• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI

D. Analisis

Berdasarkan penjelasan tentang Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha)

dalam Agama Buddha ada beberapa hal yang perlu penulis tulis, yaitu:

Puasa di dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi merupakan masalah yang sudah dikenal banyak orang. Bahkan puasa sudah ada sejak jaman dahulu kala dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh banyak orang. Biasanya puasa ini sering dilaksanakan sebagai tanda atau simbol adanya ketergantungan terhadap sesuatu yang lebih tinggi, suatu perjalanan ke arah kematangan spiritual yang bersifat transenden. Oleh karena itu di dalam beberapa kelompok agama, puasa secara berangsur-angsur menjadi standar untuk menunjukkan ketaatan dan pengabdian kepada Tuhan.

Namun demikian, puasa di dalam agama Buddha adalah untuk menjadikan sila yang merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan pada kehidupan yang bebas dari kelahiran, kematian dan penderitaan (tumimbal lahir) dan juga untuk mencapai tujuan akhir yaitu Nibbana. Hal ini karena puasa dalam agama Buddha, Tuhan bukanlah yang menjadi central atau tujuan tetapi ingin membebaskan manusia dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin). Mungkin bagi mereka, Tuhan bukanlah ajaran utama dalam agama Buddha. Sementara puasa di dalam agama lain, contohnya puasa di dalam agama Islam adalah berdasarkan perintah Allah yang ada dalam al-Qu’ran. Dan dalam pelaksanaannya puasa dalam agama Buddha dilakukan mulai dari pukul 12.00 siang sampai pukul 06.00 pagi sedangkan puasa dalam Islam dilakukan dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari

Banyak orang yang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah formalitas keagamaan saja. Namun anggapan tersebut tidak benar, karena puasa di dalam agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk tidak makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Puasa di dalam agama Buddha adalah untuk melaksanakan sila dan ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas mental dan untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha).

Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan adanya sila sebagai dasar utama dalam pengamalan ajaran agama Buddha, sehingga sudah selayaknya bagi umat Buddha untuk mempelajari dan mengamalkan dhamma ajaran Sang Buddha agar dapat meraih kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan sekarang ini maupun kehidupan yang akan datang.

Demikian juga pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha adalah merupakan wujud nyata dari kesaksian umat Buddha kepada Sang Tiratana

(Buddha, Dhamma dan Sangha). Kesaksian yang dimaksud adalah suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran Buddha Dhamma (ajaran Sang Buddha), akan kebenaran hukum-hukum kesunyataan, yaitu dengan menjalankan dasar-dasar ajaran Cattari Ariya Saccani atau empat kesunyataan mulia tentang dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha.

Dari hasil penelitian di lapangan, pelaksanaan puasa pada masa Vassa

(musim hujan) di India dan di Indonesia tidak sama karena berbeda iklim jika di India umat Buddha melaksanakan masa Vassa setiap musim penghujan maka berbeda dengan pelaksanaan masa Vassa di Indonesia. Di Indonesia umat Buddha tidak melakukan Vassa pada musim hujan ini hanya sekedar mengikuti tradisi dari Sang Buddha tetapi dalam hal penetapan waktu Vassa, umat Buddha Theravada di

Indonesia mengikuti penetapan Vassa berdasarkan atas penetapan penanggalan lunar dari Myanmar sedangkan umat Buddha Mahayana mengikuti penetapan penanggalan lunar dari Tiongkok.

Sistem penanggalan bulan (lunar) lebih pendek sekitar 11 hari dibandingkan sistem penanggalan matahari (solar). Satu tahun penanggalan bulan = 354 hari; satu tahun penanggalan matahari = 365 hari (atau 366 hari setiap empat tahun sekali). Jadi setiap tahun, Tahun Baru lunar selalu maju sekitar 11 hari. Ini terjadi pada penanggalan Arab dan penanggalan Jawa. Coba lihat, bulan Puasa dan Idul Fitri, dan musim Haji terus bergeser maju, 11 hari setiap tahunnya.

