umumnya meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan
keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan. Setelah
semua data diperoleh, baik wawancara maupun hasil
observasi, maka peneliti kemudian melakukan analisis data
sesuai dengan tahapan yang telah dirancangkan sebelumnya.
Proses analisis data dimulai dengan pengetikan
dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata
perkata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor (1, 2, 3, dst …) pada bagian kanan transkripsi disetiap barisnya agar memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti juga
mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan
pada saat pengambilan data berlangsung.
Setelah proses pengetikan selasai, peneliti kemudian
membaca transkrip wawancara, dan hasil observasi
berulang-ulang hingga peneliti mampu menemukan alur dan juga
menentukan tema-tema serta makna dibalik setiap kalimat
yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal
maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti
tambahkan pada bagian kiri transkrip.
Agar memudahkan dalam membaca dan menyajikan
data, maka peneliti juga memberikan kode sesuai dengan
nama dari setiap partisipan, yaitu untuk partisipan pertama
DJ, partisipan kedua A dan partisipan ketiga YU. Hal yang
sama juga berlaku bagi nama kerabat yang menjadi
triangulasi, peneliti menuliskan dengan inisial nama
keduanya.
Selanjutnya peneliti mengelompokkan data ke dalam
aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian kemudian
mencoba untuk membandingkan antara partisipan pertama,
kedua dan ketiga. Adapun hasil kategorisasi berdasarkan
C. DESKRIPSI PARTISIPAN 1. Partisipan 1
a. Gambaran umum partisipan 1
Nama : DJ
TTL : Boyolali, 8 Agustus 1938
Umur : 75 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : Pendidikan Guru SLP
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Partisipan adalah seorang bapak dari tiga orang
anak yang saat ini berstatus sebagai pensiunan guru.
Partisipan tinggal bersama istri, mertua dan dua orang
anaknya di Kabupaten Boyolali. Sedangkan anaknya
yang pertama, pada saat ini berdomisili di Semarang.
Sehari-hari partisipan mencari kesibukan dengan pergi
menggarap ladangnya.
Partisipan bernama DJ. Ia memiliki seorang anak
penderita skizofrenia yang bernama BB. Pada saat ini
BB berusia 40 tahun. BB merupakan lulusan SMA
Negeri Boyolali dengan jurusan A2 dan kemudian
melanjutkan studi D3 pada salah satu Perguruan Tinggi
Swasta di Semarang, program studi teknik kimia. Masa
studi BB hanya bertahan sekitar 3 semester atau kurang
lebih satu setengah tahun. Menurut orang tua BB, hal
Perguruan Tinggi hingga selesai adalah karena BB
yang sering menunjukkan gejala bingung karena tidak
kuat mengikuti pelajaran yang diberikan oleh pihak
Universitas.
Kebiasaan BB yang mulai bingung dan juga suka
marah-marah di rumah membuat DJ menyarankan BB
untuk menjalani perawatan di RSJ Solo, namun hal ini
tidak langsung ditanggapi secara baik oleh BB, oleh
sebab itu DJ dan istrinya harus beberapa kali
membujuk anaknya tersebut untuk pergi berobat. Pada
akhirnya BB setuju dan diantar oleh DJ dan istrinya ke
RSJ Solo. Pada saat itu BB hanya dirawat jalan selama
beberapa bulan. Setelah itu BB disarankan oleh pihak
keluarga untuk beristirahat, namun hal ini tidak di
dengar oleh BB.
Setelah BB merasa pulih dari sakitnya, BB
memutuskan untuk mengikuti tes masuk Perguruan
Tinggi dan hasilnya BB diterima di program studi
FKIP Sejarah pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta
di Semarang. Selama menjalani studi di FKIP Sejarah,
BB juga aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Menurut
orang tua BB kegiatan tersebut merupakan kegiatan
yang beraliran keras dari salah satu agama. Oleh sebab
itu, BB kembali tidak kuat dalam mengikuti ajaran
agama tersebut sehingga BB kembali menunjukkan
Universitas lagi yang baru dijalaninya selama kurang
lebih 6 bulan.
Karena gejala bingung dan marah yang sering
ditunjukkan oleh BB, maka keluarga memutuskan
untuk membawa BB menjalani perawatan di RSJ Solo.
Di sana, BB menjalani masa perawatan selama kurang
lebih 2 bulan. BB telah 2 kali menjalani rawat inap di
RSJ Solo selama kurang lebih 2 sampai 3 bulan untuk
setiap kali perawatan. Pada saat ini partisipan dan
istrinya memiliki tanggung jawab penuh untuk
merawat BB dalam masa pasca perawatan RSJ dan
juga membawa BB untuk melakukan kontrol rutin ke
Psikiater terdekat.
2. Laporan observasi selama wawancara
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 11
Septermber 2012, pukul 16.38 – 18.15 di rumah
partisipan. Pada saat peneliti datang, istri partisipan
yang membukakan pintu rumah dan mempersilahkan
peneliti masuk. Setelah peneliti dipersilahkan duduk,
kemudian partisipan dipanggil oleh istrinya untuk
menemui peneliti. Setelah partisipan datang, peneliti
mulai meminta ijin untuk merekam dan menjelaskan
kembali tujuan untuk datang ke rumahnya pada sore
itu.
Wawancara berlangsung di ruang tamu, dengan
Pada saat mulai wawancara peneliti mulai menanyakan
beberapa informasi umum mengenai identitas anak
yang sakit terlebih dahulu. DJ menjawab setiap
pertanyaan yang diberikan dengan tenang dan dengan
suara yang cukup tegas. Semua informasi mengenai
anak DJ yang selama ini menderita skizofrrenia di
ceritakan secara runtut, mulai dari waktu anaknya
mulai sakit.
Beberapa pertanyaan terkait awal mula sakit,
dijawab partisipan dengan sesekali tertawa. Ia
menceritakan bagaimana anaknya menunjukkan
ketidakmampuan dalam menjalani masa perkuliahan di
teknik kimia UNDIP-Semarang, sehingga hal ini
mengakibatkan kebingungan dan perasaan tertekan
yang membuat anaknya menjadi seperti ini.
