• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disamping dapat dipandang upaya untuk meminimalkan perceraian, ketentuan yang menyangkut keterlibatan Pengadilan Agama alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar perceraian tersebut di atas juga merupakan langkah ke arah menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar setiap perceraian yang terjadi benar-benar sah, bukan perceraian haram, dan bukan kewajiban-kewajiban yang menjadi konsekuensi logis dari perceraian bisa ditunaikan dengan baik, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.1

Dalam halaman sebelumnya penyebab percekcokan seperti yang dijelaskan oleh penggugat ialah masalah ekonomi karena suami tidak bekerja lagi (PHK), sudah tidak ada kecocokan lagi dalam rumah tangga, dan meninggalkan keluarga tanpa sepengetahuan penggugat selama 4 tahun. Namun pada dasarnya alasan cerai gugat karena suami di-PHK masih di dalam permasalahan ekonomi karena pekerjaan menjadi faktor utama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kalau suami tidak bekerja maka kebutuhan hidup keluarga khususnya ekonomi menjadi tersendat, sehingga kebutuhan ekonomi rumah tangga menjadi tidak berjalan dan suami tidak

1

Suheri Sidik Ismail, Ketentraman Suami Isteri, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1999), Cet. Ke-1, h. 29

melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga. Dalam putusan majelis hakim memutuskan perkara tersebut sudah tepat karena sudah terdapat alasan-alasan yang menyebabkan putusnya perkawinan.

Mengenai penetapan putusan pengadilan dalam pekara perdata ini khususnya pada perkara cerai gugat maupun cerai talak yang disebabkan dilatar belakangi faktor ekonomi pada umumnya mengandung amar putusan tunggal, yaitu penetapan putusan yang berupa pengabulan atau penolakan penggugat untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang dimohonkan seperti:

1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.

2. Mengizinkan penggugat untuk berperkara cuma-cuma. 3. Menjatuhkan talak satu kepada Syaiful Aswan bin Sulaiman. 4. Membebankan biaya perkara kepada negara.

5. Menjatuhkan putusan ini dengan seadil-adilnya.

Sudah kita ketahui di atas bahwa gugatan penggugat itu dikabulkan oleh majelis hakim maka kita dapat tafsirkan mengenai pertimbangan alasan majelis hakim menjatuhkan talak khul’i dari tergugat (Syaiful Aswan bin Sulaiman) ke penggugat (Eryanawati binti M. Husin) adalah sesuai dengan ketentuan hukum Islam maka telah jelas maka jatuhlah talak bain sugra yakni talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam iddah, sebagaimana tersebut dalam pasal 119 ayat (1) dan (2) huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, dengan terbukti tergugat melanggar sighat ta’lik talak. Dengan berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Jo. Undang-undang Nomor 3

tahun 2006 biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat, karena penggugat tidak mampu dan beracara secara prodeo maka biaya perkara dibebankan kepada negara.

Penulis pun setuju apa yang sudah menjadi ketetapan pertimbangan dari majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur karena alasan-alasan yang sudah didalilkan oleh penggugat, maka majelis hakim pun dapat menerapkan putusan yang sudah dipertimbangkan karena melanggar ketentuan pasal 33 dan 34 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan janji sighat ta’lik talak yang ke 4 yakni dengan mengabulkan gugatan dari penggugat.

Kehadiran para saksi dari pihak penggugat dan tidak dihadiri pihak tergugat untuk sementara majelis hakim dapat menarik kesimpulan sebagaimana tersebut di atas dan menjadi sebab perselisihan dan percekcokan telah cukup jelas, meskipun salah satu pihak tidak hadir namun sudah memenuhi syarat maka majelis hakim berpendapat bahwa dikabulkan gugatan penggugat telah dapat memenuhi ketentuan pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo. Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam Jo. pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.

Dalam ketentuan yang termuat di atas maka kita dapat menafsirkan bahwasannya gugatan yang sudah dilayangkan oleh penggugat untuk tergugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perceraian dan perselisihan itu dan juga sudah mendengar pendapat-pendapat dari pihak penggugat saja karena pihak tergugat tidak hadir dalam persidangan sampai putusan dibacakan oleh majelis hakim.

Dengan telah diperolehnya suatu fakta yang berkaitan dengan duduk perkara antara penggugat dengan tergugat telah terjadi perselisihan yang tidak mungkin lagi dirukunkan.2 Dinilai telah memenuhi alasan hukum baik berdasakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang tersebut pada pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 maupun berdasarkan ketentuan hukum Islam sebagaimana tersebut pada pasal 116 huruf (f) dan (g) Kompilasi Hukum Islam.

