• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdiri atas 108 halaman,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdiri atas 108 halaman,"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian

Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdiri atas 108 halaman, diterbitkan oleh Balai Pustaka, cetakan pertama pada tahun 1936, cetakan kedua pada tahun 1940 dan cetakan ketiga pada tahun 1957. Novel Ngulandara memiliki 14 bab namun antar bab masih memiliki keterkaitan. Bab-bab tersebut yaitu: oto mogok, meksa batal, njonjah Oei Wat Hien, sampun kraos, ngadjari kapal, peken malem ing Magelang, manahipun kagol, ndjagi wiludjenging bendara, ngreksa namaning bendara, wonten grija sakit, pamit, serat saking Rapingun, let nem wulan, sasampunipun wolung wulan.

Novel Ngulandara dari segi kepengarangan memiliki keistimewaan. Keistimewaannya hingga saat ini belum ditemukan biografi yang jelas mengenai Margana Djajaatmadja, setelah diterbitkannya novel Ngulandara ini juga belum ditemukan lagi novel karyanya. Pengarang di era Balai Pustaka baik riwayat hidup maupun latar belakang kehidupan mereka tidak banyak diungkapkan. Hal ini terjadi karena pada masa itu belum ada penulisan riwayat atau biografi pengarang dan masih terpengaruh oleh tradisi lama yang umumnya pengarang lebih suka tidak mencantumkan nama asli pada karyanya atau menggunakan sandi asma atau anonim. Hal tersebut selaras dengan pandangan hidup orang jawa yang tidak suka pamer sehingga mempersulit pencarian data mengenai pengarang sebuah karya.

Margana Djajaatmadja menggambarkan latar sosial yang terjadi pada masa itu, kehidupan priyayi, dan kaum pribumi pada masa itu tergambar dalam penokohan dan dikemas dengan menarik sehingga walaupun novel ini tergolong novel lama namun cerita di dalamnya dapat menjadi referensi sejarah pada masa itu yang masih dipengaruhi tradisi Belanda. Novel ini juga mengubah pola pikir pembaca bahwa jaman dahulu kaum priyayi yang hidup dengan kemewahannya tidak peduli terhadap kaum pribumi, terbukti dengan adanya tokoh Rapingun dengan pengalaman hidupnya mengembara mencari jati diri.

(2)

commit to user

Penelitian mengenai novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sudah pernah diteliti oleh Sugiarti dengan judul Kajian Intertekstual Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja dengan Serat Riyanto Karya R.M Sulardi dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa novel Ngulandara merupakan novel yang dibuat saat tingkatan sosial antara priyayi atau bukan priyayi masih sangat terasa. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugiarti penelitian ini tidak terfokuskan terhadap teks saja namun juga nilai pendidikan budi pekerti serta relevansi sebagai materi pembelajaran.

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam novel serta relevansinya sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. Data dalam penelitian diperoleh dari sumber data berupa dokumen novel Ngulandara, transkrip wawancara dengan beberapa guru mata pelajaran bahasa Jawa, beberapa siswa SMA dan pakar sastra. Novel yang dipilih diambil berdasarkan pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan penelitian. Pertimbangan yang dijadikan dasar adalah penokohan dan nilai budi pekerti yang tergambar dalam tokoh belum pernah diteliti.

Penelitian ini menggunakan data novel Ngulandara cetakan ketiga. Alasan peneliti menggunakan cetakan ketiga yang terbit thun 1957 karena novel tersebut telah mengalami perubahan dari segi penulisan ejaan yang lebih mudah dipahami daripada cetakan pertama tahun 1936 dan cetakan kedua tahun 1946 yang masih menggunakan ejaan lama, walaupun mengalami beberapa kali revisi namun tidak mengubah isi dari novel Ngulandara tersebut.

Deskripsi data dilakukan berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya yaitu bagaimanakah penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta bagaimanakah relevansi penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. Bab ini akan membahas tentang analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara.

(3)

commit to user

B. Deskripsi Temuan Penelitian

Analisis data menjadi sarana utama dalam menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini, analisis mengacu pada prosedur penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada bab IV akan dijelaskan mengenai penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta relevansi unsur penokohan serta nilai budi pekerti yang ada pada novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA kelas XI.

Pertama peneliti akan membahas unsur penokohan dalam novel Ngulandara. Hal ini dikarenakan penokohan merupakan bagian dari unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra maka dalam bab ini tentu akan dijelaskan pula mengenai: 1) unsur intrinsik dalam novel yang meliputi tema, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan penokohan, 2) nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara. Analisis akan dilakukan terhadap tokoh-tokoh di dalam cerita yang berjumlah enam belas tokoh, 3) analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti kemudian akan dilanjutkan dengan analisis relevansi kedua hal tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA.

1. Unsur Intrinsik Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja. a. Tema

Pengertian tema untuk penelitian ini merujuk pada pendapat Waluyo (2011: 8) yang menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra, sebagai sebuah gagasan dasar tema merupakan sesuatu yang netral, tidak memihak. Selanjutnya melengkapi pendapat di atas Fananie (2000: 84) menyatakan tema dapat berupa apa saja, persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, masalah tradisi atau apa saja yang erat kaitannya dalam kehidupan yang disesuaikan dengan zamannya. Novel Ngulandara terdiri atas empat belas bagian, setiap bab memiliki tema tersendiri. Berikut merupakan tema temuan peneliti yang berkaitan dengan persoalan etika, moral, tradisi, sosial budaya pada zaman novel tersebut dibuat.

(4)

commit to user

Sub judul pertama yaitu berjudul Oto Mogok bertemakan tolong menolong. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pada saat mobil keluarga Den Bei mogok ditengah hutan sewaktu senja hingga sekian lama menunggu munculah Rapingun bersama temannya Kasna kemudian menolong Den Bei yang tengah mengalami kesusahan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan dialog sebagai berikut:

Rewel mboten gelem mlaku”

“Ingkang rewel punapanipun ndara?” “Kula kurang terang”

“Punapa kepareng kula nuweni? Mbok menawi saged ngleresaken”

“Engga we lah kebeneran”(hlm. 9).

Terjemahan:

‘Rusak tidak mau jalan’ ‘Apa yang rusak Tuan?’ ‘Kurang tahu saya’

‘Apa boleh saya membantu, siapa tahu bisa membetulkan’ ‘Wah silakan kebetulan sekali.’

Dalam dialog di atas jelas bahwa Rapingun menawarkan bantuan untuk memperbaiki mobil milik Den Bei dan disetujui dikarenakan Den Bei sendiri tidak tahu mengenai urusan mobil. Pada bab ini keluarga Den Bei merasa heran melihat tingkah laku seorang supir yang baik, ramah, sangat hormat dan memiliki sopan santun yang baik. Akhirnya setelah diceritakan Rapingun memperbaiki kerusakannya, mobil tersebut dapat dinyalakan kemudian Den Bei meneruskan perjalanan menuju Parakan dengan dikawal Rapingun dari belakang.

Meksa Batal merupakan sub judul yang dipilih pengarang untuk sub bab II. Sub bab ini merupakan penguatan tema pada sub bab pertama, jika sub bab pertama mengusung tema tolong menolong maka pada sub bab II ini bertema tolong menolong tanpa pamrih atau tidak mengharap imbalan. Den Bei, istri, dan anaknya bermaksud untuk memberikan imbalan pada Rapingun karena telah membantu memperbaiki mobilnya, mereka berencana untuk melaksanakan maksud tersebut setelah tiba ditempat ramai. Namun ketika sampai di Parakan belum sempat berterima kasih

(5)

commit to user

Rapingun sudah pergi tanpa menghiraukan Den Bei. Keluarga Den Bei merasa sangat tertarik pada kepribadian Rapingun, karena ia menolong tanpa mengharap imbalan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi sugih kaprawiran

Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.”

“Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa

samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13).

Terjemahan:

‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti banyak keterampilannya

‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’

‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’

“Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika pakendelan taksi jen wanjti sijang, sepen, mboten wonten punapa-punapa. Prijatun tetiga sanget gela manahipun, dening kadjengipun meksa batal mboten kelaksanan.”(hlm. 15).

Terjemahan:

‘Overland segera menyusul. Sesampainya di pertigaan, tempat pangkalan taksi saat siang, sepi, tidak ada apa-apa. Mereka bertiga sangat kecewa, karena keinginannya tidak terlaksana.’

Sub judul III yaitu Njonjah Oei Wat Hien. Nyonyah Hien merupakan seorang wanita Tiong Hoa yang merupakan majikan Rapingun. Meskipun seorang Tiong Hoa Nyah Hien fasih menggunakan bahasa Jawa krama. Peneliti menemukan tema pada sub bab II ialah saling menghargai keberagaman, yang terwujud dalam sikap Nyah Hien yang mampu beradaptasi ditempat tinggalnya di Jawa meskipun adat dan budaya Jawa tidak sama dengan adat tradisi yang ia miliki. Tradisi orang Jawa yang terkesan malu dan tidak langsung pada pokok pembicaraan. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut ini:

(6)

commit to user

Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun. Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan....”

(hlm. 15).

Terjemahan:

‘Bertepatan hari Minggu, sekitar pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada oto. Tidak lama seorang Nyonyah Tiong Hoa yang kira-kira umurnya belum lebih dari tiga puluh tahun. Setelah turun dari mobil, lalu pergi ke gedung asisten....’

Boten Den Aju! Sowan kula menawi kedjawi tuwi kasugengan, inggih perlu badhe nglajengaken rembag betah. Kula njuwun

tulung Den Aju”(hlm. 17).

Terjemahan:

‘Tidak Den Ayu! Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung, ada perlu membicarakan keperluan. Saya mau minta tolong Den Ayu.’

Sub judul IV yaitu Sampun Kraos yang berarti ‘sudah nyaman’. Diceritakan bahwa Rapingun akhirnya bekerja pada Den Bei karena ketidaksengajaan Nyah Hien yang ingin menjual mobilnya. Mobil yang akan dijual tersebut memiliki plat nomor yang sama dengan mobil yang digunakan supir saat menolongnya, akhirnya mereka bertemu kembali. Den Bei tidak menghendaki mobilnya tetapi jika diperbolehkan ia ingin memiliki supirnya saja untuk dijadikan supir pribadi. Pada sub judul IV bertema pengabdian tulus tanpa pamrih. Rapingun yang telah dipekerjakan sebagai supir oleh Den Bei melaksanakan tugasnya dengan baik, mobil menjadi baik dan kinerja Rapingun yang rapi membuat keluarga Den Bei senang, tidak hanya pekerjaan supir yang ia kerjakan, ia pun mengerjakan pekerjaan rumah seperti menata taman, membersihkan perabot dan lain sebagainya ia kerjakan dengan senang dan sangat baik. Hal ini dipertegas dengan kutipan berikut:

“Rapingun keprije Bu, apa krasan?”

“Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak

sawang-sawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.”

(7)

commit to user Terjemahan:

‘Rapingun bagaimana Bu, apadia nyaman di sini?’

‘Begini Pak, sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini wajahnya selalu terlihat bahagia’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing

akeh-akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake (hlm. 27).

Terjemahan:

‘Wah, jika dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak ada yang menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan tentang mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Di rumah, saya perhatikan ia tidak beristirahat, semua dikerjakan, seperti menanam tanaman, menata kursi, membersihkan gambar, kemudian ditata kembali.Semua yang dia kerjakan selalu memuaskan’

Ketekunan merupakan tema sub judul V yang berjudul Ngajari Kapal ‘melatih kuda’. Den Bei memiliki kuda bernama Hel tetapi Hel belum mendapat pelatihan yang baik sehingga kuda itu menjadi liar dan tidak terkendali, Den Bei pun telah menyerah untuk melatih Hel. Rapingun dengan sifatnya yang tekun memutuskan untuk melatih Hel secara diam-diam. Hal itu ia lakukan dengan sabar, tekun dan tak putus asa walaupun Hel memang benar-benar kuda yang liar. Akhirnya setelah mendapat perhatian dari Rapingun Hel menjadi penurut. Den Bei kaget ketika bertemu Rapingun tengah menunggangi Hel di jalan raya, ia segera memerintahkan Rapingun pulang karena khawatir akan keselamatannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“.... Den Bei Asisten Wedana dawuh supados Rapingun terus wangsul. Lis ladjeng kadedet, Hel mlampah, ngentrag, sontan-santun kalijan matjan nubruk. Tijang-tijang sami tjingak dene Rapingun saged wangsul kanti wiludjeng. Punapa malih sumerep lampahipun Hel sadjak gumagus. Mangka lampah makaten wau namung tumrap kapal ingkang sampun mbangun-turut lan sampun dipun-adjari.”(hlm. 39-40).

(8)

commit to user Terjemahan:

‘.... Den Bei Asisten Wedana menyuruh Rapingun agar langsung pulang. Kendali kembali ditarik, Hel berjalan. Semua orang merasa lega Rapingun pulang dengan selamat. Hel berjalan dengan gagahnya. Padahal cara berjalan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh kuda yang penurut dan telah terlatih.’

“Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning kapal.”(hlm. 40).

Terjemahan:

‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang sudah jinak, tentu dapat berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’

Sub judul VI yaitu Peken Malem ing Magelang bertemakan tata krama, bagian ini menceritakan bagaimana Rapingun menjaga perilakunya terhadap anak majikannya yaitu Raden Ajeng Supartienah. Saat itu Raden Ajeng Tien akan pergi ke Magelang ketika akan menaiki mobil ia terpeleset dan membuat Mantri guru khawatir akhirnya Raden Ajeng Tien disarankan untuk duduk di depan bersama Rapingun. Rapingun merasa harus menjaga jarak dengan majikannya. Oleh karena itu, ia memilih duduk menjauh walaupun itu membuatnya tidak nyaman. Rapingun melakukan hal itu semata-mata untuk menjaga kehormatan majikannya, ia merasa kurang pantas duduk berdekatan dengan Raden Ajeng Tien karena pada saat itu ia hanya seorang supir. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen. Linggihipun mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos nggepok badanipun Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun bak taksih kobet. Dados ingkang mekaten wau boten sanes namung kangge rumeksa ing bendara lan netepi tata krama”(hlm. 46).

Terjemahan:

‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke kanan, dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden Ajeng Tien. Padahal keadaan jok masih longgar. Hal itu untuk

(9)

commit to user

menjaga martabat majikannya dan mentaati peraturan atau tata krama.’

