• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1.Pengertian Perkawinan 1.Pengertian Perkawinan

7. Perkawinan Campuran

Berdasarkan undang-undang perkawinan, pengertian perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari

2

Ibid, h. 137. 3

suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata (Pasal 59 ayat 1). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini (Pasal 59 ayat 2).

Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran dan perkawinan tersebut sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dipenuhi, artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya tersebut. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.4

Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa :

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

Sebelum dilangsungkannya perkawinan, kedua belah pihak terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum (negara asal) masing-masing pihak. Bagi WNI yang hendak melangsungkan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 ayat (1), yang menyatakan bahwa :5

Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.

Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI yang hendak melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagiamana telah diuraikan sebelumnya.

Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing yang berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (Pasal 60 ayat 2). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (Pasal 60 ayat 3). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3) (Pasal 60 ayat 4). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi, jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan(Pasal 60 ayat 5).

Tata cara pencatatan perkawinan campuran diatur dalam pasal selanjutnya, yakni Pasal 60 s.d Pasal 62 Undang-undang tersebut di atas.

5Tafonao, “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”, artikel diakses pada

B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 I. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 1. Kewarganegaraan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan bahwa yang dikatakan Warga Negara Republik Indonesia :

a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warganegara Republik Indonesia;

b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warganegara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indoaesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun; c. Anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia,

apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warganegara Republik Indonesia;

d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya;

e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya;

f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui;

g. Seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya;

h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui;

i. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya, dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu;

j. Orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini.

Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 5 s.d Pasal 6. Selanjutnya, pengaturan tentang kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 17 s.d Pasal 19. Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali, diatur dalam Pasal 11, 12, 14, dan 16 Undang-undang tersebut di atas.

2. Perkawinan

Dalam memori penjelasan mengenai Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan, bahwa dalam suatu perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama. Pada dasarnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan itu suami. Berhubung dirasakan berat untuk mengasingkan seorang warganegara karena perkawinannya, maka menurut undang-undang ini seorang perempuan WNI yang kawin dengan seorang asing tidak kehilangan kewarganegaraannya karena perkawinan tersebut, kecuali ia melepaskan sendiri kewarganegaraannya dan dengan melepaskan itu ia tidak akan menjadi tanpa kewarganegaraan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 8.

Meskipun pada dasarnya kewarganegaraan suami yang menentukan, undang-undang ini memberi kesempatan juga kepada laki-laki WNI untuk melepaskan kewarganegaraannya karena mungkin hanya dengan jalan demikian tercapai kesatuan kewarganegaraan. Maka dari itu, seorang

perempuan asing yang kawin dengan seorang laki-laki WNI tidak selalu memperoleh kewarganegaraan RI. Ia memperoleh kewarganegaraan suaminya seketika ia menyatakan keterangan untuk itu dalam waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung atau apabila tidak ada pernyataan serta keterangan yang sah dari suaminya untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesianya 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7.

Keterangan melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, hanya boleh dinyatakan apabila tidak akan menjadikan seorang tanpa kewarganegaraan. Sedangkan keterangan untuk menjadi warganegara Indonesia, tidak boleh dinyatakan apabila dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia ia masih mempunyai kewarganegaraan lain.

3. Kedudukan Anak

Dalam hal kedudukan anak berdasarkan memori penjelasan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pada umunya yang dikatakan anak yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 18 tahun dan atau belum kawin.

Kewarganegaraan RI diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan dan berdasarkan kelahiran di dalam wilayah RI, untuk mencegah adanya orang yang tanpa kewarganegaraan.

Dalam hal kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu. Hubungan kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah atau apabila anak itu (lahir di luar perkawinan yang sah) diakui secara sah oleh ayahnya.

Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka kewarganegaraan ayah yang menentukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf b dan c). Akan tetapi, apabila sang ayah tidak mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui, maka kewarganegaraan ibu yang menetukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf e). Begitu pula, apabila tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka yang menentukan adalah kewarganegaraan ibunya (Pasal 1 huruf d).

Selanjutnya, kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia sebagi dasar untuk memperoleh kewarganegaraan RI, hanya dipakai untuk menghindarkan adanya orang tanpa kewarganegaraan yang lahir di dalam wilayah RI dan hanya dipakai selama perlu untuk menghindarkan hal tersebut (Pasal 1 huruf f, g, h, dan i).

Seorang anak adakalanya karena suatu aturan turut kewarganegaraan ayahnya, sedangkan sesungguhnya ia merasa lebih berdekatan dengan ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Hendaknya kepada anak itu diberi kesempatan untuk memeperoleh kewarganegaraan RI, apabila ia dianggap

sudah bisa menentukan kewarganegaraannya sendiri. Pemberian kesempatan itu hendaknya dibatasi pada anak di luar perkawinan yang sah, karena anak dalam perkawinan yang sah pada prinsipnya kewarganegaraannya turut ayahnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3.

Negara yang memperkenankan orang dari luar bertempat tinggal menetap di dalam wilayahnya, pada suatu saat negara tersebut sudah selayaknya menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewargaanya. Namun, dikarenakan kewarganegaraan itu janganlah dipaksakan kepada orang yang sudah mempunyai kewarganegaraan lain, maka pemasukan dalam lingkungan kewarganegaraan RI itu hendaknya datang dari keinginan orang itu sendiri. Dikarenakan alasan-alasan tersebutlah (dan sebagaimana yang terdapat pula dalam Pasal 3), maka kesempatan yang diberikan itu berupa “permohonan”. Pengaturan mengenai permohonan tersebut diatur dalam Pasal 4.

II. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut