• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansi dengan batas usia perkawinan (studi komparasi hukum islam dengan pandangan medis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansi dengan batas usia perkawinan (studi komparasi hukum islam dengan pandangan medis)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DiajukanKepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaSyari’ah(S.Sy)

Oleh: UDI WAHYUDI NIM: 108044100045

KO NSENT R ASI PE RA DIL AN A GAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehatwal’afiyatsehangga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam jaga tercurah kepada jungjungan Nabi besar kita Nabi

Muhammad SAW, beserta keluarga, parasa habat, pengikut beliau seluruh umat

manusia yang setia kepadanya hingga akhir zaman.

Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam

menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak

sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan

baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya

sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan.

Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

3. Dr. JM. Muslimin, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

4. Kamarudiyana, Ma selaku Kepala Jurusan Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

5. Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

(6)

vi menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mufri Husni dan

Ibunda Hj. Tilawati yang telah memberikan banyak hal yang berarti dalam

kehidupan penulis. Cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril

maupun materil yang semua itu tak akan bisa tergantikan dengan apapun.

8. Kepada saudara-saudariku yaitu Mamang H. Nahdatul Muamar S.Thi, Teh Hj

Dwi Retno Sulanjani, Kang Yuli, Kang Sumar, Teh Ida, Teh Iis dan kedua

Adikku, Ali Rohman dan Ika Sohifatul Janah, semuanya telah memberikan

kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil yang berlimpah. Sehingga

penulis senantiasa termotivasi dan tidak kenal menyerah dalam mencapai

cita-cita.

9. Terkhusus untuk Kakek yaitu Alm. H Syahruddin dan Neneku tercinta Hj.

Sunenah, yang selalu turut memotivasi dan memperhatikan perkembangan

penulis sejak memasuki pondok pesantren hingga perguruan tinggi.

10. Teman-teman seperjuangan Kelas Peradilan Agama B Tahun 2008 UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman satu kostan, yang telah memberikan

dukungan dan semangat. Dan seluruh pihak yang telah membantu dan tidak

dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak kepada teman-temanku

(7)

vii 11. Tri Utami yang selalu memotivasi penulis.

Akhir kata, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya

kepada bantuan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya

satu-persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

umumnya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

13 Rabiul Awal 1436 H Ciputat,

13 Februari, 2015

(8)

viii

Pandangan Medis)

.

Perkawinan pada usia muda atau remaja adalah masalah sosial budaya yang mengandung aspek medis, bagi seorang muda yang telah kawin secara sah maka dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang belum nikah. Namun tidak berarti ia bebas dari masalah. Secara medis dan mental ia belum matang benar, itulah sebabnya perkawinan usia muda dikatakan memiliki dampak medis. Isu-isu yang sering kali muncul dipermukaan dan sering kali berlindung pada konsep agama adalah tentang perempuan, khususnya mengenai kesehatan reproduksi itu sendiri.

Tingkat kedewasaan dalam perkawian antara laki-laki dan perempuan menjadi problem tersendiri dalam agama Islam, karena para fuqaha tidak banyak membahas batas usia minimal perkawinan, bisa jadi karena Nabi pun melakukan praktik nikah dini dengan Siti Aisyah. Maka dari sinilah penulis ingin meneliti tingkat kedewasaan perkawinan dilihat dari aspek fikih dan medis.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).

Kata kunci: Perkawinan Usia Muda, hukum Islam, medis

(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSYAH... iii

HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAKSI... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Review Terdahulu ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II USIA PERKAWINAN DI INDONESIA... 19

A. Pengertian Usia Perkawinan... 19

B. Batas Usia perkawinan di Indonesia... 20

(10)

x

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis... 29

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa... 31

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan ... 36

BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN... 40

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan... 40

B. Pandangan Medis Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan ... 51

C. Analisis Penulis ... 59

BAB V PENUTUP... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran ... 70

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam peroses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya

membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan

apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu

keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Hal ini dimaksud, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung

seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang

bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan

sebuah perkawinan seorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

sosial, biologis, maupun secara psikilogis. Seseorang dengan melangsungkan

sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa

terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan

hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah

lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

Menurut Islam, perkawinan merupakan suatu perjanjian suci yang kuat

dan kokoh untuk hidup bersama yang bahagia ,aman, tenteram dan saling

mengasihi. Perkawinan merupakan fitrah manusia yang harus terjadi pada

1

(12)

kehidupan sebagai sarana untuk melimpahkan rasa cinta dan kasih yang telah

dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.

