• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PENOLAKAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA PONOROGO PADA

DISPENSASI KAWIN

C. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Indonesia merupakan negara yang mempunyai hukum yang beragam dalam menegakkan keadilan yang ada. Dasar hukum tersebut tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Dalam negara hukum, hukum yang mengendalikan kekuasaan yang ada dan setiap pelaksaan tindakan hukum dilakukan oleh lembega-lembaga atau badan hukum yang berdasarkan dengan dasar hukum yang digunakan yang berlaku.

Lembaga-lembaga yang digunakan oleh negara memerlukan adanya tata cara dalam mengatur lancarnya penegakan hukum bertujuan terciptanyakeadilan, ketertiban, kepastian hukum dan tercapainya ketentraman, kesejahteraan dan tata tertib dalam hukum.

Dalam negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuasaan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaam kehakiman diwujudkan dalam tindakan pemeriksaan, penelitian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif.12

Kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 ayat (1) menjelaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan”.

12

Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 1

Kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan hakim.13

Penegakan hukum dibutuhkannya adanya kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan dalam suatu negara yang di dalamnya terbukti adanya pelaksanaan hukum untuk menyelenggarakan peradilan. Peradilan sebagai lembaga yudikatif yang pelaksaanaan kekuasaan kehakiman seseorang tidak bisa mencampuri atau memutuskan perkara baik itu dari lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif yang dapat melaksankannya adalah orang yang telah diberikan kuasa oleh lembaga peradilan.

Menurut pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain -lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam fungsi dan kewenangan peradilan, terdiri atas badan-badan kehakiman dan badan-badan “peradilan” menurut undang-undang.Badan kehakiman yang ditegaskan dalam pasal 24 ialah Mahkamah Agung.

Peradilan Agama menjadi salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan terselenggaranya Negara Hukum Republik

13

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 98

Indonesia.14 Dalam hal tersebut kekuasaan kehakiman ini diatur dalam peraturan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksanan kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memerikasa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”15

Dalam hal ini dapat dijabarkan beberapa filosofi dalam kegiatan upaya menegakkan hukum yang diperankan oleh badan-badan peradilan yaitu kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah sebagai “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”. Tujuan bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah agar hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dapat ditegakkan, dan agar benar-benar diselenggarakan kehidupan bernegara berdasarkan hukum, karena negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Recht Staat).16

Dan kekuasaan kehakiman diatur dalam peraturan undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Di dalam pasal 1 ayat (1) undang-undanng tersebut menjelaskan bahwa:

“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dam keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

14

H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2004), 29

15

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 16

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 59

Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”17

Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwa setiap hakim sebelum memutuskan perkara wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang diperiksa dan hal tersebut tidak bisa dipisahkan dalam putusan. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 14 yang menyatakan bahwa:

“Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari putuskan”.18

Didudukkan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memenuhi pelaksaan ketentuan di Pengadilan Agama dalam bab III pasal 49 ditetapkan tugas kewenangannya untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara “perdata” bidang:19

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam c. Wakaf dan shadaqah.

Di dalam Kekuasaan Kehakiman badan pelaksanan kewenangan Pengadilan Agama memiliki kewenangan dalam hal perkawinan yang di dalamnya menyangkut kasus dispensasi kawin. Dispensasi kawin adalah

17

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 18

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 19

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 100

keringanan yang diberikan undang-undang melalui peradilan terhadap anak dibawah umur agar dapat melangsungkan perkawinan. Perkara dispensasi kawin termasuk perkara pengajuan permohonan yang hasilnya berupa penetapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim.

Untuk mengabulkan atau menolak perkara yang diajukan oleh para pemohon maka majelis hakim memerlukan pertimbangan agar putusan tersebut mengandung kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.Pertimbangan tersebut berasal dari fakta-fakta yang bisa dibuktikan kesempurnaannya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon.

Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara mempunyai tiga aspek secara berimbang, yaitu memberikan kepastian hukum, rasa keadilan, dan manfaat bagi para pihak dan masyarakat. Yaitu diantaranya:

a. Kepastian hukum

Kepastian hukum memberikan perlindungan bagi masyarakat dan tindakan sewenang-wenang dari pihak lain, hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban masyarakat.

b. Keadilan

Masyarakat selalu berharap agar dalam pelaksanakan atau penegakkan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan.Hukum itu mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan keadaan, status

maupun perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.

c. Manfaat

Hukum ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengaharapkam kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum.20

D. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak