• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penolakan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2017 Dalam Persepektif Undang-undang Nomor 48 Tahun

BAB IV ANALISIS PENOLAKAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA PONOROGO PADA

TAHUN 2009 DAN MENURUT PASAL 26 AYAT (1) UU NO 23 TAHUN 2002

B. Analisis Penolakan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2017 Dalam Persepektif Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Menurut Pasal 26 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2002.

Hakim dalam pelaksanaannya mempunyai hak tersendiri dalammemutuskan ataupun mengadili sebuah perkara. Perkara yang diajukan tidak langsung serta merta diadili namun harus dilihat-lihat apakah perkara tersebut memenuhi syarat atau tidak dalam prosedur pengajuan perkara ke Pengadilan.

Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti secara hukum, nilai hukum dari perilaku,serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan.1

Dalam pelaksanaan tugasnya dalam menolak permohonan dispensasi kawin, hakim Pengadilan Agama Ponorogo selalu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, terutama dalam mentapkan dan memutuskan perkara. Hakim sebelum memutuskan perkara bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun untuk menetapkan, memutus dan mengadili sebuah perkaara yang ada.

Menurut pendapat penulis, Hakim Pengadilan Agama Ponorogo sudah melaksankan sesuai dengan prosedur dalam pedoman Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim telah memutus, menetapkan, dan mengadili perkara dengan mandiri dan tidak terpengaruh oleh pihak lain. Hal tersebut bisa dilihat dari cara hakim dalam memutus perkara dibidang dispensasi kawin tak semua permohonan dispensasi kawin dikabulkan oleh majelis hakim namun ada yang tidak

1

Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 2

dikabulkan oleh hakim. Hakim Pengadilan Agama Ponorogo memiliki kewenangan untuk menolak permohonan dispensasi kawin yang telah diajukan oleh orang tua calon mempelai.

Dalam undang-undang tentang Kekuasaan kehakiman di dalam pasal 24 ayat (1) menjelaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan hakim dalam memecahkan sebuah perkara terlepas dari kekusaan pemerintah.

Di pengadilan Agama Ponorogo, hakim Pengadilan Agama menerapakan pedoman yang sesuai dengan perundang-undangan pasal 24 ayat (1) yang berlaku. Hakim mengambil sumber hukum lain yang ada untuk memutuskan sebuah perkara sesuai dengan ketentuan dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim lain dalam memutuskan sebuah perkara guna menegakkan hukum dalam menyelesaikan masalah yang diajukan di Pengadilan Agama Ponorogo termasuk dalam menyelesaikan masalah permohonan dispensasi kawin.

Menurut penulis, Hakim Pengadilan Agama Ponorogo sudah menerapkan pasal 24 ayat (1) yang menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan. Hal tersebut dibukutikan dengan adanya penafsiran hukum atau penemuan hukum baru yang dilakukan oleh hakim yang sebagian hukum dalam menetapkan

sebuah perkara tersebut tidak ada dalam persepektif undang-undang.Hakim tersebut mengambil inisiatif yang ada untuk memutuskan perkara.Pengadilan Agama Ponorgo menolak beberapa kasus tentang dispensasi kawin guna menegakkan hukum, majelis hakim berpendapat bahwa bila kasus tersebut dikabulkan akan terjadi kemudharatan yang besar dari pada kemaslahatannya. Maka dari itu hakim Pengadilan Agama Ponorogo menolak beberapa permohonan pengajuan dispensasi kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama Ponorogo.

Diatur dalam pasal 14 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari putuskan. Hakim wajib menyampaikan pendapat yang telah dimusyawarahkan kepada para pihak yang berperkara agar pendapat tersebut mempunyai nilai keadilan bagi pihak yang berperkara.

Dalam pekasanaan tugasnya hakim Pengadilan Agama Ponorogo menggunakan pasal 14 tersebut. Dalam setiap melaksanakan persidangan hakim menyampaikan pertimbangan yang ada baik dalam bentuk tertulis ataupun lisan.Penyampaian tersebut dilaksanakan dan diterapkan oleh hakimyang kemudian didengar dan dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan agar nantinya setelah penyampaian atau pembacaan pertimbangan tidak terjadi konflik akibat ketidakadilan dan kepastian hukum. Hakim menyampaikan argumen dengan jelasyang berisi

pertimbangan oleh majelis hakim akan sumber hukum untuk mengadili perkara tersebut.

