• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20). Di antara tokoh dan kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca. Perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel merupakan suatu bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya.

Penokohan terbagi atas beberapa jenis yaitu tokoh protagonis, antagonis, sentral, peripheral, kompleks dan sederhana (Sayuti, 2000: 67). Penggambaran tokoh dapat dianalisis menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik pengarang langsung memaparkan tentang watak tokoh atau karakter tokoh. Sedangkan metode dramatis pengarang tidak menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi dapat disampaikan dengan cara: (1) pilihan nama tokoh, (2) melalui penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah

commit to user

laku, dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain, (3) melalui dialog, baik dialog tokoh dengan tokoh-tokoh lain atau dengan dirinya sendiri (Semi, 1993: 38).

Tokoh dalam novel Ngulandara enam belas tokoh. Tokoh-tokoh tersebut secara garis besar menjadi subjek dan pencerita yang diceritakan. Tokoh dalam novel ini ialah Rapingun/ Raden Mas Sutanta Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan jenis dan teknik penggambaran tokoh dalam cerita.

a. Rapingun/ Raden Mas Sutanta

Tokoh Rapingun merupakan tokoh sentral atau tokoh utama karena tokoh Rapingun selalu ada dalam setiap peristiwa, novel ngulandara sendiri secara garis besar menceritakan perjalanan dan pengalaman pengembaraan tokoh Rapigun atau Raden Mas Sutanta. Lebih lanjut tokoh Rapingun merupakan tokoh kompleks karena seluruh sisi kehidupannya diceritakan dalam peristiwa cerita.

Tokoh Rapingun merupakan tokoh protagonis karena di dalam cerita ia membawakan misi-misi kebenaran dan ajaran moral, ia digambarkan sebagai seseorang yang berbudi luhur dan suka menolong tanpa pamrih. Dalam khasanah kebudayaan Jawa tokoh Rapingun seperti pepatah sepi ing pamrih rame ing gawe yang bermakna bahwa dalam menanamkan kebaikan kepada orang lain kita tidak perlu mengharapkan imbalan apalagi imbalan yang bersifat material. Meninggalkan kesan baik kepada orang yang ditolong harganya akan lebih mahal daripada pamrih yang lain. Berikut kutipannya:

“Ya ora ngalem ngono, wong njatane. Kono pikiren. Ing atase durung

nganti di-endeg kok mandeg dewe! Ora dijaluki tulung, bandjur nulungi. Duwe pangeman menjang bapakmu, dening kegremisan, tur tembunge kaja ngono mau, hara ta andak watak kaja ngono mau dumunung angger

uwong”(hlm. 12-13).

Terjemahan:

‘Bukannya memuji, memang kenyataannya begitu. Coba pikirkan, belum sampai disuruh berhenti sudah berhenti. Tidak dimintai tolong malah

commit to user

menolong, bahkan langsung menawarkan bantuan. Punya rasa kasihan pada ayahmu, karena kehujanan, bahkan kata-katanya tadi, apakah sikap seperti itu ada pada setiap orang.’

“Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi sugih kaprawiran”

“ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.”

“Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13).

Terjemahan:

‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti banyak keterampilannya

‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’

‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’

Tokoh Rapingun juga digambarkan sebagai tokoh yang sopan, giat bekerja, dan tekun. Seperti unen-unen Jawa sapa tekun golek teken bakal tekan maksudnya barang siapa tekun dalam mencari ilmu atau tekun dalam mengapai keinginan maka suatu saat akan mendapatkannya. Seperti saat Rapingun bertemu Den Bei menunjukkan seseorang yang sopan dengan bertanya mengapa Den Bei berhenti di tengah hutan. Giat bekerja dan tekun ia tunjukan saat bekerja di rumah Den Bei dan melatih Hel kuda yang liar karena jarang dipakai diperkuat dengan pernyataan Nyonyah Hien yang memuji kepribadian Rapingun. Hal itu semata-mata dilakukannya untuk mencari jati dirinya dalam pengembaraan. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:

“Punapa ndara, kendel wonten ngriki?”

Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep (hlm. 9).