Disyari’atkannya perkawinan dalam Islam itu dapat ditinjau dari tiga sudut.2Pertama, ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan suatu

perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara

sah dalam waktu yang tidak tertentu. Kedua ditinjau dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai lembaga suci dimana suami-istri dapat hidup

tenteram, saling mencintai dan mengasihi serta bertujuan untuk mengembangkan

keturunan. Ketiga, ditinjau dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang yang telah

kawin (berkeluarga) telah memenuhi syarat dari kehendak masyarakat serta

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari pada mereka

yang belum menikah.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak

memandang pada profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa

atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan

baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukan lah bersifat

sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayang tidak semua orang memahami

hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan

kebahagian yang sejati dalam berumah-tangga.

2

(13)

Untuk menemukan kebahagian di atas pula, penting melihat batas umur

perkawinan, hal ini menjadi syarat tersendiri. Batas usia perkawinan dikatakan

sangat penting karena seringkali keberhasilan sebuah perkawinan ditentukan oleh

kematangan dalam menyelesaikan sebuah masalah, hal tersebut bisa dilihat dari

segi usia calon pengantin, baik usia peria maupun wanita.

Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat

biologis, melainkan juga kematangan pisikologis dan sosial. batas minimal usia

nikah bagi laiki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus

SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai resiko,

baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda,

dan resiko pisikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi

reproduksi dengan baik.3 Oleh sebab itu kehidupan keluarga menuntut adanya

peran dan tanggung jawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.4

Dalam menilai hal tersebut di atas, terdapat pula komentar para ulama

klasik mengenai prasyarat yang dapat menikah atau yang biasa disebut dengan

kualifikasi dewasa (baligh/ahliyah). Kualifikasi ini masuk dalam kriteria syarat

serta rukun nikah, dimana dari syarat dan rukun nikah harus terpenuhi agar tidak

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut as-Syafi’i bahwa salah satu dari syarat syahnya nikah adalah adanya wali, tanpa kehadiran wali pernikahan

3

Prof. dr Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan

Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan,(Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996), hal. 26

4

Sulostiawati S, Perempuan dan Hukum, (Menuju Hukum yang Berperspektif

(14)

tersebut adalah batal, sedangkan Abu Hanifah, wanita yang sudah dewasa dan

berakal sehat berhak mengurus sendiri akad perkawinannya, baik gadis atau

janda.5

Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perkawinan gadis di bawah

umur, As-Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan yang belum dewasa tidak

boleh menikah hingga ia cukup dewasa dengan seizin walinya, agar anak

perempuan nanti tidak terjatuh pada hal-hal yang kurang baik seperti kurang

tanggung jawabnya suami kepada istri. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa

hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi anak perempuan tersebut setelah baligh

diberi hak khiar.6

Dalam syariat Islam sendiri, batas umur untuk melakukan perkawinan

tidak ditetapkan secara jelas dan tegas, tidak memberi batasan secara definitif

(pasti) mengenai usia perkawinan seseorang, Al-Qur’an dan Hadis hanya

menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda saja. Umat Islam diberi kebebasan

untuk menetapkan batas-batas umur, sehingga batasan perkawinan dikembalikan

pada individu tanpa melanggar syarat yang telah ditentukan, serta disesuaikan

pula dengan kondisi sosial dimana hukum itu akan diundangkan.7Dalam hal usia,

5

Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 241 6

Sayyidd Sabiq,Fikih al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 224 7

(15)

seperti dikutip Rahmad Rosyadi,8 bahwa Allah SWT tidak menentukan kapan

usia yang baik atau usia yang ideal bagi seorang wanita untuk langsungkan

perkawinan, karena yang demikian bukanlah menjadi urusan Allah, akan tetapi

sebagai urusan manusia dalam menyelesaikan problematika hidupnya.

Oleh sebab itu mengenai urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada

manusia karena dianggap bahwa manusia lebih tahu dan lebih mengetahui dalam

ranah ijtihadi. Sejalan dengan hal tersebut, tidak menjadikan salah atau berdosa

apabila manusia memberikan batasan suatu usia tertentu atau usia yang tepat

untuk melakukan perkawinan, karena menurut penulis merupakan ranah ijtihadi

seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi.

Perbedaan pendapat tentang batas usia pernikahan seseorang dapat

memberikan kejelasan pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional

yang umumnya terjadi pada masyarakat agraris, sebagaimana terbatasnya jenis

pendidikan formal yang hanya berkisar antara sekolah dasar sampai sekolah

lanjutan tingkat pertama, kemudian dialihkan menjadi tenaga kerja untuk

membantu kehidupan keluarganya, sehingga dengan berakhirnya masa belajar dan

kemudian terjun kelapangan pekerjaan, maka orang tersebut telah dianggap

dewasa untuk melakukan pernikahan dalam usia muda.

