• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erika Hidayanti FKIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Erika Hidayanti FKIK"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

i

GAMBARAN PELAKSANAAN

PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT X

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (S.K.M.)

Oleh:

Erika Hidayanti

1112101000069

MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN Skripsi, Februari 2017

Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069

GAMBARAN PELAKSANAAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI

RUMAH SAKIT X TAHUN 2017

xii + 193 halaman, 11 tabel, 2 bagan, 6 lampiran

ABSTRAK

Standar pelayanan farmasi klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan dan menjaga keselamatan pasien. Standar pelayanan farmasi klinik rumah sakit di Indonesia mengacu pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Di Indonesia standar mengacu pada PMK nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen terkait kegiatan farmasi klinik di RS X berdasarkan pada PMK nomor 58 tahun 2014. Informan pada penelitian ini adalah apoteker dan asisten apoteker yang terlibat kegiatan pelayanan farmasi klinik. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengambil sampel resep sebanyak 295 resep untuk dianalisis kelengkapannya.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pelayanan farmasi klinik di RS X terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan kadar obat dalam darah. Dari 11 kegiatan RS X hanya melaksanakan 7 kegiatan saja. Kesalahan dalam kegiatan farmasi klinik di RS X yang sering terjadi adalah pada saat pembacaan resep oleh tenaga kefarmasian karena tak terbaca atau tak jelasnya tulisan dokter.

Maka dari itu RS X disarankan untuk berupaya membuat standar untuk rumah sakit sesuai dengan kemampuannya, lalu untuk mengurangi kesalahan pembacaan resep maka disarankan RS X untuk menggunakan sistem electronic prescribing. Selain itu, dibuat aturan atau SOP yang jelas untuk petugas kefarmasian agar tidak terjadi kesalahpahaman antar-petugas.

(6)

v FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

HEALTH CARE MANAGEMENT DEPARTMENT Undergraduate Thesis, February 2017

Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069

DESCRIPTION OF IMPLEMENTATION OF CLINICAL

PHARMACY IN X HOSPITAL, 2017

xii+193 pages, 11 tables, 2 charts, 6 attachments

ABSTRACT

Standard of clinical pharmacy services in hospitals are determine the quality of service and maintain patient safety. Standard of clinical pharmacy services in hospital in Indonesia based on national regulations such as SPM and PMK. For clinical pharmacy services the standard refers to PMK number 58 in 2014 about Standards of Pharmaceutical Services at the Hospital.

This research use qualitative and quantitative approach. The qualitative approach is done by in-depth interviews, observation, and documents study related to clinical pharmacy activities in X Hospital based on the PMK number 58 in 2014. The informant in this study is a pharmacist and assistant pharmacists who involved in clinical pharmacy service activities. Quantitative approaches is done prescription samples analyzed of 295 recipes.

Based on the results, clinical pharmacy services in X Hospitals consists of assessment and prescription services, search history of drug use, medication reconciliation, drug information services, monitoring drug therapy, monitoring of drug side effects, and dispensing sterile preparations. But this hospital not apllied the counseling, visite, drug use evaluation, and monitoring of drug levels in blood. From 11 activities, X Hospital only applied 7 activities. Errors event in clinical pharmacy activities in X Hospital that often occurs when reading prescriptions by pharmacy officers because of illegible recipes from the doctor.

Thus, X Hospital advisable to make its own policy or standar about clinical pharmacy based on its own capability, and to reduce precribing errors in X Hospital, it is advisable to use electronic prescribing systems. In addition, X hospital also should make a clear rules for pharmacy officers to avoid misunderstandings between them.

Keywords: clinical pharmacy services, medication errors, assessment recipe

(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Erika Hidayanti

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 2 Agustus 1994

Agama : Islam

Alamat tinggal : Jln. SD Inpres No.1001 Cireunde – Ciputat,

Tangerang Selatan

No. Hp/telpon : 087882387507

E-mail : erikahidayanti@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 2000-2006 : SDN Citrasari Lembang – Bandung

2. 2006-2009 : SMPN 1 Lembang – Bandung

3. 2009-2012 : SMAN 1 Bandung

4. 2012- 2017 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Biro Humaas dan Media PAMI Nasional 2016-2017

2. Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2016 3. Pemimpin Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2015 4. Wakil Ketua (Pergerakan Anggota Muda IAKMI) PAMI Jakarta Raya

2014-2015

5. Pemimpin Redaksi Himpunan Jurnalis Independen SMAN 1 Bandung 2010-2012

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyusun skripsi yang berjudul ―Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X Tahun 2017‖. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan untuk mendapat gelar Sarjana Kesehatan Mayarakat (S.K.M.).

Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan kekhilafan terdapat pada penulis maka dari pada itu penulis menyadari bahwa laporan ini tidak lebih dari ketidak sempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kokohnya skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas terselasaikannya skripsi ini kepada :

1. Ibu, Bapak, Mas Erlangga, Tante Nana, Eyang Uti, dan seluruh keluarga besar yang telah membantu kelancaran saya dalam menyelesaikan skripsi ini mulai dari bantuan finansial hingga semangat dan doa yang tiada henti

2. Ibu Fase Badriah, Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Lilis Muchlisoh, SKM, MKM selaku pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingan dan pengarahan membangun dalam proses pembuatan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing akademik penulis. 4. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

viii seluruh petugas kefarmasian RS X yang sudah membantu berjalan lancarnya proses pengambilan data.

7. Dr. Risnita, Dr. Fitriyanti, dan seluruh petugas di Manajemen Risiko yang membantu saya saat proses magang dan berbagi cerita di rumah sakit serta tentang skripsi saya. Tak lupa, bagian Diklat RS X yang membantu perizinan saya dalam melakukan penelitian di RS X.

8. Sahabat-sahabat saya sejak hampir 10 tahun, Delia, Dwi, Olga, Yosan, Syauqina, dan Refy yang meski jauh tapi selalu memberi semangat dan tempat berbagi segala cerita.

9. Sahabat-sahabat saya semasa kuliah Paramita, Nova, Farras, Dwi, Arina, dan Atthina, juga Halida, Vira, Tantri, Ayu Fita, Nuril, Ica, dan seluruh keluarga besar MPK 2012 dan Kesmas 2012 yang tak bisa disebutkan satu per satu.

10.Tempat segala curahan suka dan duka yang menemani perjalanan skripsi ini mulai dari penulisan, studi pendahuluan, hingga hasil, Singgih A. Dani.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, Maulia, Nur Hamidah, Syah Rizal, dan Thohirin yang sudah susah senang bersama. Tak lupa seluruh Pengurus LPM Institut 2016, yang membantu saya menyelesaikan tugas sebagai Pemimpin Umum LPM Institut 2016 dan seluruh Keluarga Besar Institut (KBI).

12.Teman berbagi cerita yang sabar jadi pelampiasan cerita sedih dan mengesalkan, sekaligus yang selalu mau diajak jalan-jalan, Fathra. 13.Teman-teman seperjuangan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN

Jakarta, PAMI Jakarta Raya, dan PAMI Nasional yang selalu kritis dan kreatif.

14.Semua pihak yang membantu kelancaran skripsi ini yang tak bisa saya sebut satu persatu.

(10)

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.4.1 Tujuan Umum ... 9

1.4.2 Tujuan khusus ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Bagi Rumah Sakit ... 10

1.5.2 Bagi Peneliti ... 11

1.5.3 Bagi Institusi ... 11

1.6 Ruang Lingkup ... 11

BAB II ... 12

TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit ... 12

2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep ... 13

2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat... 17

2.1.3 Rekonsiliasi Obat ... 19

2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ... 22

2.1.5 Konseling ... 25

(11)

x

2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO) ... 32

2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ... 34

2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ... 35

2.1.10 Dispensing Sediaan Steril ... 35

2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)... 36

2.2 Medication Error ... 37

2.3 Pencegahan Medication Error ... 41

2.4 Kerangka Teori ... 42

BAB III ... 44

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ... 44

3.1 Kerangka Pikir ... 44

3.2 Definisi Istilah ... 46

BAB IV METODE PENELITIAN ... 58

4.1 Desain Penelitian ... 58

4.1.1 Substansi Kualitatif ... 58

4.1.2 Variabel Kuantitatif ... 59

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 59

4.3 Informan Penelitian ... 59

4.4 Populasi dan Sampel ... 60

4.5 Instrumen Penelitian ... 61

4.6 Sumber Data ... 61

4.7 Pengumpulan Data ... 62

4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif ... 62

4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif ... 62

4.8 Pengolahan Data ... 63

4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif ... 63

4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif ... 64

4.9 Analisis Data ... 65

4.9.1 Analisis Data Kualitatif ... 65

4.9.2 Analisis Data Kuantitatif ... 65

4.10 Triangulasi Data ... 66

(12)

xi

HASIL PENELITIAN ... 68

5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X ... 68

5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X ... 69

5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X ... 72

5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X . 75 5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .. 76

5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ... 77

5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X ... 89

5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X ... 92

5.2.4 Gambaran Konseling di RS X ... 96

5.2.5 Gambaran Visite di RS X ... 97

5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X ... 98

5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ... 100

5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X ... 101

5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X ... 105

BAB VI ... 107

PEMBAHASAN ... 107

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 107

6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik ... 107

6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .... 108

6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ... 109

6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X ... 117

6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X ... 119

6.3.4 Analisis Konseling di RS X ... 122

6.3.5 Analisis Visite di RS X ... 124

6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X ... 127

6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ... 128

6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X ... 129

6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik ... 130

BAB VII ... 134

(13)

xii

7.1 Simpulan ... 134

7.1 Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 138

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Istilah ... 46

Tabel 4.1 Informan Penelitian ...46

Tabel 4.2 Validitas Data ... 66

Tabel 5.1 Ketenagakerjaan ...54

Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi ... 70

Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana ... 72

Tabel 5.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X ... 85

Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X ... 86

Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X ... 87

(15)

