• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN

C. Analisis Penulis

Mengenai perkawinan campuran, berdasarkan perspektif al-Quran Islam tidak mengenal perkawinan campuran, dikarenakan kedudukan sesama muslim adalah sama dan orang yang mulia di sisi Allah SWT. Ukurannya adalah menunjukan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah bukan berdasarkan batas wilayah atau negara.

Sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran surat al-Hujuraat (49) ayat 13 :                                       Artinya :

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara

kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.{QS.

Mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang sudah berumur kurang lebih 40 tahun ini dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan, dikarenakan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.10

WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya (tetap menjadi warga negara Indonesia). Walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas tanahnya. Warga negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, sedangkan pasangan warga negara asingnya hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai.

Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya masyarakat kita diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang

10 Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah

Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum

Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.

sedang berlaku di Indonesia sehingga sebagai warga Negara Indonesia tidak lagi terlanggar hak-haknya dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum.11

11

68

Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Mengenai status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, berdasarkan undang-undang adalah dipersamakan haknya dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Hal tersebut, tidaklah sesuai dengan semangat sesungguhnya yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang tersebut di atas, jelas bahwa setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun, pada kenyataanya mengenai kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, hanya di titik beratkan pada Pasal 21 ayat (3).

Mengenai hak milik WNI yang di dasarkan pada undang-undang tersebut di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada pemegang haknya atau subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.

2. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, hak Milik masih dapat diusahakan oleh WNI pelaku perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, tetapi dengan cara-cara ilegal, seperti; menggunakan KTP belum kawin atau memanfaatkan perjanjian bawah tangan (nominee agreement) yang berisiko tinggi.

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan "kebiasaan" ini. Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk berpikir dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang.

Kepastian hukum/solusi terbaik saat ini untuk memperoleh hak atas tanah dengan status hak milik, yakni dengan mengajukan permohonan dan mendapatkan penetapan pemisahan harta kekayaan kepada pengadilan yang berwenang mengadili hal tersebut.

B. Saran-saran

Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut :

1. Kepada Perumus Undang-undang, diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam merumuskan undang-undang. Diharapkan dapat menggunakan kata-kata yang jelas dalam perumusan dan tidak banyak mengandung makna yang tersirat di dalamnya yang membutuhkan penafsiran. Sehingga tidak akan terjadi banyak kekeliruan penafsiran ke depannya dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Dikarenakan undang-undang berlaku untuk seluruh warga Indonesia, tidak hanya untuk orang-orang yang mafhum hukum/ahli hukum, tetapi juga warga Indonesia yang awam. Bahkan tidak sedikit para ahli hukum dan/ atau pejabat pemerintah yang berwenang, keliru dalam penafsiran pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.

2. Kepada Pemerintah, harus memberikan perhatian lebih dalam sosialisasi/penyebarluasan peraturan perundang-undangan. Sehingga seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, mengetahui undang-undang apa yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Kurangnya sosialisasi dapat menyebabkan warga Indonesia kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia yang seharusnya mendapat perlindungan penuh dari pemerintah. Pejabat pemerintah diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam menerapkan hukum yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus memerhatikan jangka

waktu berlakunya suatu undang-undang agar dapat terus mengikuti dinamika yang terjadi masyarakat.

3. Kepada Ahli Hukum, harus lebih cermat lagi dalam menafsirkan undang-undang yang ada. Sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang kehilangan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, yang mana sudah seharusnya tidak terjadi demikian.

4. Kepada Warga Negara Indonesia (WNI), diharapkan agar berperan aktif dalam mencari tahu undang-undang apa yang sedang berlaku di Indonesia. Di zaman sekarang ini teknologi sudah semakin maju, sehingga informasi sudah dapat diakses dengan mudahnya melalui media apapun, kapanpun dan dimanapun berada. Jangan sampai hanya karena kurangnya informasi dan pengetahuan terhadap undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia menyebabkan hilangnya hak-hak sebagai WNI. Jadi, seorang warga negara Indonesia haruslah aktif agar bisa melindungi hak-haknya. Ketika kita pasif, maka kita akan kehilangan hak kita “once you are pasif, you loose everything”.

72

Ali,Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Ed. I. Cet. I.

___________ . Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007).

Asikin, Zainal. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Jakarta : Rajawali Pers, 2012). Ed. I. Cet. I.

Ayudhistiarini, Diah Utari. “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan Akibat Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Pasundan Bandung, 2011.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 2007). Ed. III. Cet. IV.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.