Terjemahan:

commit to user

‘Lelaki itu turun dari mobil lalu memperhatikan orang yang bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan santunnya bagus.

“Boten saestu kok Den Aju.Tijang kula samenika menika boten kados

sopir sanes-sanesipun. Watakipun alus, temen, prigel, gematosipun dateng oto inggih boten djamak. Mila oto wau ketingalipun inggih kintjlong-kintjlong adjegan. Lengganan mindak katah. Dalah para lengganan kemawon sami ngalem. Pantjen pijambakipun saged nudju manahipun

lengganan” (hlm. 20).

Terjemahan:

‘Tidak, sungguh Den Ayu. Si Rapingun itu tidak seperti supir lainnya. Wataknya halus, tekun, pandai, dan perhatian dengan mobilnya. Oleh karena itu mobil saya terlihat kinclong sekali. Langganan semakin banyak. Para langganan saya selalu memujinya kok. Dia memang pandai mengambil hati langganan.’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing

akeh-akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake” (hlm. 27).

Terjemahan:

‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak akan ada yang sama, biasanya supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi, membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu memuaskan.’

“Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu

saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning kapal” (hlm. 40).

Terjemahan:

‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang jinak, tentu dapat berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’

Selain itu Rapingun juga berwatak rela berkorban, hal ini selaras dengan cerita wayang Bambang Ekalaya. Bambang Ekalaya atau Palgunadi adalah

commit to user

kesatriya yang pandai memanah ia ingin sekali menjadi murid dari guru Durna, namun Durna sudah berjanji tidak menerima murid selain Pandawa dan Kurawa sehingga ia menolaknya. Palgunadi kemudian membuat patung yang menyerupai Durna agar dalam berlatih memanah ia seperti diawasi oleh Durna, hasilnya dia menjadi pemanah yang sangat hebat. Singkat cerita karena kecemburuan Arjuna pada kepandaian Palgunadi maka guru Durna meminta syarat pada Palgunadi ia mau menerimanya menjadi murid namun ibu jari tangan kanan Palgunadi harus dipotong untuk syarat itu. Hal ini dapat terlihat ketika Rapingun menolong Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana ia rela terluka tangannya untuk melindungi yang menjadi tanggung jawabnya serta tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan dalam keadaan gentingpun Rapingun tetap menjaga sikapnya sebagai seorang supir. Berikut kutipannya:

“Hardjana ngembat tosanipun gligen kaangkahaken ing sirahipun

Rapingun. Sarehning Rapingun sampun mboten saged mingser malih, tanganipun tengen ingkang saweg njepeng setir kepeksa kangge anjagi sirah, setir kapepet dada, oto mampah, pres, tanganipun Rapingun kagebag saking wingking dening Hardjana.” (hlm. 66).

Terjemahan:

‘Hardjana mengambil besi diarahkan ke kepala Rapingun. Rapingun tidak dapat menghindar lagi, tangan kanannya yang harusnya memegang kemudi terpaksa ia gunakan untuk melindungi kepala, dadanya ia gunakan untuk menjaga kemudi, mobil berjalan dan tangan Rapingun terkena pukulan Hardjana dari belakang.’

“Raden Adjeng Tien ngertos jen Rapingun anggenipun boten purun

kablebed setagenipun punika namung saking pekewed. Sampun ngantos nama, murang tata, minggahipun nerak kasusilan, mila milih bade kablebed tjatokipun tjutjal kemawon” (hlm. 69).

Terjemahan:

‘Raden Ajeng Tien mengerti alasan Rapingun tidak ingin dibalut dengan stagen miliknya karena sungkan. Jangan sampai melanggar nilai kesusilaan dan tata krama, oleh karena itu ia memilih dibalut dengan ikat pinggang celananya saja.’

Tokoh Rapingun juga memiliki loyalitas yang tinggi sekali ia mengabdi ia akan melakukan yang terbaik untuk majikannya. Hal yang dilakukan Rapingun sama halnya dengan Punakawan abdi Pandawa yang selalu setia memberikan

commit to user

nasehat-nasehat bijak walaupun sebenarnya mereka adalah seorang yang linuwih namun kecintaannya kepada tuannya membuat mereka mengesampingkan hal itu. Rapingun adalah seorang bangsawan namun demi mencapai pencarian jati dirinya ia mengembara apapun ia lakukan untuk tuannya walaupun itu membahayakan nyawanya. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

“Apa kowe ora kuwatir mungsuh wong loro mau?”