xiv DAFTAR SINGKATAN

ACCP : American College of Clinical Pharmacy

ASHP : American Society of Health-System Pharmacists

Binfar : Bina Farmasi

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan

BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makananan

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

EPO : Evaluasi Penggunaan Obat

IGD : Instalasi Gawat Darurat

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

KIE : Komunikasi, Informasi, Edukasi

MCNZ : Medical Council of New Zealand

MESO : Monitoring Efek Samping Obat

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

PIO : Pelayanan Informasi Obat

PMK : Peraturan Menteri Kesehatan

PTO : Pemantauan Terapi Obat

ROTD : Reakdi Obat yang Tidak Dikehendaki

SMF : Sekolah Menegah Farmasi

TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi

yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan

bertujuan untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik

terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi

dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler,

2004;Miller, 1981) dalam Restriyani (2016).

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan

menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait

pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan adanya perluasan

dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented)

menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno, 2003).

Pelayanan farmasi klinik pun terbukti efektif dalam menangani terapi

pada pasien. Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi

biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan

resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat

menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan (Ikawati,

(17)

2 Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran

farmasi klinik. Di Sudan, dokter menjadi tidak nyaman dengan adanya

apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk pasien meskipun

jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan

terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien

mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping

itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan

sebagai sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Namun, sebanyak 48,2% dokter-dokter di Kuwait tetap kurang

nyaman dalam menyusun resep pasien bersama dengan apoteker. Di Libya

dan United Arab Emirates (UAE) diketahui sedikit sekali interaksi antara dokter dan apoteker. Berdasarkan temuan dari salah satu penelitian

menunjukkan hampir 70- 60% dokter di Libya dan UAE berturut-turut

jarang atau tidak pernah melakukan diskusi dengan apoteker mengenai

terapi obat yang diperolah pasien. Selanjutnya terlihat kurangnya

kepercayaan dokter terhadap apoteker dalam memonitor tekanan darah dan

menyediakan terapi pengganti (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Di sisi lain, pada farmasi klinik, apoteker didefinisikan terlibat dalam

merawat pasien pada semua fase perawatan kesehatan. Mereka harus

memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat yang terintegrasi

dengan pemahaman yang mendasar dari biomedis, farmasi, kehidupan

(18)

3 berkembang, teknologi terbaru, dan prinsip-prinsip hukum, etika, sosial,

budaya, ekonomi, serta profesional yang relevan (ACCP, 2008)

Di Indonesia, Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan

pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka

meningkatkan efek terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek

samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin

Pelayanan farmasi klinik yang harus diselenggarakan menurut

PMK No.58 Tahun 2014 di antaranya adalah pengkajian dan pelayanan

resep, penelusuran riwayat obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi

obat, konseling, visite, pematauan terapi obat, monitoring efek samping

obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispening sediaan steril.

Penelitian di beberapa RS di Yogyakarta dan sekitarnya

menujukkan bahwa rata-rata rumah sakit melaksanakan standar pelayanan

farmasi klinik sebesar 74,5%. Beberapa rumah sakit yang termasuk dalam

penelitian ini yang berpengaruh terhadap penyebab tidak terlaksananya

pelayanan farmasi klinik adalah kurangnya tenaga kerja, terutama tenaga

kerja yang berkompeten untuk melakukan kegiatan farmasi klinik.

Kurangnya sarana dan prasaran juga sangat berpengaruh terhadap

pelaksanaan pelayanan 44 farmasi klinik, contohnya dispensing sediaan

(19)

4 Studi yang berbeda menunjukan tentang pelayanan resep yang

termasuk dalam kegiatan farmasi klinik di RS Y di yang masih terdapat

kesalahan. Pada tahap prescibring potensi kesalahan terjadi karena tulisan resep tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis

pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai

34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada bentuk sediaan 84%,

tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%,

tidak lengkap identitas pasien (tidak ada nomor rekam medik 62%, usia

87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin pasien 76%, dan

no kamar pasien 77%). Selain itu pada tahap transcribing potensi kesalahan terjadi karena tidak ada dosis pemberian obat 89%, tidak ada

rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan 14%. Lalu, pada tahap

penyiapan (dispensing) kesalahan terjadi karena pemberian etiket yang tidak lengkap 61% (Susanti, 2013).

Ada pun penelitian lain terkait standar pelayanan farmasi adalah

salah satunya rekonsiliasi obat. Penelitian yang dilakukan Eko Setiawan,

dkk, di Dinas Kesehatan Jawa Timur, pada tahun 2015 menunjukkan

bahwa kecenderungan petugas termasuk apoteker mau terlibat dalam

proses rekonsiliasi. Mereka pun menganggap penting proses rekonsiliasi

obat ini (Setiawan, et al. 2015).

Studi lain menunjukan kegiatan visite pada farmasi klinik berhasil

menurunkan angka kesalahan pengobatan. Kegiatan pendampingan

(20)

5 peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah rekomendasi yang diberikan

oleh apoteker berpengaruh signifikan terhadap jumlah kesalahan peresepan

di ruang perawatan intensif (Turnodihardjo, Hakim, dan

Kartikawatiningsi, 2016).

Studi ini selaras dengan sebuah studi di Massachusetts General

Hospital, Boston, yang mengatakan partisipasi farmasis dalam kunjungan

ke bangsal perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek

samping obat yang disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan

(Ikawati, 2010).

Seperti yang disebutkan dalam PMK 58 tahun 2014, kegiatan

farmasi klinik dilakukan untuk meningkatkan jaminan keselamatan pasien.

Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien

(Konggres PERSI Sep 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki

peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Jika

disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang meliputi

peresepan (prescibing), membaca resep (transcribing), penyiapan

(dispensing) dan administrasi (administration), penyiapan (dispensing)

menduduki peringkat pertama (Depkes, 2008).

Sedangkan berdasarkan Kepmenkes No.129 Tahun 2008 tetang

Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Rumah Sakit salah satu indikator

SPM adalah tidak adanya kesalahan pemberian obat dengan standar yang

(21)

6 dalam memberikan jenis obat, salah dosis, salah jumlah, hingga salah

orang atau pasien. Standar pelayanan farmasi lainnya pun diatur dalam

SPM, seperti kepuasan pelanggan dengan standar ≥ 80%, penulisan sesuai

formalium 100%, waktu tunggu pelayanan obat jadi ≤30%, dan waktu

tunggu pelayanan obat racikan ≤60%.

Penyebab terjadinya kesalahan obat (medication error) di antaranya karena informasi mengenai pasien yang tidak jelas, misalnya

tidak ada riwayat alergi yang diinformasikan. Lalu, tidak mendapat

penjelasan mengenai obat seperti apa cara pakai, frekuensi pemakaian, dan

lain sebaginya. Kemudian komunikasi yang buruk dalam peresepa seperti

dalam membaca resep, menulis resep, dan resep tidak terbaca. Setelah itu,

salah menuliskan etiket/label pada obat serta suasana lingkungan kerja

yang tidak nyaman dan kondusif (Badriah, 2015).

Sedangkan studi lain terhadap beberapa penelitian dan litelatur

mengenai faktor penyebab kesalahan obat (medication error) di antaranya lingkungan pekerjaan perawat yang kurang mendukung, tingkat jabatan

perawat, usia pasien yang sudah tua, rekonsiliasi obat pra-masuk rumah

sakit, kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (dosis, mendeteksi

interaksi obat), pengkajian yang kurang lengkap tentang riwayat alergi dan

kurangnya pemantauan klinis terhadap pasien (Muladi, 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui

(22)

7 pelayanan farmasi klinik diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan

keselamatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan studi litelatur yang dilakukan standar pelayan farmasi

klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan. Sehingga seharusnys diterapkan dengan sebaik mungkin oleh rumah sakit demi menjaga

kualitas dan keselamatan pasien.

. Standar pelayanan farmasi di rumah sakit tentu harus mengacu

pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Namun, pada kenyataannya

pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Indah dan Utami, 2016 dari 4

rumah sakit yang diteliti di Yogyakarta belum ada satu pun rumah sakit

yang mampu menerapkan seluruh kegiatan farmasi klinik sesuai PMK

No.58 Tahun 2014.

Di RS X sendiri penelitian dan evaluasi terkait pelayanan farmasi

klinik belum pernah dilakukan. Di samping itu, laporan kesalahan pengobatan

masih terjadi di RS X. Selain itu, menurut hasil wawancara belum sepenuhnya

kegiatan pelayanan farmasi klinik pada PMK No.58 Tahun 2014 dapat

dilakukan. Di antaranya yang belum dilakukan adalah konseling dan visite

bersama.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap pelayanan farmasi

klinik di RS X berdasarkan PMK nomor 58 tahun 2014 tentang standar

(23)

8 1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di

RS X

2. Bagaimana gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan

farmasi klinik di RS X

3. Bagaimana gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi klinik

di RS X

4. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep pada

pelayanan farmasi kilinik di RS X?

5. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat

pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

6. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pelayanan Informasi

Obat (PIO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

7. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan konseling pada

pelayanan farmasi kilinik di RS X?

8. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan visite pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

9. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi

Obat (PTO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

10.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek

Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS

(24)

9 11.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Evaluasi Penggunaan

Obat (EPO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

12.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan

steril pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

13.Bagaimana gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan

farmasi klinik di RS X?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi

klinikdi RS X sesuai dengan PMK No. 58 Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Diketahuinya gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di

RS X

2. Diketahuinya gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan

farmasi klinik di RS X

3. Diketahuinya gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi

klinik di RS X

4. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep

pada pelayanan farmasi klinik di RS X

5. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat

(25)

10 6. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pelayanan

Informasi Obat (PIO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

7. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan konseling pada

pelayanan farmasi klinik di RS X

8. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan visite pada pelayanan farmasi klinik di RS X

9. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi

Obat (PTO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

10.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek

Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

11.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Evaluasi

Penggunaan Obat (EPO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

12.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan

steril pada pelayanan farmasi klinik di RS X

13.Diketahuinya gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan

farmasi klinik di RS X

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Rumah Sakit

Dapat menjadi tambahan salah satu referensi bagi rumah sakit

(26)

11 1.5.2 Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan teori pelayanan pelaksanaan standar

farmasi klinis yang telah dipelajari ke kondisi sebenarnya.

