• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pemberantasan Tindak Pidana Kesusilaan di Internet dalam Perspektif Keadilan Bermartabat

Pemberantasan tindak pidana kesusilaan di internet dalam perspektif Keadilan Bermartabat berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dengan Terdakwa yang bernama Baiq Nuril Maknun. Terdakwa dalam perkara tersebut terbukti secara sah bersalah karena telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) apabila disalin menjadi satu naskah, maka rumusannya “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.”

Kasus ini, Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama enam bulan dan pidana denda sejumlah lima ratus juta rupiah dengan ketentuan apabila pidana denda itu tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Penjatuhan pidana dalam perkara a quo oleh Mahkamah Agung adalah sejalan dengan tujuan pemerintah dalam melakukan pengembangan teknologi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya. Sehingga pemanfaatan teknologi dan informasi diharapkan dapat dilakukan secara aman untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia sekaligus menjadi media atau sarana yang paling efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Mahkamah Agung dalam pendapatnya menyatakan bahwa penjatuhan pidana dalam kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi Terdakwa pada khususnya maupun bagi masyarakat Indonesia pada umumnya agar dapat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik. Terlebih lagi penggunaan media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang atau pembicaraan antar personal. Apabila penggunaan media elektronik menyangkut data pribadi seseorang, lebih baik dilakukan berdasarkan atas persetujuan orang yang bersangkutan tersebut. Dalam perkara ini, penjatuhan pidana oleh Mahkamah Agung juga mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan keadaan yang meringankan bagi Terdakwa. Keadaan yang memberatkan yaitu akibat perbuatan Terdakwa, karir saksi korban Haji Muslim sebagai Kepala Sekolah di SMA Negeri 7 Mataram terhenti, keluarga besar saksi korban Haji Muslim merasa malu dan kehormatannya dilanggar. Sedangkan keadaan yang meringankan yaitu bahwa Terdakwa belum pernah dihukum serta Terdakwa memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang.

Penjatuhan pidana dalam upaya pemberantasan tindak pidana kesusilaan di internet dalam perspektif Keadilan Bermartabat yang dilakukan oleh Hakim dinilai sudah tepat karena didukung dengan Putusan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019. Mahkamah Agung memeriksa perkara tindak pidana khusus pada pemeriksaan peninjauan kembali yang dimohonkan oleh Baiq Nuril Maknun selaku Terpidana. Pendapat Mahkamah Agung mengenai alasan peninjauan kembali yang diajukan oleh Terpidana tentang adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata, tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan Judex Juris telah memuat substansi dari

Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didakwakan kepada Baiq Nuril Maknun. Dakwaan itu termuat dalam putusan yang menyatakan Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Terpidana terbukti memberikan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan kepada orang lain. Dalam bukti tersebut dinyatakan bahwa Terpidana dengan sengaja merekam pembicaraan yang bermuatan melanggar kesusilaan antara Terpidana dengan saksi korban Haji Muslim tanpa seijin dari saksi korban itu sendiri. Bukti lain yaitu bahwa hanya Terpidana sendiri yang mengetahui adanya rekaman percakapan antara Terpidana dengan saksi korban Haji Muslim yang telah disimpan oleh Terpidana lebih dari satu tahun.

Terpidana dengan sengaja dan dalam keadaan sadar serta tidak di bawah tekanan, berjanji untuk bertemu dengan saksi Haji Imam Mudawin di halaman Kantor Kepala Dinas Kebersihan Kota Mataram. Tujuan dari pertemuan antara Terpidana dengan saksi Haji Imam Mudawin itu karena saksi Haji Imam Mudawin meminta isi rekaman pembicaraan tersebut. Setelah sebelumnya saksi Haji Imam Mudawin meminta isi rekaman pembicaraan itu beberapa kali kepada Terpidana namun Terpidana selalu menolak untuk memberikan isi rekaman tersebut. Penolakan oleh Terpidana didasarkan atas kesadaran tentang adanya konsekuensi jika Terpidana memberikan isi rekaman itu kepada orang lain. Namun saksi Haji

Imam Mudawin mengatakan bahwa rekaman tersebut akan dilaporkan sebagai bukti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram.

Pada akhirnya, dalam pertemuan antara Terpidana dengan saksi Haji Imam Mudawin kemudian rekaman pembicaraan antara Terpidana dengan saksi korban Haji Muslim yang bermuatan kesusilaan yaitu saksi korban Haji Muslim menceritakan hubungan persetubuhan antara saksi korban Haji Muslim dengan Landriati yang terjadi di kamar Hotel Puri Saron Senggigi tersebut selanjutnya ditransmisikan atau ditransfer ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin. Konten yang telah ditransmisikan atau ditransfer tersebut tersebar ke pihak-pihak lainnya yang mengakibatkan kerugian moril pada saksi korban Haji Muslim dan keluarganya serta keluarga Landriati.

