• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemilikan tanah warga negara Indonesia dalam harta bersama akibat perkawinan campuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepemilikan tanah warga negara Indonesia dalam harta bersama akibat perkawinan campuran"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

S k ri ps i

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Sat u Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

O l e h :

SYAFA ATUL UZMA 1 1 1 0 0 4 4 1 0 0 0 0 6

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

ii S k ri ps i

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Sat u Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

O l e h :

SYAFA ATUL UZMA 1 1 1 0 0 4 4 1 0 0 0 0 6

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Syafa Atul Uzma. NIM: 1110044100006. Kepemilikan Tanah Warga Negara Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran. Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal

al-Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. Xii + 75 halaman + 30 halaman lampiran. Skripsi yang berjudul “Kepemilikan Tanah WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran” ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan ketentuan yang berlaku dengan fakta yang terjadi di masyarakat terkait kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris (sosiologi hukum) adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat. Di samping itu, pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan model pendekatan “satu tembakan” (one shoot model), yaitu model pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data pada suatu saat. Dikatakan demikian, dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali pengumpulan data pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di Indonesia secara terpadu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa kepemilikan tanah bagi WNI akibat perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan adalah dipersamakan dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Kepastian hukum bagi WNI saat ini agar berhak atas tanah dengan status hak milik, yaitu dengan mendapatkan “Penetapan Pengadilan Pisah Harta”.

Kata Kunci : Perkawinan Campuran, WNI, Harta Bersama dan Hak-hak atas Tanah.

Pembimbing : Nahrowi, SH., MH.

(7)

vii

memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw beserta kerabat dan para sahabatnya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Azizah Noor dan Ayahanda Zainudin Qosim yang selalu memberikan dukungan baik materil ataupun moril serta bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Somoga Allah senantiasa membalas kasih sayang tulus mereka serta memberikan kesehatan, panjang umur dan senantiasa memberikan perlindungan kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan. Namun, syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah dan izin-Nya, serta kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

(8)

viii

3. Bapak Nahrowi, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Khususnya kepada Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. yang senantiasa memperlakukan mahasiswanya selayaknya anak sendiri, sehingga tanpa kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi kepada penulis serta memberikan saran ataupun kritik yang membangun demi kebaikan penulis.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

(9)

ix

8. Sahabat-sahabat tersayang serta teman suka duka penulis : Wardhatul Jannah, Rizki Amalia, Astri Damayanti, Riana Maharani, Widya Utami Syafaat, dan Hanifa Farhana.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Sena Siti Arafiah, Gita Dwi Annesa, Sainah, Neneng Khosyatillah, Yulianti, Arini Zidna, Inayah Maily Ridho, Khoirunnisa, Rena Soraya, M. Fauzan, dan Rifki Abdurrahman.

10.Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memeberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan, kebaikan dan kasih sayang yang telah mereka berikan kepada penulis dengan balasan yang setimpal.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini.

Ciputat, 03 Juli 2014

(10)

x

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kerangka Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA ... 16

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 16

(11)

xi

A. Profil Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia ... 45

B. Fakta Terkait Harta Benda Perkawinan dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran ... 49

BAB IV : KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN ... 54

A. Faktor Penghalang Kepemilikan Tanah Suami atau Isteri WNI dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran ... 54

B. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Bagi Suami atau Isteri WNI Akibat Pekawinan Campuran ... 60

C. Analisis Penulis ... 65

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

(12)

xii

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami-isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”.1

Pada hakikatnya, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa :

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti sekarang ini, komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Bagi Indonesia, sejak dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat.

1

(14)

Sejalan dengan kemerdekaannya, bangsa Indonesia mulai ikut serta secara langsung dalam pergaulan bersama di antara bangsa-bangsa yang merdeka pula, seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bisa mempererat hubungan antar bangsa atau antar warga negara. Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Di samping itu, manusia memiliki cita rasa yang universal, tidak mengenal perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia dengan kewarganegaraan yang berbeda, yaitu antara warga negara Indenesia (selanjutnya disebut WNI) dengan warga negara asing (selanjutnya disebut WNA). Perkawinan seperti ini di Indonesia dikenal dengan perkawinan campuran.2

Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan, bahwa :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam perkawinan campuran, yaitu :3 1) Perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia;

2Lawskripsi, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau

dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”, artikel diakses pada 16 Oktober 2013

dari http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92&Itemid=92.