1.5.3 Bagi Institusi

Hasil penelitian dapat dijadikan referensi yang dapat diteliti

lebih lanjut. Serta dapat dijadikan informasi dan dokumentasi

di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran

pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit

X tahun 2017 yang akan diteliti oleh mahasiswa Kesehatan

Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada bulan Juli 2016-Januari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk

di ketahuinya pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS

X. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian deskriptif

dengan menggunakan desain studi kasus dan metode pendekatan

sistem. Penelitian ini merupakan penelitian yang akan

mengeskplorasi permasalahan mengenai gambaran pelaksanaan

standar pada pelayanan farmasi di rumah sakit. Sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer

(27)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit

Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien.

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah

terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit

mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada

produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno, 2003).

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang

tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan

untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada

pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat

dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler, 2004;Miller, 1981) dalam (Restriyani,

2016).

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi

Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang

(28)

13 keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep;

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;

3. Rekonsiliasi Obat;

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

5. Konseling;

6. Visite;

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

10.Dispensing Sediaan Steril; Dan

11.Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)

2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep

Dalam PMK No. 58 tahun 2014, pelayanan resep dimulai dari penerimaan,

pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan,

penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep

dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).

Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila

(29)

14 resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan

administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien

rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:

a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;

b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;

c. tanggal Resep; dan

d. ruangan/unit asal Resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:

a. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;

b. dosis dan jumlah obat;

c. stabilitas yaitu derajat degradasi suatu obat dipandangdari segi

kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknyapenurunan

kadar selama penyimpanan; dan

d. aturan dan cara penggunaan.

Persyaratan klinis meliputi:

a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;

b. duplikasi pengobatan;

c. alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

d. kontraindikasi; dan

(30)

15 Penulisan resep sendiri memiliki standar yang berbeda di setiap

negara. Namun, yang terpenting resep yang ditulis harus jelas. Beberapa

resep masih ditulis dalam bahasa latin dibeberapa negara, meski bahasa

lokal lebih banyak ditemukan. Setidaknya dalam resep memuat informasi

ini maka kemungkinan kecil terjadi kesalahan (WHO, 1994):

a. Nama dan alamat prescriber, dengan nomor telepon (jika mungkin)

Hal ini biasanya pra-dicetak pada formulir. Jika apoteker memiliki

pertanyaan tentang resep ia dapat dengan mudah menghubungi prescriber

tersebut.

b. Tanggal resep

Di banyak negara validitas resep tidak memiliki batas waktu, tetapi

di beberapa negara apoteker tidak memberikan obat resep lebih dari tiga

sampai enam bulan. Maka tanggal resep penting untuk mengetahui

vaiditas obat yang disediakan itu sendiri.

c. Nama dan kekuatan obat

R/ (tidak Rx) berasal dari Resep (Latin untuk 'mengambil'). Setelah

R/ harus ditulis nama obat dan kekuatan. Sangat dianjurkan untuk

menggunakan nama generik obat. Hal ini menandakan penulis resep tdak

cenderung pada salah satu merk obat yang bisa saja mahal bagi pasien.

Namun, jika ada alasan khusus untuk meresepkan merek khusus, nama

(31)

16 Kekuatan obat menunjukkan berapa miligram kandungan obat

dalam setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan. Singkatan yang

diterima secara internasional harus digunakan: g untuk gram, ml untuk

mililiter. Cobalah untuk menghindari desimal dan, jika perlu, menulis

kata-kata penuh untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis

Levotiroksin 50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Dalam

resep untuk obat yang diawasi atau yang berpotensi disalahgunakan lebih

aman untuk menulis kekuatan dan jumlah total dalam kata-kata, untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan. Instruksi penggunaan harus jelas

dan dosis harian maksimum disebutkan. Gunakan tinta tak terhapuskan.

d. Bentuk sediaan dan jumlah total

Hanya menggunakan singkatan standar yang akan diketahui

apoteker.

e. Informasi untuk label paket

S singkatan Signa (Latin untuk 'menulis'). Semua informasi berikut

S atau kata 'Label' harus disalin oleh apoteker ke label paket. Termasuk

berapa banyak obat yang harus diambil, seberapa sering, dan setiap

instruksi dan peringatan tertentu. Semuanya harus diberikan dalam bahasa

awam. Jangan gunakan singkatan atau pernyataan seperti 'seperti

sebelumnya' atau 'seperti yang diarahkan'.

f. Inisial atau tanda tangan prescriber

(32)

17 2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Dalam PMK No.58 Tahun 2014, penelusuran riwayat penggunaan obat

merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan

farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat

diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat

pasien. Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat sebagai berikut:

a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam

medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan

informasi penggunaan obat;

b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh

tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika

diperlukan;

c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak

Dikehendaki (ROTD);

d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;

e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan

obat;

f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;

g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang

digunakan;

h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;

(33)

18 j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu

kepatuhan minum obat (concordance aids);

k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa

sepengetahuan dokter; dan

l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan

Informasi yang harus didapatkan menurut PMK No.58 Tahun 2014 dalam

penelusuran riwayat penggunaan obat di antaranya adalah nama obat (termasuk

obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama

penggunaan obat; reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan

kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).

Riwayat penggunaan obat adalah hal yang penting dalam mencegah

kesalahan peresepan serta pengurangan risiko untuk pasien. Di samping itu,

riwayat penggunaan obat yang akurat juga berguna untuk mendeteksi hubungan

terapi obat atau perubahan tanda-tanda klinis yang mungkin akibat dari

penggunaan obat. Riwayat penggunaan obat uang baik harus mencakup semua

obat yang sedang dan telah diresepkan pada pasien, reaksi obat sebelumnya

termasuk kemungkinan reaksi hipersensitif, dan obat-obat yang tak menggunakan

resep, termasuk pengobatan herbal atau alternatif, serta kepatuhan terhadap terapi

(FitzGerald, 2009).

Bagian penting dari riwayat penggunaan obat sering tidak lengkap dan

tidak akurat. Penelitian menunjukan hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang

(34)

19 kesalahan ini dengan terlibat dalam memperoleh riwayat penggunaan obat setelah

adanya perpindahan pasien (FitzGerald, 2009).

Riwayat penggunaan obat yang hati-hati merupakan hal penting. Hal ini

dilakukan untuk menilai penyebab dari efek obat. Karena bisa berisi keterangan

alergi pasien sebelumnya (Ritter, et al, 2008).

2.1.3 Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi

terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan secara

konsisten setiap kali terjadi perpindahan pemberian layanan kesehatan seorang

pasien. Pengertian rekonsiliasi obat tersebut menyiratkan beberapa elemen

penting yang mendasari keberhasilan implementasi program tersebut, yaitu: 1)

proses rekonsiliasi obat merupakan proses formal; 2) proses rekonsiliasi obat

merupakan proses dengan pendekatan multisiplin; 3) penyedia layanan kesehatan

harus dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarga pasien/penjaga pasien.

Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan dapat terjadi pada setting

berikut: 1) saat pasien Masuk Rumah Sakit (MRS); 2) pasien mengalami

perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam suatu instansi rumah sakit

yang sama (misalnya dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit); 3)

perpindahan dari suatu instansi rumah sakit menuju: rumah, layanan kesehatan

primer (antara lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang bekerja sama dengan

(35)

20 Dalam PMK No.58 Tahun 2014 rekonsiliasi obat merupakan proses

membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.

Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien

yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:

a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan

pasien;

b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya

instruksi dokter; dan

c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi

dokter.

Sedangkan setelah itu diatur pula tahap proses rekonsiliasi obat yang

terdiri dari pengumpulan data, komparasi, melakukan konfirmasi kepada dokter

apabila terjadi kesalahan, dan komunikasi. Berikut penjelasan masing-masing

tahap:

a. Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan

digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai

(36)

21 samping obat yang pernah terjadi. khusus untuk data alergi dan efek samping

obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi

dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,

daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat

bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.

b. Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan

akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.

Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda,

ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada

rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan

ketidaksesuaian dokumentasi.

Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24

jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah menentukan bahwa

(37)

22 mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan

memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi

obat.

d. Komunikasi

Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau

perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung

jawab terhadap informasi obat yang diberikan.

2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Rata-rata, 50% pasien tak menggunakan obat yang diresepkan dengan benar,

meminumnya tidak teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum

adalah karena gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat tidak

dianggap efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Tidak

patuhnya pasien terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki konsekuensi serius

bagi sebagian obat, namun pada sebagin lainnya, obat menjadi tidak efektif atau

beracun jika digunakan tidak teratur (WHO, 1994).

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara

yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan dokter-pasien yang

baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang diperlukan,

seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari sedikitnya obat

yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin,

dalam bentuk sediaan yang tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali

(38)

23 Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah salah satu untuk mengurangi

ketidapatuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan

agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan

serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunkaa obat dengan

tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60% pasien telah memahami bagaimana

menggunakan obat yang mereka terima. Informasi harus diberikan yang jelas,

menggunakan bahasa umum dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang

diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk

memastikan bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).

Dalam memberikan infromasi terkait obat apoteker harus memberikan

informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif . Infromasi terrapi obat

juga diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang

sesuai. Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien-spesifik

harus disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker, dan harus ada

penilaian untuk memastikan kualitas tanggapan yang diberikan (ASHP, 2013).