Yang menjadi masalah bagi masyarakat agraris ialah kapan musim hujan tiba, kapan harus bercocok tanam dan sebagainya., karena musim (yang bergantung pada penanggalan matahari = peredaan bumi mengelilingi matahari) menurut penanggalan bulan selalu bergeser terus. Di negara subtropis, masalahnya lebih rumit lagi: kapan mulai musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Apakah harus bergeser mundur 11 hari setiap tahun penanggalan bulan?

Untuk menjaga agar musim-musim itu jatuh kira-kira pada bulan-bulan yang sama, maka pada penanggalan bulan itu setiap 2-3 tahun sekali (3 x 11 hari = 33 hari) harus ditambahkan satu bulan tambahan (Lun). Ini bisa dilihat pada Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. Selalu maju 11 hari setiap tahun, tapi setiap 2-3 tahun sekali selalu mundur kembali 1 bulan. Jadi Cap Go Meh selalu jatuh di bulan Februari-Maret, bertepatan dengan musim hujan lebat di Indonesia. Begitu pula hari Waisak, selalu maju 11 hari setiap tahun, tetapi selalu mundur kembali 1 bulan setiap 2-3 tahun sekali, sehingga hari masa Vassa tidak pernah keluar dari bulan Juni-Oktober..

Masalahnya, siapa yang menetapkan penambahan 1 bulan tambahan setiap 2-3 tahun sekali itu? Dalam masyarakat Buddhis tidak ada seperti Vatikan, yang memegang otoritas internasional tentang penanggalan keagamaan. Oleh karena itu Sangha-Sangha di negara-negara Buddhis, yang masing-masing mempunyai tradisi penghitungan tanggal turun-temurun, bisa saja kadang-kadang berbeda dalam menentukan kapan bulan ketigabelas itu ditambahkan.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa aturan-aturan yang dilakukan pada hari Uposatha akan sukar dijalankan ditengah-tengah masyarakat yang modern dan yang lain mungkin akan mengacuhkannya begitu saja. Tetapi bagi umat Buddha yang arif, sebelum menjatuhkan penilaian, hal tersebut perlu dicoba karena usaha yang sungguh-sungguh untuk mempraktekkan Dhamma ajaran Sang Buddha tidak akan pernah menghasilkan kekecewaan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya menganai “Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha” maka dapat disimpulkan bahwa makna puasa dalam agama Buddha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani ke arah yang lebih baik. Menjadikan manusia agar manjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan Atthasila untuk umat awam, Patimokkhasila untuk para bhikkhu, dan Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha.

Atthasila, Patimokkhasila dan Dasasila adalah sudah merangkum dari segala aspek kehidupan dalam masyarakat.

Puasa di dalam agama Buddha dibedakan menjadi dua macam, yaitu puasa bagi umat awam dan bagi umat viharawan. Bagi umat awam puasa hanya dilaksanakan pada tiap hari Uposatha, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan setiap hari, karena bagi para samanera harus menjalankan Dasasila

dan para bhikkhu harus menjalankan Patimokkhasila setiap hari.

Dalam pelaksanaan puasa (Uposatha) di dalam Agama Buddha mulai dari pukul 12.00 siang sampai dengan pukul 06.00 pagi. Dan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yaitu diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227

Patimokkhasila untuk para bhikkhu, pembacaan Dasasila untuk samanera kemudian pada pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan permohonan sila Atthasila

untuk umat awam (upasaka dan upasika). Setelah permohonan sila maka umat biasanya tidak pulang ke rumah tetapi umat menetap di vihara selama satu hari

atau biasa disebut uposathavasamvasati. Pada hari Uposatha kegiatan yang dilakukan oleh para bhikkhu, samanera (calon bhikkhu) dan umat awam laki-laki dan perempuan (upasaka dan upasika) adalah sama yaitu belajar dhamma melalui buku-buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan sila, berlatih meditasi dan biasanya umat juga membantu para bhikkhu mengerjakan pekerjaan sehari-hari seperti menyapu lingkungan vihara, membersihkan dhammasala,

uposathagara dan kuti. Kemudian selama pukul 06.00 pagi sampai sebelum pukul 12.00 siang umat masih diperbolehkan untuk makan tetapi untuk para bhikkhu dan samanera mereka hanya di perbolehkan makan 1 kali atau 2 kali jika makannya 2 kali yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00 siang tetapi jika hanya makan 1 kali yaitu pukul 11.00 siang maka makanan yang dimakan harus kuat selama 24 jam. Kemudian malam harinya pada pukul 19.00 - 21.00 diadakan puja bhakti

Uposatha.