Hakim Pengadilan Agama Ponorogo telah menjalankan pasal 14 sesuai dengan ketentuan undang-undang. Hakim sebelum memutuskan perkara menyampaikan pendapat atau pertimbangan yang telah dimusyawarahkan oleh majelis hakim sebelumnya kemudian disampaikan secara langsung dan jelas kepada pihak yang bersangkutan baik penyampaiannya secara tertulis atapun lisan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hakim Pengadilan Agama Ponorogo telah melaksanakan prosedur dalam wewenang yang dimiliki oleh hakim untuk menjalankan penegakkan hukum guna menegakkan keadilan dan memecahkan masalah dalam perkara pernikahan terutama perkara tentang dispensasi kawin.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat (1) menjelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah perkawinan pada usia anak-anak, memberikan pendidikan karakter dan pemahaman nilai budi pekerti pada anak.

Dalam praktek atau penerapan Pengadilan Agama Ponorogo menggunakan pasal 26 ayat (1) sebagai dasar hukum dalam menolak dispensasi kawin.Hakim Pengadilan Agama Ponorogo menggunakan pasal

tersebut guna memutus perkara dispensasi kawin yang diajukan oleh para pemohon.Penolakan tersebut diambil dari argumen yang bersumber dari penjabaran atau penafsiran yang diambil dari pasal 26 ayat (1) tersebut.

Menurut penulis, hakim Pengadilan Agama Ponorgo sudah sesuai dengan pasal 26 ayat (1) yang digunakan untuk memutus perkara dispensasi kawin dalam penolakan perkara tersebut. Dalam hal ini peran hakim menerapkan hukum tersebutbertujuan untuk melindungi anak yang masih di bawah umur.

Pada pasal 26 ayat 1 huruf c undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan jelas dan tegas bahwa melarang terjadinya pernikahan anak di bawah umur yang belum mencapai usia 18 tahun. Hal ini berarti bila seorang anak ingin melaksanakan perikahan maka anak tersebut haruslah berusia minimal 18 tahun baru kemudian bisa melaksanakan sebuah pernikahan.

Dalam prakteknya atau pelaksanaanya, Di Pengadilan Agama Ponorogo tentang pemohon dispensasi kawin yang mayoritas anak dari para pemohon berusia kurang dari 18 tahun atau di bawah umur untuk melakukan sebuah pernikahan. Orang tua pemohon tetap mengajukan permohonan tersebut ke Pengadilan Agama agar si anak bisa menikah dengan calon mempelainya meskipun hal tersebut sudah bertentangan dengan teori hukum yang ada selama ini.

Menurut pendapat penulis, dalam hal pernikahan di usia muda melalui pertimbangan hakim dalam menolak permohonan dispensasi anak. Karena apabila hakim mengabulkan perkara anak yang dikatakan belum dewasa maka sikap hakim dalam perkara tersebut sangat disayangkan. Hal tersebut memicu banyaknya atau bertambahnya keinginan dari orang tua untuk menikahkan anaknya dalam usia dini.

Dari uraian diatas, penulis kemudian menarik sebuah kesimpulan bahwa hakim pengadilan agama ponorogo baik dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan menurut UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sudah sesuai dengan prosedur yang ada namun dari segi keinginan para pemohon hal tersebut bertolak belakang dengan hasil keputusan hakim dalam menolak pengajuan dispensasi kawin.

81 A. Kesimpulan

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penulis menyimpulkan penulisan skripsi sebagai berikut:

1. Perimbangan-pertimbangan hakim dalam menolak perkara dispensasi kawin dalam persepektif UU No 48 tahun 2009 tentang kekuaasaan kehakiman dan Menurut Pasal 26 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. menurut persepektif UU No 48 tahun 2009 tentang kekuaasaan kehakiman, hakim Pengadilan Agama Ponorogo sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut diihat dengan hakim memiliki wewenang dalam mengadili dan memutus perkara penolakan dispensasi kawin tidak terpengaruh orang lain sehingga majelis hakim memiliki pertimbangan untuk berargumen menolak pengajuan permohonan dispensasi tersebut.