3Diah Utari Ayudhistiarini, “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan

Akibat Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

(15)

2) Masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dikarenakan aturan tersebut di atas yang menyatakan kebolehan perkawinan campuran, seiring berjalannya waktu semakin banyak perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya, dengan terjadinya perkawinan campuran akan timbul beberapa permasalahan akibat terjadinya perkawinan tersebut. Salah satu masalah krusial yang sekarang ini vokal dibicarakan, yakni terkait kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama akibat terjadinya perkawinan campuran.

Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dinyatakan, bahwa :

Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika dalam jangka tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

(16)

melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak ia kehilangan kewarganegaraannya.

Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang

tersebut di atas, jelas bahwa setiap WNI tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun, pada kenyataannya hak atas tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran sangat dipengaruhi dengan adanya perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dinyatakan bahwa :

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

(17)

hak pakai. Dikarenakan terjadi percampuran harta dengan pasangan WNAnya. Yang mana WNA dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah pemegang hak atas tanah dengan status hak pakai.

Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini di Indonesia sudah ada Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia, yang berdiri dengan misi dapat menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkawinan campuran secara terpadu. Persatuan ini menaungi aspirasi pelaku perkawinan campuran serta membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan krusial yang tengah mereka hadapi, yakni larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan.

Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis, yakni skripsi yang berjudul

“KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM

HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(18)

kewarganegaraan, yaitu antara orang Indonesia dengan orang Asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistesi bangsa dan negara Indonesia yang tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan atau internasional.4

Sehubungan dengan adanya aturan di negara ini yang telah mengatur tentang kebolehan perkawinan campuran, selanjutnya akan timbul beberapa permasalahan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, yakni sebagai berikut :

(1) Keabsahan perkawinan; (2) Pencatatan perkawinan;

(3) Harta benda dalam perkawinan;

(4) Status kewarganegaraan WNI dan anak (hasil perkawinan campuran); (5) Perceraian; dan

(6) Warisan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan fokus terhadap Kepemilikan Tanah Warga Negara

Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran.

2. Rumusan Masalah

Menurut peraturan, hanya WNI yang dapat mempunyai hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya WNI yang melakukan perkawinan campuran

4Nawawi. N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”, artikel diakses

pada 16 Oktober 2013 dari

(19)

tanpa perjanjian perkawinan tidak dapat mempunyai hak atas tanah ketika melakukan perkawinan tersebut.

Maka berdasarkan rumusan permasalahan di atas, penulis merincinya ke dalam 2 (dua) bentuk pertanyaan, yakni:

a. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan? b. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat

perkawinan campuran berdasarkan pengalaman langsung pelaku perkawinan campuran pada persatuan MPCI dan apakah ada kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

b. Memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. 2. Manfaat Penelitian

Secara lebih spesifik manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah :

(20)

b. Bagi penulis, manfaat penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan sebagai wujud kontribusi positif dan dedikasi yang dapat penulis berikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

c. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bentuk karya ilmiah yang bermanfaat dan bahan rujukan bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.

D. Kerangka Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

(21)

juga untuk keperluan kelembagaan.5 Secara umum, tujuan penelitian terapan ini adalah sebagai berikut :6

a. mengungkapkan praktik-praktik yang sudah ada; b. memperbaiki praktik-praktik yang telah berlangsung.

Selanjutnya, setelah hasil studi dipublikasikan dalam periode waktu tertentu, pengetahuan tersebut akan memengaruhi pola berpikir dan persepsi para praktisi.7

Sedangkan bila dilihat dari aspek proses (pendekatan), penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan secara wajar dan natural sesuai dengan kondisi objek di lapangan tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif.8 Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap yakni persepsi orang mengenai suatu peristiwa.9

Kajian utama penelitian kualitatif adalah fenomena atau kejadian yang berlangsung dalam suatu situasi sosial tertentu. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan (lokasi) untuk membaca, memahami, dan mempelajari situasi. Penelitian dilakukan ketika proses interaksi sedang berlangsung secara alami

5

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 33.

6

Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, 2010), h. 23.

7

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 33.

8

Ibid, h. 140.

9

(22)

di tempat penelitian. Kegiatan peneliti adalah mengamati, mencatat, bertanya, dan menggali sumber yang erat hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi saat itu.10

Di samping itu, jenis penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif, bila dilihat berdasarkan metode. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab persoalan-persoalan tentang fenomena atau peristiwa yang terjadi saat ini, baik tentang fenomena sebagaimana adanya maupun analisis hubungan antara berbagai variable dalam suatu fenomena. Salah satu pola penelitian deskriptif ini yaitu studi kasus.11 Dimana penulis melakukan studi kasus terhadap pelaku perkawinan campuran yang tergabung dalam Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI). Dalam melakukan studi kasus, penulis melakukan penelitian secara mendalam dengan melacak dan menemukan berbagai faktor terkait perkawinan campuran dan akibat yang ditimbulkan setelahnya.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi

10

Ibid, h. 141.

11

(23)

objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.12

3. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat.13 Pendekatan ini menggunakan suatu prosedur yang mana untuk dapat memecahkan masalah penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan penelitian pada data sekunder kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran. Di samping itu, pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan model pendekatan “satu tembakan” (one shoot model), yaitu model

pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data pada suatu saat.14 Dikatakan demikian, dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali pengumpulan data pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di Indonesia secara terpadu, yakni Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI).

12

(24)

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan:

Pertama sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari

sumbernya, baik melalui wawancara maupun observasi yang kemudian diolah oleh peneliti.15 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa narasumber terpercaya terkait permasalahan dalam skripsi ini, yakni pelaku perkawinan campuran, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut BPN RI), dan Ahli Hukum Keluarga.

Kedua sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku

yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian, skripsi dan Peraturan Perundang-undangan. Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi:16

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini Peraturan-Perundang-undangan yang dimaksud, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

15

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 106.

16

(25)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau sekunder, yang berasal dari kamus, ensiklopedia, surat kabar, dan sebagainya.

5. Metode Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh melalui data kepustakaan dan wawancara atau interview. Data kepustakaan merupakan data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, publikasi, dan hasil penelitian.17 Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya-jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapai tujuan tertentu.18 Selama ini metode pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap efektif, dikarenakan

interviewer dapat bertatap muka langsung dengan responden (narasumber)

untuk menanyakan perihal pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat ataupun persepsi diri responden atau bahkan saran-saran

17

Ibid, h. 107.

18

(26)

responden.19 Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan metode wawancara tak terstruktur (open-ended), yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden dapat secara bebas menjawab pertanyaan tersebut. 20 Wawancara dilakukan secara mendalam dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dalam Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI) terkait hak milik WNI akibat perkawinan tersebut serta BPN RI selaku pelaksana dari pada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kepemilikan tanah bagi WNI dan Ahli Hukum Keluarga terkait kepemilikan harta bersama dalam perkawinan, dengan harapan agar didapati suatu informasi dan data yang lebih mendalam, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Metode Analisa Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analitis, maka metode analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi dan makna dari aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek penelitian.21

19

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), Ed. I, Cet. II, h. 57.

20

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 233.

21

(27)

E. Sistematika dan Teknik Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan teknik penulisan yang mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2012. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas mengenai Perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, kewarganegaraan, perkawinan dan kedudukan anak menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan campuran, dan harta benda dalam perkawinan campuran.

Bab ketiga, bab ini akan memuat tentang profil Masyarakat Perkawinan

Campuran Indonesia serta fakta terkait harta benda perkawinan dalam harta

bersama akibat perkawinan campuran.

Bab keempat, pada bab ini penulis akan menguraikan faktor penghalang kepemilikan tanah suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran serta kepastian hukum kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI akibat perkawinan campuran.

(28)

16

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Pengertian Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti yang termuat dalam Pasal 1 (ayat 2), perkawinan didefinisikan sebagai :1

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan harus berdasarkan pada Pasal 2 undang-undang perkawinan, yang berbunyi :

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Syarat-syarat Perkawinan

Orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan yang terdiri dari Pasal 6 s.d Pasal 12 undang-undang perkawinan.

1

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ‘Studi

(29)

4. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29, yang isinya sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.2

5. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya

Dalam hal putusnya perkawinan serta akibatnya berdasarkan undang-undang perkawinan, hal tersebut diatur secara khusus dalam Bab VIII yang terdiri dari Pasal 38 s.d Pasal 41.

6. Kedudukan Anak

Masalah anak sah diatur dalam undang-undang perkawinan pada Bab IX tentang Kedudukan Anak dalam Pasal 42 s.d 44. Ketentuan lebih lanjut perihal asal-usul anak diatur dalam Bab XII tentang Ketentuan-ketentuan Lain dalam Pasal 55.3

7. Perkawinan Campuran

Berdasarkan undang-undang perkawinan, pengertian perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari

2

Ibid, h. 137.

3

(30)

suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata (Pasal 59 ayat 1). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini (Pasal 59 ayat 2).

Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran dan perkawinan tersebut sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dipenuhi, artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya tersebut. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.4

Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa :

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

(31)

Sebelum dilangsungkannya perkawinan, kedua belah pihak terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum (negara asal) masing-masing pihak. Bagi WNI yang hendak melangsungkan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 ayat (1), yang menyatakan bahwa :5

Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.

Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI yang hendak melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagiamana telah diuraikan sebelumnya.

Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing yang berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (Pasal 60 ayat 2). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (Pasal 60 ayat 3). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3) (Pasal 60 ayat 4). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi, jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan(Pasal 60 ayat 5).

Tata cara pencatatan perkawinan campuran diatur dalam pasal selanjutnya, yakni Pasal 60 s.d Pasal 62 Undang-undang tersebut di atas.

(32)

B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 I. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 1. Kewarganegaraan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan bahwa yang dikatakan Warga Negara Republik Indonesia :

a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warganegara Republik Indonesia;

b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warganegara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indoaesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun; c. Anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia,

apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warganegara Republik Indonesia;

d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya;

e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya;

f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui;

g. Seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya;

h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui;

(33)

j. Orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini.

Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 5 s.d Pasal 6. Selanjutnya, pengaturan tentang kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 17 s.d Pasal 19. Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali, diatur dalam Pasal 11, 12, 14, dan 16 Undang-undang tersebut di atas.

2. Perkawinan

Dalam memori penjelasan mengenai Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan, bahwa dalam suatu perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama. Pada dasarnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan itu suami. Berhubung dirasakan berat untuk mengasingkan seorang warganegara karena perkawinannya, maka menurut undang-undang ini seorang perempuan WNI yang kawin dengan seorang asing tidak kehilangan kewarganegaraannya karena perkawinan tersebut, kecuali ia melepaskan sendiri kewarganegaraannya dan dengan melepaskan itu ia tidak akan menjadi tanpa kewarganegaraan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 8.

(34)

perempuan asing yang kawin dengan seorang laki-laki WNI tidak selalu memperoleh kewarganegaraan RI. Ia memperoleh kewarganegaraan suaminya seketika ia menyatakan keterangan untuk itu dalam waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung atau apabila tidak ada pernyataan serta keterangan yang sah dari suaminya untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesianya 1 (satu) tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7.

Keterangan melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, hanya boleh dinyatakan apabila tidak akan menjadikan seorang tanpa kewarganegaraan. Sedangkan keterangan untuk menjadi warganegara Indonesia, tidak boleh dinyatakan apabila dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia ia masih mempunyai kewarganegaraan lain.

3. Kedudukan Anak

Dalam hal kedudukan anak berdasarkan memori penjelasan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pada umunya yang dikatakan anak yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 18 tahun dan atau belum kawin.

(35)

Dalam hal kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu. Hubungan kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah atau apabila anak itu (lahir di luar perkawinan yang sah) diakui secara sah oleh ayahnya.

Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka kewarganegaraan ayah yang menentukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf b dan c). Akan tetapi, apabila sang ayah tidak mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui, maka kewarganegaraan ibu yang menetukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf e). Begitu pula, apabila tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak dan ayahnya, maka yang menentukan adalah kewarganegaraan ibunya (Pasal 1 huruf d).

Selanjutnya, kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia sebagi dasar untuk memperoleh kewarganegaraan RI, hanya dipakai untuk menghindarkan adanya orang tanpa kewarganegaraan yang lahir di dalam wilayah RI dan hanya dipakai selama perlu untuk menghindarkan hal tersebut (Pasal 1 huruf f, g, h, dan i).

(36)

sudah bisa menentukan kewarganegaraannya sendiri. Pemberian kesempatan itu hendaknya dibatasi pada anak di luar perkawinan yang sah, karena anak dalam perkawinan yang sah pada prinsipnya kewarganegaraannya turut ayahnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3.

Negara yang memperkenankan orang dari luar bertempat tinggal menetap di dalam wilayahnya, pada suatu saat negara tersebut sudah selayaknya menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewargaanya. Namun, dikarenakan kewarganegaraan itu janganlah dipaksakan kepada orang yang sudah mempunyai kewarganegaraan lain, maka pemasukan dalam lingkungan kewarganegaraan RI itu hendaknya datang dari keinginan orang itu sendiri. Dikarenakan alasan-alasan tersebutlah (dan sebagaimana yang terdapat pula dalam Pasal 3), maka kesempatan yang diberikan itu berupa “permohonan”. Pengaturan mengenai permohonan tersebut diatur dalam

Pasal 4.

II. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

1. Kewarganegaraan

(37)

Siapa warga negara Indonesia (WNI)? Menurut Undang-undang tersebut di atas mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia adalah :6

Pasal 4

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan /atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;

b. Anak yang lahir dari perkawinaan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;

c. Anak yang lahir dari perkawianan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing;

d. Anak-anak lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dari Warga Negara Asing dan ibu dari Warga Negara Indonesia;

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

i. Anak yang lahir diwilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

l. Anak yang dilahirkan diluar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang besangkutan;

6

(38)

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 8 s.d Pasal 18. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan memperoleh kewarganegaraan RI diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 22). Selanjutnya, pengaturan tentang kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam ketentuan Pasal 23, 24, 28, 29, dan 30. Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 31 s.d Pasal 34. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 35).

2. Perkawinan

Dalam hal terjadi perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing baik laki-laki ataupun perempuan, menyebabkan seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya atau tetap berkewarganegaraan Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19, 26, dan 27.

3. Kedudukan Anak

(39)

Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian.

Dalam undang-undang ini, dimuat pengaturan mengenai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan terhadap anak tentang status kewarganegaraannya saja. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Undang-undang ini menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas. Asas tersebut memiliki pengertian, bahwa undang-undang ini memberikan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6.

(40)

C. Kedudukan Suami dan Isteri dalam Perkawinan Campuran

Mengenai akibat hukum perkawinan, dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) berkembang beberapa asas yang menyatakan akibat hukum perkawinan tunduk pada :7

a) Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan/dilangsungkan (lex loci

celebrationis).

b) Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warganegara setelah perkawinan (join nationality)

c) Sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama-sama setelah perkawinan (join residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan.

Berdasarkan asas HPI di atas, maka menyangkut kedudukan suami isteri dalam perkawinan campuran sebagai salah satu akibat hukum perkawinan tunduk pada asas lex loci celebrationis, dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara WNI dengan WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka dari itu, kedudukan suami isteri dalam perkawinan campuran harus merujuk kepada hukum perkawinan di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan sebagaimana tedapat dalam Pasal 59 ayat (2) :

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

Yang dimaksud kedudukan suami-isteri adalah dimana di dalamnya terdapat pengaturan hak dan kewajiban isteri. Hak dan kewajiban

7

(41)

isteri diatur secara tuntas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam satu bab yaitu Bab VI yang terdiri dari Pasal 30 s.d Pasal 34, yang berbunyi :8

Pasal 30

Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

D. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran

Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan campuran sebagai salah satu akibat hukum perkawinan, sebagaimana telah diuraikan di atas dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) tunduk pada asas lex loci celebrationis, dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara WNI dengan WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka dari itu, pengaturan harta benda perkawinan dalam perkawinan campuran merujuk pada hukum perkawinan di

8

(42)

Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) :

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

Selanjutnya, pengertian dan pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam Bab VII yang terdiri dari Pasal 35 s.d Pasal 37, yakni :

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing- masing.

Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35 s.d Pasal 37 sebagaimana tersebut di atas itu adalah sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia.9

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) harta benda perkawinan atau harta bersama dikatakan sebagai harta carian (gana-gini), yakni harta yang diperoleh suami isteri selama hidup bersama. Sedangkan, harta

9

(43)

bawaan dalam KBBI dikatakan sebagai harta sendiri, yakni harta yang di bawa dalam perkawinan yang bukan harta bersama.10

Menurut Muhammad Amin Suma : bahwa “harta kekayaan yang dihasilkan setelah terjadinya perkawinan disebut dengan harta gono-gini atau ‘harta bersama’, yaitu harta yang diperoleh atas usaha bersama oleh suami isteri

terhitung sejak dilangsungkannya perkawinan. Itulah yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia atau bisa disebut juga dengan ‘harta serikat’”.11

Abdul Manan berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan siapa di antara suami isteri yang mencarinya dan juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar”. Adapun yang dikategorikan menjadi ‘harta milik pribadi suami’ isteri adalah :12

1) Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka dilaksanakan.

2) Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan.

10

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), Ed. III, Cet. IV, h. 390.

11

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.

12

(44)

Zainuddin Ali berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan”.13

Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang mengutip perkataan Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia, harta benda dalam perkawinan disebut juga dengan harta pencaharian. Yang dimaksud harta pencaharian adalah harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan berlangsung, baik atas usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka.14

Subekti berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “sejak dimulainya perkawinan, terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri, jikalau tidak diadakan perjanjian perkawinan.15 Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan, maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan”.16 Menurut KUHPerdata (Pasal 119), prinsip harta benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami isteri.17

13

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 56.

14

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Ed. I, Cet. IV, h. 29.

15

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet. XXXI, h. 31.

16

Ibid, h. 32.

17

(45)

Secara lebih khusus lagi pengaturan mengenai harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang mana KHI merupakan pegangan bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam mengenai hukum Islam yang berlaku baginya, juga sebagai pegangan bagi para hakim Peradilan Agama (PA) dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya.18

Apabila kita berbicara wujud dan makna harta bersama berdasarkan sudut pandang Hukum Islam, maka ada baiknya diutarakan pendapat yang dikemukakan Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya “Pencaharian Bersama

Suami Isteri di Aceh Ditinjau dari Sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam”. Menurut beliau: “Pencaharian bersama suami isteri, mestinya

masuk dalam rub’ul mu’amalah. Tapi ternyata secara khusus tidak ada dibicarakan, lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut (fiqh) adalah orang Arab, yang mana adat Arab tidak mengenal adat mengenai pencaharian bersama suami isteri itu. Akan tetapi, di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah.

Maka apabila melihat pada macam-macam perkongsian atau syarikat, dapat disimpulkan bahwa harta bersama dalam perkawinan masuk dalam golongan syarikah ‘abadan muwafadhah. Kesimpulan itu beliau ambil

18

(46)

berdasarkan fakta, bahwa pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk menafkahi hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.

Hal penting yang perlu dicatat dari uraian di atas adalah kenyataan doktrin hukum fiqh tidak ada membahas masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinan. Hal tersebut diakui oleh para ulama Indonesia pada saat mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan KHI. Namun, mereka sepakat untuk mengambil syarikat ‘abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan harta bersama. Maka dalam merumuskan masalah harta bersama yang terdapat dalam Bab VIII yang terdiri dari Pasal 85 s.d Pasal 97, panitia perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur aturan syarikat ‘abdan dan hukum adat. Dan dari penggabungan antara keduanya lah pasal-pasal dalam KHI yang mengatur harta bersama dirumuskan.

Selanjutnya, apabila ditinjau dari hukum adat dalam hal ini pendapat yang dikemukakan Prof. Dr. R. Vandijk, bahwa segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat.19

Terbentuknya harta bersama ditentukan oleh faktor selama beralngsungnya perkawinan antara suami isteri, dengan sendirinya barang atau harta yang dihasilkan selama perkawinan tersebut termasuk ke dalam harta

