TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Pendapatan Usaha .1 Konsep Pendapatan
Menurut Soekartawi (2016:54) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran dengan beberapa ukuran pendapatan usaha antara lain:
a. Pendapatan kotor usaha didefinisikan sebagai nilai produk total usaha dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Jangka waktu pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga pengusaha, digunakan dalam usaha, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun.
Menghindari penghitungan ganda, semua produk yang dihasilkan sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat pembukuan, tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Istilah lain dari pendapatan kotor ialah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usaha (gross return). Semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.
b. Pengeluaran total usaha didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga. Apabila data tersedia, maka cara yang dapat dilakukan ialah
memisahkan pengeluaran total usaha menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap.
c. Apabila dalam suatu usaha digunakan mesin-mesin atau peralatan, harus dihitung penyusutan yang dianggap sebagai pengeluaran tidak tunai.
d. Pendapatan bersih usaha (keuntungan) adalah selisih antara pendapatan kotor usaha dengan pengeluaran total usaha. Pendapatan bersih (net income) mengukur imbalan yang diperoleh keluarga pengusaha dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan. Pendapatan bersih merupakan peningkatan jumlah aktiva atau penurunan kewajiban yang dihasilkan dari penyerahan barang, jasa, maupun aktivitas usaha lainnya dalam suatu periode (Soemarsono, 2002: 274).
Perhitungan pendapatan usaha dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016: 57) :
Π = TR – TC Keterangan :
Π = Keuntungan usaha TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya
e. Penghasilan bersih usaha (net earnings) adalah pendapatan bersih dikurangi bunga yang dibayarkan atas modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan penghasilan yang diperoleh dari usaha untuk keperluan keluarga dan
merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai dalam usaha.
Sedangkan menurut Suratiyah (2015:83) pendapatan dalam usahatani diperlukan beberapa hal yaitu :
a. Pendapatan kotor atau penerimaan, yaitu diperhitungkan dari hasil penjualan atau penaksiran kembali dengan mengkalikan jumlah produksi dan harga per kesatuan.
b. Biaya alat-alat luar, merupakan semua biaya yang dipergunakan untuk menghasilkan pendapatan kotor kecuali upah tenaga kerja, bunga seluruh aktiva yang dipergunakan, dan biaya untuk kegiatan usaha.
c. Biaya mengusahakan, merupakan alat-alat luar ditambah upah tenaga keluarga, diperhitungkan berdasarkan upah pada umumnya.
d. Biaya menghasilkan, yaitu biaya mengusahakan ditambah bunga dari aktiva yang dipergunakan dalam usahatani.
e. Pendapatan bersih, adalah selisih dari pendapatan kotor dengan biaya mengusahakan.
f. Pendapatan petani, yaitu pendapatan kotor dikurangi biaya alat-alat luar dan bunga modal luar.
g. Pendapatan tenaga keluarga, merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan bunga modal sendiri.
h. Keuntungan dan kerugian, yaitu selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan upah keluarga dan bunga modal sendiri.
Menurut Sukirno (2002:47) bahwa pendapatan yang digunakan merupakan balas jasa yang diterima atas keikutsertaan seorang dalam proses produksi barang dan jasa, pendapatan ini dikenal dengan nama pendapatan dari kerja (labour income).
Menurut Sukirno (2002:48) untuk menghitung besar kecilnya pendapatan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu:
1. Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung semua nilai produksi barang dan jasa akhir yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu.
2. Pendekatan pendapatan (income approach), yaitu dengan menghitung nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu.
3. Pendekatan pengeluaran (expenditure approach), yaitu pendapatan yang diperoleh dengan menghitung pengeluaran konsumsi masyarakat.
2.1.2 Konsep Biaya
Menurut Suratiyah (2015:83) biaya mengusahakan (biaya usahatani) adalah semua biaya yang dikeluarkan. Sedangkan menurut Mulyadi (2002:8) biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang akan ataupun telah terjadi untuk tujuan tertentu. Dilengkapi oleh Soekartawi (2010:54) yang mengatakan bahwa biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani dengan klasifikasi biaya usaha yaitu biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya tunai, dan biaya tidak tunai (biaya diperhitungkan).
a. Biaya tetap (fix cost) tidak akan berubah pada tingkat di mana dalam jangka pendek produksi berubah tetapi akan berubah dalam jangka panjang sebagaimana jumlah dari biaya tetap. Sepanjang tidak dibutuhkan suatu input tetap dalam jangka panjang, biaya tetap hanya akan berharga untuk jangka pendek dan bernilai nol dalam jangka panjang.
b. Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan ouput. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk sarana produksi maupun untuk pembelian bahan baku.
c. Biaya Tunai (cash) didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi keperluan usaha. Contoh biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air. Biaya tunai yang sifatnya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian input, sewa mesin, dan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja upahan.
d. Biaya Tidak Tunai (diperhitungkan) didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. Biaya diperhitungkan yang termasuk biaya tetap antara lain sewa lahan, penyusutan alat-alat pertanian, bunga kredit, dan lain-lain, sedangkan yang diperhitungkan dari biaya variabel antara lain biaya untuk tenaga kerja, biaya pengupasan dan pengolahan tepung dari keluarga.
