• Tidak ada hasil yang ditemukan

dEe&ZY

KETURUNAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan

E. Analisis Penulis

E. Analisis Penulis

Pada bagian analisa akhir ini penulis mengambil satu kasus perceraian karena suami impoten karena berkaitan tinjauan fiqih dan hukum positif terhadap perceraian karena suami tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten),

Majlis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dapat penulis analisa sebagaimana berikut:

Pertama, Tergugat tidak cukup alasan untuk mempertahankan rumah tangganya, walaupun dalam persidangan tergugat menyatakan tidak ingin berpisah dari penggugat dengan alasan masih menyayangi penggugat, akan tetapi pada saat yang bersamaan penggugat menyatakan bahwa penggugat sudah tidak suka disamping faktor yang utama adalah suami tidak bisa memberikan nafkah bathin sehingga menimbulkan percekcokan yang berkepanjangan oleh karenanya majlis hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang dirumuskan oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI.

Kedua, Gugatan istri terhadap suaminya bukanlah semata-mata karena suami tidak bisa memberikan nafkah bathin, akan tetapi suami juga melakukan perilaku-perilaku negatif seperti tempramental sehingga menimbulkan percekcokan dan perselisihan berkepanjangan.

Ketiga, Tergugat mengakui dan membenarkan dalil-dalil atau alasan-alasan yang di arahakan oleh penggugat terhadap tergugat di depan sidang, serta dikuatkan oleh saksi-saksi baik dari saksi penggugat ataupun tergugat (bukti T. 2 dan T.3 yang menjadikan bukti kuat yang mempunyai nilai pembuktian sempurna

Keempat, Hakim mengabulkan gugatan penggugat yaitu istri “pertama”, berdasarkan KHI pasal 19 (f) PP no. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI, bahwa karena fakta perselisihan pertengkaran, dan adanya saling tidak mempedulikan serta ketidakmampuan tergugat untuk melakukan hubungan suami istri telah di akui oleh tergugat telah melakukan pengobatan dokter ahli. “kedua”, berdasarkan rujukan kitab klasik yang digunakan langsung secara tertulis dalam putusan hakim yaitu kitab Sirojul Wahaj hal. 362 yang menyatakan karena tergugat selaku suami tidak mampu melakukan hubungan suami istri (impoten) maka istri memiliki hak untuk memutuskan perkawinannya. Dan yang “ketiga” pasal 1 UU. No. 1 tahun 1974, yang menyatakan secara global bahwa perkawinan penggugat dan tegugat sudah tidak sejalan dengan maksud tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.

Putusan Hakim pengadilan Agama Jakarta selatan terhadap kasus tersebut, yakni mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan menetapkan perkawinan penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan talak bain sughra, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat adalah bagian dari Tinjauan Fiqih dan dan Hukum Postif yang memerhatikan kepentingan pada pihak istri sebagai bagian dari keadilan dalam berumah tangga.

Karena pada dasarnya apabila perkawinan yang faktanya suami tidak bisa memberikan nafkah bathin, maka akan terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri. Maka pada dasarnya hakim memutuskan pada kasus tersebut untuk tercapainya tujuan perkawinan yang diinginkan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa yaitu sakinah mawahdah warahmah.67

Dalam hal ini penulispun ingin memberikan gambaran profil keluarga yang tidak sampai kepada perceraian hanya karena tidak mempunyai keturunan. Gambaran profil perkawinan pasangan suami isteri yang harmonis dan tidak sampai bercerai hanya karena tidak mempunyai keturunan.

Nama Suami : Ade Badru* (nama disamaran) Nama Isteri : amalia* (nama disamarkan) Keterangan:

Bahwa pasangan suami isteri ini menikah pada tanggal 12 Desember 2003, dan dalam perjalanan mahligai rumah tangganya sesuai yang penulis amati dan menyangkut penulisan skripsi penulis mereka belum dikaruniai anak selama 6 Tahun jalinan rumah tangga mereka akan tetapi mereka menerima karena pasangan suami istri ini beranggapan bahwa Allah SWT belum mengaruniai anak. Ketika penulis telusuri ternyata merekapun sudah berusaha memancing-mancing

67

Wawancara khususdengan hakim Drs. Muhayat pada tanggal 07-11-2009, Hakim pengadilan agama Jakarta selatan.

agar dapat mempunyai keturunan yaitu dengan cara mengasuh anak atau mengadopsi anak akan tetapi sampai sekarangpun belm juga di karuniai anak.

Dari permasalahan ini penulis menilai betapa bahagianya pasangan suami isteri ini karena satu sama lain saling mengerti dan menerima keadaan dan kenyataan kehidupan yang mereka jalani. Karena penulis melihat belum pernah ada kata kata perseturuan dari keluarga mereka (wallahua’lam) karena selama penulis telusuri dan penulis perhatikan rasa kecintaan antara pasangan suami isteri ini sangat tinggi dan menjungjung tinggi kesetian, karena tidak banya pasangan suami isteri yang mengalami hal yang sama seperti ini suaminya memilih kawin lagi dengan cara berpoligami atau tidak sedikit pula yang berakhir pada perceraian.