7 Tahun 1989). (Pustaka Kartini ; anggota IKAPI jaya, 1997).

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang

Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya). (Jakarta : Djambatan, 2008). Ed.

Rev. Cet. XII.

Khairandy, Ridwan, dkk. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. (Yogyakarta : Gama Media. 1999).

Lawskripsi. “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”. Artikel

diakses pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id =92&Itemid=92.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. I.

Munawaroh. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang, Jawa Timur : Intimedia, 2012.

N, Nawawi, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”. Artikel diakses pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartik el.pdf.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia ‘Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 /1974 sampai KHI’. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. III.

Perca Indonesia. “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum Terhadap Status Kepemilikan Properti”. Arikel diakses pada hari Senin Tanggal 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara

Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam. (Jakarta : Sinar Grafika,

2006). Ed. I. Cet. IV.

Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012). Ed. I. Cet. I.

Simanjuntak. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta : Djambatan, 2009). Ed. Rev. Cet IV.

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, 2010.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 2003). Cet. XXXI.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009). Ed. I. Cet. III.

Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel diakses pada hari Senin

Tanggal 21 Oktober 2013 dari,

http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/Keliru.Tafsir.Turunkan.Status .Hak.Milik.

Tafonao. “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”. Artikel diakses pada hari Kamis Tangal 10 Oktober 2013 dari http://lucasmem.blogspot.com/2012/11/perkawinan-campuran.html.

Ubaedillah, A, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Ed. III. Cet. VI.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996). Ed. I. Cet. II.

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma selaku Ahli Hukum Keluarga dan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta, 02 Juli 2014.

Wawancara Pribadi dengan Sutoro selaku Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI. Jakarta, 07 Juli 2014.

Wawancara Pribadi dengan Juliani Luthan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan campuran dan Wakil Ketua Umum MPCI. Jakarta, 08 Mei 2014.

Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan campuran dan Ketua Umum MPCI. Jakarta, 22 Mei 2014.

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Fuad selaku Suami (WNI) dalam perkawinan campuran. Depok, 6 Juni 2014.

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I.

Hari/Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014 Tempat : Sekretariat MPCI Pertanyaan:

1. Menurut Ibu, fakta apa yang mendasari seorang WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah ketika melakukan perkawinan campuran?

Faktanya adalah Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria mengacu kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI (lama) yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang status kewarganegaraan WNI yang melakukan perkawinan campuran yang menyatakan, bahwa apabila seorang wanita WNI menikah dengan warga negara asing, maka dalam periode 1 tahun setelah pernikahannya ia harus menentukan kewarganegaraannya (Pasal 8 ayat 1).

Dan dalam Pasal 21 ayat 3 secara implisit disebutkan, bahwa ketika melakukan perkawinan campuran seharusnya dibuat perjanjian perkawinan agar tidak terjadi percampuran harta. Sementara dalam budaya Indonesia perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang tidak wajib (merupakan pilihan bagi calon pasangan suami isteri).

halnya, ketika seorang WNI melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Misalnya; seorang WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan membeli tanah secara cash– mendapat sertifikat hak milik (SHM). Akan tetapi, ketika menjual itu harus mendapatkan persetujuan suami karena termasuk dalam harta bersama. Pada saat melakukan penjualan atas tanah tersebut ada 2 (dua) hal yang mungkin terjadi di lapangan; Pertama, WNI terkena masalah karena persetujuan atas nama suami seorang WNA yang mana hak milik tersebut berarti termasuk dalam percampuran harta. Kedua, BPN tidak mempermasalahkan persetujuan atas nama suami WNA/tergantung pada pejabat, yang penting ada persetujuan dari suami bahwa isterinya yang namanya tertera dalam buku tanah akan melakukan penjualan atas tanah dengan hak milik.

Sebenarnya ketika melakukan penjualan si WNI pasti terkena masalah, karena faktor persetujuan suami WNA – WNA dalam undang-undang pokok agraria adalah tidak berhak atas hak milik hanya berhak atas hak pakai. Dan dikarenakan persetujuan WNA tersebut menandakan hak milik terjadi dalam harta bersama, yang mana ketika terjadi percampuran harta maka dalam jangka waktu 1 tahun WNA harus menurunkannya menjadi hak pakai – berimbas pula kepada si WNI yang harus melepaskan hak miliknya dan menurunkannya menjadi hak pakai.

adalah Notaris-PPAT yang mana mereka memiliki konsepnya masing-masing. Yang pasti adalah kebanyakan pembelian rumah itu tidak pakai uang cash/ melalui KPR di bank – pihak bank dalam proses KPR itu harus berdasarkan kepada perjanjian perkawinan ketika perkawinan campuran tidak ada perjanjian perkawinan maka terjadi percampuran harta, hal tersebut yang dipermasalahkan.