Beberapa waktu lamanya ketika sedang
mewawancarai DJ, istri DJ datang sambil membawa
minuman untuk DJ dan peneliti sambil
mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu,
peneliti meminta ijin untuk kembali melanjutkan
wawancara dengan DJ. Pada saat itu istrinya tidak
langsung kembali ke dapur, melainkan duduk di dekat
pintu yang menghubungkan ruang tamu (tempat kami
melakukan wawancara) dan warung, sambil
menunggui warung tersebut.
Beberapa informasi yang ditanyakan oleh peneliti
DJ dengan bantuan istrinya karena DJ kesulitan dalam
mengingat kembali kronologis beberapa kejadian pada
saat dibawa ke rumah sakit, menjalani pengobatan di
rumah sakit, kembali ke rumah, dan sebagainya.
Selanjutnya, pada selang beberapa menit setelah
berjalannya wawancara, anak DJ yang sakit (BB)
datang dan ikut duduk di dekat kami berdua. BB
menyapa peneliti dan kemudian mengajak peneliti
bercerita, tetapi DJ kemudian menegaskan kepada BB
bahwa peneliti membutuhkan waktu untuk berbicara
dengan DJ. Selanjutnya BB tetap duduk di dekat
peneliti dan DJ dan berbicara seorang diri.
Pada saat pertanyaan yang diajukan peneliti
mengenai bagaimana BB pada awal sakit dan gejala
yang ditunjukkan, DJ menjawab dengan nada yang
mulai pelan, seolah-olah apa yang dikatakan jangan
sampai didengar oleh anaknya yang pada saat itu
duduk di situ. Selain itu, pada saat DJ sedang
menjelaskan beberapa penyebab yang diketahuinya
sebagai salah satu pemicu sakitnya BB, istri DJ
langsung ikut berbicara. Menurut istri DJ, DJ sering
memanjakan BB pada masa kecilnya. BB tidak
diperbolehkan untuk bekerja keras, karena itu pada saat
menerima tantangan dalam perkuliahan, BB menjadi
sosok yang tidak kuat, dan mengakibatkan dia menjadi
kebingungan serta terdapat gangguan pada syarafnya.
menatap ke arah luar rumah sambil terdiam dan tidak
banyak berbicara.
Setelah itu, peneliti memohon ijin kembali kepada
istri DJ untuk melanjutkan wawancara dengan DJ.
Pada saat itu istri DJ masih duduk di dekat pintu dan
beberapa menit kemudian kembali ke warung untuk
melayani pembeli yang datang.
Wawancara kedua dilaksanakan tanggal 26
September 2012, pukul 14.30 – 15.55, bertempat di
ruang yang sama seperti wawancara pertama. Pada saat
itu, DJ baru saja kembali dari ladang. Seperti
wawancara sebelumnya, peneliti dan DJ diberikan
minuman oleh istri DJ. Kami melanjutkan wawancara
sambil menikmati minuman yang telah disediakan.
Wawancara kedua berlangsung lebih lama. Peneliti
menanyakan beberapa hal untuk memastikan jawaban
dari hasil wawancara pertama. Pada wawancara kali
ini, DJ lebih terbuka menceritakan apa yang dialami
dirinya dan keluarganya ketika harus merawat BB.
Seperti halnya wawancara sebelumnya, DJ menjawab
pertanyaan dengan sangat tenang, dan dengan nada
suara yang tegas. Beberapa pertanyaan terkait apa yang
biasa dilakukan BB sehari-hari dijawabnya sambil
tertawa.
Ketika peneliti menanyakan mengenai
perasaannya terkait dengan memiliki anak yang
mengecil. Sambil tertunduk dan sedikit tertawa kecil,
DJ mengatakan bahwa ia sedih dan hanya bisa tetap
memohon kepada Tuhan. Sedangkan, untuk pertanyaan
selanjutnya mengenai apa yang biasa BB lakukan
dalam kesehariannya, tiba-tiba dijawab ia dengan
volume suara yang kembali meninggi. Beberapa kali
DJ mengeluh mengenai BB yang tidak ingin
melakukan banyak hal, padahal ia telah menyarankan
bahkan mengajak BB untuk bersama-sama melakukan
kegiatan-kegiatan yang menurut DJ mudah untuk
dilakukan.
Pada wawancara ketiga, yaitu tanggal 29
September 2012, pukul 13.10 – 14.00 WIB, partisipan
terlihat kurang bersemangat dalam menjawab beberapa
pertanyaan yang diberikan. Tidak seperti wawancara ke
dua, partisipan hari itu terlihat lebih diam. Pada saat
wawancara, peneliti sempat bertanya mengenai
tindakan atau perilaku DJ ketika ia sedih karena
melihat tingkahlaku BB. DJ pada saat itu hanya
menatap keluar sambil menjawab pertanyaan yang
diajukan peneliti, beberapa kali DJ melihat ke arah
peneliti dan terlihat dengan jelas mata DJ yang
berkaca-kaca ketika mengatakan bahwa ia hanya bisa
berpasrah kepada Tuhan sambil tetap berharap akan
ada perubahan dalam diri BB.
Selanjutnya pada saat menjawab pertanyaan
membantu BB, partisipan hanya mengeluh karena
merasa jemu dengan sikap BB yang tidak juga berubah.
Hal ini dikatakannya sambil menggelengkan kepala
dan sesekali menarik napas panjang. Setelah cukup
banyak bertanya, peneliti memutuskan untuk
mengakhiri wawancara pada sore itu, karena
menimbang kondisi DJ yang tidak begitu aktif dalam
menjawab pertanyaan seperti wawancara-wawancara
sebelumnya. Peneliti menduga hal ini dikarenakan DJ
masih merasa lelah karena baru saja kembali bekerja
dari ladang.
3. Analisis verbatim
Analisis verbatim P1W1
Makna Verbatim
Marah sebagai emosi
yang menonjol pada saat
kambuh.
Ya, pertama dulu sering
marah. (P1W1 28)
Kambuhnya yah
marah-marah. (P1W1 42)
Cara untuk bisa membawa
penderita berobat adalah
dengan membohongi dan
merayu penderita
Tapi kalo saya antar ke sana
ditipu kok. Kalo apa adanya
gak mau. Jadi harus dibujuk
rayu baru mau (P1W1
42-44)
Ibu berperan dalam
memberikan dukungan ke
Oh biasa ibu. Kalo ke rumah
penderita untuk pergi ke
rumah sakit.
mau. Kalo ke solo itu,
ibunya yang merayu. Tapi
kalo udah agak sehat ke sana
biasa dengan saya. (P1W1
48-49)
Ciri yang ditunjukkan
oleh penderita ketika
keadaannya membaik
adalah mau diajak ke RSJ
dengan menggunakan
sepeda motor.