Dalam pertimbangan majelis hakim sudah tepat mendalilkan pasal 33 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 maupun berdasarkan ketentuan hukum Islam sebagaimana tersebut pada pasal 116 huruf (f) dan (g) Kompilasi Hukum Islam karena kalau dipaksakan rumah tangga untuk bersatu maka sudah tidak layak lagi karena sudah melanggar pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Begitupun dalam proses penyelesaian perkara cerai gugat, peneliti mendapatkan penjelasan oleh hakim bahwa proses cerai gugat dengan cerai talak, pada umumnya sama hanya saja berbeda pada saat pembuktian. Peneliti pun setuju dengan penjelasan hakim dalam proses penyelesaian perkara pada umumnya sama antara cerai gugat dan cerai talak, hanya saja yang berbeda soal pembuktian tergantung bagaimana gugatan dari para pihak. Yaitu pertama para hakim membuka sidang, setelah hakim membuka sidang dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan

2

kepada para pihak, ini hanya menanyakan idientitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk hadir dalam persidangan.

Dilanjutkan dengan perdamaian, apabila kedua belah pihak masih berkeinginan bercerai dan perdamaian menemui jalan buntu, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ke tahap pemeriksaan dan diawali pembacaan gugatan oleh penggugat atau pemohon. Selanjutnya tergugat atau termohon diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingan terhadap penggugat atau pemohon. Kemudian dilanjutkan dengan tahap pembuktian dan alat bukti oleh para pihak, lalu setelah itu sampai kepada kesimpulan dan terakhir tahap yang menentukan ialah putusan.

Jadi perkara cerai gugat dan cerai talak proses penyelesaiannya sama hanya alasan dan pembuktiannya yang berbeda, lainnya halnya dengan tergugat atau termohon tidak hadir ke persidangan setelah dipanggil secara resmi oleh pengadilan maka putusannya bersifat verstek. Maka penyelesaiannya pun lebih cepat.

Dengan demikian dijatuhkan amar terhadap putusan ini berarti Pengadilan Agama Jakarta Timur telah memberikan pengabulan gugatan penggugat untuk menceraikan suaminya (tergugat) dalam nomor perkara 590/Pdt.G/2009/PA.JT pada hari rabu tanggal 19 Agustus 2009 M, bertepatan dengan tanggal 28 Sya’ban 1430 H, oleh Drs. H. Achmad Busyro, M.H sebagai hakim ketua, serta Dra. Haulillah, M.H dan Hj. Munifah Djam’an, S.H sebagai hakim anggota. Pada hari itu diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh ketua majelis hakim tersebut dihadiri oleh Mastanah, S.H sebagai panitera pengganti serta dihadiri pihak penggugat dan tanpa dihadiri pihak tergugat.

62 A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang terdahulu penulis mendapatkan beberapa kesimpulan. Sebagai berikut:

1. Pada dasarnya alasan cerai gugat karena suami di-PHK tetap masalah ekonomi karena masalah pekerjaan di-PHK menjadi masalah keuangan yang berdampak pada kehidupan keluarga, presentasenya pun sangat kecil gugatan dengan alasan suami di-PHK. Pada dasarnya PHK itu sendiri menyangkut dengan ekonomi. Namun di Pengadilan Agama Jakarta Timur pun masih mengatagorikan dengan percekcokan yang menjadi alasan-alasan cerai gugat adalah sesuai dengan Pasal 19 huruf a-f Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf a-h Kompilasi Hukum Islam. Selain itu ada yang menyebabkan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian diantaranya adalah pertama, moral diantaranya poligami yang tidak sehat, krisis akhlak, cemburu dengan pasangannya; kedua, meninggalkan kewajiban diantaranya kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab; ketiga, kawin di bawah umur; keempat, menyakiti jasmani anataranya kekejaman jasmani dan kekejaman rohani atau mental; kelima, salah satu pihak dihukum; keenam, cacat biologis; ketujuh, terus menerus berselisih diantaranya politis, gangguan pihak ketiga, dan tidak ada keharmonisan.

