• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1. Analisis Hasil Penelitian

6.1.1. Analisis Stasiun Kerja Bottleneck

Nilai varians dihitung dengan mengurangkan CR dan CA. Apabila varians bernilai positif, maka dapat disimpulkan bahwa stasiun kerja merupakan stasiun kerja bottleneck. Demikian juga sebaliknya, apabila varians bernilai negatif, maka dapat disimpulkan bahwa stasiun kerja merupakan stasiun kerja non-bottleneck.

Hasil rough-cut capacity planning (RCCP) yang menunjukkan adanya stasiun kerja bottleneck dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. RCCP Stasiun Kerja Bottleneck

Stasiun Kerja Bulan CR (detik) CA (detik) Varians Persentase Beban (%) Keterangan II Januari 2014 2100209 1793457 306752 117,10 bottleneck Februari 2014 2029934 1992730 37204 101,87 bottleneck Maret 2014 2021989 1992730 29259 101,47 bottleneck Mei 2014 2133332 1793457 339875 118,95 bottleneck Juni 2014 2197193 2092366 104827 105,01 bottleneck Juli 2014 2227268 1893093 334175 117,65 bottleneck Agustus 2014 2204243 1992730 211513 110,61 bottleneck IV Januari 2014 2064195 1991278 72917 103,66 bottleneck Mei 2014 2100823 1991278 109545 105,50 bottleneck Juli 2014 2196401 2101905 94496 104,50 bottleneck

Stasiun kerja bottleneck, yaitu stasiun kerja pencampuran (SK-II) dan stasiun kerja pemasakan (SK-IV) merupakan mata rantai terlemah dalam aliran produksi. Pada kedua stasiun kerja ini terjadi penumpukan yang membatasi kapasitas produksi dan dapat menghambat aliran produksi secara keseluruhan. Dengan theory of constraints (TOC), stasiun kerja bottleneck akan dioptimalkan sehingga dapat melancarkan aliran produksi secara keseluruhan.

6.1.2. Analisis Revisi Jadwal Induk Produksi

Berdasarkan hasil rough-cut capacity planning (RCCP) yang dapat dilihat pada Tabel 5.28. diketahui bahwa stasiun kerja yang merupakan stasiun kerja

bottleneck adalah stasiun kerja pencampuran (SK-II) dan stasiun kerja pemasakan

(SK-IV). Pada stasiun kerja pencampuran terjadi bottleneck karna adanya perbedaaan kapasitas antara stasiun kerja pencampuran (SK-II) dengan stasiun kerja sebelumnya, yaitu stasiun kerja pengayakan (SK-I) sehingga menyebabkan penumpukan pada stasiun kerja pencampuran. Perbedaan kapasitas terjadi pada kapasitas produksi dan kapasitas waktu dari kedua stasiun kerja. Perbedaan kapasitas produksi dari SK-I dan SK-II adalah untuk SK-I sebesar 1200 kg/jam sedangkan untuk SK-II hanya sebesar 1125 kg/jam. Perbedaan kapasitas waktu dari SK-I dan SK-II adalah untuk SK-I, rata-rata penyelesaian produk dapat dilakukan dalam waktu 10,22 detik sedangkan untuk SK-II, rata-rata penyelesaian produk dapat dilakukan dalam waktu 20,62 detik.

Demikian pula, pada stasiun kerja pemasakan, dimana ada perbedaan kapasitas antara stasiun kerja pemasakan (SK-IV) dan pembentukan adonan (SK-

III) sehingga menyebabkan penumpukan pada stasiun kerja pemasakan. Perbedaan kapasitas produksi dari SK-III dan SK-IV adalah untuk SK-III sebesar 1275 kg/jam sedangkan untuk SK-IV hanya sebesar 750 kg/jam. Perbedaan kapasitas waktu dari SK-III dan SK-IV adalah untuk SK-III, rata-rata penyelesaian produk dapat dilakukan dalam waktu 11,89 detik sedangkan untuk SK-IV, rata-rata penyelesaian produk dapat dilakukan dalam waktu 20,38 detik.

Dengan demikian, pada kedua stasiun kerja bottleneck ini terdapat kendala

(constraint) yang harus dihilangkan untuk memaksimalkan throughput

perusahaan. Prinsip perbaikan terus-menerus theory of constraints (TOC) diterapkan untuk mengoptimalkan perencanaan kapasitas sehingga tidak ada lagi stasiun kerja bottleneck. Dengan menggunakan metode linear programming, revisi jadwal induk produksi dilakukan dengan melakukan penyesuaian terhadap kapasitas yang dimiliki stasiun kerja pencampuran dan pemasakan.