Jadi disini penulis menilai bahwa tentang perceraian akibat tidak mempunyai keturunan itu tidak semua kasus cerai ini diputus cerai karean ada juga yang mempunyai ataupun mengalami kasus yang sama tetapi mereka memilih jalan untuk menyelesaikan dengan cara kekeluargaan atau menunjuk hakam dari para pihak yang bersangkutan untuk mendamaikan pasangan suami isteri yang sedang dilanda masalah ini.

Dalam hal ini penulis mengamati optimalisasi peran hakim dalam mediasi terasa kurang dalam persidangan, karena sesuai dengan PERMA RI No 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di pengadilan yang mana hakim setiap menyelesaikan perkara khususnya perkara perdata diwajibkan untuk mendamaikan para pihak. Pasal 6 PERMA berbunyi hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk

menyeklesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan.

Dari sini penulis beranggapan bahwa setiap dilakukan mediasi itu baiknya harus mempunyai tempat yang khusus untuk ruangan mediasi bukan pada saat diruangan sidang dan juga yang menjadi hakam atau juru mediasi harus seorang hakim yang sudah berpengalaman dalam memberikan nasihat dan tausiyah sehingga dalam hal ini pasangan suami isteri tidak sampai melanjutkan perkara perceraian karna mereka sudah cukup untuk di damaikan di sesi mediasi tersebut.

BAB V PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat penulis ambil beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut.

A. Kesimpulan

Setelah melihat dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai registrasi Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS. Untuk penulis ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hal tersebut, yaitu:

1. Dalam perspektif hukum fiqih perceraian dengan alasan suami tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten) adalah suatu kebolehan (mubah) oleh

syariat, tidak ada fasakh dalam pernikahan karena adanya aib akan tetapi dalam hal ini fiqih memberikan ruang kepada isteri untuk memilih bercerai dengan suaminya yang tidak bisa memberikan nafkah bathin (impoten). Kebolehan tersebut berdasarkan atas pengkompromian nilai ataupun konsep kebolehan, asalkan tidak bertentangan dengan maqasid syariah. Sebagai mana hakim merujuk dari kitab fiqih secara tertulis pada putusan dalam kitab Sirojul Wahaj halaman 362, Hal tersebut dibolehkan oleh hukum fiqih berdasarkan pertimbangan kemaslahatan secara umum. Menurut penulis putusan hakim pada kasus perceraian dengan alasan suami tidak bisa memberikan nafkah bathin “impoten” substansinya adalah sejalan dengan maqasid syariah yaitu mewujudkan keadilan dalam berumah tangga.

2. Dalam perspektif Hukum Positif penulis menggaris bawahi bahwasanya substansi yang terkandung dalam muatan pasal 19 (F) PP No 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI mengenai perceraian dengan alasan suami tidak bisa menafkahi bathin “impoten” pada dasarnya bersumber pada kitab fiqih sehingga penulis menyimpulkan prespektif antara hukum fiqih dengan hukum positif tentang perceraian dengan alasan suami impoten memiliki substansi yang sama dengan redaksi yang berbeda.

3. Majlis Hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang dirumuskan oleh pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 (f) KHI. Dan kitab sirojul wahaj hal 362. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan hakim mengabulkan gugatan penggugat

berdasarkan perspektif fiqih dan hukum positif yang tiada lain memberikan putusan yang mencegah terjadinya pengabaian hak-hak kemanusian yang seharusnya didapatkan oleh seorang isteri.

B. Saran - Saran

1. Dirasakan perlu sosialisasi melalui media cetak, seminar-seminar ataupun majlis ta’lim yang bertujuan menghilangkan dualisme pemikiran antara perspektif hukum fiqih dengan hukum positif sehingga diharapkan terjadinya kesadaran secara merata disegala lapisan masyarakat yang awam dan tidak terjadi pemahaman fanatisme yang berlebihan yang mengakibatkan kemadharatan pada konteks kekinian. Seperti sosialisasi kompilasi hukum islam (KHI) ataupun hukum positif yang lainya secara menyeluruh baik melalui pemahaman pendekatan yang digunakan kompilasi hukum islam ataupun pemahaman secara metodologi yang digunakan dalam penyusunannya.

2. Diharapkan pada akademisi-akademisi untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang konsep hukum fiqih dan hukum positif kepada masyarakat bukan hanya sebatas pada permasalahan yang bersifat tidak terjadi pada masa ulama terdahulu (Salafusshalih) akan tetapi seyogyanya mengemukakan permasalahan-permasalahan fiqih yang kontemporer baik yang bersifat keilmuan secara umum maupun yang bersifat ubudiyah.

3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang No 1 Tahun 1974 perlu di sosialisasikan melalui lembaga pendidikan umum, ceramah, khotib, dan dimasukan kedalam kurikulum fiqih tsanawiyah dan aliyah

Dokumen terkait