Apoteker juga harus menginformasikan pada staf dan penyedia layanan

kesehatan rumah sakit tentang penggunaan obat secara berkelanjutan melalui

publikasi yang tepat, presentasi, dan program terterntu. Apoteker harus

memastikan penyebaran informasi produk obat secara tepat waktu (misalnya,

ingat pemberitahuan, perubahan pelabelan, dan perubahan ketersediaan produk).

Infromasi pun dapat diberikan dengan komunikasi elektronik (misalnya, situs

web, newsletter email, intranet posting), cara ini lebih efektif dan lebih mudah

(39)

24 Menurut PMK No. 58 Tahun 2014 PIO merupakan kegiatan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,

terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker,

perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah

Sakit. PIO bertujuan untuk:

a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan

di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;

b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan

dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,

terutama bagi tim farmasi dan terapi;

c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.

Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang

bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan

informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan

melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin,

brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker

pelayanan informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas

pertanyaan yang diterima (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2006).

Sedangkan dalam PMK No.58 Tahun 2014 kegiatan tersebut, meliputi :

a. Menjawab pertanyaan;

(40)

25 c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan

penyusunan formularium rumah sakit;

d. Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;

e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga

kesehatan lainnya; dan

f. Melakukan penelitian.

2.1.5 Konseling

Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran,

melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan

bertemu dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan

seseorang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian

rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam

pemecahan masalah. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan

dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini

tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga

harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana

dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat disimpulkan bahwa pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai

tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan

edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat (Dirjen Bina

(41)

26 Apoteker harus berpartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus

membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang

memadai tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien

berpartisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan

mendorong kepatuhan terhadap pengobatan. Kegiatan konseling pasien harus

dikoordinasikan dengan keperawatan, medis, dan staf klinis lainnya yang

diperlukan. Materi terkait obat yang dikembangkan oleh layanan lain dan

departemen serta sumber komersial harus ditinjau oleh staf farmasi (ASHP,

2013).

Konseling obat dalam PMK No.58 Tahun 2014 adalah suatu aktivitas

pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor)

kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan

maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif

apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian

konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga

terhadap apoteker.

Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil

terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan

meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:

(42)

27 b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;

c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;

d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan

obat dengan penyakitnya;

e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;

f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;

g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam

hal terapi;

h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan

i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga

dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu

pengobatan pasien.

Dalam PMK No.58 Tahun 2014 pun diatur mengenai kriteria pasien

yang harus diberikan konseling, di antaranya adalah pasien kondisi khusus

(pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui), pasien

dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan

lain-lain), pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus

(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off), pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin), pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).

(43)

28 2.1.6 Visite

Visite dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim

tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan

mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan ROTD, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang

biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat

dari rekam medik atau sumber lain.

Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau

kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi.

Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing (lihat tabel) yang

perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Dalam pelaksanaan visite kolaborasi banyak kendala yang dialami

petugas. Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi

klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter menjadi tidak

(44)

29 pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di

Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien

mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu,

sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai

sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

a. Visite Mandiri

Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada

pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker

sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Apoteker berkomunikasi

efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat

(lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang

disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang air

besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker

harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan

penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna

merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin

atau metformin (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang

diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau potensial),

dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru. Pada visite mandiri, rekomendasi

lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan

(45)

30 diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang

dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara

penggunaan obat. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan

rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya:

obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang

sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat

untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang

digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada

perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan

pendampingan cara penyiapan obat. Rekomendasi yang diberikan harus

berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi

yang optimal. Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses

penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan

laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh

apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan

terapi. Apoteker juga harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien,

perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus

menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan

(46)

31 b. Visite Kolaborasi

Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan

anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite. Pada

saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan

kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan

wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk

memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji ulang

permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus

berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait

penggunaan obat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota

tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi

informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada

dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya

dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika

untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi

antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku.

Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien,

pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh.

Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar

diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang

(47)

32 sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di

depan pasien/perawat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk

diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi

perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi

belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan

mengupayakan penyelesaian masalah (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan,

2011).

2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) dalam PMK No.58 Tahun 2014

merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat

yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan

efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Pasien yang mendapatkan

terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas

penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual

meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan

perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi

dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Hasil meta-analisis yang dilakukan di Amerika Serikat pada pasien rawat

inap didapatkan hasil angka kejadian ROTD yang serius sebanyak 6,7% dan

ROTD yang fatal sebanyak 0,32%. Sementara penelitian yang dilakukan di rumah

(48)

33 lain: pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien (21,3%), cara

pemberian yang tidak tepat (20,6%), pemberian dosis yang sub terapeutik

(19,2%), dan interaksi obat (12,6%).1 Data dari penelitian yang dilakukan di satu

rumah sakit di Indonesia menunjukkan 78,2% pasien geriatri selama menjalani

rawat inap mengalami masalah terkait obat. Beberapa masalah yang ditemukan

dalam praktek apoteker komunitas di Amerika Serikat, antara lain: efek samping

obat, interaksi obat, penggunaan obat yang tidak tepat.3 Sementara di Indonesia,

data yang dipublikasikan tentang praktek apoteker di komunitas masih terbatas

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah

munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan

kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjangdalam

melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi

hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan

keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan

menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai

dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,

rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses

tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai

(Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

(49)

34 a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan

c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan

setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim

yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek

Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja

farmakologi.

Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada lembar

MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian akan

dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) di Jakarta (Purwantiastuti, 2015).

Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran

dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak

bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Efek Samping Obat (ESO) dapat dicegah,

dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan

aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan

(50)

35 penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat

secara umum.

2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan

program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara

kualitatif dan kuantitatif.

Tujuan EPO yaitu:

j. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;

k. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;

l. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan

h. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.

2.1.10 Dispensing Sediaan Steril

Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi

farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya

kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian

perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses

pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh

apoteker di sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina

Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan

(51)

36 dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan

terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas

jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk

aseptis.. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk

dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan sediaan

sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas,

produk dan lingkungan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Sedangkan menurut PMK No. 58 Tahun 2014 dispensing sediaan steril

harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk

menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat

berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

Dispensing sediaan steril dalam PMK No.58 Tahun 2014 bertujuan:

a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang

dibutuhkan;

b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;

c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan

d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil

pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena

indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan

(52)

37 a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD

b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD

c. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar

2.2 Medication Error

Kesalahan obat (medication error) adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada

penggunaan obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat

dalam kontrol petugas kesehatan, pasien, atau konsumen (NCCMERP)

(Cahyono, 2008).

Kejadian kesalahan obat (medication error) merupakan salah satu ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion) . Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat

(medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang melibatkan peresepan (prescibing) ,

penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012)

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan

No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di

(53)

38 kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa

terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dari

peresepan (dokter) melalui dispensing (apoteker atau staf dispensing)

untuk administrasi (keperawatan atau pasien sendiri) (Depkes, 2006).

Leape, et. Al (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara

lain 1) Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang

merupakan 22 % penyebab kesalahan, 2) Tidak cukupnya informasi, 14%

dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 3)

Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan oleh tidak

diikutinya SOP pengobatan, 4) 9% Lupa, 5) 9% kesalahan dalam

membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interprestasi perintah dalam

resep, dan singkatan dalam resep, 6) Salah mengerti perintah lisan, 7)

Pelabelan dan kemasan, 8) Stok dan penyimpanan obat yang tidak baik,

9) Masalah dengan standard an distribusi, 10) Assesment alat penyampai

obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, 11) Stress di

lingkungan kerja, dan 12) Ketidaktahuan pasien.

Ada pun menurut Kepmenkes tahun 2004 tentang standa

pelayanan kefarmasian di apotek faktor-faktor lain yang berkontribusi

pada kesalahan obat (medication error) antara lain:

1. Komunikasi atau kegagalan berkomunikasi

Hal ini merupakan suber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan

Gambar

Tabel 3.1  Definisi Istilah
Tabel 4.1 Informan Penelitian
Tabel 4.2 Validitas Data
Tabel 5.1 Ketenagakerjaan RS X
+7

Referensi

Dokumen terkait

diajukan oleh apoteker atau staf medik kepada komite farmasi dan terapi. Penggunaan obat non formularium. Bila ada penderita tertentu yang tidak sesuai menerima obat formularium

Apakah petugas farmasi mencatat setiap pengeluaran obat psokotropika dan identitas pasien ke dalam catatan pengeluaran obat psikotropika dan narkotika7. Apakah

Menurut WHO obat secara tepat atau rasional apabila pasien menerima obat sesuai dengan kondisi klinisnya, dengan dosis yang berada dalam range terapi, dalam

farmasi dan petugas gudang farmasi sesuai dengan permintaan yang sudah diajukan ke PPTK (Pejabat Pembuat Teknis Kegiatan) obat/BMHP Saya akan berkoordinasi dan bekerja sama

Apabila ada informasi tentang kekosongan obat DOI tertentu dan atau harga obat DOI yang tidak sesuai dengan kesepakatan di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah sakit, maka

Kesalahan penulisan resep oleh Petugas pemeriksa tidak Petugas pemeriksa harus petugas pemeriksaan umum mencocokkan ulang resep selalu mencocokan resep (jumlah obat, id

Hasil penelitian yang didapatatkan Delladari dkk, 2015 dan Sari Prabandari 2017 menunjukkan gambaran pelayanan informasi obat petugas farmasi terhadap kepuasan pasien di Apotek Nur

Pada setiap aktivitas pendistribusian obat- obatan baik kepada pasien rawat jalan, pasien rawat inap, maupun unit-unit terkait lainnya, petugas instalasi farmasi serta petugas gudang