• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHK Cerai gugat akibat suami di PHK(Studi Analisis Putusan Perkara No.590/Pdt.G/ PA.JT Di Pengadilan Agama Jakarta Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PHK Cerai gugat akibat suami di PHK(Studi Analisis Putusan Perkara No.590/Pdt.G/ PA.JT Di Pengadilan Agama Jakarta Timur)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD RIZKI MAWARDI NIM: 107044201334

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Muhammad Rizki Mawardi

NIM: 107044201334

Di Bawah Bimbingan:

Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. NIP: 150 321 584

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

ANALISIS PUTUSAN PERKARA NO. 590/Pdt.G/2009/PA.JT) DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 12 September 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.Dr.H.M.Amin Suma, SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.

NIP: 19500306 197603 1001

Sekertaris : Hj. Rosdiana, MA.

NIP. 19690610 200312 2001

Pembimbing : Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. NIP. 150 321 584

Penguji I : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 19550505 198203 1012

(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Mei 2011

(5)

v

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i

walmursalīn Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

vi

pikiran disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, semangat dan motivasi kepada penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

4. Bapak dan Ibu Dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan fasilitas serta buku-buku yang penulis perlukan.

6. Bapak Hakim, Panitera Muda dan Para Staf di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan dan informasi kepada penulis.

7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Chotiri Aslam dan ibunda Siti Hapsoh dengan segala curahan dan kasih sayangnya serta do’a dalam mendidik dan mengasuh penulis hingga dapat menempuh kejenjang perguruan tinggi dengan baik. Semoga segala jasa dan upaya yang diberikan menjadi amal sholeh yang diterima disisi Allah swt. Dan menjadi tabungan kelak di akhirat. Amiin…

(7)

vii

selalu membawa canda tawa sehingga membuat om menjadi semangat membuat skripsi.

9. Sahabat seperjuangan, teman-teman Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2007.

10.Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, atas jasa bantuan semua pihak baik berupa moril dan materil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan balasan yang

berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaum al-akhir Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok dan apa yang kita lakukan diridhai oleh Allah swt.Amiin.

Jakarta: 19 Jumadil Akhir 1432 H

23 Mei 2011

Penulis

(8)

viii

Halaman Judul ... i

Persetujuan Pembimbing ... ii

Pengesahan Penguji ... iii

Pernyataan Keaslian ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Review Studi Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pengertian Cerai ... 16

B. Cerai Gugat ... 23

C. Dasar Hukum Cerai Gugat ... 24

D. Rukun dan Syarat Cerai Gugat ... 27

(9)

ix

B. Kedudukan dan Letak ... 39 C. Struktur Organisasi Pengadilan ... 39 D. Wilayah Yuridiksi ... 41 BAB IV : ANALISIS TERHADAP CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI

DI-PHK

A. Duduknya Perkara ... 49 B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 52 C. Analisis Penulis ... 57 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga dan bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 merupakan sebuah unifikasi hukum yang dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat Indonesia, yang di dalamnya diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, baik itu untuk agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Undang-undang ini juga menghapus segala peraturan ataupun undang-undang perkawinan yang ada atau berlaku sebelumnya, dengan kata lain seluruh peraturan yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku, sebagaimanan bunyi pasal 66 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam setiap agama terdapat aturan-aturan perkawinan kepada pemeluknya. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Sedangkan menuut Kompilasi Hukum

1

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: DEPAG RI, 2001), h. 131

2

(11)

Islam, Perkawinan menrurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3

Tujuan perkawinan adalah agar dapat terbinanya hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan antara satu sama lain saling mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. 4

Fiqih pun telah menggariskan bahwa nikah berfungsi terjadinya akibat hukum yaitu kehalalan untuk berjima’. Perkawinan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik untuk mengeluarkan dan memuaskan naluri seksual. Kemudian akibat dari perkawinan badan menjadi sehat, jiwa terasa tenang. Maka terpelihara dari pandangan haram dan ketenangan jiwa menikmati sesuatu yang halal.5

Dalam hal ini Abduttawab Haikal dalam bukunya rahasia perkawinan Rasulullah mengatakan bahwa dalam Islam, rumah tangga merupakan dasar dari kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat.6

3

Tim. Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2007), h. 7

4

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum Islam (Syari‟ah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 150

5

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Daar al-Fath), Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 9

6

(12)

Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat Islam.7

Terjadinya akad nikah telah menimbulkan hak dan kewjiban bagi suami istri. Hak suami berarti kewajiban yang harus diberikan oleh istrinya, dan hak istri berarti suatu kewajiban yang harus diberikan oleh suaminya. Salah satu hak yang harus dipenuhi oleh suami terhadap istrinya adalah nafkah. Nafkah seperti sandang, pangan, papan sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari karena menyangkut kebutuhan hidup yang tidak akan pernah lepas.

Hak merupakan sesuatu yang harus diterima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitu pula kehidupan antara suami istri dalam setiap rumah tangga. Apabila dua hal tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya, niscaya akan timbul percekcokan dan perselisihan rumah tangga.

