• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB IV"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi penyajian data penelitian dan triangulasi

data dari sumber lain mengenai dukungan sosial keluarga yang

diberikan kepada penderita skizofrenia pasca perawatan.

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada

konsep pra penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong,

2006) yaitu meliputi:

a) Penyusunan rancangan penelitian.

Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab

3 yang mencakup latar belakang, landasan teori,

metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat

pengumpul data berupa penuntun wawancara

(interview guide). b) Pemilihan lokasi

Pada tahap pemilihan lokasi, awalnya peneliti

beberapa kali melakukan survey ke beberapa rumah

sakit jiwa di daerah Solo dan Semarang, serta

beberapa panti rehabilitasi di daerah Boyolali dan

Salatiga. Dari hasil survey tersebut, peneliti

memperoleh nama calon partisipan dari panti

rehabilitasi yang ada di kabupaten Boyolali.

(2)

berkas serta tidak ada pemberitahuan selanjutnya dari

pihak rumah sakit jiwa, maka peneliti tidak

mendapatkan calon partisipan dari pihak rumah sakit.

Selain itu, dari panti rehabilitasi yang berada di kota

Salatiga, peneliti memperoleh nama calon partisipan,

namun setelah dihubungi, partisipan tidak bersedia

untuk diwawancarai. Dengan demikian peneliti

mencari nama calon partisipan berikut dari beberapa

kerabat partisipan sendiri dan pada akhirnya peneliti

menemui calon partisipan berikut di daerah Bandung.

Dengan demikian, pemilihan lokasi telah

ditetapkan oleh peneliti dengan

pertimbangan-pertimbangan seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, sehingga pengambilan data yang

dimaksud dilaksanakan di Kabupaten Boyolali dan

Kota Bandung sesuai dengan tempat tinggal

partisipan penelitian. Dengan demikian, peneliti

segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi

informan dalam penelitian ini.

c) Memilih dan memanfaatkan informan

Dalam hal ini pemilihan informan bertujuan

untuk membantu peneliti mendapatkan partisipan

yang sesuai dengan karakteristik yang akan diteliti,

yaitu partisipan yang memiliki anggota keluarga

penderita skizofrenia yang menjalani masa pasca

perawatan, tinggal bersama anggota penderita

(3)

skizofrenia pasca perawatan dengan melakukan

kontrol rutin dan pemberian obat secara rutin.

Informan pertama adalah psikiater yang

memiliki salah satu yayasan rehabilitasi mental di

daerah Boyolali. Informan berikut adalah kerabat dari

peneliti sendiri yang berdomisili di Bandung. Kedua

informan membantu memberikan informasi mengenai

beberapa partisipan yang memenuhi kriteria

penelitian. Informan kemudian menjelaskan latar

belakang partisipan serta kondisi calon partisipan

kepada peneliti. Dari 4 nama yang diajukan informan

pertama, peneliti memutuskan untuk memilih 2 nama

partisipan dikarenakan hanya 2 keluarga tersebut yang

bersedia untuk diwawancarai. Sementara dari

informan kedua peneliti diperkenalkan dengan satu

keluarga yang merupakan tetangga informan sendiri.

Oleh karena topik penelitian yang diangkat

peneliti dirasa sangat sensitif, sehingga kedua

informan merasa perlu untuk melakukan pendekatan

dengan partisipan terlebih dahulu sebelum

dipertemukan dengan peneliti. Setelah kedua informan

melakukan pendekatan dan merasa partisipan cukup

nyaman, kemudian mereka memberikan informasi

alamat partisipan dan peneliti sendiri yang mendatangi

partisipan di tempat tinggalnya masing-masing.

d) Mengurus perijinan

(4)

cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari

fakultas, dikarenakan partisipan merasa tidak

membutuhkan surat tersebut.

e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan

Tahap ini dilakukan melalui perbincangan dengan

partisipan pertama, yaitu ayah dari penderita

skizofrenia, untuk partisipan kedua adalah anak dari

penderita skizofrenia, sementara itu partisipan ke tiga

adalah saudara kandung dari penderita. Perbincangan

dengan ketiga partisipan dilakukan di rumahnya

masing-masing.

f) Persiapan perlengkapan

Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat

yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data

mencakup alat perekam, alat tulis, dan notes. g) Mengetahui persoalan etika

Memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara

terbuka kepada calon partisipan, hal ini telah

dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan ketiga

partisipan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data melalui wawancara dilakukan

sebanyak empat kali terhadap partisipan pertama, tiga kali

terhadap partisipan kedua dan dua kali terhadap partisipan

ketiga termasuk triangulasi data. Pelaksanaan wawancara

(5)

2012 - Maret 2013. Partisipan pertama dan kedua adalah

keluarga yang dipilih dan disarankan oleh psikiater yang

selama ini merawat anggota keluarganya yang sakit.

Sementara partisipan yang ketiga direkomendasikan oleh

salah satu kerabat peneliti yang berdomisili di Bandung.

Oleh karena peneliti belum pernah menemui

ketiga partisipan sebelumnya, maka penjalinan rapport dilakukan dengan cara beberapa kali pertemuan terlebih

dahulu. Untuk memastikan apakah ketiga partisipan

memiliki karakteristik yang sesuai dengan penelitian,

maka peneliti melakukan perbincangan dengan psikiater

yang selama ini merawat anggota keluarga mereka yang

menderita skizofrenia dan juga kerabat peneliti yang

merupakan tetangga partisipan. Dari psikiater dan kerabat

peneliti inilah, peneliti mendapatkan alamat rumah, nomor

handphone serta gambaran singkat tentang ketiga partisipan.

Untuk partisipan pertama dan kedua tersebut,

peneliti langsung menemuinya di rumah mereka yang

terletak tidak jauh dari panti rehabilitasi mental yang

menjadi tempat pertemuan peneliti dengan informan

(psikiater). Sementara partisipan ketiga juga langsung

ditemui penleiti di kediamannya di kota Bandung. Ketiga

partisipan menerima dan bersedia untuk menjadi

partisipan dalam penelitian ini.

Pada wawancara awal (W0) peneliti sengaja tidak

(6)

membina rapport dan menghindari rasa tidak nyaman pada diri partisipan. Meski sifatnya informal, namun

ketiga partisipan sempat bercerita tentang kehidupan

anggota keluarga mereka masing-masing yang menderita

skizofrenia juga sekilas tentang hal-hal yang telah

dilakukan sebagai usaha dari keluarga untuk memberikan

penanganan yang tepat terhadap penderita. Kemudian

hasil pertemuan dan wawancara awal ini dituliskan

peneliti pada bagian observasi. Dengan demikian, laporan

verbatim wawancara awal (W0) tidak dimasukkan dalam

transkrip, namun tercantum dalam laporan observasi.

Setelah peneliti melakukan wawancara,

dilanjutkan dengan mengolah data dan mengubah dalam

bentuk transkrip (print out). Setelah melewati tahap tersebut, peneliti kemudian membuat janji dengan

partisipan untuk menyerahkan transkrip serta meminta

persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan.

B. ANALISIS

Analisis data kualitatif menurut Moleong (2010) pada

umumnya meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan

keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan. Setelah

semua data diperoleh, baik wawancara maupun hasil

observasi, maka peneliti kemudian melakukan analisis data

sesuai dengan tahapan yang telah dirancangkan sebelumnya.

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan

(7)

dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata

perkata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor (1, 2, 3, dst …) pada bagian kanan transkripsi disetiap barisnya agar memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti juga

mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan

pada saat pengambilan data berlangsung.