Terpidana dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan alasan mengenai Judex Juris yang mempertimbangkan bukti rekaman maupun hasil cetaknya yang tidak sah dan tidak mengikat secara hukum karena telah berubah isinya tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berpendapat, sejak awal persidangan di pengadilan tingkat pertama bukti a quo telah diperlihatkan dan diperdengarkan kepada Terpidana dan tidak ada keberatan dari Terpidana sehingga tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan jika Terpidana menyatakan keberatannya. Terpidana dalam hal ini merasa keberatan terhadap penulisan pasal yang terbukti dan telah terpenuhi bahwa Terpidana melakukan tindak pidana sebagaimana termuat pada halaman tujuh baris ke dua puluh tujuh putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018.

Hal tersebut bukanlah merupakan suatu kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP. Putusan Judex Juris telah secara jelas dan lengkap serta terperinci mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan yang dihubungkan dengan keterangan Terpidana, keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya serta barang bukti yang diajukan sebagaimana termuat dalam putusan Judex Juris halaman lima baris ke enam sampai dengan halaman tujuh baris ke dua puluh empat.

Pertimbangan Judex Juris tersebut dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum, keberatan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut adalah kekurangan pengetikan dalam penulisan angka pasal yang seharusnya tertulis Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana pada halaman sembilan baris ke sebelas putusan Judex Juris a quo. Alasan peninjauan kembali dari Terpidana tersebut tidak memenuhi ketentuan dari Pasal 263 Ayat (2) dan Ayat (3) KUHAP, maka berdasarkan ketentuan Pasal 266 Ayat (2) huruf a KUHAP, Mahkamah Agung mengadili dengan menolak permohonan peninjauan kembali dari Terpidana dan Mahkamah Agung menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut tetap berlaku.

Berdasarkan segala pertimbangan yang telah dikemukakan di atas, Penulis berpendapat setuju terkait putusan Hakim yang mengabulkan permohonan kasasi dalam Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 serta penolakan permohonan

peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019. Putusan Hakim dalam perkara ini berkaitan dengan judul Penulis yaitu pemberantasan tindak pidana kesusilaan di internet dalam perspektif Keadilan Bermartabat, telah sejalan dengan teori Keadilan Bermartabat karya Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Dalam teori Keadilan Bermartabat, dikemukakan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman meneruskan dogmatika hukum yang mentradisi yaitu ius curia novit atau fiksi bahwa hakim itu dianggap tahu tentang undang-undang. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, hakim yang menolak untuk mengadili atau menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka hakim itu dapat dituntut untuk dihukum. Hakim dalam perkara ini sejalan dengan teori Keadilan Bermartabat dengan menelaah suatu perkara sampai ke akar hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan melampaui pengetahuan inderawi. Dengan kata lain, hakim memiliki keyakinan bahwa keadilan yang harus didahulukan.

Berdasarkan perkara pada Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dan Putusan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 dikaitkan dengan konsep tindak pidana kesusilaan siber dan pengaturannya. Dikemukakan bahwa apabila dilihat dari sudut formulasi rumusannya, tindak pidana dalam Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dan Putusan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019 berada di bidang informasi dan transaksi elektronik karena obyek perbuatan yang sekaligus obyek tindak pidananya berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Sementara apabila dilihat dari sudut letak sifat larangannya adalah melawan hukum. Dari sudut kepentingan hukum yang

hendak dilindungi yaitu tindak pidana kesusilaan. Perbuatan Baiq Nuril Maknun dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dipidana karena timbul sifat melawan hukumnya yaitu isi informasi dan/atau dokumen elektronik yang Baiq Nuril Maknun transmisikan ke dalam laptop saksi Haji Imam Mudawin tersebut mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.

Tindak pidana pokok dalam perkara Baiq Nuril Maknun ini adalah kesusilaan, sementara sarana tindak pidananya dengan menggunakan atau memanfaatkan teknologi. Dikemukakan di atas, bahwa Baiq Nuril Maknun sengaja dan dalam keadaan sadar serta tidak di bawah tekanan, berjanji untuk bertemu dengan saksi Haji Imam Mudawin di halaman Kantor Kepala Dinas Kebersihan Kota Mataram dengan tujuan untuk mentransfer isi rekaman ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin. Frasa sengaja memiliki arti yaitu sikap batin orang yang menghendaki dan mengetahui suatu perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Sengaja berfungsi sebagai penghubung antara sikap batin seseorang yaitu mengetahui dan menghendaki dengan perbuatan yang hendak dilakukannya.

Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menggunakan istilah tanpa hak. Hubungan antara tanpa hak dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat dalam hal obyek tindak pidananya. Bahwa dicelanya atau terlarangnya perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau data elektronik disebabkan karena isi obyeknya

melanggar kesusilaan. Sifat dicela atau terlarangnya perbuatan semacam itu adalah pada isinya dalam informasi elektronik, bukan pada subyek hukum atau pembuatnya.

Penyelesaian tindak pidana dalam perkara oleh Baiq Nuril Maknun ini tidak tergantung pada sudah ada pihak atau orang yang telah melihat secara virtual informasi atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan tersebut. Sebab tindak pidana sebagaimana termuat pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan tindak pidana formil. Sehingga penyelesaiannya cukup didasarkan pada telah selesainya perbuatan Baiq Nuril Maknun dalam hal mentransmisikan atau mendistribusikan.

Hakim dinilai sudah tepat dalam menjalankan tugasnya terkait penegakan hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh Baiq Nuril Maknun sebagaimana yang termuat di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui diputusnya Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dan Putusan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019. Namun, masyarakat menilai ada ketidaksesuaian serta bertentangan dengan rasa keadilan. Sehingga muncul sebuah gagasan dari masyarakat agar Baiq Nuril Maknun dapat memperoleh amnesti dari Presiden. Amnesti adalah satu-satunya jalan agar Baiq Nuril Maknun mendapat keadilan. Masyarakat merasa bahwa Baiq Nuril Maknun adalah korban yang sebenarnya yaitu korban pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan oleh saksi korban Haji Muslim.

Amnesti adalah wewenang Presiden menurut teori dasarnya diberikan sebelum orang diadili atau divonis. Pemberian amnesti juga harus mendapat

persetujuan DPR. Sedangkan jika sudah divonis, maka wewenang Presiden adalah memberikan grasi. Namun dalam kasus yang menimpa Baiq Nuril Maknun ini, cukup sulit untuk menentukan pengampunan mana yang lebih cocok untuknya. Masalahnya adalah grasi itu diberikan kepada orang yang dihukum minimal dua tahun pidana penjara. Sedangkan Baiq Nuril Maknun hanya dihukum enam bulan pidana penjara. Selain itu grasi diberikan apabila orang tersebut mengakui kesalahannya. Berdasarkan perkara ini, Baiq Nuril Maknun tidak mengawkui kesalahannya, terbukti dengan Baiq Nuril Maknun mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Namun, amnesti merupakan pilihan yang paling memungkinkan ditempuh. Alasannya, karena hukuman yang diterima oleh Baiq Nuril berdasarkan vonis yang diberikan oleh Hakim hanya enam bulan pidana penjara. Hingga pada akhirnya, Baiq Nuril Maknun menerima Keppres amnesti yang telah ditandatangai oleh Presiden dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Amnesti tersebut disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2019. Seluruh perwakilan fraksi menyatakan setuju atas laporan pertimbangan pemberian amnesti yang dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik. Apabila dilihat dari perspektif hukum, maka pemberian amnesti ini adalah langkah tepat karena tidak ada pembatasan di dalam pasal 14 Ayat 2 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa amnesti hanya boleh diberikan kepada narapidana politik. Konstitusi hukum tidak membatasi pemberian amnesti hanya untuk narapidana politik.

Penulis berpendapat bahwa Presiden sudah tepat sesuai dengan teori Keadilan Bermartabat, dalam melaksanakan wewenangnya yaitu pemberian amnesti kepada

Baiq Nuril Maknun. Disebabkan karena Baiq Nuril Maknun adalah korban pelecehan seksual yang sebenarnya. Namun karena Baiq Nuril Maknun melakukan suatu kesalahan berupa ditransmisikannya rekaman pembicaraan antara Baiq Nuril Maknun dengan saksi korban Haji Muslim kepada saksi Haji Imam Mudawin, maka Baiq Nuril Maknun melakukan suatu hal yang berakibat fatal pada dirinya. Menurut Penulis, Baiq Nuril Maknun bersalah karena tidak dapat menjaga privasi orang lain berupa rekaman pembicaraan tersebut. Serta Baiq Nuril Maknun merekam percakapan itu secara sepihak tanpa ijin dari saksi korban Haji Muslim. Seharusnya apabila Baiq Nuril Maknun merasa dilecehkan melalui percakapan telepon, Baiq Nuril Maknun dapat segera merekam pembicaraan itu dan segera pula melaporkannya ke pihak yang berwenang, bukan malah diberikan kepada orang lain yang dalam kasus ini adalah saksi Haji Imam Mudawin. Karena saksi Haji Imam Mudawin tidak memiliki hak untuk menerima informasi elektronik dan/atau data elektronik tersebut.