Fenomena ini menarik untuk dikaji, dengan adanya dua konsep yang

berbeda mengenai batas minimal usia perkawinan yang memunculkan pemikiran

8

(16)

untuk meneliti serta membahasnya dalam sebuah karya ilmiah, mengingat bahwa

dalam realita pendapat dari para Ahli Fiqih dan UU No.1 Tahun 1974 atau KHI

sama-sama kuat dan mendasar.

Secara jelas KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga

dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun

1974 yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam

pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.9

Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa baik Al-Qur’an dan as -Sunnah secara eksplisit tidak mengatur mengenai batas usia minimal dalam

perkawinan. Umat islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan

adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah. 10 Dilihat dari segi

literatur, akil baligh juga dikenal sebagai batas kematangan seksual, namun antara

perempuan dan laki-laki terdapat ciri-ciri yang berbeda. 11 Namun juga

kematangan usia perempuan dan laki-laki berpengaruh pada tingkat kesehatan

seksualitas.

9

Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

10

Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 6 11

(17)

Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW sendiri baru menikah usia 25 tahun,

dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani rasul. Penetapan

batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada substansinya

mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Baik

pandangan normatif fiqih serta peraturan hukum positif Indonesia terdapat

perbedaan pula, hal ini mengindikasikan bahwa baik fiqih serta peraturan

perundang-undangan di Indonesia seharusnya tidak mencendrai landasan

sosiologis, karena ia tidak sejalan dengan semangat zaman.bahkan hal ini akan

berdampak pada ketidak adilan setra pendiskriminasian. Sejalan dengan apa yang

diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 bahwa secara eksplisit mengatakan

“Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengandung tiga landasan yaitu, landasan normatif, landasan filosofis, serta landasan sosiologis.12

Artinya bahwa undang-undang telah memberikan legitimasi sosiologis atau bisa

dikatakan dalam hukum Islam “Hukum harus melihat zaman serta kondisi setempat (taghayyur al-ahkm bi taghayyur al-azminah wal amkinh wal ahwl).

Oleh sebab itu, batas minimal umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16

tahun sangat rentan terjadi pada kesehatan reproduksi bagi perempuan, hal itu

12

(18)

senada dengan pendapat ahli medis yang mengatakan bahwa kurun waktu

reproduksi sehat yaitu mencapai umur 20-30 tahun. Di bawah umur itu sangat

potensi mengalami kesehatan reproduksi, seperti resiko keguguran, persalinan

prematur, kelainan bayi (berat bayi tidak normal/bayi cacat), anemia kehamilan

serta kematian seorang ibu (perempuan) akibat keguguran.13

Dengan batasan minimal usia perkawinan pada pria berumur 19 tahun dan

perempuan 16 tahun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlihat

tidak relevan lagi dari segi medis. Untuk itu, perlu kiranya penelaahan yang

mendalam permasalahan ini melalui penelitian penulis dalam bentuk skripsi yang

berjudul “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum

Islam Dengan Pandangan Medis”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah pandangan fikih dalam menilai batas

usia perkawinan serta pandangan hukum positif Indonesia mengenai peraturan

batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Instruksi Persiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Dalam pasal 7 UU No. 1 1974 yakni calon suami

sekurang-13

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga

(19)

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun. (2). Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

UU No. 1 Tahun 1974, begitu pula pasal 15 dalam KHI.

Perbedaan ini jelas terlihat antara calon suami (laki-laki) yang secara

umur lebih tua tiga tahun dari pada perempuan yang lebih muda. Namun jika

dilihat dari segi medis, usia perempuan ketika menikah di bawah umur 20 tahun

sangat lah berpotensi negatif pada kesehatan reproduksi perempuan seperti yang

dijelaskan di atas.

2. Perumusan Masalah

Dari beberapa persoalan yang ada, menurut penulis perlunya penelusuran

lanjutan, karena persoalan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan

terlihat berbeda antara pandangan hukum Islam dengan pandangan medis dalam

hal ini mengenai batas usia perkawinan antara kedua belah pihak. Dari pokok

persoalan yang ada, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia

perkawinan laki-laki dan perempuan?

2. Bagaimanakah pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan

laki-laki dan perempuan?

3. Bagaimanakah komparasi pandangan hukum Islam dan medis menilai

(20)

C. Tujuan Penelitian

Secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Mengetahui pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia

perkawinan laki-laki dan perempuan

2. Mengetahui pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan

laki-laki dan perempuan

3. Memahami perbandingan hukum Islam dan medis menilai batas usia

perkawinan antara laki-laki dan perempuan

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum Islam terlebih

mengetahui pandangan psikologis dalam menilai batas usia perkawinan, agar

terciptanya singkronisasi landasan normatif, filosofis serta berdimensi sosiologis.

Disamping itu meningkatkan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka

mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya hukum Islam dan

diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk

mendalami criteria dewasa dalam perkawinan.

2. Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi ulama, akademisi, legal drafter, hakim, mahasiswa, santri dan khususnya para penggiat kajian keilmuan hukum Islam,

(21)

sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang

berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat

(relevan).

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pertama, penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14 Penelitian

Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah

yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.15 Jenis

penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini

adalah menganalisis batas usia perkawinan dalam pasal 7 UU N0. 1 Tahun 1974

yahkni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan KHI pasal 15.

Kemudian kedua, menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa,

mengkaji, serta merumuskan formulasi buku-buku serta literature yang berkaitan

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjawan

Singkat(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 85

15

(22)

dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pandangan keilmuan medis

menetapkan kedewasaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian

hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan ini menurut penulis dengan mendekati

substansi pasal (statute approach) dalam UU No. 1/1974 pasal 7 dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 15 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan.

Fokus ini juga sekaligus menjadi tema sentral suatu penelitian16penulis, dalam

hal ini batas usia perkawinan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan medis yang

mempunyai fokus terhadap pendekatan tingkat kedewasaan seseorang secara fisik

dan lain-lain.

Dan terakhir adalah pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu untuk mengetahui perbandingan makna yang dikandung dalam hukum Islam baik

fikih ataupun hukum positif di Indonesia dalam hal ini UUNo.1/1974, Inpres

No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pandangan medis.

16

(23)

3. Sumber bahan hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17yaitu

pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI) pasal

15.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum perimer18seperti fiqih , jurnal hukum islam,

hasil-hasil penelitian, buku-buku hukum islam mengenai skripsi ini, tesis dan

disertasi, serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pembahasan ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus hukum islam, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Baik bahan hukum perimer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan

berdasarkan topik pembahasan yang telah dirumuskan berdasarkan menurut

sumber, asas-asas hukum islam, metodologi atau formulasi mendapatkan hukum

yang dikaji secara komprehensif, dengan menyesuaikan pada masalah yang

dibahas.

17

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada,2008), hal. 31; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjawan Singkat,(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 13

18

(24)

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan

agar dapat menjawab serta disajikan sesuai penulisan yang lebih sistematis guna

menjawab pembahasan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan

hukum yang dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari

suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang

dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui batas

usia perkawinan yang didekati dalam paradigma medis.

6. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, merujuk pada buku panduan

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2013.

F. Review Terdahulu

Ada beberapa pembahasan yang hampir mirip dengan judul skripsi

penulis yaitu terkait masalah batas usia perkawinan atau mengenai tingkat

kedewasaan seseorang. Beberapa skripsi yang membahas mengenai hal ini, yaitu:

Yang pertama, Hidayatunisa,Penetapan Batas Minimal Usia Nikah Serta

Relevansinya Dengan Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus Warga

kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan, (Jurusan Peradilan Agama UIN Syarif

(25)

keluarga sakinah tidak serta merta didapat begitu saja, namun diperlukan

persiapan,pengorbanan dan perjuangan. Salah satu untuk mencapai keluarga

sakinah adalah kematangan lahir dan kesiapan batin, kematangan lahir dapat

dilihat dari kematangan fisik yang berupa kematangan biologis serta kesiapan

batin. Artinya adalah bahwa untuk mencapai sebuah rumah tangga yng skinah

diperlukan dua kematangan fisik dan batin. Adapun objek dalam skripsi ini adalah

warga cipete selatan yang menikah dalam usia 21 tahun kebawah selama tahun

2009, dimana warga cipete selatan banyak yang menikah di bawa rata-rata umur

21 tahun yang berimplikasi pada tingkat percerain atau ketidah harmonisan dalam

rumah tangga.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

deskripsi research yang bermaksud untuk mengeksplorasi sebuah fenomena

dalam ruang lingkup masyarakat cipete selatan. Sedangkan pendekatan adalah

menggunakan kuisoner, interview (wawancara), observasi dan dokumentasi.

Yang kedua, Muhamad Syarif Hidayatullah, Batas Usia Dewasa Untuk

Menikah menurut UU no. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Hukum Islam, (Jurusan

Perbandingan Mazhab dan fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009).

Pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai UU No. 1 tahun 1974 merupakan

pedoman umat islam di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintahan Indonesia.