“Awit saking setya kula dateng bendara, boten wonten sumelanging

manah sekedik-kedika. Alit sakit, agengipun pedjah dereng

mantra-mantra nimbangi sihipun Bendara Seten sekalijan dateng kula”

(hlm: 73).

Terjemahan:

‘Apa kamu tidak takut menghadapi dua orang tadi?’

‘Karena kesetiaan saya kepada Raden Ajeng Tien, tidak ada kekhawatiran sedikitpun. Kecilnya menjadi sakit, besar bisa sampai mati belum dapat menandingi belas kasih yang diberikan Tuan Asisten dan keluarga kepada saya.’

Penggambaran tokoh Rapingun dalam novel Ngulandara dilakukan secara analitik dan dramatik. Adapun uraian analisisnya sebagai berikut:

1) Analitik

Secara analitik terihat dengan penggambaran watak yang dilakukan pengarang secara langsung dengan meliht pada penggambaran fisik Rapingun sebagai pemuda tampan. Selain itu pengarang juga menunjukkan sifat Rapingun yang baik dan sopan melalui prolog dalam novel yang menyebutkan bahwa Rapingun adalah seseorang yang sangat menghargai wanita terutama pada Raden Ajeng Tien yang merupakan tanggung jawabnya saat itu. Pengarang juga menggambarkan bentuk fisik Rapingun yang memiliki memiliki ciri khusus lesung pipi. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking

Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K

model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru” (hlm.

100).

Terjemahan:

‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’

commit to user

“Dinten Sebtu djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri

prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 tahun. Tjlananipun idjem, ngangge setiwel sawo mateng, sawitan kalijan sepatunipun, rangkepanipun rasukan sutra lurik, kawingkis dumugi sikut, rambutipun pating prentel mewahi wenesing tjahja. Dene ingkang linggih ing kiwanipun, prijantun estri, umur-umuranipun dereng langkung saking wolulasan taun, pasemonipun mbranjak, pantes lan badanipun lendjang kepara alit sekedik” (hlm. 105).

Terjemahan:

‘Hari Sabtu pukul delapan pagi ada mobil sedan Ostin dikendarai oleh lelaki muda, tegap, umurnya kurang lebih 25 tahun. Celananya hijau, memakai kaus kaki sawo matang, serasi dengan sepatunya, pakaiannya sutra lurik, dilipat sampai siku, rambutnya ikal. Sedangkan yang berada di sisi kirinya, seorang wanita umurnya belum lebih dari delapan belas tahun, raut wajahnya bahagia, dan badannya tinggi agak kecil.’

“Boten dangu Kerta dateng ngirid sopir. Sapanduran Raden Bei Asisten

Wedana radi pangling dateng sopir wau, amargi panggenanipun beda kalijan kala pinanggih wonten Kledung. Kala semanten pantalon, gundulan. Samangke tjara Mataram. Udengipun blangkon udan-riris bjur, rasukanipun surdjan ketan ireng, sindjangipun kawung beton Ngajodjan. Nanging sareng sumerep dekoking pipinipun, boten pangling, mila enggal dipun-atjarani” (hlm. 22).

Terjemahan:

‘Tidak lama Kerta datang bersama supir itu. Sekilas Raden Bei Asisten Wedana tidak mengenali supir itu, karena pakaiannya berbeda sekali, ketika bertemu di Kledung. Saat itu pantalon tanpa lengan. Sekarang menggunakan cara Mataraman. Blangkon udan-riris membujur, bajunya surjan hitam ketan, jaritnya kawung corak Yogyakarta. Tetapi setelah mengetahui lesung pipinya ia langsung teringat dan mengenalinya, oleh karena itu langsung memulai pembicaraan.’

“Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken

dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep. Jen kaanggepa sopir limrah boten pantes” (hlm: 9).

