BAB IV METODE PENELITIAN
6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X
6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X
Pengkajian dan pelayanan resep adalah hal yang paling pertama
yang harus dilakukan oleh apoteker dalam melakukan penerimaan resep
dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan untuk mencegah
terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk
dan penulisan resep yang tidak baik (Arhayani, 2007).
Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
110 persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis.
Di RS X persyaratan administrasi sudah kurang terutama pada penulisan
berat badan dan tinggi badan pasien, sedangkan untuk persyaratan
farmasetik baik, dan untuk persyaratan klinis masih kurang terutama
terkait informasi alergi obat.
Sedikit berbeda dengan PMK No. 58, persyaratan kelengkapan resep
dari WHO lebih sederhana. Berikut perbandingan syarat dari PMK No.58
dan WHO:
Tabel 6.1 Syarat Resep PMK No.58 dan WHO
Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
1. Nama pasien 1. Nama pasien
2. Umur pasien 2. Umur pasien
3. Jenis kelamin 3. Alamat pasien
4. Berat badan 4. Tanggal resep
5. Tinggi badan 5. Nama dokter
6. Nama dokter 6. Alamat dokter
7. Nomor izin 7. Telepon dokter
8. Alamat 8. Paraf dokter atau inisial
9. Paraf dokter 9. Nama generik obat
10.Tanggal resep 10.Kekuatan sediaan
11.Ruang/unit asal resep 11.Dosis
12.Nama obat 12.Jumlah obat
13.Bentuk obat 13.Aturan pakai
14.Kekuatan sediaan 14.Peringatan
15.Dosis
16.Jumlah obat
17.Stabilitas 18.Aturan dan cara
penggunaan
19.Ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat 20.Duplikasi pengobatan 21.ROTD
111 Persyaratan Resep
PMK No. 58 Tahun 2014 WHO (1994)
22.Kontraindikasi
23.Interaksi obat
Berikut pembahasan untuk masing-masing kelengkapan persyaratan
pada resep:
1. Kelengkapan Persyaratan Administrasi
Dari hasil analisis pada 295 sampel resep maka didapatkan
secara umum persyaratan adimistrasi resep di RS X sudah cukup.
Ada 96 resep yang tak memilki keterangan jenis kelamin, rata-rata
yang tak memiliki keterangan itu adalah pasien anak-anak. Peada
penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS Fatmawati pada tahun
2013 juga ditemukan banyak yang tidak mencatumkan jenis kelamin
pasien yaitu sebanyak 249 resep dari 325 resep yang dianalisis atau
sekitar 96% (Susanti, 2015).
Keterangan tinggi badan dan berat badan pasien paling
rendah yaitu 25,94% dan 23,73%. Berdasarkan hasil analisis resep
yang menggunakan keterangan tinggi badan dan berat badan hanya
untuk pasien anak-anak. Hal ini juga sama dengan penelitian
sebelumnya yang menyebutkan tidak adanya keterangan berat badan
dan tinggi badan pasien pada 287 resep dari 325 resep yang diteliti
atau sekitar 88% (Susanti, 2015). Berdasarkan PMK No.58 Tahun
2014 memang tidak disebutkan secara jelas keterangan tinggi badan
112 Namun, berdasarkan saran WHO pada Guidliness to Good Prescribing tidak disebutkan adanya berat badan dan tinggi badan pasien pasien pada resep. Sedangkan menurut Medical Council of New Zeland (MCNZ) keadaan disik pasien seperti berat badan dan tinggi badan harus dicantumkan dalam resep untuk menghindari
kesalahan terapi (MCNZ, 2016).
Selain itu jumlah resep yang lengkap memuat umur pasien
hanya 67,46%. Dari hasil analisis resep yang memuat umur pasien
hanya pada pasien dengan umur tua dan anak-anak. Informasi terkait
umur memang menjadi standar dari PMK No.58 Tahun 2014 dan di
RS X sendiri, namun sebenarnya berdasarkan saran WHO pada
Guidliness to Good Prescribing, umur dicantumkan hanya terutama bagi pasien anak-anak dan orang tua.
Menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care
yang dikeluarkan oleh Lancashire Medicines Management Group di Inggris keterangan umur, berat badan, dan tinggi pasien penting
dicantumkan memang hanya untuk pasien anak-anak karena
berhubungan dengan perhitungan dosis dan terapi (Davey, 2016)
Sedangkan tanggal resep dan asal ruangan banyak yang luput
dan tidak diisi terutama pada resep rawat jalan. Jumlah yang tidak
ada tanggal resep yaitu 85 resep dan yang tidak ada asal ruangan ada
96 resep. Berdasarkan penelitian sebelumnya di RS Fatmawati dari
113 (Susanti, 2013). Padahal menurut Guidelines for Good Prescribing in Primary Care tanggal resep harus ditulis secara lengkap agar jelas kapan dan dari mana datangnya resep jika diperiksa kemudian hari.
(Davey, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harjono dan Nuraini
Farida (1999) dalam Rahmawati (2002) menunjukkan adanya
berbagai penyimpangan dalam hal penulisan resep, misalnya
penulisan resep yang tidak lengkap (resep tanpa tanggal, tanpa paraf
dokter, tidak mencantumkan permintaan bentuk sediaan) serta
penulisan resep yang tidak jelas maupun sukar dibaca baik
menyangkut nama, kekuatan dan jumlah obat, bentuk, sediaan
maupun aturan pakai.
Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah
interpretasi antara petugas kesehatan merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya kesalahan obat (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 2007).
Hal ini juga dikemukan WHO, komunikasi antar penulis dan
pembaca resep haruslah baik. Jika ada yang tak jelas maka pembaca
resep wajib melakukan konfirmasi pada penulis resep, inilah
mengapa nama, alama, dan nomor telepon penulis resep menjadi
penting, agar petugas dapat melakukan konfirmasi dengan mudah.
Dalam kasus RS X asal ruangan juga menjadi salah satu
114 melakukan konfirmasi dengan mudah jika ada ketidakjelasan dengan
menelepon nomor ruangan atau langsung pada dokter. Di RS X pun
kode nomor telepon dokter sudah diatur dengan mudah dan
semuanya tersambung ke pusat informasi sehingga harusnya RS X
melakukan konfirmasi dengan mudah.
2. Kelengkapan Persyaratan Farmasetik
Sedangkan untuk persyaratan farmasetik resep sudah baik
karena kelengkapan rata-rata di atas 80% meski yang diharapkan
adalah 100%. Dokter di RS X kebanyakan sudah menulis dengan
lengkap terkait terapi yang harus diberikan kepada pasien. Semua
dokter telah menulis nama obat, terlepas dari jelas atau tidaknya
tulisan. Sedangkan, pada persyaratan bentuk obat sirup, tablet, atau
puyer lengkap sebesar 90.17%, kekuatan sediaan 89,83%, dosis
hanya ada dua obat yang taj tertera sehingga kelengkapannya
99,32%, jumlah obat 98,98%, dan aturan serta cara penggunaan
hanya sebesar 87,78%.
Tidak adanya bentuk sediaan obat ini merugikan pasien
karena pemilihan bentuk sedian disesuaikan dengan kondisi tubuh
pasien. Selain itu konsentrasi atau kekuatan obat yangtak tercantum
juga bisa berbahaya karena berpengaruh pada hasil terapi yang akan
dijalani, jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan maka terapi
115 lebih tinggi maka sangat berbahaya bahkan bisa menimbulkan
kematian karena kesalahan pemberian (Susanti, 2013).
Sedangkan menurut WHO kekuatan obat menunjukkan
berapa miligram setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan harus
mengandung zat tertentu. Singkatan yang diterima secara
internasional adalah g untuk gram, ml untuk mililiter. Penulisan
angka desimal harus dihindari, jika perlu, menulis kata-kata penuh
untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin
50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Tulisan tangan
resep yang buruk dapat menyebabkan kesalahan (WHO, 1994).
Sedangkan untuk stabilitas obat memang tidak banyak diteliti
pada penelitian kelengkapan resep sebelumnya. Dalam buku panduan
WHO pun tak disebutkan adanya stabilitas obat dalam resep, namun
perlu diketahui oleh apoteker dan dokter demi memberikan terapi
yang tepat untuk pasien.
3. Kelengkapan Persyaratan Klinis
Berdasarkan sample yang diambil kelengkapan persyaratan klinis
pada resep di RS X masih kurang. Hanya waktu penggunaan yang
jumlahnya di atas 90% yakni 97.97%. Sedangkan untuk indikasi hanya
sebesar 47,12%. Begitu juga untuk reaksi alergi hanya sebesar 27.12%,
padahal sudah ada kolom dalam form resep yang harus diisi oleh dokter
116 Pertimbangan klinis dalam resep di antaranya adanya alergi, efek
samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain)/
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan
(Hartini dan Sulasmono, 2007) dalam (Apriliani, 2010).
Persyaratan klinis yang menjadi pertimbangan tentang indikasi,
kontraindikasi, dan waktu penggunaan memang tak disebutkan secara
tegas harus ada dalam resep namun secara tegas harus diketahui oleh
pasien . Hal ini dikarenakan banyak pula pasien yang tak patuh
menjalankan terapi jika tak diberi peringatan terkait persyaratan klinis
tersebut, kebanyak terjadi pada pasien dengan keluhan tidak begitu serius
(WHO, 1994).
Kejadian kesalahan obat bisa terjadi pada tahap peresepan.
Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion). Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada
tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat (medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang
melibatkan peresepan (prescibing), penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012).
Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah
117 di rumah sakit umum maupun di rumah sakit khusus, meski pun
kesalahan jarang terjadi fatal namun dapat mempengaruhi keselamatan
pasien dan kualitas kesehatan (Velo, 2009).
Kebanyakan yang sulit dilakukan dan sering keliru adalah
pembacaan resep. Petugas mengaku sering menerima resep tidak jelas.
Seharusnya ketika tidak jelas petugas langsung mengkonfirmasi ulang
pada dokter, namun berdasarkan hasil observasi banyak ditemukan
bahwa petugas hanya mengkonfirmasi dengan sesama petugas saja.
Selain itu, di outlet rawat inap dan rawat jalan semua petugas
TTK dan apoteker setiap harinya tidak memiliki pekerjaan yang tetap.
Semunya bergantiaan ssecara acak dan tidak ada yang fokus dengan satu
pekerjaan misalnya hanya mengemas obat, hanya melakukan entry resep.
Hal ini menyebabkan tempat di outlet rawat inap tak sesuai alur kerja.