Tapi kalo udah agak sehat ke
sana biasa dengan saya. Kalo
pas keadaannya baik, naik
sepeda motor itu berani
kemana-mana itu. Pas
keadaannya agak normal
(P1W1 50-52)
Ciri lain yang penderita
ketika kondisinya
membaik adalah nafsu
makan yang besar dan
emosi gembira yang
ditunjukkan, sedangkan
dalam kondisi kambuh,
penderita terlihat sedih.
Pokoknya kalo jajannya
banyak, kalo makannya
banyak itu agak normal. Yah
makannya banyak, ada
orang odong-odong datang
itu jajan gembira. Tapi kalo
gak kelihatannya sedih.
(P1W1 54-58)
Aktivitas yang dilakukan
oleh penderita ketika
penderita dalam kondisi
yang tidak kambuh.
Ya anu, nyapu, kulaan
dagangan, kulaan bensin
mau kok. Kulaan itu senang
tapi setelah kulaan, yah
jajan, beli es, ya
(P1W1 61-63)
Partisipan dan istrinya
membiayai perawatan
anaknya.
Yah saya yang biayai
perawatannya sama ibu.
Disini sudah ringan kok, anu
periksanya 50ribu. Obatnya
yah ringan, 150 rata-rata
(P1W1 65-69)
Keaktifan dalam bekerja
pada penderita dalam
kondisi yang sedang tidak
kambuh berdampak pada
sedikitnya jumlah obat
yang harus dikonsumsi.
Yah, jatah satu bulan bisa
untuk dua bulan. Soalnya
kalo dia mau kerja siang,
malam tidak perlu makan
obat. Nanti udah tidur
sendiri kok. Otomatis itu.
Tapi kalo siangnya itu kerja
tidak banyak, obatnya yang
banyak gitu. Intinya, kalo
kerjanya banyak, obatnya
dikit, biayanya ringan.
Hanya makannya juga
banyak. (P1W1 73-78)
Partisipan berperan dalam
memenuhi kebutuhan
sehari-hari penderita.
Iya, saya yang layani, yang
ngontrol kebutuhannya.
Uangnya ambil sendiri di
warung (sambil tertawa)
(P1W1 80-82)
pengarahan dan dilibatkan
dalam melakukan
kegiatan berdagang
namun hal tersebut tetap
dikontrol oleh P.
termasuk caranya kulaan.
Pembeliannya sekian,
jualnya sekian. Disitu sudah
saya tulis, saya beritahu juga
untuk mengecek jujur
tidaknya. (P1W1 86-88)
Partisipan berperan dalam
mengontrol konsumsi obat
penderita, karena
penderita tidak mampu
mandiri dalam mengatur
jadwal untuk minum obat.
Iya, kalo untuk minum obat,
saya kontrol terus obatnya.
(P1W1 94).
Yah kalo tidak dikontrol,
seenaknya sendiri. Kecuali
makan, lauk pauknya tidak
usah dikontrol. (sambil
tertawa). (P1W1 99-100)
Ibu mempunyai
keterbatasan waktu dalam
mengurus penderita.
Kalau ibu tidak, gak sempat,
harus masak, cuci, apalagi
mertua saya disini, ngurusi
orang tua. (P1W1 96-97)
P berendapat bahwa
beban kuliah yang berat
menjadi salah satu
penyebab munculnya
penyakit.
Cita-citanya dulu teknik
kimia, tapi tidak kuat.
Setelah itu disuruh istirahat
dulu 2 tahun tidak mau.
Ikutan teman, tapi tidak
ngukur kemampuannya
sendiri. (P1W1 105-107)
memilih jurusan yang
sesuai kemampuan
penderita, namun
penderita mengabaikan
arahan tersebut.
tapi diarahkan angel. Kimia
tidak kuat kemudian
diarahkan oleh kiai dari
adiknya ibu supaya istirahat
2 tahun, tidak mau kok
(P1W1 107-109)
P bermaksud melibatkan
penderita untuk
beraktivitas, namun
penderita tidak memiliki
minat untuk melakukan
kegiatan tersebut.
Tidak mau ikut kegiatan
apapun dia (P1W1 111).
Yah, kalo saya ke ladang
saya ajak tapi dia tidak mau
(P1W1 116)
P merasa jenuh dalam
menyarankan penderita
untuk melakukan
aktivitas.
Oh nyaranin ikut kegiatan ini
itu, sampai jemu. (P1W1
114)
P tidak memaksa
penderita untuk
melakukan kegiatan untuk
menghindari konflik yang
dapat terjadi.
Oh kalo dipaksa malah anu
repot. Mau yah ikut, tidak
mau yah ga ikut (P1W1
122-123)
Kekhawatiran P terhadap
penderita ketika penderita
berpergian, membuat P
memberikan arahan
Oh diberitahu, jalan
belakang, kalo lewat jalan
besar gak mau kok. Gak
mengenai jalan yang
dapat dilewati.
Semarang simnya diambil
polisi. (P1W1 134-136)
Pengalaman penderita
yang pernah melanggar
peraturan lalulintas karena
jalan pemikirannya yang
kurang rasional.
Pikirannya udah goyang, ada
lampu merah nekat kok.
Kalo sekarang udah mulai
normal (P1W1 136-137)
Dalam kondisi yang
membaik (tidak kambuh),
penderita mampu
melakukan aktivitas
berdagang.
Yah iya, kulaan dagangan itu
bisa. Tapi kalo udah agak
normal (P1W1 139)
Keluarga memberikan
pengarahan dan
mendorong penderita
untuk beraktifitas atau
melakukan suatu
pekerjaan di rumah pada
saat penderita dalam
kondisi baik.
Yah nyatat, kalo ada yang
beli terus utang, ditulis
semua. Kalo dia lagi
pikirannya normal, saya
suruh ke toko, kulaan
dagangan, tapi kalo gak yah
gak. Biasanya saya juga
sarankan nyapu, terutama
ibunya. Kalo gak gitu yah
gak mau. Gak mau bangun
kalo gak dibangunin (P1W1
145-149)
P merupakan sosok yang
ditakuti oleh penderita.