Selanjutnya pada sub judul VII yaitu Manahipun Kagol ditemukan tema tanggung jawab. Pada sub judul ini diceritakan Rapingun dengan penuh tanggung jawab menjaga majikannya. Cara Rapingun mengawal dan menjaga majikannya tidak terlalu terihat tetapi ia tetap memperhatikan siapa saja yang dianggap mencurigakan. Saat di gedung wayang orang terdapat dua lelaki yang mencurigakan, lelaki itu selalu melihat kearah Raden Ajeng Tien, mengetahui hal itu Rapingun hanya waspada, sebab lelaki itu belum berbuat sesuatu yang membahayakan majikannya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

Djejaka kalih punika kedjawi patrap lan swantenipun gembar-gembor mekaten wau, tansah nolah-noleh ngiwa-nengen lan dateng wingking. Kala Raden Adjeng Tien saweg maspadakaken dununging swanten, dilalah djaka ingkang prakosa punika noleh dateng wingking, plek gatuk panjawangipun. Sanalika Raden Adjeng Tien tumungkul, ketingal bijas pasemonipun. Getering manah kados tinubruk ing sima lepat.”(hlm. 56).

Terjemahan:

‘Dua pemuda itu selain memiliki tingkah laku dan suara yang keras, selalu menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang. Saat Raden Ajeng Tien sedang mencari sumber suara, kebetulan pemuda yang gagah itu menoleh ke belakang, bertemulah pandangan keduanya. Saat itu pula Raden Ajeng Tien berpaling, terlihat pucat wajahnya’

“Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong putranipun, boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka kekalih, ingkang andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien sampun kesumerepan sadaja. Rapingun saja migatosaken kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka kekalih tansah kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados lare boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba kados ambeging sinatrija.”(hlm. 56).

Terjemahan:

‘Rapingun yang diberi tanggung jawab oleh majikannya untuk menjaga putrinya sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku kedua pemuda, yang menjadikan Raden Ajeng Tien tidak nyaman sudah ia diketahui. Rapingun semakin memperhatikan keadaan itu,

(10)

commit to user

apapun gerak-gerik pemuda itu selalu diawasi. Rapingun memang pandai, semua tindakannya itu tidak terlihat mencolok, tidak ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apa-apa.’

Novel Ngulandara pada sub judul VIII berjudul Ndjagi Wilujenging Bendara memiliki tema kesungguhan pengabdian. Tema tersebut didasarkan pada cerita bahwa ketika pulang dari Magelang mobil Rapingun dan Raden Ajeng Tien dihadang oleh dua orang laki-laki, tak lain merupakan laki-laki yang sama saat berada di gedung wayang orang. Laki-laki tersebut adalah teman Raden Ajeng saat masih bersekolah di Yogyakarta bernama Hardjana, ia menyukai Raden Ajeng Tien namun rupanya hanya bertepuk sebelah tangan. Hardjana marah dengan keadaan tersebut sehingga ingin berbuat yang baik. Akhirnya terjadilah perkelahian Rapingun dengan kedua laki-laki itu. Rapingun merasa bertanggung jawab atas keselamatan majikannya rela memberikan lengannya untuk dipukul, saat itu keadaan genting namun Rapingun dengan sigap menangani hal tersebut dan mereka berdua pun selamat. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan

nuding dateng Rapingun.

Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono

kurang adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan, dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak

ngerti!”(hlm. 65).

Terjemahan:

‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama pemuda tampan itu! berkata seperti itu sambil menunjuk ke arah Rapingun.’

‘Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: Wah kurang ajar sekali kamu, Hardjana. Baiknya kamu bertanya dulu, terlebih berkenalan, sehingga kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Dia adalah saudarakumengerti!’

“Hardjana kaget sumerep kawontenan mekaten punika, enggal mendet tosanipun gligen ingkang sampun kagletakaken ing treeplank, terus minger bade murugi Rapingun medal saking wingking oto. Nanging nalika punika Rapingun ugi bade murugi

(11)

commit to user

Hardjana medal sawingkinging oto. Sareng Hardjana dumugi sawingking oto kepering tengen kepetuk Rapingun. Hardjana ngembat tosanipun bade kagebagaken ing sirahipun Rapingun. Sareng kaijan pandjeritipun Raden Adjeng Tien, Rapingun ngendani sarana mendak kalijan nyabet garesipun Hardjana mawi sendok ban. Hardjana dawah kelumah.”(hlm. 66).

Terjemahan:

‘Hardjana kaget mengetahui keadaan itu, segera mengambil besi yang sudah diletakkan di treeplank, lalu berbalik ingin menghadang Rapingun lewat belakang mobil. Tetapi ketika itu Rapingun juga akan menghadang Hardjana dari belakang mobil. Bertemulah keduanya. Hardjana menghantam kepala Rapingun dengan besi. Seketika Raden Ajeng Tien menjerit, Rapingun menghindar dengan menunduk dan menghantam kaki Hardjana dengan sendok ban. Hardjana pun jatuh.’

Selanjutnya pada sub judul IX berjudul Ngreksa Namaning Bendara masih berhubungan erat dengan sub judul VIII. Bertemakan menjaga nama baik seseorang walaupun harus berkorban. Bagian ini menceritakan kekhawatiran Raden Ajeng Tien tentang anggapan Rapingun tentang dirinya. Ia merasa malu dengan hal yang baru saja ia alami, sebab pada zaman dahulu hubungan antara seorang wanita dan laki-laki masih dipengaruhi peraturan adat yang berdasarkan norma kesusilaan. Namun Rapingun mengerti keadaan tersebut, ia tidak akan menceritakan kejadian itu kepada Den Bei Asisten Wedana. Perkara tangannya yang patah ia akan beralasan sewaktu membetulkan mobil tangannya terkena slinger. Raden Ajeng Tien sangat terharu dengan apa yang dilakukan Rapingun semata-mata untuk menjaga nama baiknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Mangke dumugi ndalem, pandjenengan matur dateng ingkang

rama saha ingkang ibu, bilih tangan kula tengen kenging slinger” “O, ja talah Rapingun, pantes kowe dadi sedulurku, semono

anggonmu ngajomi menjang awakku. Nanging keprije, wong slinger

kok ngenani tangan?”(hlm. 72).

Terjemahan:

‘Nanti sesampainya di rumah, katakan saja pada Bapak dan Ibu, kalau tangan saya terkena slinger.’

(12)

commit to user

‘Oh, Rapingun, pantas jika kamu menjadi saudaraku, sampai seperti ini kamu melindungi dan menjagaku. Tetapi bagaimana, slinger dapat melukaitangan?’

“O, ija.” Sasampunipun tjarijos mekaten punika Raden Adjeng Tien ladjeng undjal napas: “saiki keprije pangiramu tumrap awakku Rap?”

“Pandjenengan resik lan sutji”(hlm. 73).

Terjemahan:

‘O, iya.Setelah bercerita seperti itu Raden Ajeng Tien lalu menghela napas. Sekarang bagaimana pandanganmu terhadapku Rap?’

‘Anda bersih dan suci.’

Balas budi menjadi tema pada sub judul X yang berjudul Wonten ing Grija Sakit. Pada sub judul sebelumnya diceritakan bahwa cedera yang dialami Rapingun harus mendapat penanganan khusus maka ia dibawa ke rumah sakit. Raden Ajeng Tien yang merasa berhutang keselamatan pada Rapingun dengan tekun mengurusi segala kebutuhan Rapingun saat berada di rumah sakit. Namun Rapingun tidak pernah meminta apapun ia merasa telah diperlakukan secara istimewa sementara ia hanya seorang supir. Raden Ajeng Tien mengangkat Rapingun sebagai saudaranya hal itu ia lakukan sebagai balasan atas keberanian dan pengabdian Rapingun padanya. Terbukti dari kutipan berikut ini:

“Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien

tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng Tien....(hlm. 79).