Islam menjadikan nafkah merupakan hak yang wajib didapatkan oleh istri dan sang suami, karena suami dianggap layak untuk mencari nafkah dengan kendala segala kondisi yang dimiliki oleh kaum laki-laki, baik secara fisik maupun akal fikiran. Secara kodrati para istri memang dianjurkan untuk tetap barada dirumah mengurus segala hal yang berkenaan dengan urusan rumah tangga, dari mulai mengurus dan mendidik anak, menyiapkan segala kebutuhan suami, juga merawat

7

(13)

dan membersihkan rumah, menjaga dan mengatur harta benda suaminya termasuk yang melekat pada dirinya adalah termasuk harta yang paling berharga yang dimiliki suaminya yang harus dijaga dan dipelihara kehormatannya karena berat dan besarnya pula tanggung jawab yang dimiliki istri dalam rumah tangga, maka mencari nafkah untuk mencukupi segala kebutuhan hidup dibebankan kepada suami.

Idealnya kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun, bahagia dan tentram. Namun, sebuah perjalanan tidak selamanya mulus sesuai dengan yang diharapkan kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan kecekcokan pasangan suami istri tak terhindarkan, mereka merasa tidak nyaman dan tentram lagi dengan perkawinan mereka, karena pada kenyataanya membina hubungan keluarga tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan tandas di tengah jalan.8

Islam tidaklah mengharamkan perceraian karena Allah swt. hanya membenci saja. Islam merupakan agama yang sangat toleran, memutuskan hubungan suami istri (cerai) adalah solusi alternatif yang darurat, karena bisa membahayakan kehidupan rumah tangga apabila tidak terjadi perceraian. Itupun harus dengan alasan-alasan yang memadai kendatipun perceraian dihalalkan namun sangat dibenci Allah swt.9

8

Chuzaemah T Yanggo dan A Hafidz Anshary A.Z, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 73

9

(14)

Namun demikian tidak jarang terjadinya bahwa tujuan mulia tersebut tidak sesuai dengan harapkan, karena pada kenyataanya membina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan tandas ditengah jalan10. Akibatnya timbullah perceraian-perceraian merupakan problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi anak-anak.11 Tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban karena orang tuanya berpisah, pendidikannya terlantar, tidak terurus, dan kandas di tengah jalan.

Selain itu terjadinya perbedaan dan pertentangan kemarahan, dan segala yang mengingkari cinta diantara suami istri. Kalau kasih cinta sudah hilang akan berubahlah pilar-pilar perkawinan. Mereka jatuh kelembah kehidupan yang susah dan pemikiran yang bimbang karena pada dasarnya kesatuan dan kekompakkan dalam segala hal merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan serta sumber segala ketenangan. Lain halnya kalau akan menghilangkan bagi kedua belah pihak.12

Fenomena cerai gugat merupakan fenomena yang banyak terjadi belakangan ini dari mulai artis hingga masyarakat umum. Kasus istri yang menggugat cerai bukanlah hal tabu lagi, sebagian besar perceraian didominani oleh perempuan yang menuntut cerai. Penyebabnya sangat umum, dari mulai faktor ekonomi, sang suami

10

Chuzaemah T Yanggo dan A Hafidz Anshary A.Z, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. Ke-3, h. 73

11

Departemen Agama, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan badan Peradilan Agama Islam, 1997), h. 2

12

(15)

kurang bertanggung jawab, sampai masalah perselingkuhan. Selain itu masalah yang kerap melekat bagi seorang istri bahwa “istri ikut suami sudah tidak zamannya lagi”. Dan istri akan menderita bila ditinggalkan suami sudah usang juga buktinya kalau dulu kaum suamilah yang menceraikan istri, tapi sekarang istrilah yang banyak menceraikan suami.

(16)

Permasalahannya adalah bagaimana apabila suami tidak mampu dalam menghadapi problematika rumah tangga tersebut (suami tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari terhadap istri dan anak-anaknya, dan pertengkaran pun tidak dapat dipungkiri lagi). Kemudian apakah dia harus bercerai karena melihat kenyataan nasib suami seperti ini dan sangat sudah tidak memungkinkan lagi untuk melangsungkan penghidupan keluarganya, akan tetapi masih mempertahankan perkawinannya sementara perselisihan dan pertengkaran antara suami istri terus berkepanjangan? Inilah sorotan penulis untuk dikaji pada bab berikutnya.

Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin untuk membantu dengan sedikit banyak memberikan jawaban dan pengetahuan tentang hal tersebut. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkaji analisis penelitian tentang “CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI DI-PHK (Pemutusan Hak Kerja) (Analisis Putusan Perkara No. 590/Pdt.G/2009/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur).”

Dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah untuk mengetahui pandangan para hakim yang ada di Indonesia khususnya yang ada pada Pengadilan Agama Jakarta Timur dimana saya melakukan analisis dan observasi mengenai proses perkara cerai gugat akibat suami di-PHK, lalu lebih jauh lagi tentang akibat-akibat yang terjadi dalam perceraian khususnya cerai gugat.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(17)

istri dikarenakan suami tidak lagi bekerja akibat di-PHK, dan putusan perkara No.590/Pdt.G/2009/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur dibatasi pada perkara yang terjadi perselisihan dalam kehidupan rumah tangga dikarenakan masalah ekonomi dan tidak ada lagi kecocokan.

2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan tugas seorang istri terhadap keluarga, atas dasar setia pada pernikahan istri seharusnya memberi dorongan dan semangat kepada suami yang di-PHK, pada kenyataannya istri menggugat cerai suami dengan serta merta.