Yah, saya bilang, dia agak
(P1W1 151)
P menasehati penderita
dengan menunjukkan
kemarahan, namun hal ini
dibatasi agar tidak terjadi
konflik yang besar antara
keduanya.
Oh pernah marah banget
saya waktu dulu. Yah saya
batasi marahnya makanya,
supaya nanti tidak ada
dendam. Ya toh, soalnya
pikirannya udah terganggu.
(P1W1 153-156 )
Penghargaan yang
diberikan oleh keluarga
jika penderita melakukan
hal yang baik.
Misalnya kalo kerjaannya
baik yah diberi hadiah,
kayak permen dan
sebagainya. (P1W1 168-169)
Pemberian nasehat dengan
tidak menunjukkan sikap
marah karena
menghindari konflik yang
akan menyusahkan P dan
keluarga.
Kalo dimarahin malah repot
nanti. Lah kadang-kadang
saya ajak kemana gitu juga
ikut. Kadang gak juga
(P1W1 169-170)
Keluarga mendorong
penderita untuk meniru
hal yang baik dari anggota
keluarga lain.
Yah itu kasih contoh
keluarga sendiri, dibilangin
biar lihat kakaknya yang
berhasil, adiknya juga sudah
Analisis verbatim P1W2
Makna Verbatim
Keluarga mengarahkan
penderita untuk berhenti
sekolah sementara waktu,
namun penderita
mengabaikan arahan
tersebut.
Dia sakit, terus disuruh
istirahat dulu, nda mau.
Terus keluar, sekolah lagi
katanya saudaranya di
semarang, disuruh
istirahat 2 tahun dulu,
tidak boleh sekolah dulu
biar pikirannya tenang.
Dia tidak mau, kemudian
beberapa bulan ikut itu,
aduh namanya apa. Masuk
perguruan tinggi namanya
apa itu loh (P1W2 7-11)
Nasehat untuk beristirahat
setelah pasca perawatan
dari keluarga diabaikan
oleh penderita yang ingin
mengaktualisasikan
dirinya dalam dunia
pendidikan.
Iya sakit, disuruh istirahat
tidak mau, terus beberapa
bulan melu testing lagi ke
perguruan tinggi negeri
(P1W2 16-17)
Pemikiran yang sering
berubah-ubah atau tidak
konsisten serta
kebingungan menjadi
Ya anu, sering bingung itu
loh. Pokoknya
pemikirannya
gejala yang ditunjukkan
penderita
Keadaan dan kegiatan
penderita pada saat di
salah satu RSJ di Solo
2 kali yah, di opname. Di
solo itu yah dicampur itu
sama orang seng anak
yang tidak sekolah, yang
sekolah sd, smp, sma,
perguruan tinggi
dicampur. disana itu tidak
dilatih, dibiarke tidur,
repot toh (P1W2 36-40)
Perawatan di rumah sakit
dipilih keluarga sebagai
cara untuk memulihkan
penderita yang sering
menunjukkan gejala
bingung di rumah.
Rawat jalan dulu di
rumah. Udah di rumah
jadi bingung, akhirnya
diopname sampai
kira-kira 2 bulan (P1W2
47-48)
Ada penanganan yang
lebih baik yang diberikan
oleh salah satu psikiater.
Kalo dengan bu A iya,
perbedaannya banyak.
Kalo bu A itu misalnya
cara menangani dan
memberi perhatian ke
orang sakit itu (P1W2
52-54)
Penderita mencoba
mengaktualisasikan
Bar loro, durung di
dirinya dengan berusaha
melanjutkan studi serta
mengikuti
pengajaran-pengajaran agama, namun
penderita tidak mampu
untuk melanjutkan
pilihannya tersebut.
pendaftaran, dia tes,
masuk. Setelah itu sekolah
fkip, kemudian ikutan
pengajian juga yang aliran
keras. Terus ga kuat
ajarannya, ga kuat
sekolahnya, yah jadi
bingung toh. Sarafnya itu
udah renggang (P1W2
59-63)
P membandingkan
kebiasaan anak-anaknya
di rumah, dan salah satu
kebiasaan penderita
sendiri sebelum sakit yaitu
menghindari
kegiatan-kegiatan di luar rumah.
Lah anak yang nomor 1
itu kuat yang terakhir ya
kuat kok, hanya yang
nomor 2 ini yang ga kuat.
Soalnya mereka itu ikutan
kegiatan apa-apa. Ikut
karate, hanya BB yang ga
mau ikut apa-apa, ga mau
kerja apa-apa, jadinya
kayak gitu. (P1W2 64-68)
Penerapan pola asuh yang
berbeda oleh P terhadap
adik penderita (anak P
yang ketiga) setelah
melihat kondisi penderita
yang menderita gangguan
Berhubung anak saya
yang nomor dua kayak
begitu, jadi anak saya
yang nomor 3 itu saya
suruh ukur
jiwa. sekolah, jangan ikutan
konconya. Terus aku ajak
kulaan, ke pasar. Saya
latih biar ga malu kayak
kakaknya ini. Sejak dulu
kan ga ada kerjaan
(P1W2 68-72)
Biaya pengobatan yang
mahal menjadi salah satu
masalah yang dialami
keluarga dalam merawat
penderita di rumah.
Iya balik Solo, tapi
obatnya mahal. Di sana
itu 1 minggu habisnya 2
juta loh. Iya, mahal itu di
Solo. Tiap bulan yah
rawat jalan yah mahal
banget itu. Obatnya itu
dulu pertama habisnya 30
ribu, jaman dulukan itu
mahal. Sekitar tahun 91
itu. Berat kok ongkosnya
itu (P1W2 85-93)
P mencari informasi
mengenai psikiater yang
dapat menangani
perawatan anaknya.
Dulu anu, disitu ada yang
sering berobat ke sana.
Jadi mereka memberi tahu
toh. Ya, ketemu bu A
(psikiater) (P1W2 99-102)
Ada perubahan perilaku
penderita ke arah yang
Oh ga diopname, hanya
lebih baik soalnya sekarang udah
mau disuruh. Dulukan ga
mau (P1W2 106-107)
Pemberian saran oleh
psikiater kepada keluarga
terkait konsumsi obat
penderita.