Terjemahan:

‘Setiap hari pukul tiga atau pukul empat, Raden Ajeng Tien berkunjung ke rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun. Namun sudah seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan yang aneh-aneh pada Raden Ajeng Tien.... ‘

“Tresnaku marang kowe, djalaran saka ketarik watak lan luhuring

budimu, kang wis kelahir saka sakabehing pakartimu. Atas asmane Pangeran, kowe wis tak-ujubake sarana karep kang murni dadi

(13)

commit to user Terjemahan:

‘Cintaku kepadamu, karena tertarik watak dan baiknya budimu, yang telah terlihat dari seluruh tingkah lakumu. Atas nama Tuhan, aku ikrarkan kamu menjadi saudaraku.’

Sub judul XI berjudul Pamit memiliki tema perhatian atasan kepada bawahannya. Hal ini ditunjukan dengan kecurigaan Den Bei Asisten Wedana terhadap sikap Rapingun. Sepulangnya dari rumah sakit Rapingun mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, namun raut wajah Rapingun yang terlihat gelisah kadang-kadang juga melamun, Den Bei khawatir sehingga menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Rapingun. Hasilnya Rapingun bersikap demikian karena ia rindu pada orang tuanya. Ia pun diijinkan pulang untuk mengunjungi kelurganya di Pacitan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:

Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal klintjutan, kados tiyang ngandut wewados ingkang bade kewiyak....”

(hlm. 90-91).

Terjemahan:

‘Setengah bulan setelah kepulangannya dari rumah sakit, saat sendiri Rapingun sering terlihat susah, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti orang menyembunyikan rahasia danakan terbongkar....’

Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten pijambakipun sakit”(hlm. 91).

Terjemahan:

‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi ia belum bertanya sebabnya. Setelah tiga hari, pukul empat sore, Raden Ayu Asisten ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah makan siang langsung tidur, tidak seperti kebiasaannya. Diduga Rapingun sedang sakit.’

(14)

commit to user

Tema sub judul XII yang berjudul Serat saking Rapingun adalah kesedihan keluarga Den Bei saat mengetahui Rapingun tidak akan kembali bekerja padanya. Keinginannya menemui orang tua hanya alasan agar dapat pergi dari rumah Den Bei. Rapingun bersikap demikian karena ia tidak tega melihat kesedihan Den Bei melihat kepergiannya. Sehingga dalam suratnya Rapingun menyebutkan ingin meneruskan tugasnya mencari Raden Mas Sutanta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Sampun kula manah pandjang, wiwit kula nangis wonten kamar, upami kula njuwun pamit medal, temtu bade ndadosaken keparenging pengalih pandjenengan sekalijan saha Ndara Adjeng Tien. Mila kula ladjeng matur dora, bade tuwi tijang sepuh dateng Patjitan”(hlm. 98).

Terjemahan:

‘Sudah saya pikir matang-matang, sejak saya menangis di kamar, seandainya saya meminta untuk keluar dari pekerjaan, tentu akan menjadi masalah untuk Den Bei beserta istri dan Raden Ajeng Tien. Jadi saya berbohong, untuk mengunjungi orang tua sayadi Pacitan.’

“Wondene sebabipun kula njuwun medal, mboten djalaran saking kirang anggen pandjenegan peparing, nanging nedya angajuh idam-idaman kula ingkang taksih sumimpen ing salebeting manah, ngiras madosi R.M. Sutanta....”(hlm. 98).

Terjemahan:

‘Penyebab saya meminta keluar dari pekerjaan, bukan karena gaji yang kurang, tetapi masih ada keinginan yang tersimpan di hati, dan lagi saya harus mencari R.M Sutanta....’

“....djalaran saking kathahing gagasan, ngantos boten rumaos jen sami lelenggahan wonten ing patamanan ngadjeng. Sareng enget,bjar, sumerep rembulan sampun amameraken tjahjanipun njoroti gegodongan tuwin sekaran ing patamanan, rambjang-rambjang asri tiningalan, kados suka pangari-arih dateng ingkang sami nandang prihatos”(hlm. 99).

Terjemahan:

‘....karena banyaknya pikiran, sampai tidak terasa sudah lama duduk di taman. Setelah melihat rembulan yang bersinar barulah teringat, sinarnya mengenai daun-daun dan bunga di taman, bayang-bayang terlihat indah, seperti penghibur untuk yang sedang bersedih.’

(15)

commit to user

Sub judul XII bertemakan segala sesuatu akan indah pada waktunya jika kita mau berusaha dan berdoa. Diceritakan setelah enam bulan pergi dari gedung asisten Ngadireja Rapingun yang juga merupakan Raden Mas Sutanta telah mendapatkan pekerjaannya kembali sebagai opzichter regenschap di daerah Kedungwuni. Secara kebetulan pula Den Bei Asisten Wedana kini telah diangkat sebagai Wedana di Kedungwuni. Pertemuan mereka terjadi secara kebetulan. Den Bei sekeluarga kaget mengetahui bahwa Rapingun adalah R.M Sutanta putra tunggal dari priyayi Solo R.M Gandaatmadja yang pergi untuk mengembara mencari jati dirinya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak, nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun, lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos sawetawis dangu”(hlm. 103).

Terjemahan:

‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu yang lama.’

Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M

Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.”

“Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken dateng Raden Mas Sutanta.”

“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis”

“ O, anakku ngger!”(hlm. 103).

Terjemahan:

‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di Kabupaten ini.’

(16)

commit to user

‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M Sutanta.’

‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’ ‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan menangis:’

“Oh,anakku”

“Den Bei Mantri guru sekalijan ingkang meksa dereng ngertos larah-larahipun ketingal lingak-linguk. Den Bei Wedana ladjeng ngandharaken lelampahanipun Raden Mas Sutanta, nalikanipun santun nama Rapingun....”(hlm. 104).

Terjemahan:

‘Den Bei Mantri guru bersama istri yang tidak tahu apa yang sedang terjadi terlihat bingung, Den Bei Wedana lalu menjelaskan cerita perjalanan Raden Mas Sutanta, saat berganti nama menjadi Rapingun....’

Sub judul terakhir berjudul Let Wolung Wulan bertemakan kebahagiaan. Setelah melalui masa-masa sulitnya menjalani kehidupan di masa pengembaraannya. Rapingun menjadi supir taksi dan mengabdi pada Nonyah Hien setelah itu ia mengabdi sebagai supir pribadi Den Bei Asisten Wedana. Pengabdiannya kepada Den Bei diwarnai dengan pengorbanan, Rapingun menunjukan loyalitas pengabdiannya kepada keluarga Den Bei. Raden Mas Sutanta akhirnya menikmati kebahagiaan ia menikah dengan Raden Ajeng Tien setelah mendapatkan pekerjaannya kembali. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Apa iki dina libur, ta?”

“Raden Mas Sutanta mangsuli”:

“Boten, Bu. Bade njambut damel, nuweni margi Kabupaten ingkang

saweg dipun-garap menika.”

“Ana njambut gawe kok sangu bodjo. Kowe kok ndadak melu

barang ta Tien.”(hlm. 106).

Terjemahan:

‘Apa hari ini libur?’

‘Raden Mas Sutanta menjawab:

‘Tidak, Bu. Mau bekerja, melihat jalan Kabupaten yang sedang dibangun .’

