• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X

Dalam dokumen Erika Hidayanti FKIK (Halaman 124-132)

BAB IV METODE PENELITIAN

6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X

6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X

Pengkajian dan pelayanan resep adalah hal yang paling pertama

yang harus dilakukan oleh apoteker dalam melakukan penerimaan resep

dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan untuk mencegah

terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk

dan penulisan resep yang tidak baik (Arhayani, 2007).

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

110 persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis.

Di RS X persyaratan administrasi sudah kurang terutama pada penulisan

berat badan dan tinggi badan pasien, sedangkan untuk persyaratan

farmasetik baik, dan untuk persyaratan klinis masih kurang terutama

terkait informasi alergi obat.

Sedikit berbeda dengan PMK No. 58, persyaratan kelengkapan resep

dari WHO lebih sederhana. Berikut perbandingan syarat dari PMK No.58

dan WHO:

Tabel 6.1 Syarat Resep PMK No.58 dan WHO

Persyaratan Resep

PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)

1. Nama pasien 1. Nama pasien

2. Umur pasien 2. Umur pasien

3. Jenis kelamin 3. Alamat pasien

4. Berat badan 4. Tanggal resep

5. Tinggi badan 5. Nama dokter

6. Nama dokter 6. Alamat dokter

7. Nomor izin 7. Telepon dokter

8. Alamat 8. Paraf dokter atau inisial

9. Paraf dokter 9. Nama generik obat

10.Tanggal resep 10.Kekuatan sediaan

11.Ruang/unit asal resep 11.Dosis

12.Nama obat 12.Jumlah obat

13.Bentuk obat 13.Aturan pakai

14.Kekuatan sediaan 14.Peringatan

15.Dosis

16.Jumlah obat

17.Stabilitas 18.Aturan dan cara

penggunaan

19.Ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat 20.Duplikasi pengobatan 21.ROTD

111 Persyaratan Resep

PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)

22.Kontraindikasi

23.Interaksi obat

Berikut pembahasan untuk masing-masing kelengkapan persyaratan

pada resep:

1. Kelengkapan Persyaratan Administrasi

Dari hasil analisis pada 295 sampel resep maka didapatkan

secara umum persyaratan adimistrasi resep di RS X sudah cukup.

Ada 96 resep yang tak memilki keterangan jenis kelamin, rata-rata

yang tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Peada

penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS Fatmawati pada tahun

2013 juga ditemukan banyak yang tidak mencatumkan jenis kelamin

pasien yaitu sebanyak 249 resep dari 325 resep yang dianalisis atau

sekitar 96% (Susanti, 2015).

Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling

rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep

yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya

untuk pasien anak-anak. Hal ini juga sama dengan penelitian

sebelumnya yang menyebutkan tidak adanya keterangan berat badan

dan tinggi badan pasien pada 287 resep dari 325 resep yang diteliti

atau sekitar 88% (Susanti, 2015). Berdasarkan PMK No.58 Tahun

2014 memang tidak disebutkan secara jelas keterangan tinggi badan

112 Namun, berdasarkan saran WHO pada Guidliness to Good Prescribing tidak disebutkan adanya berat badan dan tinggi badan pasien pasien pada resep. Sedangkan menurut Medical Council of New Zeland (MCNZ) keadaan disik pasien seperti berat badan dan tinggi badan harus dicantumkan dalam resep untuk menghindari

kesalahan terapi (MCNZ, 2016).

Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien

hanya 67,46%. Dari hasil analisis resep yang memuat umur pasien

hanya pada pasien dengan umur tua dan anak-anak. Informasi terkait

umur memang menjadi standar dari PMK No.58 Tahun 2014 dan di

RS X sendiri, namun sebenarnya berdasarkan saran WHO pada

Guidliness to Good Prescribing, umur dicantumkan hanya terutama bagi pasien anak-anak dan orang tua.

Menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care

yang dikeluarkan oleh Lancashire Medicines Management Group di Inggris keterangan umur, berat badan, dan tinggi pasien penting

dicantumkan memang hanya untuk pasien anak-anak karena

berhubungan dengan perhitungan dosis dan terapi (Davey, 2016)

Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan banyak yang luput

dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan. Jumlah yang tidak

ada tanggal resep yaitu 85 resep dan yang tidak ada asal ruangan ada

96 resep. Berdasarkan penelitian sebelumnya di RS Fatmawati dari

113 (Susanti, 2013). Padahal menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care tanggal resep harus ditulis secara lengkap agar jelas kapan dan dari mana datangnya resep jika diperiksa kemudian hari.

(Davey, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harjono dan Nuraini

Farida (1999) dalam Rahmawati (2002) menunjukkan adanya

berbagai penyimpangan dalam hal penulisan resep, misalnya

penulisan resep yang tidak lengkap (resep tanpa tanggal, tanpa paraf

dokter, tidak mencantumkan permintaan bentuk sediaan) serta

penulisan resep yang tidak jelas maupun sukar dibaca baik

menyangkut nama, kekuatan dan jumlah obat, bentuk, sediaan

maupun aturan pakai.

Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah

interpretasi antara petugas kesehatan merupakan salah satu faktor

penyebab timbulnya kesalahan obat (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 2007).

Hal ini juga dikemukan WHO, komunikasi antar penulis dan

pembaca resep haruslah baik. Jika ada yang tak jelas maka pembaca

resep wajib melakukan konfirmasi pada penulis resep, inilah

mengapa nama, alama, dan nomor telepon penulis resep menjadi

penting, agar petugas dapat melakukan konfirmasi dengan mudah.

Dalam kasus RS X asal ruangan juga menjadi salah satu

114 melakukan konfirmasi dengan mudah jika ada ketidakjelasan dengan

menelepon nomor ruangan atau langsung pada dokter. Di RS X pun

kode nomor telepon dokter sudah diatur dengan mudah dan

semuanya tersambung ke pusat informasi sehingga harusnya RS X

melakukan konfirmasi dengan mudah.

2. Kelengkapan Persyaratan Farmasetik

Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik

karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan

adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan

lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua

dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya

tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau

puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis

hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya

99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan

hanya sebesar 87,78%.

Tidak adanya bentuk sediaan obat ini merugikan pasien

karena pemilihan bentuk sedian disesuaikan dengan kondisi tubuh

pasien. Selain itu konsentrasi atau kekuatan obat yangtak tercantum

juga bisa berbahaya karena berpengaruh pada hasil terapi yang akan

dijalani, jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan maka terapi

115 lebih tinggi maka sangat berbahaya bahkan bisa menimbulkan

kematian karena kesalahan pemberian (Susanti, 2013).

Sedangkan menurut WHO kekuatan obat menunjukkan

berapa miligram setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan harus

mengandung zat tertentu. Singkatan yang diterima secara

internasional adalah g untuk gram, ml untuk mililiter. Penulisan

angka desimal harus dihindari, jika perlu, menulis kata-kata penuh

untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin

50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Tulisan tangan

resep yang buruk dapat menyebabkan kesalahan (WHO, 1994).

Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak banyak diteliti

pada penelitian kelengkapan resep sebelumnya. Dalam buku panduan

WHO pun tak disebutkan adanya stabilitas obat dalam resep, namun

perlu diketahui oleh apoteker dan dokter demi memberikan terapi

yang tepat untuk pasien.

3. Kelengkapan Persyaratan Klinis

Berdasarkan sample yang diambil kelengkapan persyaratan klinis

pada resep di RS X masih kurang. Hanya waktu penggunaan yang

jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%. Sedangkan untuk indikasi hanya

sebesar 47,12%. Begitu juga untuk reaksi alergi hanya sebesar 27.12%,

padahal sudah ada kolom dalam form resep yang harus diisi oleh dokter

116 Pertimbangan klinis dalam resep di antaranya adanya alergi, efek

samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain)/

Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada

dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif

seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan

(Hartini dan Sulasmono, 2007) dalam (Apriliani, 2010).

Persyaratan klinis yang menjadi pertimbangan tentang indikasi,

kontraindikasi, dan waktu penggunaan memang tak disebutkan secara

tegas harus ada dalam resep namun secara tegas harus diketahui oleh

pasien . Hal ini dikarenakan banyak pula pasien yang tak patuh

menjalankan terapi jika tak diberi peringatan terkait persyaratan klinis

tersebut, kebanyak terjadi pada pasien dengan keluhan tidak begitu serius

(WHO, 1994).

Kejadian kesalahan obat bisa terjadi pada tahap peresepan.

Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion). Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada

tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat (medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang

melibatkan peresepan (prescibing), penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012).

Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah

117 di rumah sakit umum maupun di rumah sakit khusus, meski pun

kesalahan jarang terjadi fatal namun dapat mempengaruhi keselamatan

pasien dan kualitas kesehatan (Velo, 2009).

Kebanyakan yang sulit dilakukan dan sering keliru adalah

pembacaan resep. Petugas mengaku sering menerima resep tidak jelas.

Seharusnya ketika tidak jelas petugas langsung mengkonfirmasi ulang

pada dokter, namun berdasarkan hasil observasi banyak ditemukan

bahwa petugas hanya mengkonfirmasi dengan sesama petugas saja.

Selain itu, di outlet rawat inap dan rawat jalan semua petugas

TTK dan apoteker setiap harinya tidak memiliki pekerjaan yang tetap.

Semunya bergantiaan ssecara acak dan tidak ada yang fokus dengan satu

pekerjaan misalnya hanya mengemas obat, hanya melakukan entry resep.

Hal ini menyebabkan tempat di outlet rawat inap tak sesuai alur kerja.

Dalam dokumen Erika Hidayanti FKIK (Halaman 124-132)

Dokumen terkait