Setelah proses pengetikan selasai, peneliti kemudian

membaca transkrip wawancara, dan hasil observasi

berulang-ulang hingga peneliti mampu menemukan alur dan juga

menentukan tema-tema serta makna dibalik setiap kalimat

yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal

maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti

tambahkan pada bagian kiri transkrip.

Agar memudahkan dalam membaca dan menyajikan

data, maka peneliti juga memberikan kode sesuai dengan

nama dari setiap partisipan, yaitu untuk partisipan pertama

DJ, partisipan kedua A dan partisipan ketiga YU. Hal yang

sama juga berlaku bagi nama kerabat yang menjadi

triangulasi, peneliti menuliskan dengan inisial nama

keduanya.

Selanjutnya peneliti mengelompokkan data ke dalam

aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian kemudian

mencoba untuk membandingkan antara partisipan pertama,

kedua dan ketiga. Adapun hasil kategorisasi berdasarkan

(8)

C. DESKRIPSI PARTISIPAN 1. Partisipan 1

a. Gambaran umum partisipan 1

Nama : DJ

TTL : Boyolali, 8 Agustus 1938

Umur : 75 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan Terakhir : Pendidikan Guru SLP

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan Guru

Partisipan adalah seorang bapak dari tiga orang

anak yang saat ini berstatus sebagai pensiunan guru.

Partisipan tinggal bersama istri, mertua dan dua orang

anaknya di Kabupaten Boyolali. Sedangkan anaknya

yang pertama, pada saat ini berdomisili di Semarang.

Sehari-hari partisipan mencari kesibukan dengan pergi

menggarap ladangnya.

Partisipan bernama DJ. Ia memiliki seorang anak

penderita skizofrenia yang bernama BB. Pada saat ini

BB berusia 40 tahun. BB merupakan lulusan SMA

Negeri Boyolali dengan jurusan A2 dan kemudian

melanjutkan studi D3 pada salah satu Perguruan Tinggi

Swasta di Semarang, program studi teknik kimia. Masa

studi BB hanya bertahan sekitar 3 semester atau kurang

lebih satu setengah tahun. Menurut orang tua BB, hal

(9)

Perguruan Tinggi hingga selesai adalah karena BB

yang sering menunjukkan gejala bingung karena tidak

kuat mengikuti pelajaran yang diberikan oleh pihak

Universitas.

Kebiasaan BB yang mulai bingung dan juga suka

marah-marah di rumah membuat DJ menyarankan BB

untuk menjalani perawatan di RSJ Solo, namun hal ini

tidak langsung ditanggapi secara baik oleh BB, oleh

sebab itu DJ dan istrinya harus beberapa kali

membujuk anaknya tersebut untuk pergi berobat. Pada

akhirnya BB setuju dan diantar oleh DJ dan istrinya ke

RSJ Solo. Pada saat itu BB hanya dirawat jalan selama

beberapa bulan. Setelah itu BB disarankan oleh pihak

keluarga untuk beristirahat, namun hal ini tidak di

dengar oleh BB.

Setelah BB merasa pulih dari sakitnya, BB

memutuskan untuk mengikuti tes masuk Perguruan

Tinggi dan hasilnya BB diterima di program studi

FKIP Sejarah pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta

di Semarang. Selama menjalani studi di FKIP Sejarah,

BB juga aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Menurut

orang tua BB kegiatan tersebut merupakan kegiatan

yang beraliran keras dari salah satu agama. Oleh sebab

itu, BB kembali tidak kuat dalam mengikuti ajaran

agama tersebut sehingga BB kembali menunjukkan

(10)

Universitas lagi yang baru dijalaninya selama kurang

lebih 6 bulan.

Karena gejala bingung dan marah yang sering

ditunjukkan oleh BB, maka keluarga memutuskan

untuk membawa BB menjalani perawatan di RSJ Solo.

Di sana, BB menjalani masa perawatan selama kurang

lebih 2 bulan. BB telah 2 kali menjalani rawat inap di

RSJ Solo selama kurang lebih 2 sampai 3 bulan untuk

setiap kali perawatan. Pada saat ini partisipan dan

istrinya memiliki tanggung jawab penuh untuk

merawat BB dalam masa pasca perawatan RSJ dan

juga membawa BB untuk melakukan kontrol rutin ke

Psikiater terdekat.

2. Laporan observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 11

Septermber 2012, pukul 16.38 – 18.15 di rumah

partisipan. Pada saat peneliti datang, istri partisipan

yang membukakan pintu rumah dan mempersilahkan

peneliti masuk. Setelah peneliti dipersilahkan duduk,

kemudian partisipan dipanggil oleh istrinya untuk

menemui peneliti. Setelah partisipan datang, peneliti

mulai meminta ijin untuk merekam dan menjelaskan

kembali tujuan untuk datang ke rumahnya pada sore

itu.

Wawancara berlangsung di ruang tamu, dengan

(11)

Pada saat mulai wawancara peneliti mulai menanyakan

beberapa informasi umum mengenai identitas anak

yang sakit terlebih dahulu. DJ menjawab setiap

pertanyaan yang diberikan dengan tenang dan dengan

suara yang cukup tegas. Semua informasi mengenai

anak DJ yang selama ini menderita skizofrrenia di

ceritakan secara runtut, mulai dari waktu anaknya

mulai sakit.

Beberapa pertanyaan terkait awal mula sakit,

dijawab partisipan dengan sesekali tertawa. Ia

menceritakan bagaimana anaknya menunjukkan

ketidakmampuan dalam menjalani masa perkuliahan di

teknik kimia UNDIP-Semarang, sehingga hal ini

mengakibatkan kebingungan dan perasaan tertekan

yang membuat anaknya menjadi seperti ini.

Beberapa waktu lamanya ketika sedang

mewawancarai DJ, istri DJ datang sambil membawa

minuman untuk DJ dan peneliti sambil

mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu,

peneliti meminta ijin untuk kembali melanjutkan

wawancara dengan DJ. Pada saat itu istrinya tidak

langsung kembali ke dapur, melainkan duduk di dekat

pintu yang menghubungkan ruang tamu (tempat kami

melakukan wawancara) dan warung, sambil

menunggui warung tersebut.

Beberapa informasi yang ditanyakan oleh peneliti

(12)

DJ dengan bantuan istrinya karena DJ kesulitan dalam

mengingat kembali kronologis beberapa kejadian pada

saat dibawa ke rumah sakit, menjalani pengobatan di

rumah sakit, kembali ke rumah, dan sebagainya.

Selanjutnya, pada selang beberapa menit setelah

berjalannya wawancara, anak DJ yang sakit (BB)

datang dan ikut duduk di dekat kami berdua. BB

menyapa peneliti dan kemudian mengajak peneliti

bercerita, tetapi DJ kemudian menegaskan kepada BB

bahwa peneliti membutuhkan waktu untuk berbicara

dengan DJ. Selanjutnya BB tetap duduk di dekat

peneliti dan DJ dan berbicara seorang diri.

Pada saat pertanyaan yang diajukan peneliti

mengenai bagaimana BB pada awal sakit dan gejala

yang ditunjukkan, DJ menjawab dengan nada yang

mulai pelan, seolah-olah apa yang dikatakan jangan

sampai didengar oleh anaknya yang pada saat itu

duduk di situ. Selain itu, pada saat DJ sedang

menjelaskan beberapa penyebab yang diketahuinya

sebagai salah satu pemicu sakitnya BB, istri DJ

langsung ikut berbicara. Menurut istri DJ, DJ sering

memanjakan BB pada masa kecilnya. BB tidak

diperbolehkan untuk bekerja keras, karena itu pada saat

menerima tantangan dalam perkuliahan, BB menjadi

sosok yang tidak kuat, dan mengakibatkan dia menjadi

kebingungan serta terdapat gangguan pada syarafnya.

(13)

menatap ke arah luar rumah sambil terdiam dan tidak

banyak berbicara.

Setelah itu, peneliti memohon ijin kembali kepada

istri DJ untuk melanjutkan wawancara dengan DJ.

Pada saat itu istri DJ masih duduk di dekat pintu dan

beberapa menit kemudian kembali ke warung untuk

melayani pembeli yang datang.

Wawancara kedua dilaksanakan tanggal 26

September 2012, pukul 14.30 – 15.55, bertempat di

ruang yang sama seperti wawancara pertama. Pada saat

itu, DJ baru saja kembali dari ladang. Seperti

wawancara sebelumnya, peneliti dan DJ diberikan

minuman oleh istri DJ. Kami melanjutkan wawancara

sambil menikmati minuman yang telah disediakan.

Wawancara kedua berlangsung lebih lama. Peneliti

menanyakan beberapa hal untuk memastikan jawaban

dari hasil wawancara pertama. Pada wawancara kali

ini, DJ lebih terbuka menceritakan apa yang dialami

dirinya dan keluarganya ketika harus merawat BB.

Seperti halnya wawancara sebelumnya, DJ menjawab

pertanyaan dengan sangat tenang, dan dengan nada

suara yang tegas. Beberapa pertanyaan terkait apa yang

biasa dilakukan BB sehari-hari dijawabnya sambil

tertawa.

Ketika peneliti menanyakan mengenai

perasaannya terkait dengan memiliki anak yang

(14)

mengecil. Sambil tertunduk dan sedikit tertawa kecil,

DJ mengatakan bahwa ia sedih dan hanya bisa tetap

memohon kepada Tuhan. Sedangkan, untuk pertanyaan

selanjutnya mengenai apa yang biasa BB lakukan

dalam kesehariannya, tiba-tiba dijawab ia dengan

volume suara yang kembali meninggi. Beberapa kali

DJ mengeluh mengenai BB yang tidak ingin

melakukan banyak hal, padahal ia telah menyarankan

bahkan mengajak BB untuk bersama-sama melakukan

kegiatan-kegiatan yang menurut DJ mudah untuk

dilakukan.

Pada wawancara ketiga, yaitu tanggal 29

September 2012, pukul 13.10 – 14.00 WIB, partisipan

terlihat kurang bersemangat dalam menjawab beberapa

pertanyaan yang diberikan. Tidak seperti wawancara ke

dua, partisipan hari itu terlihat lebih diam. Pada saat

wawancara, peneliti sempat bertanya mengenai

tindakan atau perilaku DJ ketika ia sedih karena

melihat tingkahlaku BB. DJ pada saat itu hanya

menatap keluar sambil menjawab pertanyaan yang

diajukan peneliti, beberapa kali DJ melihat ke arah

peneliti dan terlihat dengan jelas mata DJ yang

berkaca-kaca ketika mengatakan bahwa ia hanya bisa

berpasrah kepada Tuhan sambil tetap berharap akan

ada perubahan dalam diri BB.

Selanjutnya pada saat menjawab pertanyaan

(15)

membantu BB, partisipan hanya mengeluh karena

merasa jemu dengan sikap BB yang tidak juga berubah.

Hal ini dikatakannya sambil menggelengkan kepala

dan sesekali menarik napas panjang. Setelah cukup

banyak bertanya, peneliti memutuskan untuk

mengakhiri wawancara pada sore itu, karena

menimbang kondisi DJ yang tidak begitu aktif dalam

menjawab pertanyaan seperti wawancara-wawancara

sebelumnya. Peneliti menduga hal ini dikarenakan DJ

masih merasa lelah karena baru saja kembali bekerja

dari ladang.

3. Analisis verbatim

Analisis verbatim P1W1

Makna Verbatim

Marah sebagai emosi

yang menonjol pada saat

kambuh.

Ya, pertama dulu sering

marah. (P1W1 28)

Kambuhnya yah

marah-marah. (P1W1 42)

Cara untuk bisa membawa

penderita berobat adalah

dengan membohongi dan

merayu penderita

Tapi kalo saya antar ke sana

ditipu kok. Kalo apa adanya

gak mau. Jadi harus dibujuk

rayu baru mau (P1W1

42-44)

Ibu berperan dalam

memberikan dukungan ke

Oh biasa ibu. Kalo ke rumah

(16)

penderita untuk pergi ke

rumah sakit.

mau. Kalo ke solo itu,

ibunya yang merayu. Tapi

kalo udah agak sehat ke sana

biasa dengan saya. (P1W1

48-49)

Ciri yang ditunjukkan

oleh penderita ketika

keadaannya membaik

adalah mau diajak ke RSJ

dengan menggunakan

sepeda motor.

Tapi kalo udah agak sehat ke

sana biasa dengan saya. Kalo

pas keadaannya baik, naik

sepeda motor itu berani

kemana-mana itu. Pas

keadaannya agak normal

(P1W1 50-52)

Ciri lain yang penderita

ketika kondisinya

membaik adalah nafsu

makan yang besar dan

emosi gembira yang

ditunjukkan, sedangkan

dalam kondisi kambuh,

penderita terlihat sedih.

Pokoknya kalo jajannya

banyak, kalo makannya

banyak itu agak normal. Yah

makannya banyak, ada

orang odong-odong datang

itu jajan gembira. Tapi kalo

gak kelihatannya sedih.

(P1W1 54-58)

Aktivitas yang dilakukan

oleh penderita ketika

penderita dalam kondisi

yang tidak kambuh.

Ya anu, nyapu, kulaan

dagangan, kulaan bensin

mau kok. Kulaan itu senang

tapi setelah kulaan, yah

jajan, beli es, ya

(17)

(P1W1 61-63)

Partisipan dan istrinya

membiayai perawatan

anaknya.

Yah saya yang biayai

perawatannya sama ibu.

Disini sudah ringan kok, anu

periksanya 50ribu. Obatnya

yah ringan, 150 rata-rata

(P1W1 65-69)

Keaktifan dalam bekerja

pada penderita dalam

kondisi yang sedang tidak

kambuh berdampak pada

sedikitnya jumlah obat

yang harus dikonsumsi.

Yah, jatah satu bulan bisa

untuk dua bulan. Soalnya

kalo dia mau kerja siang,

malam tidak perlu makan

obat. Nanti udah tidur

sendiri kok. Otomatis itu.

Tapi kalo siangnya itu kerja

tidak banyak, obatnya yang

banyak gitu. Intinya, kalo

kerjanya banyak, obatnya

dikit, biayanya ringan.

Hanya makannya juga

banyak. (P1W1 73-78)

Partisipan berperan dalam

memenuhi kebutuhan

sehari-hari penderita.

Iya, saya yang layani, yang

ngontrol kebutuhannya.

Uangnya ambil sendiri di

warung (sambil tertawa)

(P1W1 80-82)

(18)

pengarahan dan dilibatkan

dalam melakukan

kegiatan berdagang

namun hal tersebut tetap

dikontrol oleh P.

termasuk caranya kulaan.

Pembeliannya sekian,

jualnya sekian. Disitu sudah

saya tulis, saya beritahu juga

untuk mengecek jujur

tidaknya. (P1W1 86-88)

Partisipan berperan dalam

mengontrol konsumsi obat

penderita, karena

penderita tidak mampu

mandiri dalam mengatur

jadwal untuk minum obat.

