• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN

C. Analisis Penulis

Mengacu pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum

35

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga

Berencana untuk Pendidikan Bidan,(Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 14

36

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga

mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum dan medis.

Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tanda-tanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda-tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat

menerima kedewasaan dengan tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.37

Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.

Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.38

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa

37

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah,

1964), hal. 603. 38

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah,

batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.

Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu, terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun.39 Namun para ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan. Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, Abu Hanifah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun.

Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

39

Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ,Problematika Hukum Islam

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.40

Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor lainnya.

Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli.

Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi

40

20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.41

Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun.

Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self) kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku

41

Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ,Problematika Hukum Islam

secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama.

Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari perempuan mapun dari laki-laki.

Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics, menurutThe National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20.

Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34) ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah

menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari orang tua.42

Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat hamil.43

Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah

42 Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat

http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

43 Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca:

http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia 21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia 24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.44

Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip

al-hukmu yaduru ma’aillatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan

ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.

44 Usia Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan

- lebih lengkap http://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-dan-melahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

68

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada tiga poin penting yang didapat. Sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:

1. Dalam hukum Islam tidak diatur dengan jelas dan tegas berapa usia minimal perkawinan dilangsungkan. Namun secara implisit syariat Islam hanya memberi ketentuan itu apabila seseorang telah mencapai usia menikah, yang dimaksud dengan telah mencapai usia menikah adalah jika seorang anak telah mencapai batas usia kesiapan dalam akil balignya. Dalam kitab-kitab fikih klasik pun tidak memberikan batasa umur secara pasti dan konkrit yang dinyatakan dengan bilangan angka. Namun pernyataan balig sebagai indikator untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini didasarkan pada kata al-syabab yaitu pemuda yang sudah balig dan al-ba’ahyaitu kemampuan dalam berjima dan memiliki biaya perkawinan walaupun sedikit. Sementara usia baligh sendiri para ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama Syafi’iyyah dan

Hanabillah, apabila seseorang telah berusia 15 tahun maka ia telah dikatakan balig atau telah keluar mani pada waktu kapan saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, usia kedewasaan bagi laki-laki yaitu 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Adapun Imam malik bahwa kedewasaan pria dan perempuan sama

pada usia 18 tahun. Sementara dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menetapkan batas minimal usia perkawinan berusia 19 tahun untuk calon laki-laki dan perempuan 16 tahun.

2. Paradigma medis menilai tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan menunjukkan pada usia kisaran di atas 20 tahun ke atas bagi perempuan dan laki-laki 25 tahun, karena bagi medis sendiri, tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi biologis organ reproduksi dan fisiologinya. Karena umur dibawah itu rentan sekali terjadi berbagai macam penyakit organ reproduksi dan penyakit mental lainnya. Di samping itu perkawinan di usia dini di bawah umur memunculkan problema lainnya.

3. Setelah membandingkan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansinya terhadap batas usia perkawinan. Maka undang-undang perkawinan terkait pembatasan usia perkawinan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dianggap sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini. karena berdasarkan riset ilmiah medis membuktikan bahwa tingkat kerentanan penyakit reproduksi terhadap perempuan dan mental laki-laki di bawah usia 20-an. Alasan lain yang perlu diperhatikan yaitu: Pertama, memang benar anak aqil balig dengan ejakulasi (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama) bagi perempuan, tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut baru merupakan pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum

siap untuk reproduksi (hamil dan melahirkan). Kedua, dari tinjauan psikologis, anak remaja masih jauh kedewasaan (mature, matang dan mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar menjadi isteri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia remaja sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum mementingkan aspek afeksi (kasih sayang). Berdasarkan catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di Tanah Air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsipal-hukmu yaduru ma’aillatihi

yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.

B. Saran

Setelah membedah banyak implikasi terhadap perkawinan usia muda pada kesehatan perempuan dan laki-laki. Penulis merasa perlu memberikan beberapa saran penting di bawah ini:

1. Sudah selayaknya saat ini pemerintah memperhatikan kondisi perkawinan muda, di mana akibat perkawinan muda tersebut, mendapat ancaman serta kerentanan terhadap jenis penyakit reproduksi bagi kalangan di bawah umur 20 tahun. Untuk itu pemerintah seharusnya merevisi dan meninjau ulang pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI terkait batas usia perkawinan.

2. DPR seharusnya memperhatikan dengan seksama atas perkembangan tingkat kedewasaan terhadap laki-laki dan perempuan di Indonesia saat ini dalam melangsungkan perkawinan ideal. DPR sebagai aspirasi rakyat seharusnya mengkaji dan melakukan revisi terhadap batas minimal usia perkawinan di Indonesia yang saat ini di atur pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI. 3. Bagi masyarakat, sudah selayaknya memperhatikan dan tidak melangsungkan

atau mengizinkan perkawinan anaknya/saudaranya di bawah usia dini (di bawah umur 20 tahun) karena hal itu juga memicu pertumbuhan tingkat perkembangan kawin muda, karena tidak didorong oleh masyarakat itu sendiri. Seharusnya masyarakat memperhatikan perkawinan dilihat dari kedewasaan secara pskis, sosial, fisiologis, medis dan hukum Islam.

Al-‘Abd, Ibn Daqîq. Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm.

Juz. II.T.t: Sunah al-Nasyr. 1995 M/1416 H

Al-Bukhârî, Shahih. Kitâb al-Nikâh, Bâb Inkâ Al-Rajul Waladahu As-Shighâr. No. 4840 , CD. Maktabah Syamilah

Al-Amien, Romzi,Fikih Perempuan.Yagyakarta: Pustaka Ilmu. 2011

Alhamdani, H.S.A.Risalah Nikah. Pengantar Metode Penelitian Hukum.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.

Al-Jaziri. Abdul Rahman.Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr. 1985

Al-Marwazi, Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr. Ikhtilâf al-Ûlama’.

Beirut; Alim al-Kutub. 1985.

Al-Nasai, Abu Abdurrahman bin Syu’aib. Sunan al-Nasâ’i. Juz VI. Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladi. T.th Al-Rahawi. Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul. Mesir: Dar al-Sa’adah.

1315 H

Al-Siba’i, Musthafa. Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,_________. T.th

Anshari, A. Hafiz dan Yanggo Chuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 2009.

As-Syafi’i.Al-‘Ulamâ, Bâb al-Nikâh, fi Inkâh al-Shighâr wa al-Maznun._______T.th Audah, Abdul Qadir. al-Tasyrif al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I. Cairo: Dâr al-‘Urubah.

1964

Daradjat, Zakiyah.Perkawinan yang Bertanggung Jawab.Jakarta: Bulan Bintang. 1980

Dewi, Ika Sari, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja,

(Medan: USU Repository. 2006

Elizabeth B, Hurlock. Development Psychology A Life-Span Approach. New York: McGraw-Hill. 1980

Hawari, Dadang. al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1996

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2008.

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Johariyah dan Ema Wahyu Ningrum. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru lahir.Jakarta: Trans Info Media. 2012.

Joned, Ahilemah. Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang menghormati Ahamad Ibrahim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1988

Karim, Helmi, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T.

YanggodanHafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer.

Jakarta: Pustaka al- Firdaus. 1994

Kharlie, Ahmad Tholabi.Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional.

Jakarta: Komnas HAM. 2008

Koran Jakarta “Kesehataan”.Minggu 12 April 2009, hlm. 12.

Mahmood Tahir. Personal law in Islamic Countries. New Delhy: Academy of law and Religion. 1987.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran. 1996.

Muhaimin, Abdul Wahab Abd.Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional.

Jakarta: Gaung Persada (GP) Komplek Kejaksaan Agung RI Blok EI/3 Cipayung-Ciputat. 2010.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.

Mukhtar, kamal. Azas-azas Hukum Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1993. Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara. Leiden- Jakarta: INIS. 2002 Notoatmodjo, soekidjo. Metodologi Penelitian kesehatan.

Jakarta: Reneka Cipta. 2005.

Nasition, Khoiruddin.Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa. 2009

Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2010.

Purwati, Erni. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas. Jakarta: Cakrawala Ilmu. 2012. Rahardjo, Satjipto, hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda Dikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011

Puspitasari, Retno Dwi. Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. 2014

Rasyid, Sulaiman,Fiqih Islam.Jakarta: Attahiriyyah. 1955.

Ridha, Muhammad Rasyid.Tafsîr al-Manâr.Juz IV. Mesir: Al-Manar. 1325 H

Rosyadi, A. Rahmat Soeroso Dasar. Keluarga Berencana Ditintau Dari Hukum Islam.Bandung: Pustaka. 1406 H/1986.

S, Sulistiawati.Perempuan dan Hukum; menuju hukum yang berperspktif Kesetaraan dan Keadilan.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.

Dokumen terkait