Iya sebulan. Tapi bu A
pernah berkata kalo waktu
siang banyak bekerja, obat
tidurnya tidak usah di anu
tidak usah diminum. Jadi
kalo siangnya sudah kerja
sudah rajin bekerja tidak
perlu dikasih obat. (P1W2
110-113)
Partisipan/keluarga
melibatkan penderita
untuk melakukan
pekerjaan rumah
sehari-hari.
Ya belum, setelah saya
bilang baru lakukan.
Buang sampah, kalo saya
suruh saja. Ya jaga
warung. Kalo dia jaga
dibayar pake uang 50an,
masih bingung balikin.
Dia itu ga mau terima
uang yang sobek, yang
jelek, yah ada baiknya
juga sih (P1W2 128-130)
Pemberian obat,
melibatkan penderita
untuk beraktifitas dan
Ya anu, disuruh bekerja
itu menurut
memberikan pengarahan
sebagai salah satu cara
yang digunakan dalam
menangani penderita.
Seperti buang sampah itu.
(P1W2 134-135)
Pemberian obat menjadi
pilihan yang diambil P
bagi penderita daripada
menasehati, karena
menghindari konflik yang
akan menyusahkan P dan
keluarga.
Tapi saya juga beri obat
setelah itu tidur dia. Kalo
diomongin yah angel itu.
Jadi saya kasih obat saja
diberitahu susah, kalo
dibilangin malah repot.
(P1W2 135-137)
Psikiater memberi
pengaruh baik dalam
pemulihan penderita.
Mau, sudah diberitahu
sama bu A kok. Jadi
pengaruhnya bu A itu baik
terhadap orang sakit itu.
(P1W2 142-143)
Berbicara sendiri,
kecenderungan untuk
mudah marah, dan
pemikiran yang terganggu
merupakan perilaku yang
ditunjukkan oleh
penderita.
Ga, paling hanya
ngomong-ngomong
sendiri aja. Kalo marah
sudah jarang itu. Kalo
sudah gitu dikasih obat
saja supaya ga marah.
Kalo diberitahu yah ga
masuk kok ke pikirannya.
Diberitahu pikirannya
(P1W2 150-153)
Ada perasaan sedih dan
bingung yang dialami oleh
keluarga penderita.
Oh iya, sedih. ini sudah
jatah. Jatah dari Tuhan
(sambil tertawa) sudah
jatah dari Tuhan ini. yah
kadang mumet saya.
(P1W2 161-162)
Pemberian nasehat dan
obat oleh P kepada
penderita ketika penderita
mulai kambuh.
Yah diberitahu toh dengan
kata-kata lunak, terus
diobatin tadi udah. Ya
kasih tau ini obatnya dari
bu A, harus diminum
(P1W2 165-168)
P melibatkan anggota lain
untuk mendukung
pemulihan penderita
dengan memberikan
pekerjaan sesuai dengan
kemampuannya.
Biasanya saya libatkan
adeknya atau kakaknya,
gitu aja. Dulu dikasih
kerja sedapatnya. (P1W2
178-179)
P mengalihkan kemarahan
penderita ke aktivitas
yang dapat dilakukannya,
namun perhatian dan
minat dalam mengerjakan
aktivitas tersebut cepat
beralih.
Oh dulu iya, marah tapi
saya beritahu yang
lunak-lunak. Misalnya kalo ada
kesempatan saya alihkan
untuk mengerjakan hal
lain. Seperti mengetik
ketik. Tapi baru beberapa
hari udah ogah kok. Udah
gak mau ngetik lagi pakai
mesin ketik itu (P1W2
185-190)
Aktivitas penderita saat
membaik di rumah tetap
dikontrol P, sehingga
penderita tetap konsisten
terhadap pekerjaan yang
telah dipercayakan
kepadanya.
Yah anu, di rumah itu,
kulaan dagangan pakai
sepeda motor. Yah kulaan
dagangan yang lain, yah
pekerjaan rumah, yah
nyapu, tapi kalo gag
diperintah yah gag mau.
Kalo gag dikasih tahu yah
tidur lagi. Iya, lah
tugasnya menutup pintu
warung kalo udah malam,
yah kalo tidak diperintah
yah di kamar terus. Lebih
banyak di kamar dia
(P1W2 197-205)
Salah satu kehilangan
minat penderita untuk
bekerja, menurut P adalah
karena kurangnya
keterlibatan penderita
dalam kegiatan-kegiatan
Lah ini karna di Solo ga
diberi ladang kerja jadi
tidur makan, tidur mandi.
Keterusan sampai rumah
pada saat penderita
menjalani perawatan di
RSJ.
Ketakutan P akan
terjadinya suatu masalah
atau konflik ketika
penderita keluar rumah
terlalu lama.
Saya yah takut, pikirnya
dia diapakan orang,
ternyata mampir
tempatnya teman (sambil
tertawa). Lah pakai motor
tidak bawa surat itu loh
kalo ketangkap yah repot
saya (P1W2 210-213)
Adanya upaya untuk tetap
sabar yang dimiliki oleh
keluarga dalam
mendukung pemulihan
penderita.
Yah diberi tahu lagi, habis
gimana lagi, hanya bisa
beritahu dia. Kalo ga
sabar yah susah sendiri
(sambil tertawa) gitu.
Apalagi dia sakit jiwa toh.
(P1W2 219-221)
Penderita mengalami
penurunan daya ingat.
Oh sering, lebih banyak
lupanya, jadi harus
diingatin. Dari 10 kali yah
yang tidak lupa satu kali
(sambil tertawa).
Ingatannya udah agak
turun itu. (P1W2 226-228)
tanggung jawabnya
sebagai orang tua berat.
seperti itu yah berat
(P1W2 230)
P mencoba memfasilitasi
penderita yang memiliki
keinginan untuk kembali
bersekolah, dengan tetap
mengarahkan pemilihan
jurusan yang lebih mudah
daripada teknik.
Yah saya tahu dia pengen
sekolah lagi tapi sudah
terlanjur putus syarafnya
yah repot. Saya tuh suruh
yang rendah dulu jangan
yang tinggi-tinggi kayak
teknik itu kan repot
(P1W2 233-235)
Usaha partisipan/keluarga
untuk terus memberikan
saran dan pengarahan
kepada penderita.
Saya menyarankan hampir
tiap hari tapi tidak masuk
sini kok (sambil
menunjuk ke kepala).
Kadang saya beri saran 10
kali, hanya 1 kali yang
masuk disini (menunjuk
ke kepala) (P1W2
249-251)
Perasaan sedih dialami
oleh keluarga penderita,
karena harus menerima
keadaan atau nasibnya.