Iya, kalo untuk minum obat,

saya kontrol terus obatnya.

(P1W1 94).

Yah kalo tidak dikontrol,

seenaknya sendiri. Kecuali

makan, lauk pauknya tidak

usah dikontrol. (sambil

tertawa). (P1W1 99-100)

Ibu mempunyai

keterbatasan waktu dalam

mengurus penderita.

Kalau ibu tidak, gak sempat,

harus masak, cuci, apalagi

mertua saya disini, ngurusi

orang tua. (P1W1 96-97)

P berendapat bahwa

beban kuliah yang berat

menjadi salah satu

penyebab munculnya

penyakit.

Cita-citanya dulu teknik

kimia, tapi tidak kuat.

Setelah itu disuruh istirahat

dulu 2 tahun tidak mau.

Ikutan teman, tapi tidak

ngukur kemampuannya

sendiri. (P1W1 105-107)

(19)

memilih jurusan yang

sesuai kemampuan

penderita, namun

penderita mengabaikan

arahan tersebut.

tapi diarahkan angel. Kimia

tidak kuat kemudian

diarahkan oleh kiai dari

adiknya ibu supaya istirahat

2 tahun, tidak mau kok

(P1W1 107-109)

P bermaksud melibatkan

penderita untuk

beraktivitas, namun

penderita tidak memiliki

minat untuk melakukan

kegiatan tersebut.

Tidak mau ikut kegiatan

apapun dia (P1W1 111).

Yah, kalo saya ke ladang

saya ajak tapi dia tidak mau

(P1W1 116)

P merasa jenuh dalam

menyarankan penderita

untuk melakukan

aktivitas.

Oh nyaranin ikut kegiatan ini

itu, sampai jemu. (P1W1

114)

P tidak memaksa

penderita untuk

melakukan kegiatan untuk

menghindari konflik yang

dapat terjadi.

Oh kalo dipaksa malah anu

repot. Mau yah ikut, tidak

mau yah ga ikut (P1W1

122-123)

Kekhawatiran P terhadap

penderita ketika penderita

berpergian, membuat P

memberikan arahan

Oh diberitahu, jalan

belakang, kalo lewat jalan

besar gak mau kok. Gak

(20)

mengenai jalan yang

dapat dilewati.

Semarang simnya diambil

polisi. (P1W1 134-136)

Pengalaman penderita

yang pernah melanggar

peraturan lalulintas karena

jalan pemikirannya yang

kurang rasional.

Pikirannya udah goyang, ada

lampu merah nekat kok.

Kalo sekarang udah mulai

normal (P1W1 136-137)

Dalam kondisi yang

membaik (tidak kambuh),

penderita mampu

melakukan aktivitas

berdagang.

Yah iya, kulaan dagangan itu

bisa. Tapi kalo udah agak

normal (P1W1 139)

Keluarga memberikan

pengarahan dan

mendorong penderita

untuk beraktifitas atau

melakukan suatu

pekerjaan di rumah pada

saat penderita dalam

kondisi baik.

Yah nyatat, kalo ada yang

beli terus utang, ditulis

semua. Kalo dia lagi

pikirannya normal, saya

suruh ke toko, kulaan

dagangan, tapi kalo gak yah

gak. Biasanya saya juga

sarankan nyapu, terutama

ibunya. Kalo gak gitu yah

gak mau. Gak mau bangun

kalo gak dibangunin (P1W1

145-149)

P merupakan sosok yang

ditakuti oleh penderita.

Yah, saya bilang, dia agak

(21)

(P1W1 151)

P menasehati penderita

dengan menunjukkan

kemarahan, namun hal ini

dibatasi agar tidak terjadi

konflik yang besar antara

keduanya.

Oh pernah marah banget

saya waktu dulu. Yah saya

batasi marahnya makanya,

supaya nanti tidak ada

dendam. Ya toh, soalnya

pikirannya udah terganggu.

(P1W1 153-156 )

Penghargaan yang

diberikan oleh keluarga

jika penderita melakukan

hal yang baik.

Misalnya kalo kerjaannya

baik yah diberi hadiah,

kayak permen dan

sebagainya. (P1W1 168-169)

Pemberian nasehat dengan

tidak menunjukkan sikap

marah karena

menghindari konflik yang

akan menyusahkan P dan

keluarga.

Kalo dimarahin malah repot

nanti. Lah kadang-kadang

saya ajak kemana gitu juga

ikut. Kadang gak juga

(P1W1 169-170)

Keluarga mendorong

penderita untuk meniru

hal yang baik dari anggota

keluarga lain.

Yah itu kasih contoh

keluarga sendiri, dibilangin

biar lihat kakaknya yang

berhasil, adiknya juga sudah

(22)

Analisis verbatim P1W2

Makna Verbatim

Keluarga mengarahkan

penderita untuk berhenti

sekolah sementara waktu,

namun penderita

mengabaikan arahan

tersebut.

Dia sakit, terus disuruh

istirahat dulu, nda mau.

Terus keluar, sekolah lagi

katanya saudaranya di

semarang, disuruh

istirahat 2 tahun dulu,

tidak boleh sekolah dulu

biar pikirannya tenang.

Dia tidak mau, kemudian

beberapa bulan ikut itu,

aduh namanya apa. Masuk

perguruan tinggi namanya

apa itu loh (P1W2 7-11)

Nasehat untuk beristirahat

setelah pasca perawatan

dari keluarga diabaikan

oleh penderita yang ingin

mengaktualisasikan

dirinya dalam dunia

pendidikan.

Iya sakit, disuruh istirahat

tidak mau, terus beberapa

bulan melu testing lagi ke

perguruan tinggi negeri

(P1W2 16-17)

Pemikiran yang sering

berubah-ubah atau tidak

konsisten serta

kebingungan menjadi

Ya anu, sering bingung itu

loh. Pokoknya

pemikirannya

(23)

gejala yang ditunjukkan

penderita

Keadaan dan kegiatan

penderita pada saat di

salah satu RSJ di Solo

2 kali yah, di opname. Di

solo itu yah dicampur itu

sama orang seng anak

yang tidak sekolah, yang

sekolah sd, smp, sma,

perguruan tinggi

dicampur. disana itu tidak

dilatih, dibiarke tidur,

repot toh (P1W2 36-40)

Perawatan di rumah sakit

dipilih keluarga sebagai

cara untuk memulihkan

penderita yang sering

menunjukkan gejala

bingung di rumah.

Rawat jalan dulu di

rumah. Udah di rumah

jadi bingung, akhirnya

diopname sampai

kira-kira 2 bulan (P1W2

47-48)

Ada penanganan yang

lebih baik yang diberikan

oleh salah satu psikiater.

Kalo dengan bu A iya,

perbedaannya banyak.

Kalo bu A itu misalnya

cara menangani dan

memberi perhatian ke

orang sakit itu (P1W2

52-54)

Penderita mencoba

mengaktualisasikan

Bar loro, durung di

(24)

dirinya dengan berusaha

melanjutkan studi serta

mengikuti

pengajaran-pengajaran agama, namun

penderita tidak mampu

untuk melanjutkan

pilihannya tersebut.

pendaftaran, dia tes,

masuk. Setelah itu sekolah

fkip, kemudian ikutan

pengajian juga yang aliran

keras. Terus ga kuat

ajarannya, ga kuat

sekolahnya, yah jadi

bingung toh. Sarafnya itu

udah renggang (P1W2

59-63)

P membandingkan

kebiasaan anak-anaknya

di rumah, dan salah satu

kebiasaan penderita

sendiri sebelum sakit yaitu

menghindari

kegiatan-kegiatan di luar rumah.