(17)

commit to user

Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan”. (hlm. 106).

Terjemahan:

‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup di dunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya.’

Novel Ngulandara seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya merupakan novel yang masih dipengaruhi oleh zaman Belanda dimana kaum priyayi dianggap lebih terhormat dan lebih memiliki kekuasaan saat itu. Dalam novel ini ditunjukan dengan adanya dialog antara Rapingun dan Den Bei Asisten Wedana saat bertemu di tengah hutan. Rapingun memanggil Den Bei dengan sebutan Ndara. Berikut merupakan kutipan dialog yang terjadi antara Rapingun dan Den Bei Asisten Wedana.

“Sarehning taksih gremis, mangga ndara lenggah ngelebet kemawon” “Boten dadi napa”

“Boten ndara, mangga lenggah kemawon kula sampun kulina dhateng

djawah lan benter, panjenengan kirang prayogi”(hlm. 10).

Terjemahan:

‘Karena masih gerimis, silakan Tuan duduk di dalam saja’ ‘Tidak apa-apa’

‘Tidak Tuan, silakan duduk saja saya sudah terbiasa terkena panas dan hujan, untuk Tuan kiranya kurang baik’

Dialog tersebut sangat terlihat bagaimana seorang yang berpangkat rendah memperlakukan seseorang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi. Rapingun yang saat itu hanya seorang supir bersikap sangan sopan dan tidak membiarkan orang yang ia temui tersebut kehujanan. Sebutan ndara yang berarti tuan menjadi ciri etika yang digambarkan dalam novel tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menemukan tema dalam novel Ngulandara secara umum adalah perjuangan hidup dalam pencarian jati diri. Dikatakan perjuangan hidup karena Raden Mas Sutanta yang merupakan anak priyayi harus keluar dari kehidupan mewahnya dan rela menjadi sopir merupakan hal yang sulit untuk dilakukan orang yang tidak terbiasa hidup susah. Pencarian jati diri, Raden Mas Sutanta pergi dari

(18)

commit to user

rumah dengan tujuan mencari ketentraman hidup sebab dalam dirinya sedang bergejolak rasa malu karena dipecat dari pekerjaannya, ia juga malu bila harus hidup bergantung kepada orang tuanya, maka ia ingin membuktikan bahwa ia mampu untuk berdiri menggunakan kakinya sendiri, ia mampu menjalani kerasnya kehidupan.

Hal yang dilakukan Raden Mas Sutanta tersebut seperti tersirat dalam tembang macapat pocung karya Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh yang berbunyi, ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara yang bermakna bahwa orang mencari ilmu atau jati diri dengan sarana berusaha mempertahankan jati diri agar terhindar dari bahaya. Bahaya dalam konteks ini adalah keterpurukan yang berkepanjangan karena mengalami kegagalan. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut:

“O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apa

-apa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup ko-anggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-lembara.”

(hlm. 85)

Terjemahan:

‘Oh, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, kamu tidak kekurangan suatu apapun. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’

b. Alur

Merujuk pada pendapat Stanton alur atau plot adalah jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Pengertian plot diartikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu menyebabkan peristiwa yang lainnya (2012: 144). Rangkaian kejadian yang menjalin alur meliputi: (1) eksposition; (2) inciting moment; (3) ricing action; (4) compication; (5) climax; (6) falling action; dan (7) denouement (Waluyo dan Wardani, 2009: 10).

(19)

commit to user 1) Eksposition

Tahap eksposition pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja ini adalah tahap pengarang memaparkan, memperkenalkan latar cerita, tokoh, waktu dan beberapa sumber konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Awal mula diceritakan Den Bei Asisiten Wedana, istri dan anaknya saat perjalanan pulang menuju Ngadireja mobilnya mengalami kerusakan di tengah hutan daerah setelah dusun Kledung yang terletak di lembah gunung Sumbing dan Sundara yang termasuk dalam dua wilayah yaitu Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika dumunung ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi Sumbing lan Sundara, wonten saantawisipun Parakan (Temanggung) kalijan Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng Parakan utawi Kreteg sami tumurunipun”(hlm: 7).

Terjemahan:

‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah dusun Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi, di perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke Parakan atau dari Kreteg sama-sama menurun.’

Nama-nama daerah yang digunakan dalam cerita ditemukan bahwa latar tempat kejadian cerita adalah di Jawa Tengah, sebab nama-nama tempat tersebut merupakan nama desa, kecamatan, dan kota di Jawa Tengah. Selain nama-nama tempat tersebut juga ditemukan nama kota Kedungwuni yang terletak di Klaten, dan Surakarta.

Pengarang menggambarkan latar sosial kehidupan priyayi pada zaman novel tersebut dibuat dengan menggunakan bentuk nama seperti Raden Bei, Raden Ayu, dan Raden Ajeng, pengarang juga memperkuatnya dengan menggunakan kata sapaan Ndara. Sapaan tersebut digunakan untuk menghormati orang yang dinilai memiliki strata sosial yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:

(20)

commit to user

“Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun rentjang estri, matur:

“Menika wonten tamu, Ndara.” “Bendaranipun estri taken:”

“Sapa?”

“Njonjah Hien Temanggung”(hlm. 15-16).

Terjemahan:

‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, memberi tahu:’

‘Ada tamu, Nyonya.’

‘Majikan perempuannya bertanya:’ ‘Siapa’

‘Nyonyah Hien Temanggung’

Pada awal novel juga diperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita yaitu Den Bei Asisiten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Raden Ajeng Supartienah, Rapingun, Kasna, dan Nyonyah Oei Wat Hien yang terlibat dalam tahap eksposition. Pengenalan tokoh ditandai dengan penggambaran bentuk fisik oleh pengarang. Hal tersebut dapat dilihat pada dialog antara Den Bei dengan istrinya yang melihat perawakan Rapingun, sebagai berikut:

“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.” “Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan

djetmika?”(hlm. 12).

Terjemahan:

‘Menurutku ya sudah, tapi belum tahu, sepertinya supir taksi’

‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’ ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’ 2) Inciting Moment

Tahap inciting moment pengarang mulai memunculkan problem-problem yang ditampilkan kemudian ditingkatkan dan dikembangkan. Diceritakan Rapingun yang telah menolong Den Bei memperbaiki mobilnya yang rusak tidak mau diberi imbalan. Den Bei merasa berhutang budi pada Rapingun ia ingin membalasnya suatu saat nanti, ia menghafal plat mobil yang dikendarai Rapingun dengan harapan jika bertemu lagi ia

(21)

commit to user

ingin memberikan hak Rapingun. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika pakendelan taksi jen tumudju wantji sijang, sepen, mboten wonten punapa-punapa. Prijantun tetiga gela manahipun....”(hlm. 15)

Terjemahan:

‘Overland segera menyusul. Sesampainya dipertigaan, yaitu yang menjadi tempat pemberhentian taksi diwaktu siang, sepi, tidak ada apa-apa. Mereka bertiga kecewa hatinya....’

3) Ricing action

Tahapan ini diceritakan permasalahan yang semakin kompleks yaitu saat Rapingun mengantar putri Den Bei yaitu Raden Ajeng Supartienah yang pergi ke Magelang di jalan dihadang oleh Hardjana. Rapingun terluka tangannya karena terkena pukulan Hardjana dan harus dirawat dirumah sakit. Rapingun merasa bingung karena ia telah merasa keluarga Den Bei begitu baik padanya, dalam dirinya ia merasa bersalah karena ia tidak akan dapat menetap di satu tempat. Ia harus tetap mengembara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

Lemes manah kula mboten saking kirang saening lampahipun rah,

Ndara”

“Lah saka apa?”