Sejalan dengan pembatasan dan rumusan masalah di atas, timbul beberapa pertanyaan tersebut dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah suami di-PHK bisa dijadikan alasan dalam perceraian ?

b. Apa yang menjadi dasar hukum hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutuskan perkara cerai gugat akibat suami di-PHK ?

c. Bagaimana proses penyelesaian perkara cerai gugat akibat sumai di-PHK di Pengadilan Agama Jakarta Timur ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah 1. Untuk mengetahui bisa tidaknya suami di-PHK menjadi alasan suatu

perceraian.

(18)

3. Untuk mengetahui proses penyelesaian perkara cerai gugat akibat suami di-PHK di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah

1. Untuk Kalangan Akademis: Seperti mahasiswa dan pengamat akademis dengan adanya skripsi ini yang menyajikan wacana pemikiran, dan juga bisa dijadikan informasi untuk dibahas lebih lanjut dan bahan untuk didiskusikan. 2. Untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan: Memberikan sumbangan khususnya

fiqh munakahat sehingga mengetahui tentang pandangan hukum Islam mengenai faktor ekonomi sebagai pemicu perceraian di Pengadilan Agama. D. Review Study Terdahulu

Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan bahasan mekanisme penyelesaian permohonan cerai gugat akibat suami di-PHK, antara lain:

1. Judul skripsi “Cerai Gugat Karena Suami Tidak Mampu Memberikan Nafkah

(studi analisis putusan perkara No.732/Pdt.G/2006/PA.Bdg-Jawa Barat)” yang ada pada wilayah Bandung dengan kejadian perkara adalah tahun 2006, skripsi ini disusun oleh Nurhayani, skripsi tersebut membahas tentang menurut pertimbangan hakim dan menekankan pada realitanya yang mencari nafkah tidak hanya suami tapi istri pun juga bisa mencari nafkah dalam kehidupan modern.

(19)

yang ada pada wilayah Bogor, skripsi ini disusun oleh Muhamad Khaliludin, skripsi tersebut membahas menekankan analisanya pada prosedur penyelesaiannya terhadap kasus perceraian karena suami tidak memberikan nafkah, yang ditangani di Pengadilan Agama Bogor.

3. Judul skripsi “Gugat Cerai Suami Yang Tidak Memberikan Nafkah Karena Penyakit Yang Sulit di Obati Menurut Fikih dan KHI (studi kasus pada putusan No.1228/Pdt.G/2007/PA.JS)” yang ada pada wilayah Jakarta Selatan, skripsi ini disusun oleh Robitatul Adawiyah. Skripsi tersebut membahas tentang pengertian nafkah, alasan istri menggugat cerai suami, dan analisa. Substansi dalam karya ilmiah tersebut di atas jelas berbeda dengan penemuan yang penulis bahas, yakni:

1. Wilayah kejadian perkara yang penulis analisis adalah di Pengadilan Agama Jakarta Timur

2. Penggugat bernama Eryanawati binti M. Husin dan tergugat bernama Syaiful Aswan bin Sulaiman

3. Tergugat meninggalkan keluarga selama 4 tahun dikarenakan masalah ekonomi sebab tergugat tidak bekerja lagi (PHK)

4. Tahun kejadian perkara tahun 2009

(20)

Timur dan menganalisis tentang ketidak adilan terhadap suami yang telah memberikan nafkah, dan pada saat tidak bekerja lagi dikarenakan faktor kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan disebabkan kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat, lalu suami digugat cerai.

E. Metode Pembahasan dan Tekhnik Penulisan

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka antara lain penulis menggunakan beberapa metode antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatannya adapun jenis penelitian setelah penulis menggunakan dalam penelitian ini adalah memakai metode penelitian normatif,13 yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif nya, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan atau data sekunder belaka.14

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan

13

Jhony Ibrahim, Teory dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Banyumedia Publishing, 2007), Cet. Ke-3. h. 57

14

(21)

dari penelitian deskriptif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek secara sistematis.15

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti,16 yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.17 Dalam hal ini berupa berkas putusan perkara perceraian yang didapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkekuatan hukum tetap yakni putusan cerai gugat akibat suami di-PHK dengan nomor perkara 590/Pdt.G/2009/PA.JT, selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara) terhadap hakim yang memeriksa perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43

16

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h. 5

17

(22)

diajukan, yamg memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur,an Hadist, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilsai Hukum Isalam (KHI), serta peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Observasi, yaitu untuk menentukan data-data awal penelitian.

b. Interview atau wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi,18 yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya denagan judul skripsi ini yaitu hakim yang memeriksa perkara cerai gugat akibat suami di-PHK. Disini penulis menggunakan wawancara tersruktur yang tentunya dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada majelis hakim yang di wawancarai. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap untuk kesempurnaan skripsi ini.

c. Studi dokumenter, untuk mendapatkan data-data tentang masalah yang diangkat.

d. Studi Pustaka

18

(23)

5. Teknik Analisis Data dan Pedoman Penulisan

Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dari data yang sudah diperoleh berupa putusan pengadilan dan mengambil isinya dengan menggunakan metode content analysis. Data kemudian dianalisis dan di interpretasikan dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Adapun teknik penulisan pada skripsi ini penulisan menggunakan standar buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist dalam penulisannya diketik

satu spasi walaupun kurang dari enam baris.

b. Kutipan dari buku-buku yang masih dalam ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang disempunakan (EYD).

c. Dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis pada urutan pertama sebelum sumber lainnya, yang kemudian disusul dengan sumber berikutnya sesuai dengan urutan alphabet.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi atas lima bab, tiap bab terdiri dari sub-sub bab. Perincian sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

(24)

dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika penulisan, dan diakhiri dengan penutup.

Bab Kedua, Dalam bab ini akan dikemukakan tentang pengertian perceraian termasuk pengertian cerai gugat, rukun dan syarat, akibat perceraian, dasar hukum perceraian dan macam-macam perceraian dan hikmah.

Bab Ketiga, Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci terkait dengan gambaran wilayah Pengadilan Agama Jakarta Timur, sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Timur, struktur organisasi di Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Bab Keempat, Merupakan bab inti dalam skripsi ini, karena dalam bab ini akan membahas terkait dengan duduk perkara cerai gugat akibat suami di-PHK di Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 590/Pdt.G/2009/PA.JT, landasan yuridis dan análisis putusan perkara cerai gugat akibat suami di-PHK.

(25)

16 A. Pengertian Perceraian

Perceraian diambil dari kata ”cerai” dan dalam bahasa Arab sering disebut

dengan ”thalaq”. Thalaq secara etimologis adalah sebagaimana tertera di dalan kitab

Lisan al-Arab karangan Ibnu Manzur yang mempunyai arti ”melepaskan atau meninggalkan”.1 Perceraian adalah merupakan akibat dari suatu hubungan yang disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan. Keduanya (antara perkawinan dan perceraian) saling berhubungan, dimana percerian hanya dapat terjadi karena adanya sebuah ikatan perkawinan.

Thalaq menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara’

adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan antara suami istri.2 Sedangkan thalaq menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat mengganti kata-kata tersebut.3

Dalam Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan thalaq sebagai ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan,

1

Abi Abdullah bin Yazid al-Qazuainy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr, 1994), h. 633

2

Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dinan Utama, 1993), Cet Ke-1, h. 134

3

(26)

degan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.4 Kompilasi Hukum Islam memberikan pernyataan yang hampir sama dengan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dijelaskan pada bab XVI pasal 115 yang berbunyi:

”Perceraian hanya dapat dilakuan di depan sidang pengadilan Agama setelah

Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.5

Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 dan KHI pasal 113 hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu disebabkan karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan.

1. Dasar Hukum

Aturan main perceraian (thalaq) dalam Islam telah diatur melalui koridor-koridor Al-Qur’an dan Sunah. Dengan adanya aturan-aturan perceraian dalam kedua sumber tadi (Al-Qur’an dan Sunah) dapat dijadikan landasan bahwa agama Islam membolehkan perceraian, adapun lebih jelasnya dalil yang menjelaskan tentang thalaq adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an surat at-Thalaq ayat 1



























































4

Tim. Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, h. 39

5

(27)







































Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan yang keji yang terang. Itulah hukum-hukum allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum allah, maka sesungguhnya mereka telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui baranmg kali allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

b. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229

















































































































(28)

c. Al-Hadist

6

Artinya: ”Dari Ibnu Umar r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda:Diantara

barang-barang yang halal yang dibencioleh Allah swt. adalah thalaq. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh hakim dan Abu Hatim menguatkan kemursalannya)”.

2. Macam-macam Hukum Perceraian a. Wajib

Apabila perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yamg mengurus perkara keduanya. Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa peceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah menjadi wajib.7

b. Makruh

Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagaiman ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang ini terdapat dua pendapat. Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak mendatangkan manfaat apapun. Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. 8

6

Muh Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulugul Maram Fiqh Berdasarkan Hadist, (Bandung:

al-Ma’arif, 1976), Cet. Ke-2, h. 393

7

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terj. M.Abdul Ghaffar.E.M, h. 208

8

(29)

c. Mubah

Talak yang dibutuhkan karena kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulan yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.

d. Sunnah

Yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak Allah yang diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa, dan kewajiban lainnya, sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya.

e. Mazhur (terlarang)

Yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid. Para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini juga disebut dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan ini menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan

perintah Allah dan Rasulnya. 9 3. Pembagian Talak

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak itu dibagi tiga macam, sebagai berikut:

a. Talak Sunni

Yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah dan karenaya disepakati keabsahannya oleh para ulama. Talak Sunni ialah talak satu kali (bukan

9

(30)

dua kali atau tiga kali sekaligus) yang dijatuhkan seorang suami terhadap istrinya yang dalam keadaan suci dan tidak dicampuri dalam masa sucinya yang sekarang.10

b. Talak Bid’i

Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Termasuk talak bid’i ialah:

1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.

2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.11

c. Talak La Sunni Wala Bid’i

Yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula talak bid’i, yaitu:

1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.

2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.

3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.

Para ulama sepakat bahwa talak itu bid’i adalah haram hukumnya, dan

karenanya barang siapa melakukannya, maka ia dianggap telah berdosa.

10

Muhamad Bagir al-Habsiy, Hukum Fikih Praktis Menurut Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan

Media Utama, 2002), Cet. Ke-1, h. 194

11

(31)

Ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka dibagi dua macam:

a. Talah Sharih

Yaitu talak dengan mempergunakan dengan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.

b. Talak Kinayah

Yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar. Seperti suami berkata kepada istri ”keluarlah engkau dari rumah ini sakarang”.

Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami meruju’

kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua: a. Talak Raj’i

Yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali atau kedua kali dijatuhkan.12

b. Talak Ba’in

Yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru.

Talak ba’in terbagi dua macam:

12

(32)

1) Talak Bain Sughra, ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhalil. 2)Talak Bain Kubra, yaitu talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kembali

kepada mantan isrinya. Dia boleh kembali lagi kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan laki-laki laindan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya.13

B. Cerai Gugat

Gugat cerai (khulu’) terdiri dari lafdz kha-la-‟a yang berasal dari bahasa arab,

secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalan Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai

pakaian bagi istrinya dan istrinya merupakan pakaian bagi suaimnya14. Dalam surat Al-Baqarah ayat 187 Allah swt berfirman :







Artinya: ”Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka”.

Khulu’ menurut bahasa berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’ ialah talak

yang diucapkan istri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan suami,15 Muhammad Jawad Mughniyah dalam fiqh lima mazhab bahwa khulu’ ialah

13

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 221-222

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-1, h. 231

15

(33)

penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya ikatan perkawinan dari suaminya.16

Khulu’ secara harfiah berarti ”lepas” atau ”copot”, ulama mendenifisikan

علخ وا اط ط لب ض وعب ةق رف 17

Artinya: ”Peceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafadz talak atau khulu”.

Dari beberapa definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa khulu’ ialah permintaan cerai oleh pihak istri kepada pihak suami dengan memberi kembali mahar yang telah diberikan suami.

C. Dasar Hukum Cerai Gugat

Khulu’ itu peceraian dengan kehendak istri. Hukumnya menurut ulama adalah

boleh atau mubah. Khulu’ boleh dilakukan apabila ada sebab yang menghendakinya,

seperti bentuk suami atau akhlaknya yang buruk atau suami mengganggu istri dan tidak menunaikan haknya, atau istri takut jauh dari Allah dalam bergaul dengan suaminya. Jika tidak ada sebab yang mendorongnya, maka khulu’ dilarang. Dasar

dari kebolehannya tedapat dalam surat Al-Baqarah ayat 229:18

16

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Beirut: Dar al-Jawad, 2006), h. 456

17

Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 131

18

(34)

















































































































Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istriu) kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, merreka itulah orang-orang yang dianiaya (Al-Baqarah: 229)”.

Dalam melaksanakan kehidupan suami istri kemungkinan terjadi kesalah pahaman antara suami istri, atau salah satu dari mereka, atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan tidak adanya kepercayaan satu sama lain. Keadaan tersebut adakalanya dapat diselesaikan dan hubungan suami istri tersebut menjadi baik, adakalanya hal tersebut tidak dapat diselesaikan dan bahkan kadang-kadang menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi antara suami istri tersebut. Melanjutkan perkawinan yang demikian akan dapat menimbulkan perceraian yang lebih besar dan meluas diantara anggota-anggota keluarga yang telah dibentuk.19

19

(35)

Untuk menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu pertengkaran yang terjadi terus menerus, maka agama Islam mensyari’atkan perceraian, akan tetapi bukan berarti agama Islam menyukai perceraian, agama Islam tetap memandang perceraian sebagai suatu yang tidak diharapkan.20

Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum perceraian adalah 1. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 19









































































































Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

2. Al-Hadist

)

21

(

20

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 147

21

(36)

Artinya: ”Dari Ibnu Umar ra, berkata bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda:

sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Ibnu Umar)”.

Karena itu hadits tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai ”pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala

bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir karena Islam menunjukkan sebelum terjadinya talak atau perceraian, harus ditempuh jalan damai terlebih dahulu antara kedua belah pihak dengan melalui hakim (arbirator) dan kedua belah pihak.22 D. Rukun dan Syarat Cerai Gugat

Didalam khulu’ itu terdapat bebeapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan didalam setiap rukun terdapat beberapa

syarat yang hampir keseluruhannya menjadi pertimbangan ulama. Adapun yang menjadi rukun khulu’ adalah:

1. Suami yang menceraikan isrtinya dengan tebusan.

2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan. 3. Uang tebusan

4. Alasan untuk terjadinya khulu’.

22

(37)

Khulu’ sah apabila telah ada syarat-syarat berikut:

1. Kerelaan dan Persetujuan

Sepakat ahli fikih bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasatkan kerelaan dan persetujuan dari suami istri, asal kerelaan dan persetujuan itu tidak berakibat di pihak orang lain.

Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ dari istrinya, sedang pihak istri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang istri. Maka ia dapat mengajukan gugatan untuk bercerai kepada pengadilan. Hakim hendaklah memberi keputusan perceraian antara kedua suami istri itu, apabila ada alat-alat bukti yang dijadikan daar-dasar gugatan oleh pihak istri.

Sepakat para ahli fiqh bahwa istri yang dapat dikhulu’ adalah istri yang

mukallaf dan telah terikat akad nikah yang sah dengan suaminya. Adapun istri yang tidak atau belum mukallaf, yamg berhak mengadakan atau mengajukan khulu’ kepada suami ialah wali.

Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya diisyaratkan hal sebagai berikut:

a. Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.

b. Ia adalah yang telah dapat betindak atas harta, karena untuk kepeluan pengajuan khulu’ memerlukan harta.23

23

(38)

2. Iwadh

Iwadh merupakan ciri khas dari khulu’, selama iwadh belum diberikan istri

kepada suami, maka selama itu pula tergantung perceraian. Setelah iwadh disahkan oleh pihak istri kepada suami barulah terjadi perceraian. Bentuk iwadh sama seperti mahar. Benda apa saja yang dapat dijadiakan mahar dapat pula dijadikan iwadh. Mengenai jumlah iwadh yang terpenting ialah persetujuan pihak-pihak suami dan istri, apakah jumlah yang disetujui itu kurang atau lebih dari jumlah mahar yang pernah dijadikan oleh pihak istri diwaktu terjadinya diakad nikah.

3. Shigat

Shigat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yamg dalam ungkapan tersebut dinyatakan ”uang ganti” atau ”iwadh”. tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak biasa, seperti ucapan suami ”saya ceraikan kamu dengan tebusan sebuah motor”. Dalam hal shigat tau ucapan khulu’ ini terdapat beda di kalangan

ulama. Menurut ulama ucapan khulu ada dua macam: a. Sharih

Sharih itu tebagi menjadi tiga yaitu:

1) Lafaz khulu’ itu sendiri seperti ucapan suami ”saya khulu’ kamu dengan

iwadh sepeda motor”

2) Lafaz tebusan seperti ucapan suami ”saya cerai dengan tebusan sekian....” 3) Lafaz fasakh seperti ucapan suami ”saya fasakh dengan iwadh sebuah

(39)

b. Kinayah

Yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti perceraian tapi dapat digunakan untuk itu. Terjadi khulu’ dengan lafaz kinayah ini disyaratkan harus disertai dengan niat. Umpamanya ucapan suami ”pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu membayar iwadh sebanyak sejuta rupiah”.24

4. Adanya Alasan Untuk Terjadinya Khulu’

Baik dalam ayat Al-Qur’an dan sunnah terlihat adanya alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai yang

menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah.

Ada beberapa syarat bagi pasangan suami istri untuk bisa melakukan khulu’.

Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa takut tidak akan menegakkan hukum Allah swt.

b. Khulu’ itu hendaknya dilakukan sampai selesai tanpa dibarengi dengan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh suami. Jika pihak suami melakukan penganiayaan. Maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun dari istrinya.25

24

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 236

25

(40)

E. Akibat dan Hikmah Cerai Gugat 1. Akibat Cerai Gugat

Adapun akibatdari cerai gugat adalah bahwa seorang istri yang telah dikhulu’ oleh suaminya, ia berhak atas dirinya karena istri telah memiliki dirinya, ia bebas menentukan dirinya sendiri. Menurut jumhur ulama termasuk imam mazhab berpendapat bahwa suami tidak boleh merujuk lagi dengan mantan istrinya setelah ia menerima iwadh sebagai tebusan dari sang istri.26 Dan mantan suami tersebut tidak berhak rujuk dalam masa iddah, sebab dengan khulu’ tersebut telah terjadi talak bain.27

a. Rujuk

Rujuk sesudah khulu’ jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh

melakukan rujuk setelah khulu’, karena meskipun khulu’ itu berbentuk talak, namun termasuk talak bain sugra yang tidak memungkinkan untuk rujuk kembali, kecuali dengan pernikahan yang baru, dimana harus terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya nikah.

b. Iddah

Wanita yang diceraikan melalui proses khulu’ harus menunggu sampai ia haid satu kali sebelum nikah dengan lelaki lain. Dikisahkan bahwa Rabiah binti Mu’awidz

diceraikan melalui proses khulu’ oleh suaminya. Ia lalu mendatangani Ustman dan

26

Tengku Muhamad Hasbi Ash-Shidieqiy, Koleksi Hadist-hadist Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 290

27

(41)

bertanya, ”bagaimana iddah ku?” Ustman menjawab tidak ada kewajiban iddah bagimu. Jika engkau baru saja diceraikan melalui khulu’, maka engkau tidak boleh

menikah hingga engkau mengalami haid satu kali. Dalam hal ini, aku mengikuti keputusan Rasulullah saw terhadap Maryam al-Mughaliyah, istri Tsabit bin Qais yang meminta khulu’ dari suaminya.28

2. Hikmah Cerai Gugat

Adapun hikmah dari cerai gugat adalah hikmah dibolehkan khulu’ adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang menempuh hidup berumah tangga dalam masa perkawinan itu mungkain ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan. Menurut Amir Syarifuddin bahwa hikmah khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan dengan cara talak, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan cara khulu’.29

Jadi jelas dengan adanya khulu’, pihak istri bisa menggunakan haknya yang

mana hak bercerai bukan untuk pihak laki-laki (suami) saja, melainkan istri bisa mempergunakannya dan dengan alasan-alasan yang tepat.

28

Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 264

29

(42)

33 A. Sejarah Singkat

Di wilayah Nusantara, sebelum pemerintahan kolonial Belanda terdapat empat macam lembaga Pengadilan, Pengadilan Pradata, Padu, Adat dan Peradilan Serambi. Pengadilan Pradata merupakan Pengadilan Kerajaan yang menangani kasus-kasus tindak pidana dan kasus-kasus makar yang ditangani oleh Raja secara langsung. Sedangkan Pengadilan Padu ditangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Raja menangani kasus-kasus perdata dan pidana ringan.

Pengadilan Adat menangani yang berhubungan dengan sengketa masyarakat adat ditangani oleh Kepala Adat kebanyakan terdapat di wilayah Indonesia diluar Pulau Jawa. Pengadilan Serambi, pada masa Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram, mengggantikan pengadilan Pradata yang kewenangannya meliputi kasus pidana dan perdata. Kekuasaan Pengadilan serambi dijabat oleh Raja, akan tetapi dalam prakteknya ditangani oleh para Penghulu yang diangkat oleh Raja.1

Pada awal pemerintahan Kolonial Belanda, keberadaan Pengadilan Agama masih tetap dipertahankan. Bahkan keberadaanya diakui dalam Staats Blaad 1882 Nomor 152 tanggal 19 Januari 1882 untuk Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura dan dalam Staatsblaad 1937 Nomor 638 untuk Pengadilan Agama diwilayah Kalimantan Selatan dan Timur, meliputi perkawinan, perceraian, waris dan wakaf.

1

(43)

Sejak 1 April 1937, kewenangan Pengadilan Agama diwilayah Jawa dan Madura dipersempit hanya berwenang mengadili kasus perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi wewenang Ladraad (sekarang Pengadilan Negeri).2

Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintahan Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama, pada tahun 1982 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta ditiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari :

1. Komandan Distrik sebagai Ketua

2. Para Penghulu Masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota3

Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 Pemerintah dimasa itu mengeluarkan penjelasan pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut :

“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiyaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan -pengadilan biasa”. 4

Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum,

2

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970, hal. 68

3

Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), h. 41

4

(44)

karena beranggapan bahwa bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).

Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuain Undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahannya, dalam nota itu dikatakan bahwa5 :

Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin

juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera,

maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap

dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka”.

Secara khusus, sejarah lahirnya Pengadilan Agama kelas 1A Jakarta Timur di pimpin oleh Menteri Agama RI yang tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 tahun 1963 jo Nomor 4 tahun 1967.6

Adapun kronologis Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah Sebagai berikut: a. Pada saat itu, Pengadilan Agama di tanah betawi hanya memiliki satu Pengadilan

Agama yaitu “Penghadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu oleh dua

(2) kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga ibukota ini kian bertambah, sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67

5

Artikel diakses pada tanggal 1 April 2011 dari www.pa-jakartatimur.net

6

(45)

tahun 1963 jo Nomor 4 tahun 1967 yang berbunyi antara lain: “Membubarkan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam daerah khusus Ibukota Jakarta Raya. (Keputusan Menteri Agama Nomor 67 tahun 1963 jo Nomor 4 tahun 1967).7

b. Pada tahun 1966 Gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/1/1/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota Negara ini menjadi 5 wilayah dengan sebutan Kota Administratif. Membentuk kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama yang baru sederajat atau setara dengan Kantor Agama tingkat II, yaitu :

1) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat 2) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur 3) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat 4) Kntor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan 5) Kantor Cabang Pengadilan Agam Jakarta Utara.

c. Pengadilan Agama istimewa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan daerah ibukota Jakarta Raya, adalah kantor induk Pengadilan Agama Jakarta Raya, ditetapkan berkedudukan di kota Jakarta Pusat dan secara khusus bertugas pula sebagai Pengadilan Agama sehari-hari bagi wilayah kekuasaan Jakarta Pusat.8

7

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009, h. 32

8

(46)

Berdasarkan pertimbangan tersebut, melalui Keputusan Gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ib.3/I/I1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 Februari 1967 diresmikan sebutan maupun operasional Pengadilan Agama di lima wilayah daerah khusus ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta Timur menjadi berikut:

1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat 2. Pengadilan Agama Jakarta Utara 3. Pengadilan Agama Jakarta Barat 4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan 5. Pengadilan Agama Jakarta Timur

Pengadilan Agama Jakarta Timur, terbentuk dan berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 tahun 1967 tanggal 17 Januari 1967. Pendirian Pengadilan Agama diwilayah hukum daerah ibukota (DKI) Jakarta.9

Pada tanggal 1 Maret 2004 kantor lama di jl. Raya Bekasi km.18 Pulo Gadung Jakarta Timur, pindah ke kantor barunya di jl. PKP no. 24 Kelapa II Wetan Ciracas Jakarta Timur. Segala pelayanan masyarakat dan sidang berpindah pula di kantor tersebut. Pada tanggal 16 Maret 2004, bersamaan dengan itu dilantik H. Helmy Bakrie, S.H. Sebagai ketua yang menjabat sampai dengan tanggal 30 November 2004, dan selanjutnya di ketuai oleh Drs. H. Ruslan Harun al-Rasyid, S.H, M.H. sampai dengan tanggal 6 Juni 2006, selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Timur

9

(47)

diketuai oleh Drs. Syarif Usman, S.H. Dan tahun 2008 hingga sekarang dibawah pimpinan Drs.H. Wakhidun AR, S.H, M. Hum.

Sebagai sebuah negara yang merdeka dan bedaulat yang dibentuk dengan konstitusi made in Bangsa Indonesia sendiri, dimana setelah 25 tahun (seperempat abad) tetap dalam mimpi indah yang panjang, kemudian tersentak bangun sehingga terbitnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1) dari undang-undang yang baru disebutkan, terukir bahwa lembaga Peradilan Agama dilegitimasi dan disejajarkan dengan badan-badan peradilan lainnya.

Untuk selanjutnya atas berkat rahmat Allah swt. yang dicerahkan kepada umat Islam di bumi pertiwi ini, maka terbit pula Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tesebut di atas telah diperbaiki dengan lahirnya Undang-undang RI No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 tahun 1970 pada pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa: ”Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara

organisasi administratif, dan finansial berada di bawah Kekuasaan Mahkamah Agung RI.