Lah anak yang nomor 1

itu kuat yang terakhir ya

kuat kok, hanya yang

nomor 2 ini yang ga kuat.

Soalnya mereka itu ikutan

kegiatan apa-apa. Ikut

karate, hanya BB yang ga

mau ikut apa-apa, ga mau

kerja apa-apa, jadinya

kayak gitu. (P1W2 64-68)

Penerapan pola asuh yang

berbeda oleh P terhadap

adik penderita (anak P

yang ketiga) setelah

melihat kondisi penderita

yang menderita gangguan

Berhubung anak saya

yang nomor dua kayak

begitu, jadi anak saya

yang nomor 3 itu saya

suruh ukur

(25)

jiwa. sekolah, jangan ikutan

konconya. Terus aku ajak

kulaan, ke pasar. Saya

latih biar ga malu kayak

kakaknya ini. Sejak dulu

kan ga ada kerjaan

(P1W2 68-72)

Biaya pengobatan yang

mahal menjadi salah satu

masalah yang dialami

keluarga dalam merawat

penderita di rumah.

Iya balik Solo, tapi

obatnya mahal. Di sana

itu 1 minggu habisnya 2

juta loh. Iya, mahal itu di

Solo. Tiap bulan yah

rawat jalan yah mahal

banget itu. Obatnya itu

dulu pertama habisnya 30

ribu, jaman dulukan itu

mahal. Sekitar tahun 91

itu. Berat kok ongkosnya

itu (P1W2 85-93)

P mencari informasi

mengenai psikiater yang

dapat menangani

perawatan anaknya.

Dulu anu, disitu ada yang

sering berobat ke sana.

Jadi mereka memberi tahu

toh. Ya, ketemu bu A

(psikiater) (P1W2 99-102)

Ada perubahan perilaku

penderita ke arah yang

Oh ga diopname, hanya

(26)

lebih baik soalnya sekarang udah

mau disuruh. Dulukan ga

mau (P1W2 106-107)

Pemberian saran oleh

psikiater kepada keluarga

terkait konsumsi obat

penderita.

Iya sebulan. Tapi bu A

pernah berkata kalo waktu

siang banyak bekerja, obat

tidurnya tidak usah di anu

tidak usah diminum. Jadi

kalo siangnya sudah kerja

sudah rajin bekerja tidak

perlu dikasih obat. (P1W2

110-113)

Partisipan/keluarga

melibatkan penderita

untuk melakukan

pekerjaan rumah

sehari-hari.

Ya belum, setelah saya

bilang baru lakukan.

Buang sampah, kalo saya

suruh saja. Ya jaga

warung. Kalo dia jaga

dibayar pake uang 50an,

masih bingung balikin.

Dia itu ga mau terima

uang yang sobek, yang

jelek, yah ada baiknya

juga sih (P1W2 128-130)

Pemberian obat,

melibatkan penderita

untuk beraktifitas dan

Ya anu, disuruh bekerja

itu menurut

(27)

memberikan pengarahan

sebagai salah satu cara

yang digunakan dalam

menangani penderita.

Seperti buang sampah itu.

(P1W2 134-135)

Pemberian obat menjadi

pilihan yang diambil P

bagi penderita daripada

menasehati, karena

menghindari konflik yang

akan menyusahkan P dan

keluarga.

Tapi saya juga beri obat

setelah itu tidur dia. Kalo

diomongin yah angel itu.

Jadi saya kasih obat saja

diberitahu susah, kalo

dibilangin malah repot.

(P1W2 135-137)

Psikiater memberi

pengaruh baik dalam

pemulihan penderita.

Mau, sudah diberitahu

sama bu A kok. Jadi

pengaruhnya bu A itu baik

terhadap orang sakit itu.

(P1W2 142-143)

Berbicara sendiri,

kecenderungan untuk

mudah marah, dan

pemikiran yang terganggu

merupakan perilaku yang

ditunjukkan oleh

penderita.

Ga, paling hanya

ngomong-ngomong

sendiri aja. Kalo marah

sudah jarang itu. Kalo

sudah gitu dikasih obat

saja supaya ga marah.

Kalo diberitahu yah ga

masuk kok ke pikirannya.

Diberitahu pikirannya

(28)

(P1W2 150-153)

Ada perasaan sedih dan

bingung yang dialami oleh

keluarga penderita.

Oh iya, sedih. ini sudah

jatah. Jatah dari Tuhan

(sambil tertawa) sudah

jatah dari Tuhan ini. yah

kadang mumet saya.

(P1W2 161-162)

Pemberian nasehat dan

obat oleh P kepada

penderita ketika penderita

mulai kambuh.

Yah diberitahu toh dengan

kata-kata lunak, terus

diobatin tadi udah. Ya

kasih tau ini obatnya dari

bu A, harus diminum

(P1W2 165-168)

P melibatkan anggota lain

untuk mendukung

pemulihan penderita

dengan memberikan

pekerjaan sesuai dengan

kemampuannya.

Biasanya saya libatkan

adeknya atau kakaknya,

gitu aja. Dulu dikasih

kerja sedapatnya. (P1W2

178-179)

P mengalihkan kemarahan

penderita ke aktivitas

yang dapat dilakukannya,

namun perhatian dan

minat dalam mengerjakan

aktivitas tersebut cepat

beralih.

Oh dulu iya, marah tapi

saya beritahu yang

lunak-lunak. Misalnya kalo ada

kesempatan saya alihkan

untuk mengerjakan hal

lain. Seperti mengetik

(29)

ketik. Tapi baru beberapa

hari udah ogah kok. Udah

gak mau ngetik lagi pakai

mesin ketik itu (P1W2

185-190)

Aktivitas penderita saat

membaik di rumah tetap

dikontrol P, sehingga

penderita tetap konsisten

terhadap pekerjaan yang

telah dipercayakan

kepadanya.

Yah anu, di rumah itu,

kulaan dagangan pakai

sepeda motor. Yah kulaan

dagangan yang lain, yah

pekerjaan rumah, yah

nyapu, tapi kalo gag

diperintah yah gag mau.

Kalo gag dikasih tahu yah

tidur lagi. Iya, lah

tugasnya menutup pintu

warung kalo udah malam,

yah kalo tidak diperintah

yah di kamar terus. Lebih

banyak di kamar dia

(P1W2 197-205)

Salah satu kehilangan

minat penderita untuk

bekerja, menurut P adalah

karena kurangnya

keterlibatan penderita

dalam kegiatan-kegiatan

Lah ini karna di Solo ga

diberi ladang kerja jadi

tidur makan, tidur mandi.

Keterusan sampai rumah

(30)

pada saat penderita

menjalani perawatan di

RSJ.

Ketakutan P akan

terjadinya suatu masalah

atau konflik ketika

penderita keluar rumah

terlalu lama.

Saya yah takut, pikirnya

dia diapakan orang,

ternyata mampir

tempatnya teman (sambil

tertawa). Lah pakai motor

tidak bawa surat itu loh

kalo ketangkap yah repot

saya (P1W2 210-213)

Adanya upaya untuk tetap

sabar yang dimiliki oleh

keluarga dalam

mendukung pemulihan

penderita.

Yah diberi tahu lagi, habis

gimana lagi, hanya bisa

beritahu dia. Kalo ga

sabar yah susah sendiri

(sambil tertawa) gitu.

Apalagi dia sakit jiwa toh.