2.1.3 Analisis R/C Ratio
Menurut Soekartawi (2016: 85), R/C Ratio merupakan singkatan dari Return
Cost Ratio yang dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya.
Menurut Harmono dan Andoko (2005: 67), rasio penerimaan atas biaya menunjukkan besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam usaha. R/C Ratio dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif kegiatan usaha. Secara sistematis R/C Ratio dapat dituliskan sebagai berikut:
R/C Ratio = Total Penerimaan Total Biaya R/C Ratio = Py . Y
(FC + VC)
Keterangan :
R/C = Revenue Cost ratio (rasional penerimaan terhadap total biaya) R = Py.Y (penerimaan)
Py = harga output Y = output
FC = biaya tetap (fixed cost) VC = biaya variabel (variable cost)
Analisis R/C Ratio dapat digunakan untuk melihat keuntungan dan kelayakan dari sebuah usahatani. Apabila nilai R/C Ratio lebih besar dari satu (R/C > 1), maka usahatani tersebut layak untuk dikembangkan. Sebaliknya, apabila nilai R/C Ratio lebih kecil dari satu (R/C < 1), maka usahatani tersebut tidak layak untuk dikembangkan (Soekartawi, 2016: 86).
2.1.4 Analisis B/C Ratio
Benefit Cost Ratio merupakan suatu rasio yang mengembalikan antara benefit (keuntungan) usaha dengan biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan pengoperasian usaha yang dijalankan tersebut, sehingga analisis B/C Ratio dapat dijadikan kriteria suatu usaha layak atau tidak (Sofyan, 2003: 177). Menurut Rahardi dan Hartono (2003: 69), secara sistematis B/C Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
B/C Ratio = Total Keuntungan Total Biaya
Menurut Pavelis (2017: 161), Benefit Cost Ratio (BCR) adalah rasio manfaat proyek dengan biaya proyek. Persyaratan dalam analisis B/C Ratio yaitu biaya dan manfaat (keuntungan) dikaitkan secara akurat.
Analisis B/C Ratio dapat digunakan untuk melihat keuntungan yang didapatkan suatu usaha dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut pada masa yang akan datang. Apabila nilai B/C Ratio lebih besar dari nol (B/C > 0), maka usahatani tersebut layak untuk dijalankan. Sebaliknya, apabila nilai B/C Ratio lebih kecil dari nol (B/C < 0), maka usahatani tersebut tidak layak untuk dijalankan karena tidak mampu mengembalikan modal yang diinvestasikan (Pavelis, 2017:
163).
2.1.5 Analisis Break Even Point (BEP)
Menurut Nurmalina dkk (2014:92), break even point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue (TR) = total cost (TC), bergantung pada lama
arus penerimaan sebuah bisnis dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya selama suatu usaha masih di bawah break even, maka perusahaan masih mengalami kerugian. Semakin lama mencapai titik pulang pokok, semakin besar saldo rugi karena keuntungan yang diterima masih menutupi segala biaya yang dikeluarkan. Adapun tujuan menggunakan analisis titik impas (BEP) adalah:
1. Untuk mengetahui berapa jumlah produk minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi.
2. Berapa harga terendah yang harus ditetapkan agar bisnis tidak rugi.
2.1.6 Payback Period (PP)
Analisis Payback Period digunakan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian modal yang dikeluarkan oleh perusahaan selama menjalankan usaha pengolahan lidah buaya yang diperoleh dari perbandingan antara nilai investasi dengan nilai pendapatan. Payback Period didefinisikan sebagai harapan jumlah tahun yang diperlukan untuk memulihkan investasi asli yang dikeluarkan di awal usaha (Brigham dan Ehrhardt, 2005: 347).
Jika semua faktor dianggap konstan, usaha dengan periode pengembalian yang lebih pendek sangat dipertimbangkan sebagai usaha yang lebih baik, karena investor dapat memulihkan modal yang diinvestasikan dalam periode waktu yang lebih singkat. Selain itu, periode pengembalian yang lebih pendek berarti memiliki likuiditas usaha yang lebih besar, karena arus kas yang diharapkan di masa depan dengan jangka waktu panjang akan lebih berisiko dibandingkan dengan arus kas
jangka pendek. Payback Period atau masa pengembalian modal investasi sering digunakan sebagai indikator risiko usaha atau proyek (Ong dan Thum, 2013: 157).
Selain itu, menurut Nurmalina dkk (2014:103) masalah utama dari metode ini adalah sulitnya menentukan periode payback maksimum yang diisyaratkan, untuk dipergunakan sebagai angka pembanding. Secara normative, tidak ada pedoman yang bisa dipakai untuk menentukan payback maksimum ini. Kelemahan- kelemahan lain dari metode ini adalah diabaikannya nilai waktu uang (time value of money), diabaikannya (cash flow) setelah periode payback.
2.2 Agroindustri Lidah Buaya