Sedangakan Pasal 26 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hakim Pengadilan Agama Ponorogo berusaha untuk melindungi anak yang masih berusia di bawah umur dewasa yang belum bisa dikatakan sebagai subjek hukum.

2. Hakim Pengadilan Agama Ponorgo dilihat dari tegaknya pisau hukum, hakim tesebut telah sesuai dengan asas kapatutan hakim yang berlaku seperti pedoman undang-undang nomor 48 tahun 2009 dan undang-undang nomor 23 tahun 2002, namun dalam sisi yang lain yaitu kepentingan masyarakat berupa keinginan dari

B. Saran-saran

1. Penyuluhan hukum

Penyuluhan hukum diutamakan kepada pihak yang utamanya yaitu anak-anak yang belum cukup umur dan umumnya bagi orang tua wali, dan badan atau instansi yang terkait dengan pemerintah maupun masyarakat sekitar. Penyuluhan bisa dilakukan dengan berbagai cara tidak hanya seminar –seminar seperti biasanya namun dengan komunikasi yang lebih terjalin antara narasumber dengan pendengar. Penyuluhan tersebut digabungkan dengan aspek-aspek kesehatan (kesehatan reproduksi) dan menuatkan cerminan moral yang mulai terkikis sedikit demi sedikit karena pengaruh zaman yang lebih maju.

2. Memberikan perhatian atau kasih sayang yang lebih kepada anak.

Seorang keluarga menjadi point terpenting dalam adanya perkara pengajuan permohonan dispensasi kawin yang terjadi selama ini, karena kebanyakan kedua orang tua lebih berpikir untuk menyelesaikan pemecahan masalah dengan menikahkan anaknya yang masih di bawah umur karena kekhawatiran yang belum tentu benar. Hal tersebutlah yang harusnya dihindari oleh orang tua pihak pemohon dengan memberikan kasih sayang dan perhatian lebih akan hal yang dilakukan oleh anaknya selama ini.

Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2009-2010). Skripsi. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2010.

Al-Hamdani, H.S.A. Rislah Nikah (Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2011.

Arto, H. A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2004.

Asy-syahwi, Majdi Muhammad dan Aziz Ahmad Al-Aththar. Kado Pengantin. Solo: Pustaka solo, 2006.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015.

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalamsistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2010.

Gramedia press, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam. Gramedia, 2014.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Hakim, Intan Rifatul. Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Pacitan Pada Tahun 2016. Skripsi. Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2017.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Hariyanto, Firman. Dispensasi Nikah Dengan Pemeriksaan Setempat (Studi Analisis Perkara No. 079/pdt.P.PA/BL. Tentang Dispensasi Nikah). Skripsi. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2010.

Koro, M. Abdi. Perlindungan Anak Di Bawah Umur. Bandung: P.T. Alumni, 2012 Mahfiana, Layyin. Anak Dalam Perlindungan Hukum (Studi Kasus Di Ponorogo.

Ponorogo: Stain Press Ponorogo, 2012.

Manan, Abdul. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Mamang, Etta Sangaji dan Sopiah. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET, 2010.

Maulida, Rahmah. Dinamika Hukum Perdata Islam Di Indonesia (KHI). Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2001.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Nurhuda, Faruq. Faktor-Faktor Meningkatnya Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Magetan Ditinjau Dari Teori Penegakan Hukum (Studi Analisis Terhadap Penetapan Dispensasi Nikah Dari Tahun 2013-2015). Skripsi. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2017.

Rambe, Ropaun & A. Mukri Agafi. Implementasi Hukum Islam. Jakarta: Pt Perca, 2001.

Rasyid, Lili. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia. Bandung: Alumni, 1982.

Rifai, Achmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Rokamah, Ridho. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Kaidah-kaidah Pengembang Hukum Islam, Ponorogo: STAIN PO Press, 2015

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka City

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfafet, 2015.

Wadong, Maulana Hassan. Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: PT Gramedia, 2000.

Widiana, Wahyu. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2000.