Yah sedih, mau gimana
lagi. Sudah jatahnya yah.
(P1W2 254)
Kondisi penderita terlihat
membaik dalam hal
menangkap informasi
Yah komunikasi tetap
sering itu, tapi sukar
yang diberikan oleh P baik. Sekarang udah agak
mudeng. Udah agak
mudah dibilangin. Dulu
angel kok (P1W2
273-275)
Ada dorongan dari
keluarga bagi penderita
untuk melakukan
pekerjaan demi pemulihan
penderita.
Yah saran untuk banyak
kerja, sehingga
penyakitnya berkurang.
Terus obatnya berkurang.
Iya, sering saya lakukan,
saya suruh BB kerja toh.
Tapi kalo ke ladang, gak
mau. Yang disenangi aja
dilakukannya. (P1W2
281-285)
P dan penderita jarang
melakukan komunikasi,
jika tidak begitu penting
hal yang ingin
dibicarakan.
Aduh, jarang itu ngobrol,
tidak pernah. Seperlunya
aja (P1W2 297)
Kesulitan P dalam
memberikan saran kepada
penderita karena kesulitan
penderita dalam menerima
saran-saran tersebut.
Yah sesekali aja. Kalo
saya ngomong 10 kali
yang diterima 1 tok
(P1W2 302)
penurunan daya ingat udah lupa misalnya
menutup pintu, kalo tidak
diberitahu yah sampai
malam tidak ditutup.
Iya toh, dia itu tidak
berubah, pikirannya tidak
menerima kalo dibilangin
(P1W2 307-310)
Penderita hanya
melakukan hal yang
diminati.
Iya, sering saya lakukan,
saya suruh BB kerja toh.
Tapi kalo ke ladang, gak
mau. Yang disenangi aja
dilakukannya. (P1W2
312-314)
Partisipan menyadari
perbedaan antara anaknya
yang menderita sakit dan
anaknya yang lain.
Kalo anak saya pikiran
lancar jadi tidak perlu
diberitahu, kalo yang ini
kan diberitahu tapi gak
mau denger, malah baca
koran terus kerjaannya,
kalo yang nomor 1 yah
rajin, kalo yang kecil juga
ranking 1 terus kok. Ini
yang nomor 2 lebih
istimewa, jadi agak diatur
Upaya P dalam
memberikan reward kepada penderita agar
penderita termotivasi
dalam mencari pekerjaan
yang sesuai
kemampuannya.
Ya saya tetap beritahu,
tapi dengan kalimat yang
lunak-lunak. Misalnya
besok kalo udah punya
anu kalo kerjaannya sudah
baik ajak piknik misalnya,
ke tempat siapa saya ajak
(P1W2 323-326)
Penurunan daya ingat
membuat penderita sulit
bertanggung jawab
terhadap suatu hal.
Yah iya, tapi menerima
saja. Biasa baru dikasih
tau seketika udah lupa.
Semisal dirumah piring
udah bersih, terus dipakai,
kalo tidak dibilang yah
tidak dicuci kok (P1W2
343-345)
P merasa jenuh dan
kesulitan dalam
memberikan nasehat dan
petunjuk karena
keterbatasan kemampuan
kognitif penderita dalam
menerima informasi dan
memberikan respons yang
tepat.
Yah, udah dibilang
sampai jemu sendiri.
Diberitahu sekarang nanti
udah lupa kok. Yah
repotlah. Disini kan
(sambil tunjuk kepala)
ingatannya udah tidak
sampai. Katanya bu A
kalo disini sudah tidak
Ditanya A sering jawab B.
Kemana, misalnya ke
utara jawabnya ke selatan.
Misalnya begitu.
Kerjaannya apa? Belum
bekerja tapi katanya udah
bekerja. kalo ditanya udah
urut yah baik, tapi
kadang-kadang tidak urut.
(P1W2 348-355)
Penderita hanya
melakukan pekerjaan yang
dikehendakinya.
Ya iya, kalo tidak sesuai
keinginannya tidak mau.
Umpama disuruh kasih
makan burung itu, nda
mau. Bukan kehendaknya
sendiri (P1W2 348-355)
Adanya perubahan
perlakuan terhadap
penderita oleh salah satu
anggota keluarga (anak
ketiga P) setelah
memahami kondisi
penderita
Oh ya dulu, sekarang
udah tidak pernah.
Sebelum Yusuf bekerja
itu yah sering marah. Yah
itu kan belum tau kalau
masalah itu begini-begini.
Setelah Yusuf sudah saya
beritahu, terus dia juga
udah mulai bekerja,
pikirannya. Tidak
menghiraukan. Malah
sekarang kalo punya
oleh-oleh malah diletakkan
dimeja, BB minta yah dia
iya aja (P1W2 368-375)
Analisis verbatim P1W3
Makna Verbatim
Peran psikiater yang baik
membuat frekuensi emosi
marah penderita
berkurang
Yah waktu belum ke bu A
yah iya marah-marah,
sekarang udah gak (P1W3
10-11)
Upaya yang dilakukan P
adalah membawa
penderita ke RSJ ketika
menunjukkan gejala
bingung, namun hal
tersebut melibatkan peran
ibu dalam merayu
penderita untuk mau pergi
berobat.
Iya, saya bawa ke Solo
itu, karena bingung terus.
Tapi dia gak mau, jadi
diberi nasehat oleh ibunya
baru mau dia. Yah terus
pake motor ke sana.
Kadang pakai bis (P1W3
19-21)
P menyadari perlakuan
terhadap anaknya dengan
memukul kurang tepat,
sehingga adanya
Yah saya kerasi sungguh.
Sekarang tidak. Yah
pernah mukul, tapi saya
perubahan perlakuan pada
saat ini.
kepala. (P1W3 33-34)
Perasaan dan kesulitan
yang dialami keluarga
dalam merawat penderita.
Yah, saya rasa repot.
Pikiran saya. Diberitahu
sekali malah seketika yah
taat. Misalnya nunggu
warung sebentar, setelah
itu keluar pergi jajan.