(P1W2 219-221)

Penderita mengalami

penurunan daya ingat.

Oh sering, lebih banyak

lupanya, jadi harus

diingatin. Dari 10 kali yah

yang tidak lupa satu kali

(sambil tertawa).

Ingatannya udah agak

turun itu. (P1W2 226-228)

(31)

tanggung jawabnya

sebagai orang tua berat.

seperti itu yah berat

(P1W2 230)

P mencoba memfasilitasi

penderita yang memiliki

keinginan untuk kembali

bersekolah, dengan tetap

mengarahkan pemilihan

jurusan yang lebih mudah

daripada teknik.

Yah saya tahu dia pengen

sekolah lagi tapi sudah

terlanjur putus syarafnya

yah repot. Saya tuh suruh

yang rendah dulu jangan

yang tinggi-tinggi kayak

teknik itu kan repot

(P1W2 233-235)

Usaha partisipan/keluarga

untuk terus memberikan

saran dan pengarahan

kepada penderita.

Saya menyarankan hampir

tiap hari tapi tidak masuk

sini kok (sambil

menunjuk ke kepala).

Kadang saya beri saran 10

kali, hanya 1 kali yang

masuk disini (menunjuk

ke kepala) (P1W2

249-251)

Perasaan sedih dialami

oleh keluarga penderita,

karena harus menerima

keadaan atau nasibnya.

Yah sedih, mau gimana

lagi. Sudah jatahnya yah.

(P1W2 254)

Kondisi penderita terlihat

membaik dalam hal

menangkap informasi

Yah komunikasi tetap

sering itu, tapi sukar

(32)

yang diberikan oleh P baik. Sekarang udah agak

mudeng. Udah agak

mudah dibilangin. Dulu

angel kok (P1W2

273-275)

Ada dorongan dari

keluarga bagi penderita

untuk melakukan

pekerjaan demi pemulihan

penderita.

Yah saran untuk banyak

kerja, sehingga

penyakitnya berkurang.

Terus obatnya berkurang.

Iya, sering saya lakukan,

saya suruh BB kerja toh.

Tapi kalo ke ladang, gak

mau. Yang disenangi aja

dilakukannya. (P1W2

281-285)

P dan penderita jarang

melakukan komunikasi,

jika tidak begitu penting

hal yang ingin

dibicarakan.

Aduh, jarang itu ngobrol,

tidak pernah. Seperlunya

aja (P1W2 297)

Kesulitan P dalam

memberikan saran kepada

penderita karena kesulitan

penderita dalam menerima

saran-saran tersebut.

Yah sesekali aja. Kalo

saya ngomong 10 kali

yang diterima 1 tok

(P1W2 302)

(33)

penurunan daya ingat udah lupa misalnya

menutup pintu, kalo tidak

diberitahu yah sampai

malam tidak ditutup.

Iya toh, dia itu tidak

berubah, pikirannya tidak

menerima kalo dibilangin

(P1W2 307-310)

Penderita hanya

melakukan hal yang

diminati.

Iya, sering saya lakukan,

saya suruh BB kerja toh.

Tapi kalo ke ladang, gak

mau. Yang disenangi aja

dilakukannya. (P1W2

312-314)

Partisipan menyadari

perbedaan antara anaknya

yang menderita sakit dan

anaknya yang lain.

Kalo anak saya pikiran

lancar jadi tidak perlu

diberitahu, kalo yang ini

kan diberitahu tapi gak

mau denger, malah baca

koran terus kerjaannya,

kalo yang nomor 1 yah

rajin, kalo yang kecil juga

ranking 1 terus kok. Ini

yang nomor 2 lebih

istimewa, jadi agak diatur

(34)

Upaya P dalam

memberikan reward kepada penderita agar

penderita termotivasi

dalam mencari pekerjaan

yang sesuai

kemampuannya.

Ya saya tetap beritahu,

tapi dengan kalimat yang

lunak-lunak. Misalnya

besok kalo udah punya

anu kalo kerjaannya sudah

baik ajak piknik misalnya,

ke tempat siapa saya ajak

(P1W2 323-326)

Penurunan daya ingat

membuat penderita sulit

bertanggung jawab

terhadap suatu hal.

Yah iya, tapi menerima

saja. Biasa baru dikasih

tau seketika udah lupa.

Semisal dirumah piring

udah bersih, terus dipakai,

kalo tidak dibilang yah

tidak dicuci kok (P1W2

343-345)

P merasa jenuh dan

kesulitan dalam

memberikan nasehat dan

petunjuk karena

keterbatasan kemampuan

kognitif penderita dalam

menerima informasi dan

memberikan respons yang

tepat.

Yah, udah dibilang

sampai jemu sendiri.

Diberitahu sekarang nanti

udah lupa kok. Yah

repotlah. Disini kan

(sambil tunjuk kepala)

ingatannya udah tidak

sampai. Katanya bu A

kalo disini sudah tidak

(35)

Ditanya A sering jawab B.

Kemana, misalnya ke

utara jawabnya ke selatan.

Misalnya begitu.

Kerjaannya apa? Belum

bekerja tapi katanya udah

bekerja. kalo ditanya udah

urut yah baik, tapi

kadang-kadang tidak urut.

(P1W2 348-355)

Penderita hanya

melakukan pekerjaan yang

dikehendakinya.

Ya iya, kalo tidak sesuai

keinginannya tidak mau.

Umpama disuruh kasih

makan burung itu, nda

mau. Bukan kehendaknya

sendiri (P1W2 348-355)

Adanya perubahan

perlakuan terhadap

penderita oleh salah satu

anggota keluarga (anak

ketiga P) setelah

memahami kondisi

penderita

Oh ya dulu, sekarang

udah tidak pernah.

Sebelum Yusuf bekerja

itu yah sering marah. Yah

itu kan belum tau kalau

masalah itu begini-begini.

Setelah Yusuf sudah saya

beritahu, terus dia juga

udah mulai bekerja,

(36)

pikirannya. Tidak

menghiraukan. Malah

sekarang kalo punya

oleh-oleh malah diletakkan

dimeja, BB minta yah dia

iya aja (P1W2 368-375)

Analisis verbatim P1W3

Makna Verbatim

Peran psikiater yang baik

membuat frekuensi emosi

marah penderita

berkurang

Yah waktu belum ke bu A

yah iya marah-marah,

sekarang udah gak (P1W3

10-11)

Upaya yang dilakukan P

adalah membawa

penderita ke RSJ ketika

menunjukkan gejala

bingung, namun hal

tersebut melibatkan peran

ibu dalam merayu

penderita untuk mau pergi

berobat.

Iya, saya bawa ke Solo

itu, karena bingung terus.

Tapi dia gak mau, jadi

diberi nasehat oleh ibunya

baru mau dia. Yah terus

pake motor ke sana.

Kadang pakai bis (P1W3

19-21)

P menyadari perlakuan

terhadap anaknya dengan

memukul kurang tepat,

sehingga adanya

Yah saya kerasi sungguh.

Sekarang tidak. Yah

pernah mukul, tapi saya

(37)

perubahan perlakuan pada

saat ini.

kepala. (P1W3 33-34)

Perasaan dan kesulitan

yang dialami keluarga

dalam merawat penderita.

Yah, saya rasa repot.

Pikiran saya. Diberitahu

sekali malah seketika yah

taat. Misalnya nunggu

warung sebentar, setelah

itu keluar pergi jajan.