“Saking kawraten nampeni sih pandjenengan ingkang samanten

agengipun.”Witjantenan mekaten punika luhipun Rapingun saja deres

wedalipun, amargi saja kraos-raos manahipun”(hlm. 77).

Terjemahan:

‘Jantung saya lemah bukan karena kurang lancarnya aliran darah, Tuan’

‘Lalu karena apa?’

‘Karena terlalu berat menerima kasih sayang yang Tuan berikan kepada saya. Berkata demikian itu air mata Rapingun semakin deras, karena merasa berat hatinya.”

4) Complication

Pada tahap ini merupakan tahap sebelum klimaks sehingga pemicu konflik lebih ditingkatkan lagi. Diceritakan saat di rumah sakit Raden Ajeng Tien memberikan surat yang ia temukan diantara barang-barang

(22)

commit to user

milik Rapingun. Surat itu tak lain adalah surat dari ibu Rapingun atau R.M Sutanta dalam surat itu tersirat kerinduan mendalam ibunya, tetapi Rapingun masih ingin mengembara. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah curiga bila Rapingun adalah Raden Mas Sutanta. Ia tetap menyembunyikan jati dirinya dari Raden Ajeng Tien. Hal ini membuatnya bingung mengenai apa yang harus ia lakukan, karena ia juga tidak tega meninggalkan keluarga Den Bei yang sangat baik padanya, namun disisi lain mungkin ibu dan bapaknya akan mati dalam kesengsaraan karena menahan rindu padanya, ia memutuskan untuk pergi dari rumah Den Bei dengan alasan mengunjungi orang tuanya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Ing batos Raden Adjeng Tien radi eram sumerep pasemonipun Rapingun, boten punapa-punapa. Rumaos tuna panggrajanipun. Ingkang salebetipun manah Raden Adjeng Tien ngunandika, apa saking pintere nutupi, saka wis bisa ngereh atine dewe, apa saka ora ana gegajutaning bab babar-pisan”(hlm. 83).

Terjemahan:

‘Di dalam hati Raden Ajeng Tien agak curiga melihat raut muka Rapingun, bukan apa-apa. Merasa kurang memperhatikan. Raden Ajeng Tien berbicara dalam hati, apa karena pandainya dia menutupi, dari kepandainya mengatur hatinya sendiri, atau karena memang tidak ada hubungannya dengan masalah ini.’

Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal klintjutan, kados tijang ngandut wewados ingkang bade kewijak....”

(hlm: 90-91).

Terjemahan:

‘Setengah bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit, saat Rapingun sendirian ia terlihat sedih, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti seseorang yang memiliki rahasia yang akan terbongkar....’

“Nuwun Ndara, saestunipun sampun sawetawis dinten menika kula

tansah kengetan dateng tijang sepuh kula. Sampun meh sadasa wulan menika kula mboten tuwi, mangka anakipun namung setunggal til kula

(23)

commit to user Terjemahan:

‘Maaf Tuan, sebenarnya beberapa hari ini saya teringat orang tua saya. Sudah hampir sepuluh bulan ini saya tidak pulang, padahal saya anak satu-satunya.

5) Climax

Climax merupakan puncak dari keseluruhan cerita. Semua kisah atau peristiwa yang sebelumnya ditahan untuk ditonjolkan, pada tahap ini semuanya dikisahkan. Peneliti menemukan climax pada bagian terbongkarnya rahasia Rapingun bahwa ia sebenarnya adalah Raden Mas Sutanta anak dari Raden Mas Gandaatmadja yang pergi dari rumah untuk mengembara. Terbongkarnya identitas Rapingun yang sebenarnya ketika ia berkunjung ke rumah Mantri guru Kedungwuni karena ia bekerja sebagai pengawas di daerah itu. Secara kebetulan Den Bei Asisten Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana, dan Raden Ajeng Tien juga berkunjung karena ia adalah Wedana baru di daerah Kedungwuni, pertemuan mereka disambut tangis haru. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:

Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak, nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun, lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos sawetawis dangu”(hlm. 103).

Terjemahan:

‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu yang lama.’

Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M Sutanta,

Opseter Kabupaten ngriki.”

“Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken dateng Raden Mas Sutanta.”

(24)

commit to user

“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis:

“ O, anakku ngger!”(hlm. 103).

Terjemahan:

‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di Kabupaten ini.’

‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M Sutanta.’

‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’ ‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan menangis:’

‘Oh, anakku’ 6) Falling action

Tahap falling action merupakan tahap ketegangan konflik telah menurun karena telah mencapai climax. Setelah mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan Raden Mas Sutanta dan mengapa ia berbohong, Den Bei mengerti keadaan Raden Mas Sutanta. Selama menjadi pengawas Raden Mas Sutanta telah memiliki rumah yang baru dan meminta agar Den Bei sekeluarga menginap ditempatnya dan mereka menyetujuinya. Hal itu dapat diihat pada kutipan berikut:

.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng wonten ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas Sutanta sampun gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun pepak, tur model enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten ing ngriku, inggih saking panedanipun Raden Mas Sutanta iangkang boten kenging dipuntulak”(hlm. 105).

Terjemahan:

‘.... Namun yang terjadi, Den Bei Wedana lalu menginap dirumah Raden Mas Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki rumah sendiri, perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru. Den Bei menginap karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak bisa ditolak.’

7) Denoument

Tahap ini berarti penyelesaian dari semua cerita yang berupa akhir cerita. Diceritakan akhir dari novel Ngulandara Raden Mas Sutanta

(25)

commit to user

akhirnya menikah dan hidup rukun serta bahagia. Terbukti dengan kutipan berikut:

Wiwit dinten punika grijanipun Raden Mas Sutanta kenging kawastanan kalih, ing Pekalongan sarta ing Kedungwuni” (hlm. 105).

Terjemahan:

‘Sejak hari itu rumah Raden Mas Sutanta dapat dikatakan ada dua yaitu di Pekalongan dan di Kedungwuni.’

“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan”(hlm. 106).

Terjemahan:

‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya.’

Tahapan alur yang telah dijelaskan di atas menunjukkan alur yang digunakan dalan novel Ngulandara adalah alur utama karena dalam penceritaannya digambarkan secara runtut tidak menggunakan alur ganda atau alur sampingan yang menceritakan kisah lain di dalam kisah pengembaraan Raden Mas Sutanta.

c. Sudut Pandang

Analisis sudut pandang menggunakan teori menurut Abrams bahwa sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (1981: 101). Minderop berpendapat bahwa sudut pandang terbagi menjadi empat golongan yaitu, sudut pandang persona ketiga, sudut pandang persona pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang dramatik (2005: 31).

Novel Ngulandara gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang persona ketiga yaitu pengisahan cerita yang memposisikan pengarang sebagai yang maha tahu dan pengamat. Sudut pandang persona ketiga dalam menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama seperti

(26)

commit to user

Raden Mas Sutanta. Sedangkan tokoh pembantu Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. atau kata gantinya misalkan keng ibu, bocah kae dan lain sebagainya. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

Wulan saja minggah, padangipun djingglang, makaten ugi pasemonipun Raden Adjeng Tien lan Rapingun ingkang kataman sunaring rembulan saja nglela, prasasat rembulan kembar”

(hlm. 70).