Berdasarkan hasil revisi jadwal induk produksi yang dapat dilihat pada Tabel 5.31. diperoleh throughput maksimal adalah pada bulan Januari 2014, yaitu sebesar Rp 2.170.635.000,00 dengan jumlah produksi untuk Gaga Mie 100 Goreng Extra Pedas sebesar 53.187 karton, Gaga Mie 100 Soto sebesar 15.067 karton, Gaga Mie 1000 Goreng Spesial Pedas sebesar 18.680 karton, dan Gaga Mie 1000 Soto sebesar 6.121 karton. Akan tetapi, sesuai dengan prinsip TOC yaitu perbaikan terus-menerus, maka evaluasi terhadap jadwal induk produksi harus terus dilakukan setiap bulannya.

Revisi rough-cut capacity planning (RCCP) dilakukan untuk melihat apakah masih terdapat stasiun kerja bottleneck atau tidak setelah revisi jadwal

induk produksi dilakukan. Dari Tabel 5.32. dapat dilihat bahwa semua stasiun kerja menjadi stasiun kerja non-bottleneck sehingga tidak ada lagi kendala

(constraint) yang menghambat aliran produksi.

6.2. Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu rencana kapasitas yang efektif dalam menurunkan penumpukan yang terjadi pada stasiun kerja bottleneck. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalisasi aliran produksi pada semua stasiun kerja di PT. Jakarana Tama serta untuk meningkatkan throughput

atau tingkat penjualan dari perusahaan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan,

bottleneck dipengaruhi oleh kapasitas dibutuhkan (capacity requirement/CR)

dengan kapasitas tersedia (capacity available/CA). Apabila kapasitas tersedia lebih besar daripada kapasitas dibutuhkan, maka proses produksi dapat berjalan lancar dan tidak terjadi penumpukan yang menghambat aliran produksi.

Berdasarkan hasil penelitian, pada beberapa kasus di stasiun kerja pencampuran dan pemasakan, ditemukan bahwa CA lebih kecil daripada CR sehingga ditemukan stasiun kerja bottleneck pada PT. Jakarana Tama. Stasiun kerja ditemukan pada:

1. Stasiun kerja pencampuran (SK-II), pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei, Juni, Juli, dan Agustus 2014.

2. Stasiun kerja pemasakan (SK-IV), pada bulan Januari, Mei, dan Juli 2014. Dengan mengikuti langkah-langkah prinsip theory of constraints, perbaikan dilakukan untuk mengeliminasi kendala-kendala yang menyebabkan

bottleneck. Dalam langkah eksploitasi kendala yang ada, dengan menggunakan metode linear programming, akan dilakukan optimasi aliran produksi pada stasiun kerja bottleneck yang ditemukan sehingga akan diperoleh jadwal induk produksi baru yang optimal dengan throughput yang maksimal.

Work in process (WIP) terjadi karena adanya ketidak-seimbangan

kapasitas yang terjadi pada fasilitas stasiun kerja sehingga menimbulkan penumpukan produk setengah jadi atau fasilitas kerja mengganggur dan tidak dapat digunakan secara maksimal. Dengan adanya optimasi jadwal induk produksi, perusahaan dapat melakukan minimasi dalam hal sebagai berikut:

1. Work in process (WIP), dimana semakin optimal jumlah produksi yang

dikerjakan dalam lantai produksi, berdasarkan hasil JIP optimal terjadi pengurangan jumlah produksi, maka jumlah persediaan produk setengah jadi akan semakin rendah.

2. Jumlah waste (pemborosan yang tidak memberikan nilai tambah dan dapat menghambat aktivitas pada proses produksi) yang diakibatkan oleh adanya

work in process pada stasiun kerja bottleneck, yaitu stasiun kerja

pencampuran dan pemasakan, dapat diminimalisasi.

3. Waktu penyelesaian rata-rata dari proses produksi dapat diminimalisasi dengan mengurangi waste yang dapat menyebabkan buruknya aliran produksi dan aliran material pada lantai produksi.

Dengan demikian, penerapan prinsip theory of constraints dapat menghilangkan kendala-kendala yang menyebabkan bottleneck dan meningkatkan keuntungan / tingkat keluaran (throughput) pada PT. Jakarana Tama.

BAB VII

Dokumen terkait