2. Dasar hukum yang diambil Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutuskan perkara di atas ialah diambil dari pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975, tentang kewajiban seorang suami dalam pasal 34 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan pasal 116 huruf (f) dan (g) Kompilasi Hukum Islam. 3. Prosesnya pada umumnya sama antara cerai gugat dan cerai talak, hanya saja

yang berbeda soal pembuktian tergantung bagaimana gugatan dari para pihak. Jadi perkara cerai gugat dan cerai talak proses penyelesaiannya sama hanya alasan dan pembuktiannya yang berbeda, lainnya halnya dengan tergugat atau termohon tidak hadir ke persidangan setelah dipanggil secara resmi oleh pengadilan maka putusannya bersifat verstek. Maka penyelesaiannya pun lebih cepat.

B. Saran

Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan di atas, sebagai catatan akhir maka penulis menyarankan:

1. Untuk menciptakan ikatan yang mitsaqan ghalizan pada perkawinan maka perlu ada kesadaran pada dinas pendidikan agar dimasukkan suatu mata pelajaran tentang kehidupan perkawinan disetiap sekolah-sekolah supaya setiap siswa dapat mengetahui pandangan tentang perkawinan dan dapat menyikapi masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga sejak dini supaya pada saat siswa-siswa sudah dewasa dan menjalani kehidupan berumah tangga sudah dapat memahami dan menghayati perlunya membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang merupakan tujuan dari kehidupan berumah tangga itu sendiri. Sehingga dapat meminimalisir angka perceraian karena sudah adanya pendidikan sejak dini tentang perkawinan.

2. Kepada para hakim di Pengadilan Agama hendaknya memberikan gambaran tentang dampak perceraian terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya dan terhadap lingkungannya juga. Dan diwajibkan untuk memberikan penasihat, yaitu melakukan upaya-upaya perdamaian yang termuat pada PERMA No. 1 tahun 2008 yang isinya adalah setiap perkara sebelum memasuki pokok perkara itu harus dimediasi „didamaikan‟ terlebih dahulu. Agar kepada para calon suami istri yang ingin mengakhiri perkawinannya di Pengadilan Agama akan memikirkan kembali atas keputusan yang akan diambil. Karena jika itu terjadi maka pada akhirnya yang menjadi korban yaitu anaknya sendiri akibat perceraian kedua orang tuanya.

65

Abbas, S. Ziyad, Fiqh Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991

Abdullah, Abi bin Yazid al-Qazuainy, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr, 1994

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004

Ali, Muhamad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2

Artikel diakses pada tanggal 1 April 2011 dari www.pa-jakartatimur.net

Ash-Shidieqiy, Tengku Muhamad Hasbi, Koleksi Hadist-hadist Hukum, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001

Ayyub, Syeikh Hasan, Fikih Keluarga, Terj. M. Abdul Ghaffar. E.M, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, Cet. Ke-5

Bagir al-Habsiy, Muhammad, Hukum Fikih Praktis Menurut Al-Qur‟an, Bandung: Mizan Media Utama, 2002, Cet. Ke-1

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: DEPAG RI , 2001

Departemen Agama, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian,

Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan badan Peradilan Agama Islam, 1997

Doi, A. Rahman I., Penjelasan Lengkap Hukum Islam (Syari‟ah), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Cet. Ke-2

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-2

Haikal, Abduttawab, Rahasia Pekawinan Rasulullah saw, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-2

Ibrahim, Jhony, Teory dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3

Ismail, Suheri Sidik, Ketentraman Suami Isteri, Surabaya: Dunia Ilmu, 1999, Cet. Ke-1

Kamal, Abu Malik, Fiqh Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009

Muchtar, Kamal, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-1

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Beirut: Dar al-Jawad, 2006 Muttaqien, Dadang, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia, Yogyakarta: UI Press, 1999

Nur, Djaman, Fiqh Munakahat, Semarang: Dinan Utama, 1993, Cet Ke-1 Nur, M. Hasan, Potret Wanita Saleha, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. Ke-1

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. Ke-6

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Kairo: Daar al-Fath, Cet. Ke-1

Sastroatmodjo, Arso, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981 Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: CV Rajawali, 1985

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986 Soepomo, R, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970

Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999

Sukandy, Muh Sjarief, Tarjamah Bulugul Maram Fiqh Berdasarkan Hadist, Bandung: al-Ma’arif, 1976, Cet. Ke-2

Sulaiman, Al-Imam Hafidz Abi Daud, Sunan Abi Daud, Kairo: Dar al-Hairin, 1988M/1408H, Juz 2

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. Ke-7

Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003, Cet. Ke-1

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-1

Tim. Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2007 Yanggo, Chuzaemah T dan Anshary A.Z , A Hafidz, Problematika Hukum Islam

Dokumen terkait