Terjemahan:

‘Rembulan semakin naik, terang benderang, begitu pula Raden Ajeng Tien dan Rapingun yang terkena pancaran sinar rembulan semakin jelas, seperti rembulan kembar.’

“Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten Ngahad, wantji djam 5 sonten, Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lelenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben”(hlm. 26).

Terjemahan:

‘Selang satu bulan setelah kedatangan Nyonyah Hien, bertepatan hari Minggu pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang duduk di teras belakang sambil minum, minuman seperti biasa.’

d. Latar

Peneliti sependapat dengan Stanton bahwa latar adalah lingkungan kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Latar dapat memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana seolah-olah sungguh-sungguh terjadi (2012: 35). Dengan demikian, pembaca dapat dengan mudah mengoperasikan daya imajinasinya mengenai cerita dan memungkinkan dapat berperan serta secara kritis dengan pengetahuan mengenai latar sebuah cerita (Sayuti, 2000: 126-127). Selanjutnya untuk lebih memahami latar terbagi atas tiga yaitu (1) latar tempat, (2) latar

(27)

commit to user waktu, dan (3) latar sosial.

1) Latar tempat

Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi. Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki karakteristik dan ciri khas sendiri.

Latar tempat pada novel Ngulandara terjadi di tengah hutan tepat dibawah dusun Kledung, Parakan, gedung asisten di Ngadireja, Kwijen Pekalongan, Magelang, dan Kedungwuni. Ditengah hutan dibawah dusun Kledung merupakan tempat mobil Den Bei Asisten Wedana rusak, seperti yang tergambar pada kutipan di bawah ini:

“Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika dumunung ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi Sumbing lan Sundara, wonten saantawisipun Parakan (Temanggung) kalijan Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng Parakan utawi Kreteg sami tumurunipun”(hlm. 7).

Terjemahan:

‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah dusun Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi, di perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke Parakan atau dari Kreteg sama-sama menurun.’

“Ing Kledung punika misuwur atisipun. Dasar angine sumribit, sinembuh gremisipun tanpa kendat....”(hlm. 7).

Terjemahan:

‘Di Kledung sudah terkenal dingin. Ditambah angin berhembus perlahan dan gerimis yang tak kunjung usai....’

Latar tempat lain yaitu di perhentian atau pangkalan taksi di Parakan yang biasanya dipakai para supir taksi untuk beristirahat di siang hari. Ketika Den Bei telah sampai di Parakan dan ingin memberikan imbalan atas jasa Rapingun, terlihat pada kutipan berikut:

(28)

commit to user

“Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi, sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let seprasekawan djam oto sampai di Parakan”(hlm. 14).

Terjemahan:

‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota. Ternyata benar berselang 15 menit mobil sampai di Parakan.’

Latar tempat lain yang berpengaruh terhadap kehidupan Rapingun adalah di gedung asisten Ngadireja. Di tempat itu Rapingun dipertemukan kembali dengan Den Bei Asisten Wedana. Ia kemudian mengabdikan diri sebagai supir di sana. Rapingun mengalami banyak kejadian yang membuatnya semakin memahami arti pengembaraannya. Terlihat pada kutipan berikut:

“Kaleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngajeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto”(hlm. 15).

Terjemahan:

‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada mobil.’

Di gedung asisten terdapat tempat khusus bagi Den Bei dan keluarganya untuk bercengkrama yaitu di gadri wingking ‘teras belakang’, pataman ‘taman’, ada juga tempat yang digunakan Rapingun yaitu kamar Rapingun dan kandang kuda tempat Rapingun mengajari Hel, kuda milik Den Bei. Tergambar pada kutipan berikut:

“....,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben”(hlm. 26).

Terjemahan:

‘....,Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang bersama duduk di teras belakang sambil meminum minuman seperti biasa.’

“Hel mubeng–mubeng takur-takur, ladjeng gulung. Sareng sampun kaping kalih: tangi, dipun-ombeni toja sarem, meh telas saember.

(29)

commit to user Terjemahan:

‘….Hel berputar-putar kakinya mengagaruk-garuk tanah, kemudian bergulung-gulung. Setelah kedua kali Hel bangun, diberi minum air garam, hampir habis satu ember. Lalu dimasukkan ke kandang kuda, perlengkapannyadibuka.’

“Rapingun ladjeng wangsul dateng kamaripin kalijan ambekta

sindjang kalih sawit. Dene Raden Bei Asisten sekalijan medal dateng

plataran ngadjeng, terus lelenggahan wonten ing patamanan” (hlm.

96).

Terjemahan:

‘Rapingun lalu kembali ke kamarnya dengan membawa dua kain jarik. Sedangkan Den Bei Asisten beserta istrinya keluar ke halaman depan, kemudian duduk di taman.’

Rapingun juga mengantar Raden Ajeng Tien ke Magelang untuk berkunjung ke rumah Mantri gudang. Pada saat itu bertepatan di Magelang sedang digelar pasar malam. Berikut kutipannya:

“Ladjeng kadospundi? Temtunipun dipunadjeng-adjeng.”

“Inggih, mila kula bade dateng Magelang. Mangke djam-djam

sewelas wangsul, terus dateng Ngadiredja”(hlm. 44).

Terjemahan:

‘Lalu bagaimana? saat ini pasti sudahditunggu

‘Iya, saya akan ke Magelang. Nanti kira-kira pukul sebelas bisa pulang langsung ke Ngadireja.’

Latar tempat yang diambil selanjutnya adalah rumah sakit di Parakan. Di rumah sakit tersebut Rapingun dirawat setelah mengalami cidera lengan saat menolong Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Dilebokake rumah sakit ngendi ta, Pak?” “Rumah sakit Magelang bae.”

“Ora pak betjike ana Parakan bae, bab pangane bisa dikirim saka Kemantren guron, Tien rak isa ngubetake ta?”

“Saged Bu”(hlm. 78).

Terjemahan:

‘Dibawa ke rumah sakit mana Pak?’ ‘Rumah sakit Magelang saja’

(30)

commit to user

‘Tidak Pak lebih baik di Parakan saja, soal makanan bisa dikirim dari dinas pendidikan, apaTien bisa mengusahakan?’

‘Bisa, Bu’

Rumah mantri guru di kampung Kwijen Pekalongan dan rumah Wedana Kedungwuni juga menjadi latar tempat pada novel ini, hari itu Raden Mas Sutanta bertamu ke rumah mantri guru untuk sekedar silaturahmi, namun tidak disangka Den Bei Asisten dan keluarganya juga bertamu karena ia baru saja diangkat sebagai Wedana di Kabupaten Kedungwuni. Dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwidjen sawingking

Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru

(hlm. 100).

Terjemahan:

‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’

“.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng wonten ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas Sutanta sampun gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun pepak, tur model enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten ing ngriku, inggih saking panedanipun Raden Mas Sutanta iangkang boten kenging dipuntulak”(hlm. 105).

Terjemahan:

‘.... yang terjadi, Den Bei Wedana menginap di rumah Raden Mas Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki rumah sendiri, perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru. Den Bei menginap karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak dapatditolak.’

2) Latar waktu

Latar waktu merupakan segala seuatu yang mengacu pada saat terjadinya peristiwa dalam plot secara historis. Melalui pemerian waktu kejadian yang akan tergambar jelas. Penekanan waktu lebih kepada keadaan hari, misalnya pagi, siang, sore atau malam. Penekanan ini juga berupa

(31)

commit to user

penunjuk waktu yang telah umum digunakan atau cara lain yang menunjukan waktu tertentu.

Novel Ngulandara digambarkan kejadian pada waktu pagi, malam, siang, sore, seperti yang digambarkan pada kutipan di bawah ini:

Endjingipun, sawangsulipun Rapingun saking Parakan, ngeteraken Raden Adjeng Supartienah, Rapingun ladjeng mlebet kamar

panjimpenan lapak sapirantosipun sedaja...”(hlm. 30).

Terjemahan:

‘Pagi hari sepulang Rapingun dari Parakan, mengantar Raden Ajeng Supartienah, Rapingun masuk ruang penyimpanan pelana dan perlengkapannya....’

Dalu punika ringgit tijang lampahipun: Resi Brongsong inggih

punika murtjanipun Raden Djanaka....”(hlm. 53).

Terjemahan:

‘Malam ini wayang orang dengan lakon: Resi Brongsong yang tak lain adalah Janaka.... ‘

“.... Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden

Aju Asisten badhe nuweni Rapingun dateng kamaripun, awit wiwit

nedha sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem”(hlm. 91).

Terjemahan:

‘.... setelah tiga hari, pukul empat sore, Reden Ayu Asisten ingin melihat Rapingun di kamarnya, karena sejak makan siang tadi Rapingunpergi tidur.... ‘

Pengarang menggambarkan kejadian waktu dengan menyebutkan nama hari, seperti pada kutipan berikut:

“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng

ngasistenan ngadiredja wonten oto”(hlm. 15).

Terjemahan:

‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan gedung asistenNgadireja ada mobil.’

“Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten

Ngahad, wantji djam 5 sonten ,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben”(hlm. 26).

(32)

commit to user Terjemahan:

‘Selang satu bulan dari kedatangan nyonyah Hien, bertepatan hari Ahad, pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang bersama duduk di teras belakang sambil meminum minuman sepertibiasa.’

“Dinten Ngahad pendakipun, langiting ketingal sumilak resik.

Dalunipun mentas djawah, dados wit-witan sami ketingal seger, godhongipun ngrembujung idjem rojo-rojo, adamel seketcaning

paningal....”(hlm: 32).

Terjemahan:

‘Hari Ahad berikutnya, langit terlihat cerah dan bersih. Tadi malam turun hujan, sehingga pepohonan terlihat segar, daunnya hijau, sehingga indahdipandang’

“Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak”

(hlm. 43).

Terjemahan:

‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka.’

“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking

Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru”(hlm. 100)

Terjamahan:

‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah Mantri guru.’

“Dinten senen djam wolu endjing wonten oto Ostin sedandipunsetiri

prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 taunan”(hlm. 105).

Terjemahan:

‘Hari Senin pukul delapan pagi ada mobil Ostin sedan, dikemudikan oleh pemuda, tegap, berumur kurang lebih 25 tahun.’

Pengarang juga menggambarkan kejadian waktu menggunakan keterangan waktu seperti djam setengah enem, let seprasekawan jam, setengah kalih welas, djam tiga. Digambarkan pada kutipan di bawah ini:

(33)

commit to user

“Njatane nek kaja ngene iki prije hara? Mangka ning tengah bulak,

wis djam setengah enem,kathik atise kaja ngene”(hlm. 6).

Terjemahan:

‘Kenyataannya kalau seperti ini bagaimana, di tengah hutan, sudah pukul 5.30dan sangat dingin.’

“Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi, sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let seprasekawan djam oto sampai di Parakan”(hlm. 14).

Terjemahan:

‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota. Ternyata benar selang 15 menit mobil sampai di Parakan.’

“Adate ngantos djam setengah kalih welas saweg kondur....”

(hlm. 33).

Terjemahan:

‘Biasanya sampai pukul 11.30 sudah pulang.’

“Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien

tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng Tien....’(hlm. 79).

Terjemahan:

‘Setiap hari jam tiga atau empat, Raden Ajeng Tien berkunjung ke rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun. Namun sudah seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan yang aneh-aneh pada Raden Ajeng Tien....‘

3) Latar sosial

Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau beberapa tokoh dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Status dalam kehidupan sosial dapat digolongkan menurut tingkatannya, seperti latar sosial bawah atau rendah, latar sosial menengah, dan latar sosial tinggi.

(34)

commit to user

Novel Ngulandara yang pertama terbit tahun 1936 masih menganut sistem novel yang berlatarkan kaum bangsawan atau priyayi. Di novel itu digambarkan dengan jelas status sosial masing-masing tokoh. Penggambaran latar sosial tinggi ditegaskan dengan penggunaan gelar kebangsawanan yaitu Raden Mas, Raden Ayu, Raden Ajeng, dan Mantri. Gelar tersebut tidak boleh dipakai oleh orang biasa-biasa saja atau orang berlatar sosial rendah misalnya saat Raden Mas Sutanta yang menyamar menjadi supir ia hanya memakai nama Rapingun, Den Bei Asisten Wedana juga mendapat gelar tersebut karena ia menjabat sebagai Asisten Wedana. Pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca betapa strata sosial dalam masyarakat sangat penting, menyebut nama saja menggunakan aturan seseorang yang berstrata sosial rendah harus menyebut Ndara yang berarti ’Tuan’ pada seseorang yang berstatus sosial tinggi. Berikut kutipan latar sosial tersebut:

“Wonten menapa mas Rap?” “Ndara seten wau tindak pundi?”

“Kala wau Ndara Den Ayu ngendika adjeng tindak kemantren

guron”(hlm. 33).

Terjamahan:

‘Ada apa mas Rap?’

‘Tuan Asisten tadi mau kemana?’

‘Tadi Den Ayuberkata mau pergi ke dinas pendidikan.’

e. Amanat

Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Selanjutnya dijelaskan bahwa amanat biasanya berupa nilai-nilai yang dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat adalah ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pendapat tersebut peneiti gunakan sesuai dengan pendapat Ismawati (2013:73). Adapun amanat tersebut seperti dalam ungkapan-ungkapan Jawa di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Konflik Batin dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel 12 Menit Karya Oka Aurora serta Relevansinya sebagai Materi Pembelajaran Apresiasi Sastra

(Contoh pertanyaan : Sebutkan urutan gerakan sholat dari awal hingga akhir !). Guru memotivasi siswa dengan memberikan poster gerakan sholat. Kegiatan apresiasi ini dilakukan

Perencanaan strategi komunikasi yang dilakukan Dinas Koperasi Kota Semarang dalam Sosialisasi Update Data Mandiri Sistem Informasi Data Koperasi, memiliki tujuan

Peneliti telah melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan tujuh orang informan yang diantaranya merupakan tiga orang laki-laki dan empat orang perempuan pengguna

Rumusan hasil lokakarya tersebut lalu di breakdown menjadi visi, misi, tujuan dan sasaran Program Studi IQT STAI Al-Anwar Sarang. Hal ini terlihat jelas bahwa STAI Al-Anwar

Kasih sayang tokoh utama kepada siswa dan sekolah juga terlihat saat tokoh utama harus pindah tugas mengajar ke sekolah lain, seperti yang terlihat dalam kutipan

Pada gambar ini terdapat unsur-unsur obyek yang menerangkan siswa dapat menggambarkan kondisi rumah dengan lengkap, seperti: terdapat pagar, tanaman, kondisi rumah

Berdasarkan transkrip di atas siswa memperoleh skor 12, dapat dilihat bahwa siswa tersebut sudah menguasai topik permasalahan dengan cukup baik. Pendapat yang