19

(47)

bersama suami isteri. Kecuali, jika harta yang diperoleh berupa ‘warisan’ atau ‘hibah’ oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tapi

jatuh menjadi harta pribadi si penerima.20

Semula, terdapat kesan bahwa dalam hukum adat lama; “keikutsertaan isteri aktif membantu pekerjaan suami” merupakan syarat utama terbentuknya

harta bersama. Isteri yang hanya tinggal mengurus rumah tangga saja, dianggap tidak berhak atas harta yang diperoleh suami. Dalam kasus yang demikian diartikan, bahwa dianggap tidak pernah terbentuk harta bersama antara suami dan isteri. Namun, pada zaman sekarang ini klausula “isteri harus ikut aktif membantu suami secara nyata” sudah tidak layak dipertahankan, dikarenakan

pekerjaan suami juga yang tidak memungkinkan isteri untuk ikut turut serta secara nyata dan langsung dalam usaha mata pencaharian suami. Sejak tahun 1950, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru dan mulai lahirlah berbagai yurisprudensi yang tidak lagi berpegang pada patokan klausula “isteri harus ikut aktif membantu suami secara nyata”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi harta bersama yang terdapat dalam Pasal 35 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 85 KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) yang mana dikatakan, bahwa harta bersama antara suami isteri adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah kaidah atau definisi yang dipegangi sekarang ini untuk

20

(48)

menentukan pengertian hukum harta bersama. Klausula tersebut di atas tidak lagi menjadi syarat utama dalam terbentuknya harta bersama.21

Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga. Sedangkan yang tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.22

Benda berwujud, yaitu benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Yang dikategorikan benda berwujud, yakni benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sedangkan, yang dimaksud benda tidak berwujud yaitu hak-hak subyektif.

1. Benda Bergerak

Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya : kendaraan, surat-surat berharga, dan sebagainya. Dengan demikian, kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUHPer).

2. Benda Tidak Bergerak

Benda tidak bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan pemakaiannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya : tanah, bangunan, dan sebagainya.23

21

Ibid, h. 300-302.

22

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.

23

(49)

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tanah termasuk dalam kategori benda tidak bergerak. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti, maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut (tanah) digunakan. Dalam Hukum Tanah, kata sebutan ‘tanah’ dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang

telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).

Dalam Pasal 4 (ayat 1) jo Pasal 1 (ayat 4) UUPA dinyatakan, bahwa : Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam

pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah (Pasal 4 ayat 1)…. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat 4).

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah

permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian

tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran

panjang dan lebar.24

Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/ atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.25

24

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ‘Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya’, (Jakarta : Djambatan, 2008), Ed. Rev, Cet. XII, h. 18.

25

(50)

Hukum tanah merupakan suatu sistem yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.26 Hukum tanah dapat juga dikatakan sebagai hukum agraria secara teoritis, hukum agraria adalah keseluruhan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya berisi objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.27

Boedi Harsono berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. ‘Sesuatu’ yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak

penguasaan yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.28

Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Lembaga Hukum

Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.29

26

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 17.

27

Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), Ed. I, Cet. I, h. 171.

28

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 24.

29

(51)

Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah sebagai berikut :30 a. memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

b. menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;

c. mengatur hal-hal mengenai subyeknya, yakni siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya; d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

2) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Hubungan Hukum yang Konkret Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut ‘hak’), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu

sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.31

Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai suatu hubungan hukum yang konkret adalah sebagai berikut :32

a. mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;

(52)

d. mengatur hal-hal mengenai hapusnya; e. mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional adalah sebagai berikut :33

1) hak bangsa Indonesia atas tanah; 2) hak menguasai negara atas tanah; 3) hak ulayat masyarakat Hukum Adat; 4) hak perseorangan atas tanah, meliputi:

a. hak-hak atas tanah; b. wakaf tanah hak milik; c. hak tanggungan;

d. hak milik atas satuan rumah susun;

Berdasarkan hierarki di atas, maka pembahasan selanjtunya hanya akan dibatasi hanya pada ruang lingkup hak-hak atas tanah yang mana termasuk ke dalam hak perseorangan atas tanah.

Dalam UUPA diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum, sehingga penerima hak akan dapat mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Meskipun demikian, pemilik hak tidak dapat secara sewenang-wenang mempergunakan haknya tersebut. Untuk itulah, dalam UUPA dilarang menggunakan hak atas tanah itu apabila :34

1) dipergunakan bertentangan dan merugikan orang lain;

33

Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 77.