Ketika pembelian rumah dilakukan secara cash, kontrol BPN sebatas pada kartu keluarga (KK) yang mana suami asing tidak nampak di KK, kemudian KTP; di KTP terlihat status kawin, tidak dipertanyakan apakah suami/isteri WNA atau bukan. Selama sudah dilakukan akad jual-beli dan dilakukan pembayaran, maka terjadi peralihan hak milik kepada si WNI sebagai pemilik atas tanah/rumah.

Yang menjadi konsen BPN – Notaris-PPAT adalah ketika WNI mengajukan KPR ke bank, Notaris-PPAT pasti akan menanyakan pasangan dari suami/isteri WNI, orang asing atau WNI. Ketika pasangan si WNI adalah orang asing, selanjutnya akan dipertanyakan ada/tidak perjanjian perkawinan.

4. Upaya apa yang telah dilakukan WNI dalam perkawinan campuran guna memperjuangkan hak miliknya?

Salah satu upaya yang telah dilakukan yaitu permohonan penetapan pisah harta. Jadi, permohonan penetapan pengadilan pisah harta itu diawali dari tesis

perusahaannya bangkrut, maka seluruh aset pribadinya atau bahkan aset suami/isterinya akan turut ikut digunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga. Untuk mengamankan aset pribadi tersebut dilakukanlah pisah harta.

Saat ini, penetapan pengadilan pisah harta bisa dikatakan menjadi solusi terbaik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, untuk dapat memiliki rumah di atas tanah dengan status hak milik. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan salah satu WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dalam mengajukan KPR ke salah satu bank di Indonesia. Pihak bank tersebut menerima penetapan pengadilan pisah harta tersebut sebagai dasar hukum yang kuat menggantikan perjanjian perkawinan (yang dapat memisahkan harta kekayaan bersama), sehingga bank tersebut menerima pengajuan KPR oleh WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Ketiadaan perjanjian perkawinan digantikan dengan penetapan pengadilan pisah harta.

Selaku/Jabatan : Isteri WNI/Ketua Umum MPCI Hari/Tanggal : Kamis, 22 Mei 2014

Tempat : Sekretariat MPCI Pertanyaan :

1. Kepemilikan tanah dan rumah

Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan tanah dan rumah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?

Kendala yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah, sudah jelas Notaris-PPAT pasti akan mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan campuran (perkawinan antara WNI dengan WNA) tanpa perjanjian perkawinan tidak memungkinkan bagi mereka untuk kepemilikan rumah di atas tanah. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak milik. Akan tetapi, karena pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT menganjurkan begitu dibeli sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka status kepemilikannya diturunkan menjadi hak pakai karena kepemilikan rumah di atas tanah tersebut terjadi dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.

(perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali.

Salah satu alternatif lainnya yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas sebidang tanah tersebut dilakukan dengan atas nama orang tua WNI – kemudian orang tua WNI tersebut membuat akta hibah yang di dalamnya menyatakan, bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah tersebut bukanlah termasuk ke dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah dihibahkan kepada seseorang yakni salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin campur).

Namun, ada pula alternatif lainnya yang paling aman dan terbaik untuk saat ini, yaitu penetapan pengadilan ‘pisah harta’. Dimana suami isteri pelaku perkawinan campuran (tanpa perjanjian perkawinan) mengajukan permohonan kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut di atas), untuk mengeluarkan penetapan pengadilan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan.

Lain halnya dengan rumah di atas tanah yang berstatus hak milik, status hak atas bangunan/gedung (apartement/rumah susun) bisa berbentuk hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP). Apabila statusnya adalah hak pakai, maka orang asing setara dengan orang Indonesia yang berhak atas apartement/rumah susun dengan status hak pakai (termasuk subjek atas hak pakai). Akan tetapi,

pasangan WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian dilakukan dengan hak milik kemudian dalam jangka waktu setahun dilepaskan hak milik atas tanahnya – kemudian diturunkan menjadi hak pakai.

2. Kendala dalam kepemilikan Kendaraan

Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan kendaraan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?

Tidak ada kendala terkait kepemilikan benda bergerak dalam hal ini kendaraan, tidak dipermasalahkan kepemilikannya baik itu atas nama isteri WNI ataupun atas nama suami WNA.

Ketika pembelian kendaraan dilakukan secara kredit, pembelian harus atas nama pasangan WNI. Tidak ada kaitannya dengan perkawinan campuran yang dilakukan tanpa perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan benda bergerak.

Jabatan : Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI Hari/Tanggal : Senin, 07 Juni 2014

Tempat : Ruang Sub Direktorat Pembebanan Hak dan PPAT Pertanyaan:

1. Bagaimana penafsiran BPN RI atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Pasal 21 khususnya ayat 3?

a. Undang-Undang: Orang asing yang mempunyai hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan dan warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangya kewargaanegaraan itu.

b. Penafsiran BPN: Ketika terjadi perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan (percampuran harta/harta bersama), apabila WNI dalam perkawinan tersebut ingin melakukan pembelian tanah dengan status hak milik sementara tidak dibutuhkan persetujuan dari pasangan WNA-nya, seperti; pembelian yang dilakukan secara cash, maka WNI tersebut bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status hak milik. Walaupun berdasarkan undang-undang tidak dapat demikian. Akan tetapi, dikarenakan

dengan status hak milik.

Sedangkan, apabila WNI dalam perkawinan tersebut di atas ingin melakukan pembelian tanah dengan status hak milik, sementara dibutuhkan persetujuan dari pasangan WNA-nya, seperti; mengajukan KPR di bank, maka WNI tersebut tidak bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status hak milik atau hanya berhak atas hak pakai. Dikarenakan persetujuan pasangan WNA-nya mengindikasikan terjadi percampuran harta WNI dengan WNA, yang mana WNA dalam aturan pertanahan di Indonesia hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai.

2. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Pasal 21 Ayat 1, hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Apakah WNI yang dimaksud dalam pasal tersebut berdasarkan pengertian WNI yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI?

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 21 ayat (1): “Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Benar, difinisi warga negara Indonesia sekarang ini merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Yang mana yang dapat mempunyai hak milik adalah warga Indonesia , baik warga negara pribumi maupun orang asing yang masuk menjadi warga negara Indonesia berdasarkan proses naturalisasi dan lain-lain.

WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa perjanjian perkawinan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) – Inpres Nomor 1 Tahun 1991, tetap terjadi harta pribadi dalam perkawinan tersebut, yakni harta dari hasil salah satu pihak (suami/isteri) yang diperoleh dari hadiah, hibah, dan warisan – tetap di bawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menetukan lain dalam perjanjian.

Mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara WNI dengan WNA, hak yang dapat diberikan kepada WNI tersebut adalah hak pakai, tidak dapat diberikan hak milik karena terjadi percampuran harta WNI dengan WNA

4. Bagaimana penerapan yang dilakukan BPN RI terhadap pasal tersebut di atas? Bila melihat pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, seharusnya WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA, hanya diberikan hak pakai. Namun, pada kenyataannya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pelaksanaan tugasnya hanya bersifat formil, yakni BPN hanya memproses berkas (yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran tanah) yang sampai/ atau diajukan kepadanya. Jadi, tetap saja apabila tidak ada kejujuran dari pihak yang mengajukan pendaftaran tanah, bahwa tanah dengan hak milik

5. Kontrol seperti apa yang dilakukan oleh BPN RI terhadap kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran serta terhadap proses pelepasan dan/ atau penurunan hak atas tanah WNI dengan hak milik dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?

Kontrol BPN RI, apabila tanah tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat nikah dan akta yang dibuat ada persetujuan suami/isteri berkewarganegaraan asing, maka secara langsung tidak dapat diberikan hak milik – hanya dapat diberikan hak pakai dengan jangka waktu.

! " #$ # ! # # " % & " '( ) * + , - , - - - - + , - . + / + 0 * -" ) . + - 1 2 3 4 + , - + 0 * - 3 * , - . . - * * , + * # + * , * , * - 0 * -) . + / 2 2 , 0 ! * * , - . . - * * , + * - + , 0 // 1 2 4 % * + 0 // , -/ , ! - 5 ! + 0 + ! 0 * + -, * ' + 0* ( -$ 1 0 * + * , - * + 4 , ) * + , 6 (- 7 3 * -+ , - , " , -# , - . 5

! " #$ # ! # # " % & " % & " $ % & '( " '( # % &