(48)

Menyikapi aspirasi tentang langkah unuk memasuki satu atap dibawah Mahkamah Agung RI sebagaiamana tercemin pada pasal 4 ayat (1) KEPRES RI tahun 2004 di Audtorium Mahkamah Agung RI jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13 Jakarta, dengan dihadiri Ketua Mahkamah Agung RI Prof. DR. Bagir Manan, SH, dan Menteri Agama RI Prof. DR. Said Agil al-Munawar, MA.

B. Kedudukan dan Letak

Pengadilan Agama Jakarta Timur berkedudukan di Kelapa Dua Wetan Alamat Jl. PKP No. 24 Kelurahan Kelapa Dua Wetan Kecamatan Ciracas Kotamadya Jakarta Timur. Telp. (021) 87717549, Faks. (021) 87717548. Kode Pos 13730. Gedung Pengadilan Agama Jakara Timur bediri di atas tanah seluas 2.760 M2, dengan luas bangunan 1400 M2 yang terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan dana APBD Pemda DKI. Dengan keadaan gedung kantor yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 57 orang dengan pegawai honorer 10 orang maka gedung kantor tersebut cukup memadai. C. Struktur Organisasi

Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004 tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 tentang Susunan Organisasi ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai berikut:10

10

(49)

1. Ketua : Drs. H. Wakhidun AR, S.H, M. Hum 2. Wakil Ketua : Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, S.H, M.H 3. Dewan Hakim : a) Dra. Hj. Saniyah KH, b) Drs. Abu Semen

Bastoni, S.H, c) Drs. H. Fauzi M Nawawi, d) Dra. Nurroh Sunnah, S.H, e) Hj. Nani Setyawati, S.H, f) Drs. H. M. Fadjri Rivai, S.H, M.H, g) Hj. Yustimar, S.H, h) Drs. Nasrul, i) Elvin Nailani, S.H, M.H, j) Drs. Mahmudin, k) Drs. Uwaisul Qumy, l) Drs. Achmad Harun Shofa, S.H, m) H. Abdillah, S.H, n) Drs. Achmad Busyro, M.H, o) Hj. Munifah Djam’an, S.H.

4. Panitera/Sekertaris : Drs. H. Syaiful Anwar

5. Wakil Sekertaris : Drs. H. Ujang Mukhlis, S.H, M.H 6. Wakil Panitera : H. Hafani Baihaqi, Lc, S.H 7. Ka. Sub. Keuangan : Sanjaya Langgeng Santoso 8. Ka. Sub. Kepegawaian : Hamim Nafan, S.Hi

9. Ka. Sub. Umum : Muhammad Zuhri

10.Panmud Permohonan : H. Bambang Sri Pancala, S.H 11.Panmud Gugatan : Ali Mushofa, S.H

12.Panmud Hukum : Fahrurrozi, S.H

13.Panitera Pengganti : a) Drs. Ade Faqih, b) Siti Makbullah, S.H, c) Aday, S.Ag, d) Syamsul Rizal, S.H, e) Sumaryuni, S.H, f) Hamdani, S.Hi, g) Mustanah, S.H, h) Titiek Indriyati, S.H, i) Dra. Siti Nurhayati, j) Idris M Ali, S.H, k) Nova Asrul Lutfi, S.H, l) Hj. Spa Ichtiyatun, S.H, M.H

14.Jurusita :

(50)

b. Zulkipli

15.Jurusita Pengganti : a) Burhamzah, b) Budi Sukirno, c) Obang Hasyim. A, d) Ikbal Bisry, e) Sri Mulyati, f) Veny Rahmawaty, g) Rahman Sufiyah, S.H, h) Muhammad Sayhon, i) Tati Yulianti

D. Wilayah Yuridiksi

Wilayah hukum atau yuridiksi yang dimaksud pada pembahasan ini bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaian suatu perkara bagi pengadilan.

Dalam istilah ”kewenangan” sama dngan sinonim dari kata ”kekuasaan”.

Adapun yang dimaksud dengan kewenangan dan kekuasaan itu terdapat dalam HIR yang dikenal dengan istilah kompetensi.

Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi dua aspek, yaitu:

1. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan a

Referensi

Dokumen terkait

mampu menahan sengatan suhu sampai 10.000 o C, padahal tidak ada logam yang mampu bertahan pada suhu ini. Starlite telah diakui NATO untuk digunakan landasan

[r]

[r]

Data yang dikumpulkan diperoleh dari citra landsat tahun 1981, 1994, 1999, 2004, 2009, dan 2014 dengan menggunakan landsat 1-3 Multispectral Scanner (MSS), landsat

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah mikro express yang dilakukan BPRS Mandiri Mitra Sukses telah berhasil memberikan dampak

Bagaimanapun, perakaunan zakat terhadap semua kekayaan baharu perlulah diqiyaskan kepada salah satu daripada lima jenis harta yang telah ditentukan oleh para fuqaha, iaitu emas

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi ikan teri ( Stolephorus sp. ) warga Warung I (RT 01/RW 03), Warung II (RT 03/RW 03), dan Warung III (RT 02/RW

Hampir semua tapak pengamatan petani melakukan pemupukan di lahan kakaonya dengan dosis seadanya, sedangkan TP3, TP4, TP6, dan TP8 sama sekali tidak pernah melakukan