(P1W3 45-47)

P berusaha menerima

keadaan yang dialaminya

dan keluarganya

Yah anu, jatahnya sudah

begitu. Perubahannya

hanya sedikit. Yang

penting dia gak ke

mana-mana itu loh. Kalau ke

mana-mana ya repot. Dulu

pernah ke Semarang

sendiri ke rumah kakak

saya. Yah kakak saya

telpon beritahu (P1W3

54-57)

Membawa penderita ke

psikiater dan berdoa

adalah upaya yang

dilakukan keluarga dalam

merawat penderita.

Yah paling-paling saya

bawa ke dokter A itu.

Setelah itu yah tetap

permohonan sama Tuhan

itu tetap ada. Selain bawa

(38)

di Atas. Tapi

perbandingan ke yang

dulu, dulu sering pergi

jauh-jauh, sekarang tidak.

(P1W3 60-63)

Permohonan P kepada

Tuhan untuk

menyembuhkan anaknya.

Yah, saya minta

permohonan kepada

Tuhan supaya ada

perbaikan atau kalau bisa

sembuh. Hanya kalau ada

perubahan sedikit-sedikit

udah senang aku (P1W3

72-74)

Sikap pasrah P dan pilihan

untuk berusaha tetap

senang dalam merawat

penderita.

Yah udah ada perubahan

sedikit. Yah senang tidak

senang saya buat senang

soalnya anak kan tidak

hanya satu (P1W3 76-77)

Ketidakmampuan

penderita untuk

berinisiatif melakukan

pekerjaan di rumah

merupakan kesulitan yang

dihadapi keluarga.

Yah disuruh kadang mau

kadang tidak. Misalnya

pagi disuruh buang

sampah itu tidak mau.

Maunya siang, tapi kalo

siang ya kadang dibuang,

kadang tidur. Mencuci

(39)

diperintah yah satu kali

dua kali, terus lain kali

sudah tidak mau lagi. Jadi

semua harus saya atau ibu

perintah dulu (P1W3

80-84)

Keluarga merasa kasihan

berkaitan dengan kondisi

dan keterbatasan

penderita.

Yah saya kasihan dia

kemampuannya terbatas.

Yah diberitahu satu dua

setelah itu lupa kok

(sambil tertawa). Yah,

saya kasihan, anak

soalnya kok (sambil

tertawa) (P1W3 86-88)

Keluarga berusaha

melibatkan penderita

dalam kegiatan

kerohanian.

Yah sering saya ajak ke

mesjid, kadang-kadang

mau, kadang-kadang

tidak. Kalau mau yah

datang, udah siap-siap

sebelum ke mesjid, tapi

kalo pas tidak mau yah

tidur. (P1W3 92-94)

Penderita pernah mencoba

bekerja di bagian

pemasaran barang setelah

pasca perawatan pertama

Yah sekitar 3 atau 4

bulan. Dia kerja jadi

bagian promosi mesin

(40)

kali, namun terpaksa

keluar karena keterbatasan

yang dimilikinya menjadi

penghambat dalam

pekerjaannya.

bisa memasarkan barang,

kan itu harus pintar

omong. Lah pikirannya

gak nyampe kok (P1W3

102-107)

Upaya P dalam

melibatkan penderita

untuk melakukan

beberapa kegiatan dengan

pemberian reward tidak

mampu menumbuhkan

minat penderita.

Ya malah saya ajak tidak

mau kok. Umpama mau

yah saya beri uang 5000

atau berapa, tapi tetap

tidak mau. Iya, umpama

mau. Tapi tidak mau.

Saya ajak tidur ke tempat

mba e sana juga ga mau

kok (P1W3 113-117)

Biaya pengobatan

penderita ditanggung oleh

keluarga. Saat ini, ada

perasaan lega karena

adanya keringanan biaya

pengobatan.

Yah dari saya, uang

pensiun saya. Sekarang

udah mendingan, ringan

juga biayanya (P1W3

121-122)

Partisipan mendukung

pemulihan penderita

dengan berkonsultasi ke

psikiater dan

menyampaikan informasi

tersebut ke penderita.

Yah, kalau saya ke bu

dokter, kalo bu dokter

memberikan saran apa,

kadang-kadang saya tulis

itu. Saya beritahu, tapi

(41)

kok, kalo tidak diingatkan.

(P1W3 125-127)

Saran yang diberikan

psikiater kepada P dan

penderita dalam hal

perawatan penderita di

rumah.

Yah bu dokter

mengatakan kalau siang

itu rajin bekerja atau

membantu tidurnya

malam tidak usah minum

obat tidur. Obatnya

otomatis kan berkurang,

terus berkurang biayanya

(P1W3 129-131)

Partisipan melibatkan

penderita dalam kegiatan

kerohanian supaya ada

perubahan yang lebih

baik.

Yah suruh ikut ke mesjid,

jumatan. Kadang-kadang

mau, kadang-kadang

tidak. Tapi kalo saya ajak

ke mesjid itu ada

perubahan, tapi kadang

tidak mau kok. (P1W3

144-146)

P memilih untuk tidak

memaksa penderita

melakukan kegiatan yang

tidak disenanginya karena

menghindari konflik.

Tidak, dipaksa malah

kemana-mana repot.

Kalau saya ajak,

pulangnya malah nyari

jajan, yah repot. Setiap

ada warung berhenti yah

(42)

Setelah melakukan analisis wawancara partisipan, langkah

selanjutnya adalah melakukan proses kategorisasi tema, yang

mana melalui proses ini menghasilkan beberapa kategori data

partisipan pertama, yaitu :

Kategori Data P1

1 Latar belakang partisipan, keluarga dan penderita

2 Ciri-ciri atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita

skizofrenia pada saat sakit atau kambuh

3 Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia pada

ketika sudah lebih membaik

4 Persepsi P mengenai latar belakang penyebab anaknya

menderita skizofrenia

5 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika

merawat penderita

6 Perasaan keluarga dalam menghadapi dan merawat

penderita skizofrenia di rumah

7 Peran psikiater dalam merawat dan menangani penderita

skizofrenia

8 Usaha orang tua dalam mengatasi berbagai permasalahan

yang dihadapi ketika merawat penderita di rumah.

9 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan sosial yang

diberikan pada saat merawat penderita skizofrenia

10 Motivasi pemberian dukungan sosial oleh keluarga

kepada penderita

(43)

Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada,

maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi

kategori-kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.

4. Analisis partisipan 1

Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita

skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih

20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut.

BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum

menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang

tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar

rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada

tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia

memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun

relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam

tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab

munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan

sendiri.

Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok

pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam

menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di

rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan

istri yang selalu menemani penderita baik pada masa

rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini

masih rutin dilakukannya.

Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita

(44)

dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif

terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini

ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan

informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola

pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari

ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons

yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan

orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan

untuk berbicara sendiri.

Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan

reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol.

Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap

orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan

untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam

kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri

penderita.

Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang

menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan

suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan

melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga,

penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai

macam kegiatan.

Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita,

ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita

mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi

emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan

(45)

pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu,

dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering

mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan

pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki

nafsu makan yang bertambah.

Partisipan yang adalah ayah penderita menduga

bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga

merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri

dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu

perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan.

Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya

penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi

penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri

memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang

lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis

ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.

Selama merawat penderita dengan berbagai usaha

yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari

beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan

tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan

yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan

untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-,

belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan

bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang

lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah

Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak

(46)

murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya

sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya

partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-.

Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang

dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan

dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam

mengingat dan memaknai setiap informasi yang

diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan

penderita, karena pemikiran yang kacau serta

ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik,

juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi

pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya

adalah kesulitan partisipan bersama istri dalam

menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan,

dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang

mandiri.

Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang

menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita,

maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara

sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita

sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu

upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara

membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah

Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan

biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

(47)

penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di

dekat rumahnya.

Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang

secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga

adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita,

mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan

reward, dukungan secara finansial bagi keinginan penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam

suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu

aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah.

Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita

untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual

kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu,

kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin

lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam

dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian,

penderita memiliki kecenderungan untuk menolak

tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut.

Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di

dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan

aktivitas yang dikehendakinya.

Selain dukungan nyata dalam berupa materi

tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada

penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang

diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik.

Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk

(48)

memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa,

pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih

banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan

waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar.

Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin

kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan

Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan

jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik

yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh

penderita.

Dukungan secara emosional dan penghargaan yang

diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga,

namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah.

Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian

keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan

pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi

obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun

cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih

mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas,

melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti

yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya,

melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah

caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada

penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang

lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita.

Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan

(49)

melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya

dengan menjanjikan akan memberikan reward berupa permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan

kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan

dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan

dengan mengijinkan penderita untuk melanjutkan

pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi,

penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya

karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut,

penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali

dirawat di RSJ.

Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang

diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian

dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama

kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal

ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita

yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun,

hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa

bulan berkuliah. Penderita kembali mengalami

kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk

menjalani perawatan intensif di RSJ.

Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang

kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan

penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan

kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung

jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu

(50)

terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun,

sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang

konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola

warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita

yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada

kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada

masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang

dipercayakan kepadanya.

Selain dukungan secara langsung yang diberikan

partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun

dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada

penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk

mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut

berupa penyediaan waktu untuk mencari

alternatif-alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi

dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh

keluarga selama merawat penderita pasca perawatan.

Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati

anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam

mendukung penderita selama menjalani masa pasca

perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik

oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba

memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita.

Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam

menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada

akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota

(51)

keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka

mengenai kondisi penderita.

Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga

yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam

hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki

peran yang sangat membantu dalam mengarahkan

keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai

aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak

memarahi penderita ketika penderita melakukan

kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan

saran yang baik kepada penderita serta melibatkan

penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini,

partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran

yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah

anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke

arah yang lebih baik.

Dalam semua keterbatasan penderita dan

kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini,

partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan

cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti

telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil

wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa

motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah

menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri.

Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif

pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk

(52)

sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh

penderita.

Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam

keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota

keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah

kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti.

Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak

jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi

anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut.

Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan

perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif

dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini

ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah,

serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan

beberapa pekerjaan rumah yang ringan, seperti

membersihkan rumah dan membantu menjaga warung

yang dimiliki keluarganya.

2. Partisipan 2

a. Gambaran umum partisipan 2

Nama : A

TTL : 31 Mei 1977

Usia : 36 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan Terakhir : SMA

(53)

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

A adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara. Pada saat ini, A

tinggal bersama istri dan anaknya yang pertama. Sedangkan

anak kedua A tinggal bersama mertua A di Kota

Purwokerto. Ayah A adalah seorang pensiunan guru, yang

kesehariannya menyibukkan diri di ladang. Sementara Ibu

A, yang benama S adalah seorang penderita skizofrenia

yang pada saat ini sedang menjalani masa pasca perawatan

di rumah dan tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu,

partisipan sehari-hari bekerja sebagai agen di salah satu

surat kabar yang ada di daerah Boyolali. Istri A juga

membantu A dalam menekuni pekerjaannya tersebut.

Partisipan menyelesaikan pendidikan SMAnya di

Boyolali. Kemudian ia merantau ke Jakarta, dan bekerja di

beberapa perusahaan swasta sekitar tahun 1996 hingga

2008. Setelah itu, partisipan melanjutkan perantauannya ke

Purwokerto dan menetap di sana selama kurang lebih 2

tahun.

Saat ini A memutuskan tinggal di daerah Boyolali

dengan alasan karena kedua orang tuanya hanya hidup

berdua saja dan usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, A

juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sering

kambuh dan harus beberapa kali dimasukkan ke RSJ atau

Panti rehabilitasi Mental. Keputusan partisipan ini

didukung oleh istrinya, sehingga mereka juga memilih

(54)

tuanya. Hal ini untuk memudahkan A dalam mengontrol

konsumsi obat untuk ibunya dan juga menjaga ibunya

ketika ibunya mulai menunjukkan gejala yang aneh.

Hingga saat ini A masih membawa ibunya untuk

melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang

diberikan oleh psikiater terdekat.

b. Laporan observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 17

Desember 2012, pukul 10.18-11.48 WIB. Pada saat itu

peneliti dan partisipan telah mengadakan kesepakatan

mengenai jadwal wawancara melalui telepon. Saat peneliti

tiba di rumah partisipan, partisipan sedang duduk di teras

depan rumah, sambil membereskan beberapa surat kabar

yang menumpuk di bawah salah satu meja yang berada di

teras rumah tersebut.

Pada saat kedatangan peneliti ke rumahnya, partisipan

menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan

peneliti duduk di teras tersebut. Karena kondisi rumah dan

beberapa pertimbangan akhirnya partisipan meminta

kesediaan peneliti untuk melakukan wawancara di teras

depan rumah tersebut. Hal ini disetujui oleh peneliti dan

akhirnya w

Gambar

Tabel 4.1. Beberapa persamaan latar belakang partisipan yang memiliki anggota penderita skizofrenia dalam hal penyebab penyakit dan gejala yang ditunjukkan penderita
Tabel 4.2. Permasalahan yang dihadapi partisipan dan keluarga saat merawat anggota keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan
Tabel 4.3. Bentuk dukungan emosional yang diberikan partisipan dan keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan
Tabel 4.4. Bentuk dukungan penghargaan yang diberikan partisipan dan keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca
+3

Referensi

Dokumen terkait

The proposed method of tree growth estimation is based height measurements on point clouds generated from UAV imagery. The achieved accuracy is about

menggunakan MKJI dan perhitungan panjang antrian dilapangan. c) Pada pendekat timur (Jalan Ringroad Utara) dengan pembatas (median),. terdapat perbedaaan antara perhitungan

Penataan Ruang Terbuka Hrjau (RTH) @enataan Taman Depan Pengadaan Konstruksi Jalan Pedestrian).. Kecamatan

MAHASISWA MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENGUASAI KONSEP DAN TEORI YANG MENDASAR, MAMPU MENGEMBANGKAN KONSEP DAN MELAKSANAKAN ATAU MENGAPLIKASIKAN KEMAMPUAN AKUNTANSI

Adapun bentuk corporate social responsibility adalah adanya dana UKM Masyarakat umum dengan besaran dana 5 juta sampai 10 juta dana Pengembangan Usaha Pengusaha Wartel..

jumlah penyedia jasa yang memasukkan penawaran pada paket PPK-289 kegiatan Penataan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) (Penataan Taman Depan Makam Pahlawan

Analisis berganda pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen yaitu kepuasan kerja dan disiplin kerja terhadap variabel dependen yaitu

llelrJasarkan kesimpulan hasil evaluasi terhadap harga penawaran, evaluasi tehnis, tlm evaX6asi administrasi,. Ilejahat Pengadaan Barang/Jasa berkesirnpulan rnenetapkan