Perbedaan puasa (uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang notabennya adalah dari sekte Theravada dan puasa (uposatha) di vihara-vihara dari sekte Mahayana adalah jika dalam Theravada membimbing para umatnya untunk menjadi Arahat yaitu untuk keselamatan pribadi sedangkan dalam sekte Mahayana membimbing umatnya untuk menjadi Bodhisattva. Dalam sekte Mahayana umat awampun tergolong Bodhisattva maksudnya adalah setiap manusia mempunyai kesempatan untuk menjadi Bodhisattva asalkan ia mengikuti ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar. Dan juga dalam pelaksanaan silanya sekte Mahayana selain melaksanakan 227 Patimokkhasila mereka juga melaksanakan Bodhisattvasila.

Setelah penulis mengadakan penelitian kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi, maka ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan:

1. Bagi segenap umat Buddha khususnya, hendaknya pengetahuan ini dapat dijadikan suatu media untuk meningkatkan keyakinan terhadap Buddha Dhamma (ajaran Buddha) dan dapat melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Buddha sehingga tidak akan melaksanakan puasa secara asal-asalan atau ikut-ikut saja.

2. Sebagai umat beragama harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi dan terbuka, agar terjalinnya kerja sama dan sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama.

3. Untuk penelitian atau mempelajari agama lain hendaklah dijadikan sebagai pemersatu bukan pemecah umat satu dengan umat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tanpa penulis.

Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara. Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980.

Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997.

Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati. Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991.

Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa penulis.

_________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988.

Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tanpa tahun.

Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994

Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996.

Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003.

Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta, 1997.

Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).

Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026. Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997.

Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994. K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The

Buddha Education Fuondational, 1993.

Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka.

Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun.

Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003. Matara Sri. Nanarama Mahathera. Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung.

Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun. Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972.

Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991.

Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997. Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma,

1993.

Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993. Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999 Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan

Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt.

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pengukuhan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985.

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007

DAFTAR PUSTAKA

Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tanpa penulis.

Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara. Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980.

Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997.

Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati. Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991.

Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa penulis.

_________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988. Bhikkhu Subalaratano dan Samnera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha

Theravada Indonesia, tanpa tahun.

Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994

Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996.

Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003.

Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta, 1997.

Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026. Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997.

Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994. K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The

Buddha Education Fuondational, 1993.

Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka , Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun.

Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003. Matara Sri. Nanarama Mahathera . Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung.

Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun. Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972.

Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991.

Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997. Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma,

1993.

Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993. Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999

Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt.

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pengukuhan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985.

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007

Lampiran I

1. Pengertian Uposatha menurut bhante?

Uposatha banyak pengertiannya. Uposatha atau puasa di dalam Agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan dan minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah

Upovasa. Akan tetapi dalam pengertian sehari-hari mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha.

Kalau sebelum jaman Sang Buddha membabarkan dhamma hari Uposatha sudah dikenal oleh masyarakat India waktu jamannya masih sederhana atau masih primitive itu di terjemahkan sebagai hari suci dimana ketika bulan purnama dan bulan mati kemudian diantara tengah-tengah bulan itu seperti tanggal 1, 8, 15 dan 23 dianggap hari suci dimana mereka semua libur pekerjaannya, libur menjalankan minimal delapan sila. delapan sila sudah dikenal sebelum ajaran Buddha, termasuk lima sila juga sudah dikenal tapi bagi mereka yang moralnya baik, yang moralnya tidak baik malahan di langgar. Mereka meninggalkan semua pekerjaannya, kalau mereka mempunyai tanah yang luas, mempunyai taman yang luas, mereka biasanya masuk ke pondok yang khusus seperti bilik, mereka biasanya meditasi, baca-baca ajaran dan melakukan sesuatu sesuai dengan delapan sila itu. Bagi mereka yang dekat dengan kuil atau tempat-tempat pengajaran mereka datang untuk mendengarkan ajaran-ajaran dari para guru bijaksana atau para orang yang dianggap mampu untuk mengajarkan.

Uposatha itu memang bukan dari Sang Buddha asli. Sebenarnya Sang Buddha mengambil adat di India, salah satunya adalah Uposatha itu kemudian dikembangkan lebih baik lagi. Uposatha ini sudah menjadi adat orang India yang moralitasnya bagus. Uposatha itu dilestarikan sampai jaman Sang Buddha. Ketika Ratu Maha Maya mengandung Sang Buddha, sering menjalankan Uposatha. Jaman Sang Buddha Uposatha dikembangkan lebih baik lagi kearah kesucian.

3. Sistem penanggalannya seperti apa bhante?

Itu kalender bulan bukan matahari atau solar tetapi lunar yang biasanya penanggalan imlek itu mirip juga hanya beda satu atau dua hari.

4. Hari Uposatha itu sebulan 2 kali yaitu pada tanggal 1 dan 15 penanggalan lunar, lalu kenapa bisa 4 kali pada tanggal 8 dan 23 penanggalan lunar bhante? Uposatha 4 kali itu untuk perumah tangga atau umat awam itu sudah disepakati bersama dan bagi para bhikkhu Uposathanya 2 kali yaitu bulan mati dan bulan terang.

5. Apakah puasa (uposatha) di wajibkan dalam Agama Buddha bhante?

Puasa (uposatha) dalam agama Buddha itu tidak diwajibkan. Bagi para bhikkhu puasa (uposatha) itu wajib karena ada dalam vinaya tapi bagi perumah tangga atau umat awam itu hanya dianjurkan, silahkan dijalankan tapi kalau tidak dijalankan setidaknya berusaha mencoba berpuasa karena itu baik untuk dijalankan.

6. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa?

Sebenarnya dalam agama Buddha tidak ada kewajiban tapi mengajarkan kesadaran. Jadi jika tidak menjalankan puasa tidak berdosa.

Maknanya adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani kearah yang lebih baik. Delapan sila itu sudah merangkum semuanya dari segala aspek kehidupan kita dalam masyarakat.

8. Kalau dalam Islam puasa itu adalah menahan haus dan lapar serta menahan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenam matahari, apakah puasa yang dilakukan umat Buddha sama halnya dengan puasa yang dilakukan umat Islam?

Perhitungan Buddhis itu ketika terbit fajar itu adalah pergantian hari jadi bukan pukul 24.00. Jadi puasa dalam agama Buddha itu dimulai dari pukul 12.00 sampai sekitar pukul 4.30 subuh.

9. Kapan permohonan sila-nya bhante?

Permohonan sila itu biasanya pada pagi hari kira-kira pukul 04.00 subuh umat sudah berada di vihara untuk meminta uposathasila kepada para bhikkhu. 10.Ajaran pertama Sang Buddha apa bhante?

Lampiran II

11.Pengertian Uposatha menurut anda?

Uposatha banyak artinya tetapi biasanya kami menyebut Uposatha adalah puasa yaitu menjalankan delapan sila yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. 12.Apakah anda mengetahui sejarah Uposatha?

Uposatha diambil dari tradisi India pada jaman Raja Bimbisara dan kemudian dikembangkan lagi oleh Sang Buddha.

13.Apakah puasa (uposatha) wajib dilaksanakan?

Uposatha atau puasa dalam agama Buddha ini hanyalah dianjurkan dan tidak diwajibkan tetapi untuk para bhikkhu diwajibkan karena ada dalam peraturan kebhikkhuan (vinaya).

14.Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa? Tidak berdosa jika tidak melakukan Uposatha.

15.Apa saja yang tidak boleh dimakan pada hari Uposatha?

Yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti; nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan karena mumpunyai nilai penguat tubuh juga.

16.Apa makna puasa (uposatha) menurut anda?

Makna Uposatha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani. Menjadikan manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan delapan sila yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha.

17.Apa yang diajarkan pada saat puasa (Uposatha) ini?

Yang diajarkan bahwasanya kita sebagai umat Buddha haruslah berbuat banya kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan akan membawa banyak kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun setelahnya.

Dokumen terkait