34

(53)

2) dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukkannya, misalnya; hak untuk pertanian dipakai untuk bangunan atau sebaliknya.

Macam-macam hak atas tanah : (1) Hak Milik

Hak milik yaitu hak turun-temurun yang dapat diteruskan pada ahli warisnya. Hak ini merupakan hak tertua dan terkuat karena memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dan merupakan induk dari hak-hak lainnya.

Adapun yang berhak atas hak milik adalah warganegara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang ditentukan UUPA.35

Ketentuan mengenai Hak Milik (HM) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus hak milik diatur dalam Pasal 20 s.d Pasal 27 UUPA. Selanjutnya, hak milik diatur juga di dalam Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 UUPA.36

(2) Hak Guna Usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna usaha pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat 1 UUPA). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.

35

Ibid.

36

(54)

Adapun subjek hukum hak guna usaha adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).

Ketentuan mengenai hak guna usaha (HGU) disebutkan Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d Pasal 34 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, yang secara khusus diatur dalam Pasal 2 s.d Pasal 18.37 (3) Hak Guna Bangunan

Pasal 35 UUPA memberikan pengertian hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.

Adapun subjek hukum hak guna bangunan adalah warganegara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).

Ketentuan mengenai hak guna bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UUPA. secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d 34 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah

37

(55)

Nomor 40 tahun 1996 yang secara khusus diatur dalam Pasal 19 s.d Pasal 38.38

(4) Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari lahan yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau pengolahan tanah.

Subjek hukum dari hak pakai adalah warganegara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Departemen, lembaga pemerintah non departemen dan Pemerintah Daerah, Badan-badan keagamaan dan sosial serta Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional.39

Ketentuan mengenai hak pakai (HP) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal 43 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pakai berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 s.d Pasal 58.40

38

Ibid, h. 109.

39

Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, h. 177.

40

(56)

(5) Hak Sewa untuk Bangunan

Menurut Pasal 44 ayat (1), dikatakan bahwa :

Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

Berdasarkan pasal di atas dapat disimpulkan, bahwa hak sewa untuk

bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk

mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. Dalam hal ini, negara tidak dapat menyewakan tanah dikarenakan negara bukanlah pemilik tanah.41

Subjek hukum hak sewa untuk bangunan adalah warganegara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Ketentuan mengenai hak sewa untuk bangunan (HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e. Secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45. Pengaturan mengenai hak sewa untuk bangunan diatur pula dalam Pasal 53 jo Pasal 10 ayat (1) UUPA.

41

(57)

45

A. Profil MPCI 1. Visi dan Misi

VISI

Membangun peran penting masyarakat perkawinan campuran bagi Indonesia.

MISI

Menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkawinan campuran secara terpadu.1

2. Tujuan MPCI

a. Mengukuhkan peran dan posisi masyarakat perkawinan campuran secara aktif dan positif di dalam kehidupan bermasyarakat secara luas di Indonesia;

b. Memperjuangkan perbaikan hukum yang lebih mendukung perlindungan dan kesejahteraan kita;

c. Melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat perkawinan campuran sekaligus membawa manfaat bagi masyarakat luas;

Referensi

Dokumen terkait

Demikian juga halnya dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini dapat berarti bahwa, sekalipun telah

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa proses pembelajaran daring melalui aplikasi facebook di SDIT Aulia tepatnya pada kelas IA telah terlaksana, sarana dan prasarana yang

Kedua stasiun tersebut juga akan menjadi bagian dari jaringan pedestrian bawah tanah kota Singapura yang merupakan sebuah rangkaian jalur lintas bawah tanah yang

This study aims at describing the violations of the politeness principles committed by the South Celebes governor candidates in 2013 and their factors. This is

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SSB Kabupaten Kudus dapat disimpulkan bahwa: Pembinaan SSB di Kabupaten Kudus belum berkriteria baik

Bahkan, warga negara Indonesia (WNI) yang telah melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing (WNA ) tidak dapat mempunyai tanah dengan status hak milik atas

Masalah pembuangan sampah di perkotaan seringkali menjadi beban karena menyangkut pembiayaan untuk angkutan sampah, lokasi pembuangan, kesehatan dan kebersihan lingkungan.

Dimana Metode yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data-data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkaan dengan meneliti data