(P1W3 45-47)
P berusaha menerima
keadaan yang dialaminya
dan keluarganya
Yah anu, jatahnya sudah
begitu. Perubahannya
hanya sedikit. Yang
penting dia gak ke
mana-mana itu loh. Kalau ke
mana-mana ya repot. Dulu
pernah ke Semarang
sendiri ke rumah kakak
saya. Yah kakak saya
telpon beritahu (P1W3
54-57)
Membawa penderita ke
psikiater dan berdoa
adalah upaya yang
dilakukan keluarga dalam
merawat penderita.
Yah paling-paling saya
bawa ke dokter A itu.
Setelah itu yah tetap
permohonan sama Tuhan
itu tetap ada. Selain bawa
di Atas. Tapi
perbandingan ke yang
dulu, dulu sering pergi
jauh-jauh, sekarang tidak.
(P1W3 60-63)
Permohonan P kepada
Tuhan untuk
menyembuhkan anaknya.
Yah, saya minta
permohonan kepada
Tuhan supaya ada
perbaikan atau kalau bisa
sembuh. Hanya kalau ada
perubahan sedikit-sedikit
udah senang aku (P1W3
72-74)
Sikap pasrah P dan pilihan
untuk berusaha tetap
senang dalam merawat
penderita.
Yah udah ada perubahan
sedikit. Yah senang tidak
senang saya buat senang
soalnya anak kan tidak
hanya satu (P1W3 76-77)
Ketidakmampuan
penderita untuk
berinisiatif melakukan
pekerjaan di rumah
merupakan kesulitan yang
dihadapi keluarga.
Yah disuruh kadang mau
kadang tidak. Misalnya
pagi disuruh buang
sampah itu tidak mau.
Maunya siang, tapi kalo
siang ya kadang dibuang,
kadang tidur. Mencuci
diperintah yah satu kali
dua kali, terus lain kali
sudah tidak mau lagi. Jadi
semua harus saya atau ibu
perintah dulu (P1W3
80-84)
Keluarga merasa kasihan
berkaitan dengan kondisi
dan keterbatasan
penderita.
Yah saya kasihan dia
kemampuannya terbatas.
Yah diberitahu satu dua
setelah itu lupa kok
(sambil tertawa). Yah,
saya kasihan, anak
soalnya kok (sambil
tertawa) (P1W3 86-88)
Keluarga berusaha
melibatkan penderita
dalam kegiatan
kerohanian.
Yah sering saya ajak ke
mesjid, kadang-kadang
mau, kadang-kadang
tidak. Kalau mau yah
datang, udah siap-siap
sebelum ke mesjid, tapi
kalo pas tidak mau yah
tidur. (P1W3 92-94)
Penderita pernah mencoba
bekerja di bagian
pemasaran barang setelah
pasca perawatan pertama
Yah sekitar 3 atau 4
bulan. Dia kerja jadi
bagian promosi mesin
kali, namun terpaksa
keluar karena keterbatasan
yang dimilikinya menjadi
penghambat dalam
pekerjaannya.
bisa memasarkan barang,
kan itu harus pintar
omong. Lah pikirannya
gak nyampe kok (P1W3
102-107)
Upaya P dalam
melibatkan penderita
untuk melakukan
beberapa kegiatan dengan
pemberian reward tidak
mampu menumbuhkan
minat penderita.
Ya malah saya ajak tidak
mau kok. Umpama mau
yah saya beri uang 5000
atau berapa, tapi tetap
tidak mau. Iya, umpama
mau. Tapi tidak mau.
Saya ajak tidur ke tempat
mba e sana juga ga mau
kok (P1W3 113-117)
Biaya pengobatan
penderita ditanggung oleh
keluarga. Saat ini, ada
perasaan lega karena
adanya keringanan biaya
pengobatan.
Yah dari saya, uang
pensiun saya. Sekarang
udah mendingan, ringan
juga biayanya (P1W3
121-122)
Partisipan mendukung
pemulihan penderita
dengan berkonsultasi ke
psikiater dan
menyampaikan informasi
tersebut ke penderita.
Yah, kalau saya ke bu
dokter, kalo bu dokter
memberikan saran apa,
kadang-kadang saya tulis
itu. Saya beritahu, tapi
kok, kalo tidak diingatkan.
(P1W3 125-127)
Saran yang diberikan
psikiater kepada P dan
penderita dalam hal
perawatan penderita di
rumah.
Yah bu dokter
mengatakan kalau siang
itu rajin bekerja atau
membantu tidurnya
malam tidak usah minum
obat tidur. Obatnya
otomatis kan berkurang,
terus berkurang biayanya
(P1W3 129-131)
Partisipan melibatkan
penderita dalam kegiatan
kerohanian supaya ada
perubahan yang lebih
baik.
Yah suruh ikut ke mesjid,
jumatan. Kadang-kadang
mau, kadang-kadang
tidak. Tapi kalo saya ajak
ke mesjid itu ada
perubahan, tapi kadang
tidak mau kok. (P1W3
144-146)
P memilih untuk tidak
memaksa penderita
melakukan kegiatan yang
tidak disenanginya karena
menghindari konflik.
Tidak, dipaksa malah
kemana-mana repot.
Kalau saya ajak,
pulangnya malah nyari
jajan, yah repot. Setiap
ada warung berhenti yah
Setelah melakukan analisis wawancara partisipan, langkah
selanjutnya adalah melakukan proses kategorisasi tema, yang
mana melalui proses ini menghasilkan beberapa kategori data
partisipan pertama, yaitu :
Kategori Data P1
1 Latar belakang partisipan, keluarga dan penderita
2 Ciri-ciri atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita
skizofrenia pada saat sakit atau kambuh
3 Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia pada
ketika sudah lebih membaik
4 Persepsi P mengenai latar belakang penyebab anaknya
menderita skizofrenia
5 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika
merawat penderita
6 Perasaan keluarga dalam menghadapi dan merawat
penderita skizofrenia di rumah
7 Peran psikiater dalam merawat dan menangani penderita
skizofrenia
8 Usaha orang tua dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi ketika merawat penderita di rumah.
9 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan sosial yang
diberikan pada saat merawat penderita skizofrenia
10 Motivasi pemberian dukungan sosial oleh keluarga
kepada penderita
Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada,
maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi
kategori-kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.
4. Analisis partisipan 1
Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita
skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih
20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut.
BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum
menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang
tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar
rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada
tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia
memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun
relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam
tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab
munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan
sendiri.
Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok
pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam
menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di
rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan
istri yang selalu menemani penderita baik pada masa
rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini
masih rutin dilakukannya.
Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita
dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif
terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini
ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan
informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola
pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari
ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons
yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan
orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan
untuk berbicara sendiri.
Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan
reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol.
Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap
orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan
untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam
kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri
penderita.
Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang
menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan
suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan
melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga,
penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai
macam kegiatan.
Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita,
ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita
mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi
emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan
pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu,
dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering
mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan
pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki
nafsu makan yang bertambah.
Partisipan yang adalah ayah penderita menduga
bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga
merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri
dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu
perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan.
Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya
penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi
penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri
memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang
lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis
ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.
Selama merawat penderita dengan berbagai usaha
yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari
beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan
tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan
yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan
untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-,
belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan
bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang
lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah
Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak
murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya
sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya
partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-.
Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang
dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan
dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam
mengingat dan memaknai setiap informasi yang
diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan
penderita, karena pemikiran yang kacau serta
ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik,
juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi
pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya
adalah kesulitan partisipan bersama istri dalam
menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan,
dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang
mandiri.
Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang
menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita,
maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara
sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita
sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu
upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara
membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah
Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan
biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di
dekat rumahnya.
Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang
secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga
adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita,
mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan
reward, dukungan secara finansial bagi keinginan penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam
suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu
aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah.
Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita
untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual
kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu,
kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin
lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam
dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian,
penderita memiliki kecenderungan untuk menolak
tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut.
Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di
dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan
aktivitas yang dikehendakinya.
Selain dukungan nyata dalam berupa materi
tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada
penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang
diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik.
Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk
memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa,
pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih
banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan
waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar.
Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin
kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan
Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan
jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik
yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh
penderita.
Dukungan secara emosional dan penghargaan yang
diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga,
namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah.
Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian
keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan
pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi
obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun
cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih
mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas,
melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti
yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya,
melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah
caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada
penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang
lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita.
Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya
dengan menjanjikan akan memberikan reward berupa permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan
kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan
dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan
dengan mengijinkan penderita untuk melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi,
penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya
karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut,
penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali
dirawat di RSJ.
Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang
diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian
dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama
kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal
ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita
yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun,
hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa
bulan berkuliah. Penderita kembali mengalami
kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk
menjalani perawatan intensif di RSJ.
Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang
kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan
penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan
kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung
jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu
terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun,
sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang
konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola
warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita
yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada
kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada
masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang
dipercayakan kepadanya.
Selain dukungan secara langsung yang diberikan
partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun
dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada
penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk
mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut
berupa penyediaan waktu untuk mencari
alternatif-alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi
dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh
keluarga selama merawat penderita pasca perawatan.
Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati
anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam
mendukung penderita selama menjalani masa pasca
perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik
oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba
memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita.
Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam
menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada
akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota
keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka
mengenai kondisi penderita.
Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga
yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam
hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki
peran yang sangat membantu dalam mengarahkan
keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai
aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak
memarahi penderita ketika penderita melakukan
kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan
saran yang baik kepada penderita serta melibatkan
penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini,
partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran
yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah
anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke
arah yang lebih baik.
Dalam semua keterbatasan penderita dan
kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini,
partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan
cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti
telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa
motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah
menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri.
Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif
pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk
sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh
penderita.
Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam
keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota
keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah
kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti.
Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak
jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi
anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut.
Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan
perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif
dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini
ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah,
serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan
beberapa pekerjaan rumah yang ringan, seperti
membersihkan rumah dan membantu menjaga warung
yang dimiliki keluarganya.
2. Partisipan 2
a. Gambaran umum partisipan 2
Nama : A
TTL : 31 Mei 1977
Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
A adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara. Pada saat ini, A
tinggal bersama istri dan anaknya yang pertama. Sedangkan
anak kedua A tinggal bersama mertua A di Kota
Purwokerto. Ayah A adalah seorang pensiunan guru, yang
kesehariannya menyibukkan diri di ladang. Sementara Ibu
A, yang benama S adalah seorang penderita skizofrenia
yang pada saat ini sedang menjalani masa pasca perawatan
di rumah dan tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu,
partisipan sehari-hari bekerja sebagai agen di salah satu
surat kabar yang ada di daerah Boyolali. Istri A juga
membantu A dalam menekuni pekerjaannya tersebut.
Partisipan menyelesaikan pendidikan SMAnya di
Boyolali. Kemudian ia merantau ke Jakarta, dan bekerja di
beberapa perusahaan swasta sekitar tahun 1996 hingga
2008. Setelah itu, partisipan melanjutkan perantauannya ke
Purwokerto dan menetap di sana selama kurang lebih 2
tahun.
Saat ini A memutuskan tinggal di daerah Boyolali
dengan alasan karena kedua orang tuanya hanya hidup
berdua saja dan usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, A
juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sering
kambuh dan harus beberapa kali dimasukkan ke RSJ atau
Panti rehabilitasi Mental. Keputusan partisipan ini
didukung oleh istrinya, sehingga mereka juga memilih
tuanya. Hal ini untuk memudahkan A dalam mengontrol
konsumsi obat untuk ibunya dan juga menjaga ibunya
ketika ibunya mulai menunjukkan gejala yang aneh.
Hingga saat ini A masih membawa ibunya untuk
melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh psikiater terdekat.
b. Laporan observasi selama wawancara
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 17
Desember 2012, pukul 10.18-11.48 WIB. Pada saat itu
peneliti dan partisipan telah mengadakan kesepakatan
mengenai jadwal wawancara melalui telepon. Saat peneliti
tiba di rumah partisipan, partisipan sedang duduk di teras
depan rumah, sambil membereskan beberapa surat kabar
yang menumpuk di bawah salah satu meja yang berada di
teras rumah tersebut.
Pada saat kedatangan peneliti ke rumahnya, partisipan
menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan
peneliti duduk di teras tersebut. Karena kondisi rumah dan
beberapa pertimbangan akhirnya partisipan meminta
kesediaan peneliti untuk melakukan wawancara di teras
depan rumah tersebut. Hal ini disetujui oleh peneliti dan
akhirnya w