Terjemahan:

‘Lelaki itu lalu turun dari mobil memperhatikan orang yang bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya orangnya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan santunnya bagus. Jika dianggap sebagai supir tidak pantas’

commit to user

“Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen. Linggihipun

mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos nggepok badanipun Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun bak taksih kobet. Dados ingkang mekaten wau boten sanes namung kangge rumeksa ing bendara lan netepi tata krama” (hlm. 46).

Terjemahan:

‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke kanan, dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden Ajeng Tien. Padahal keadaan jok masih longgar. Kejadian yang demikian tersebut hanya untuk menjaga martabat majikannya dan menjaga tata krama.’

Tokoh Rapingun digambarkan memiliki keahlian dalam melatih kuda. Pada zaman novel ini dibuat bukan orang biasa yang mampu memiliki kuda, hanya orang-orang terpandang yang mampu membelinya. Keahlian Rapingun melatih kuda tentu karena sikapnya yang selalu optimis dan selalu yakin atas segala sesuatunya. Hal ini dapat terlihat saat ia melatih kuda milik Den Bei, karena kuda tersebut tidak dilatih dengan benar sehingga saat ini cenderung liar. Berikut kutipannya:

“Hel sampun wanuh dateng Rapingun. Mila sareng Rapingun dateng

ladjeng gereng-gereng, endasipun dipun-angluhaken ing slarak kalijan ngambus-ambus tanganipun Rapingun, dene pisang dereng dipun-tedakaken. Rapingun ladjeng mepet ing gedogan. Sirah lan badanipun dipun-ambus-ambus sajada, kados adat sabet. Hel gentos dipun-elus-elus saking tjitak ngantos dumugi djalakipun. Samangke tjeta bilih Hel boten namung wanuh kalijan piyambakpun, nanging kenging dipun-wastani sampun andjilma” (hlm. 33).

Terjemahan:

‘Hel sudah menurut pada Rapingun. Saat Rapingun datang Hel mendengus-dengus, kepalanya dijulurkan keluar dan menciumi tangan Rapingun, tetapi pisang belum diberikan. Rapingun lalu mendekat ke kandang. Kepala dan badannya diciumi oleh Hel seperti biasa. Hel kemudian dielus-elus dari leher hingga punggung. Demikian itu menunjukkan bahwa Hel bukan hanya menurut tetapi sudah jinak.’

Tokoh Rapingun bukan hanya pandai dalam mengambil hati orang lain dengan sikapnya yang baik. Ia juga memiliki sikap yang selalu waspada serta mempersiapkan diri atas berbagai kemungkinan yang terjadi. Pengarang mencoba menyampaikan pesan bahwa sebagai seseorang harus selalu waspada

commit to user

terhadap segala kemungkinan yang terjadi seperti pesan R. Ranggawarsita dalam karyanya serat Kalatidha bahwa amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane wong kang lali,luwih begja kang eling kelawan waspada. Di dunia ini banyak hal tidak terduga melalui tokoh Rapingun pengarang ingin menyampaikan agar pembaca selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini:

“ Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong putranipun, boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka kekalih, ingkang andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien sampun kesumerepan sadaja. Rapingun saja migatosaken kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka kekalih tansah kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados lare boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba kados ambeging sinatrija” (hlm. 56).

Terjemahan:

‘Rapingun yang diberi kewajiban oleh majikannya untuk menjaga putrinya sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku kedua pemuda, yang menjadikan Raden Ajeng Tien pucat sudah diketahui. Rapingun semakin memperhatikan keadaan itu, apapun gerak-gerik pemuda itu selalu diawasi. Tetapi Rapingun memang pandai, semua tindakannya itu tidak terlalu mencolok, tidak ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apa-apa.’

