• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Bab terakhir yang memuat kesimpulan yang diperoleh dari teori yang menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas untuk ditarik

TINJAUAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT IMPOTENSI

E. Pengertian Impoten

Suatu perkawinan yang bahagia harus ada cinta kasih dan simpatik timbal balik, ide-ide bersama, minat bersama, keadaan keuangan yang relatif cukup serta kecocokan dalam berbagai hal seperti pribadi dan sosial. Dilain pihak juga benar bahwa suatu perkawinan tidak bisa sukses kalau tidak ada daya tarik seksual atau kalau kehidupan seksual tidak memuaskan.32

Banyak kendala kendala dalam rumah tangga dewasa ini langsung atau tidak langsung bersumber pada kesulitan-kesulitan seksual. Faktor seksual juga mempunyai peranan penting dalam perkawinan. Adanya mitos seks yang tidak benar membuat kendala dalam perkawinan seperti bahwa hubungan seksual adalah nafsu hewani yang hina dan kotor. Bila hal itu yang diingat karena pemahaman orang tua yang kaku tentang seks, maka keyakinan mereka tentang seks adalah hal yang memalukan padahal seks dalam perkawianan itu hal yang logis dan sakral.33 Diantara penyakit seks yang sering dialami seorang pria itu salah satunya adalah impoten

32

Anto Groho, Penyebab disfungsi pada pria, http://pa-sungailiat.pta-babel.net/talk-show.pasgt diakses tanggal 30-10-2009.

33 Ibid,

Impotensi atau adalah perihal lemah syahwat keadaan tidak berdaya sedangkan impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk (lemah syahwat atau tidak mempunyai tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa.34

Kata impoten berasal dari bahasa inggris yang berarti tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lemah zakar). Dan didalam bahasa Arab disebut “Unnah dan juga bisa disebut ‘Inniin yang berarti35:

3, J

” : Yang tak kuasa bersetubuh dengan perempuan

Ibnu abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Firdaweri di dalam bukunya tentang pengertian impotensi. Menurut bahasa impotensi adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh. Dan menurut istilah orang impoten adalah orang yang tidak sanggupmensenggamai isterinya, karena terhalang dari sisuami itu sendiri. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Abdurrahman Al-Jaziri memperinci lagi maksud dari impoten itu, ia mengemukakan bahwa orang impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluanya, walaupun sudah bangun kemaluanya waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. 2 h. 427

35

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.90

wanita lain. (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut impoten) orang yang sanggup dengan isterinya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaanya seperti yang tersebut diatas dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya.36

Menurut ilmu kedokteran yang dimaksud impoten disebut juga disfungsi erektil yang mana pengertiannya adalah Disfungsi erektil, yang juga disebut impotens, adalah ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk menyelesaikan koiteus. Pasien dapan melaporkan penurunan frekuensi ereksi, ketidak mampuan untuk mencapai ereksi yang keras, atau detumescence (menghilangnya ereksi) yang cepat.37

Disfungsi seksual sering disebut juga disfungsi ereksi yaitu masalah seksual bagi sebagian pria. Tingkatan disfungsi ereksi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti fisik (hormonal & gaya hidup) maupun psikis, dari ejakulasi dini hingga ketidakmampuan untuk mengalami ereksi sama sekali.38

36

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.89

37

Brunner&Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Jakarta, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, 1997) jilid 8. h. 1621

38

Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian diatas adalah menurut bahasa orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah Syara’ ialah orang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan isterinya.

Dalam hal ini penulis beranggapan apabila hal ini terdapat pada seorang seorang suami tentu isteri kurang menerima haknya. Selama seorang isteri tidak mempermasalahkan hal ini dan merelakan keadaan suaminya impoten tidak akan menjadi masalah, akan tetapi bagi isteri yang tidak menerima keadaan seperti yang dijelaskan diatas dia akan menuntut haknya. Seorang isteri bisa mengadukanya kepada pengadilan Agama setempat dan tidak sedikit dari isteri yang mengalami keadaan seperti ini akan berakhir pada perceraian.

F. Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh

Para ulama telah sepakat bahwa jika salah satu dari suami isteri mengetahui adanya cacat pada pihak lain sebelum akad nikah ataupun diketahuinya sesudah akad, tetapi ia telah rela atau ada tanda yang menunjukan kerelaanya, ia tidak mempunyai hak untuk meminta cerai dengan alasan cacat bagaimanapun juga39.

Tetapi hal ini bisa berbeda bila salah satu pihak mengetahui adanya cacat pada salah satu pihak, dan pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bercerai. Seperti seorang suami yang mempunyai penyakit impoten atau lemah syahwat atau

39

Mahmud Syalthut, Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Mahmud Ali Shibih, 1953), h.99

disfungsi seksual, maka bila terjadi hal itu istri dapat meminta bercerai atau khulu terdhadap suaminya.

Hal ini sejalan dengan pendapat para ulama tentang kebolehan khulu dengan alasan suami impoten atau mengalami disfungsi seksual adalah sebagai berikut:

1. Hanafiyah berpendapat bahwa suami tidak mempunyai hak Fasakh karena sesuatu cacat yang ada pada isteri. Yang memiliki hak fasakh hanyalah isteri apabila suaminya impoten, isteri tidak boleh khulu kecuali penyakit jab (terpotongnya zakar), impoten, gila, sopak, kusta.40

2. Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabillah berpendapat bahwa boleh tidaknya menuntut cerai adalah hak masing-masing seorang isteri. Ahmad bin Hanbal menambahkan penyakit yang boleh menuntut cerai adalah delapan yaitu: gila, sopak, kusta, jab (terpotongnya zakar), impoten, ar-ritq (tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan kesulitan bersenggama), al-qorn (benjolan yang tumbuh pada vagina), dan al-a’fal (daging yang tumbuh dan selalu mengeluarkan bau busuk). Sebagian mereka menambahkan lagi beberapa cacat seperti ambeien, buang air kecil terus menerus dan bau badan.

Tiga imam tersebut berhujjah dengan dalil nash untuk sebagian dan dengan qiyas untuk sebagian yang lain. Adapun nash hadits yang menerangkan bahwa nabi SAW bersabda kepada perempuan yang dilihatnya ada noda putih pada lambungnya, “bergabung kembali dengan keluargamu”. Dengan hadits ini jelas

40

sopak, kemudian diqiyaskan kepada kusta dan gila dengan alasan sama-sama menjijikan. Rasulullah SAW bersabda ”Larilah dari orang yang berpenyakit kusta”.

Hadis ini tegas-tegas memandang kusta itu salah satu untuk lari dan maksud dari lari itu adalah dengan fasakh. Mereka mengatakan, nikah dikiaskan dengan jual beli, cacat-cacat yang membolehkan fasakh pada jual beli, membolehkan juga fasakh pada nikah. Mereka mengqiaskan cacat-cacat tersebut kepada jab dan impoten, dengan alasan masing masing penyakit tersebut menghilangkan tujuan nikah bagi pihak suami isteri.

3. Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dankasih sayang. Beliau berpendapat bahwa menuntut cerai bisa dilakukan dengan alasan setiap cacat yang mebuat pasangan hidupnya tidak bertahan hidup bersamanya, baik penyakitnya parah atau tidak seperti mandul, tuli , buta, tangan atau kakinya terpotong, dan lain-lain.41

G. Impotensi Menurut Hukum Positif

Dalam hal impotensi (disfungsi seksual), di Indonesia sebagai negara hukum terdapat peraturan hukum atau Undang-undang yang menjelaskan hal itu. Hal tersebut terdapat pada peraturan yang mengatur tentang perceraian dengan karena

41

cacat badan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 124 yang menyatakan “khulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116”

Adapun hubungan dalam masalah cacat badan pada pasal 116 ialah poin e yang menyatakan “ salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri” perceraian seperti ini pun selaras dengan KHI yang menyatakan adanya kesepakatan suami dan isteri sepertiyang tertulis dalam pasal 148 ayat 4 menyatakan: “setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan Pengadilan Agama. Terhadap penerapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.

Dihubungkan pula pasal 132 KHI yang menyebutkan “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi daerah hukum penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa seizin suami”

Oleh karena itu peraturan tentang cerai gugat sangat mendukung bahwa sinergi dan selerasnya antara khulu dan cerai gugat. Sinergi disini adalah bahwa cerai gugat dan khulu sama-sama datangnya atas kehendak isteri, yang membedakan adalah akibat hukum dan tebusan oleh isteri kepada suami.

Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk melakukan perceraian.

Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi pada kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.

Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.

H.Perceraian Akibat Impoten Menurut Fiqh dan Hukum Positif 1. Perceraian Akibat Impoten (disfungsi seksual) Menurut Fiqh

Aib dalam rumah tangga haruslah ditutupi oleh semua pihak di dalam kelurga tersebut, baik itu aib yang terdapat pada pihak suami atau pada pihak istri, tetapi bila aib tersebut berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga, hal ini haruslah dapat didudukkan permasalahannya dengan bijak dan baik.

U

#

,

7

Y

Dokumen terkait