• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Setelah mengetahui hirarki dan pohon masalahnya, maka pada saat ini sudah dapat dilakukan analisis terhadap hambatan dan permasalahan yang dihadapi oleh Ditwas. Secara umum ada 2 (dua) jenis hambatan yang dihadapi oleh Ditwas, hambatan dari sisi Internal dan hambatan yang berasal dari sisi Eksternal. Namun kedua jenis hambatan ini saling berkelindan sehingga sulit menarik garis tegas diantara keduanya.

Hambatan Internal yang dihadapi antara lain adalah:

I.1. Sistem pengawasan barang beredar belum lengkap dan terintegrasi I.2. Kurangnya perencanaan

I.3. PPBJ belum menjadi pejabat fungsional I.4. Tidak ada tunjangan untuk PPBJ

I.5. Motivasi petugas rendah

I.6. PPNS dan PPBJ tidak ada hubungan struktural dengan Pusat I.7. Jarang praktek melakukan penyidikan dan pengawasan I.8. Kurang bimbingan teknis

I.9. Kompetensi dan kualitas SDM PPBJ dan PPNS PK rendah I.10. Struktur organisasi tidak mendukung pengawasan maksimal I.11. Pengertian pimpinan terhadap kondisi lapangan

I.12. Dukungan Biro Kepegawaian dalam pemenuhan SDM yang sesuai I.13. Kurang SDM di Ditwas untuk melakukan penyusunan

I.14. Kondisi berubah-ubah/dinamis

I.15. SOP untuk melaksanakan pengawasan belum lengkap I.16. Belum revisi ketentuan yang mengatur tata cara PBBJ I.17. Dasar hukum untuk melakukan kegiatan belum lengkap I.18. Pengukuran kinerja per Subdit, tidak secara keseluruhan I.19. Masing-masing terlalu sibuk dengan tugas fungsi Subdit nya I.20. Cenderung tertutup

I.21. Komunikasi kurang

I.22. Koordinasi antar unit terkait kurang (internal) I.23. Tidak ada MOU dengan lab

I.24. Jumlah dan kualitas lab uji kurang menjangkau Indonesia

33 Sedangkan hambatan Eksternal yang dihadapi antara lain:

E.1. Otoda kurang serasi dijalankan membuat hubungan Pusat-Daerah kurang optimal

E.2. Daerah belum memahami urusan PK dan peran PPBJ/PPNS PK E.3. Daerah belum mandiri dalam menyediakan PPBJ dan PPNS PK

E.4. Mutasi PPBJ dan PPNS PK di daerah membuat pengawasan tidak optimal E.5. Sebaran SDM PPBJ dan PPNS PK kurang optimal

E.6. Kurang koordinasi (Ada koordinasi tapi semu) E.7. Ego sektoral menghambat kerjasama

E.8. Jumlah dan kualitas laboratorium uji kurang menjangkau seluruh Indonesia Gambaran Hambatan Yang Dihadapi Ditwas

Paragraf dibawah ini adalah paparan, seandainya pohon masalah yang ada dalam gambar 14 dicoba dinarasikan.

• Hambatan utama dari sisi internal adalah (I.1) Belum dimilikinya sistem pengawasan barang beredar yang jelas dan terintegrasi. Sistem ini memang tidak murni internal, namun karena inisiasinya hanya dapat berasal dari pihak Ditwas, maka dianggap sebagai internal. Keberadaan dan keberhasilan sistem ini oleh peserta diskusi dianggap sebagai hal yang sangat penting, terutama untuk menghadapi masalah utama Eksternal yaitu (E.1) Belum serasi/optimalnya komunikasi/kerjasama Pusat-Daerah dalam otonomi daerah.

• Belum dimilikinya sistem pengawasan barang beredar yang jelas dan terintegrasi membuat PPBJ dan PPNS PK yang jumlahnya terbatas di Ditwas, harus melaksanakan pengawasan pada skala yang nasional, sementara pada saat yang sama Ditwas juga menghadapi masalah (I.13) Keterbatasan Jumlah SDM, dan (I.15) Belum selesainya penyusunan SOP Pengawasan Barang Beredar. Padahal (I.14)situasi di lapangan sangatlahdinamis dan memerlukan dokumentasi prosedur yang cepat dan diperbaiki secara berkala untuk semakin mengefektifkan kegiatan pengawasan dari waktu ke waktu.

Dalam diskusi yang dilaksanakan dibicarakan mengenai beberapa situasi dimana (I.17) Dasar hukum yang ada dirasa belum lengkap sebagai dasar untuk melakukan penindakan dan penyelidikan. (I.16) Review dan perbaikan peraturan yang segera agar petugas dapat bertindak dengan lebih pasti.

Disini, Ditwas tampak berada pada posisi yang gamang, apakah akan terjun penuh melaksanakan operasi penindakan dan penyelidikan, atau akan fokus

34 pada tataran pengembangan panduan, pedoman, peraturan, kebijakan, dan dukungan fasilitasi kepada seksi atau bidang pengawasan barang beredar yang ada di daerah. Hal ini tercermin dari hambatan dalam (I.10) Struktur organisasi Ditwas untuk mendukung pelaksanaan sistem pengawasan barang beredar.

• Penilaian bahwa sistem belum jelas dan terintegrasi salah satunya tercermin pada pandangan dalam diskusi mengenai ketidakjelasan pengaturan wewenang pengawasan antara Ditwas dan DitPDN dalam pengawasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena Dit PDN sesungguhnya sudah berfungsi menyusun standar (fungsi regulasi), sehingga tidak tepat jika Dit PDN juga mengambil fungsi pengawasan terhadap standar yang dibuatnya sendiri.

• Belum serasinya komunikasi dan koordinasi antara Pusat dan Daerah adalah penyakit kronik yang belum juga selesai sejak otonomi daerah digulirkan tahun 2001. Hal utama yang dirasakan adalah (E.2) Rendahnya pemahaman Kepala Daerahkepada urusan perdagangan dan visi Perlindungan Konsumen khususnya melalui pengawasan barang beredar.

Paradigma penyusunan prioritas dukungan daerah berdasarkan besarnya sumbangan terhadap APBD masih kerap terjadi di daerah, sehingga urusan perlindungan konsumen, yang tidak memberikan banyak sumbangan APBD, tentunya tidak menjadi prioritas bagi Daerah. Disini tampak bahwa Kementerian Perdagangan perlu berkomunikasi dan memotivasi daerah untuk memperhatikan urusan-urusan perlindungan konsumen secara lebih baik, dapat melalui cara-cara penugasan seperti Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan, maupun menggunakan instrumen keuangan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK). Rendahnya pemahaman daerah juga tercermin pada (E.3) Belum mandirinya penyediaan tenaga PPBJ, serta (E.4) Mutasi PPBJ dan PPNS PK tanpa koordinasi dengan Pusat sebagai instansi yang melatih, mengangkat, dan memberikan legalitasnya. Hal ini menyebabkan (E.5) Kurang optimalnya jumlah dan sebaran petugas PPBJ dan PPNS PK di daerah karena tidak dapat dikontrol dan dijaga secara akurat.

• Hambatan kronik lain yang teridentifikasi adalah masalah Koordinasi, baik (I.22) Koordinasi internal Ditwas, maupun (E.6) Koordinasi dengan pihak diluar Ditwas. Seorang peserta menyebutkan koordinasi sebagai hal yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Dalam hubungannya dengan pihak eksternal, sesungguhnya koordinasi dengan daerah dan lembaga terkait

35 sudah dilakukan, namun tingkatan koordinasi yang terjadi dinilai masih semu, belum koordinasi yang efektif. Masalah (E.7) Ego Sektoral, diduga menjadi penghambat dalam koordinasi dengan pihak eksternal ini. Sedangkan disisi internal, koordinasi memang dilaksanakan, namun karena (I.18) penilaian kinerja adalah per Subdit, maka pada akhirnya setiap (I.19) Subdit akan fokus pada pelaksanaan tugas dan fungsinya sendiri, yang membuat (I.20) jadwal untuk berkoordinasi internal menjadi sulit untuk dilaksanakan.

Hal ini membuat (I.21) komunikasi lintas Subdit adalah kurang.

• Masalah di lingkungan SDM sesungguhnya tidak lepas dari Sistem Pengawasan Barang Beredar dan pilihan Struktur Organisasi yang dianut Ditwas. Salah satu rule dalam manajemen adalah “Strategy define Structure, dan System support Structure” menunjukkan bahwa kejelasan pilihan sistem dan struktur ini harus segera diselesaikan agar kriteria, perencanaan, dan arah pengembangan SDM dapat segera dirumuskan secara konsisten. Hal-hal seperti (I.12) Dukungan biro kepegawaian dalam rekrutmen SDM, (I.8) kebijakan Bimbingan Teknis, (I.6) komunikasi dengan PPBJ dan PPNS PK daerah, serta (I.7) praktek penyidikan dan pengawasan yang diperlukan bagi pengembangan kompetensi SDM amat bergantung pada pilihan ini.

• Salah satu masalah yang berhubungan dengan SDM adalah masalah (I.5) motivasi dan (I.3) jabatan fungsional bagi PPBJ. Pada awalnya masalah ini memang tidak mengemuka, namun ketika mendiskusikan arah pengembangan SDM, baik di Pusat maupun Daerah, maka skema jabatan fungsional beserta (I.4) tunjangannya menjadi hal yang dipertimbangkan.

Salah satu argumen yang dikemukakan adalahmotivasi petugas PPBJ untuk melaksanakan pengawasan, bertahan dari mutasi, dan meningkatkan ketrampilannya dapat didorong melalui penerapan Jabatan Fungsional dan Tunjangannya.

36 BAB IV.

Dokumen terkait