Tokoh Rapingun dinilai pandai dalam menyembunyikan perasaannya walaupun ia sedang sedih ia tetap terlihat tenang dan bahagia di depan orang lain, agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir padanya. Hal ini lebih kepada falsafah orang Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang bermakna bahwa segala sesuatu yang bersifat pribadi tidak boleh ditunjukkan kepada orang lain. Tokoh Rapingun melakukan hal itu karena tidak ingin rahasianya terbongkar, jika Raden Ajeng Tien tau bahwa ia adalah Raden Mas Sutanta maka ia akan diperlakukan berbeda olehnya. Berikut kutipannya:

“Kados ingkang katjarijos ing ngajeng, Rapingun pantjen baut nutupi

ewed pekeweding manahipun, langkung-langkung pasemonipun ingkang tansah padang, punika dados tameng ingkang kandel sanget” (hlm. 91).

commit to user Terjemahan:

‘Seperti yang telah diceritakan di depan, Rapingun memang pandai menutupi suasana hatinya, terlebih raut wajahnya yang selalu bahagia, sehingga dapat menjadi tameng yang tebal untuknya.’

2) Dramatik

Penggambaran dari segi dramatik dilakukan dengan tidak menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi disampaikan dengan cara piihan nama tokoh, penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah laku dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain serta melalui dialog, baik dialog dengan tokoh lain maupun dialog dengan dirinya sendiri. Pemberian nama tokoh oleh pengarang sangat menunjukkan identitas tokoh Rapingun yang sebenarnya bernama Raden Mas Sutanta. Penyamarannya sebagai seorang pribumi atau wong cilik ia bernama Rapingun pengarang tidak menggunakan nama Raden Mas Sutanta karena gelar Raden Mas hanya dipakai oleh seorang priyayi. Jika menggunakan nama tokoh Raden Mas Sutanta maka penyamarannya akan terbongkar. Perbedaan tersebut tergambar dalam peristiwa saat tokoh Rapingun masih menyamar dan sesudah penyamaran tersebut Kerta memanggil dengan sebutan berbeda dan tingkat bahasa yang berbeda pula. Berikut kutipannya:

“Ampun mas Rap, ampun. Rijin di-limani, kok sakniki adjeng di-idjeni. Blai mengke.”

“Di-idjeni pripun, ta. Rak enggih di-loroni ta kalih sampejan.” (hlm. 34)

Terjemahan:

‘Jangan mas Rap jangan. Dulu saja berlima kok sekarang mau sendirian. Bahaya nanti.’

‘Bagaimana bisa sendiri, kan berdua sama kamu.’

“Hus, hus Ta adja gemblung lo!”

“Boten Ndara Rap e kesupen Ndara Seter.” “Kerta angger di-elikake malah mbambung.”

“Kula kengetan saweg wonten Ngadiredja, kok Ndara.”(hlm. 106).

Terjemahan:

‘Eh Ta jangan gila ya!’

‘Tidak Tuan Rap, e lupa Tuan Seter.’

‘Kerta kalau dinggatkan semakin menjadi-jadi.’ ‘Saya teringat saat di Ngadireja kok Tuan.’

commit to user

Penggambaran fisik, tokoh, cara berpakaian tingkah laku dan sikapnya ditunjukan dengan dialog antar tokoh. Tokoh Rapingun digambarkan seseorang yang berbudi pekerti halus, sopan dalam berpakaian, sopan dalam perkataan. Pengarang mencoba menyampaikan pesan bahwa seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan perkataan yang baik, dan cara berpakaian yang sopan. Hal itu sesuai dengan falsafah Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunug ing busana. Seperti digambarkan dalam cerita bahwa Rapingun dengan pakaiannya yang seperti supir, ia dianggap sebagai seorang supir. Orang akan mengargai dan menilai sesuatu dari apa yang dilakukan. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut:

“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.”

“Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?”

(hlm. 12).

Terjemahan:

‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’ ‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’ ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’

“O, Ndara, kula tadah deduka, boten pisan-pisan rumaos kekirangan

menapa-menapa sadangunipun kula suwita wonten ngarsa pandjenengan. Malah kosok wangsulipun, rumaos kawratan tampi sih kadarman

pandjenengan sekalijan mekaten ugi saking Ndara Adjeng Tien.”

(hlm. 93)

Terjemahan:

‘Oh, Tuan, saya salah, saya tidak pernah kekurangan suatu apapun selama saya mengabdi kepada Tuan. Sebaliknya saya merasa terbebani menerima belas kasih sayang Tuan sekeluarga begitu pula dari Ndara Ajeng Tien.’