Ada yang khas dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu terkain mengenai batas usia

perkawinan, yang mana dalam pasal 7 ayat (1) dal UU No. 1 tahun 1974 bahwa

(26)

dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, jika ditelusuri lebih lanjut

mengenai batas usia perkawinan, para ulama klasik tidak menentukan batas usia

perkawianan antara laki-laki maupun perempuan. Dari situ terdapat perbedaan

tajam antara hukum positif Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dengan fiqih klasik yang tidak menentukan hal itu, yang terpenting

dalam fiqih adalah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun jenis penelitian yang

diguakan dalam skripsi ini yaitu penelitian kualitatif, sedangkan teknik

pengumpulan datanya adalah mempergunakanlibrary research.

Yang ketiga, Haris Santoso,Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan

Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab . (Jurusan peradialan agama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi

ini yaitu tentang batas usia perkawinan tidak ditetapkan oleh islam itu sendiri,

oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat

untuk menyelesaikan masalah tersebut, tergantung setuasi,kondisi, kepentingan

peribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan

jaelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama

dalam agama. Permasalahannya adalah ulama berbeda pandangan mengenai batas

kadar dewasa dalam menentukan bahwa dia bisa melakukan perkawinan. Oleh

sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mazhab.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode induktif

(27)

yaitu dengan menggunakan antara hukum islam dan hukum positifsebagai bahan

acuan penelusuran skripsi ini.

Adapun perbedaan dari ketiga skripsi di atas yaitu membahasan mengenai

batas usia perkawinan baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam.

Sedangkan perbedaannya adalah pandangan medis melihat batas usia perkawinan

antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan metodelogi yang

digunakanan penulis berbeda dengan ketiga skripsi di atas, yang mana penulis

menggunakan metodelogi penelitian library research (kepustakaan) dan

normative research(riset aturan hukum).

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang

lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak

masing-masing bab serta pokok pembahasannaya adalah sebagai berikut.

Bab pertama seperti biasanya diawali dengan pembahasan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,

review terdahulu dan terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang usia perkawinan dalam Islam. Pada bab

(28)

usia perkawinan di Indonesia, usia perkawinan di dunia dan data usia perkawinan

muda di Indonesia.

Bab ketiga menjelaskan tentang tingkat kedewasaan tentang paradigma medis. Pada bab ini penulis tuangkan tiga pembahasan yaitu pengertian dewasa

menurut medis, fase perkembangan masa dewasa, dan terakhir perbedaan

perkembangan laki-laki dan perempuan.

Bab keempat pembahasan mengenai analisis tingkat kedewasaan antara

laki-laki dan perempuan relevansinya dengan batas usia perkawinan. Pada bab ini

penulis hadirkan tiga pembahsan yaitu pertama Pandangan Hukum Islam

Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, Pandangan Medis

Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, dan terakhir analisis

penulis terkait perbandingan hukum Islam dan pandangan medis menilai batas

usia perkawinan pada Laki-laki Dan Perempuan.

Bab kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan

(29)

19

A. Pengertian Usia Perkawinan

Sebelum menjelaskan definisi usia perkawinan, penting kiranya dibedah

satu persatu. Seperti yang kita ketahui istilah usia perkawinan ditemukan

pembahasannya dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Namun bukan dengan kata usia, tetapi memakai kata umur.1Untuk memperjelas

hal itu, istilah usia perkawinan merupakan gabungan dua suku kata, dari kata

“usia” dan “perkawinan’. Di mana pengertian usia sendiri dimaknai dengan umur

atau satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu makhluk atau benda, baik

yang hidup maupun yang mati, dengan perhitungan tahun tarik masehi maupun

lainnya. Misalnya, usia manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak

dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.2

Adapun pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 undang-undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir-bathin antara seorang

peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk

1

Lihat pembahasan usia atau umur perkawinan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (2) Instruksi Presiden Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

2 Usia

(30)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.3

Setelah menjelaskan dua kata dari usia dan perkawinan maka dapat

dsimpulkan bahwa pengertian usia perkawinan sendiri yaitu sebuah masa

kesiapan kedua calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam

melangsungkan sebuah perkawinan dengan batasan sebuah umur.

B. Batas Minimal Usia Perkawinan di Indonesia

Ketentuan peraturan dalam pembatasan usia perkawinan sebagaimana di

atur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak–sebagai

instrumen HAM — walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia

minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia

di bawah 18 tahun5 dan pasal 26 (1) huruf (c) UU Perlindungan Anak 2002

menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

(c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak6, Pasal 7

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun.

Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah 19

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang disebutkan

3

(31)

dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya dapat

diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Disamping itu, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat izin dari kedua orang tua atau pengadailan, sebagai mana yang

diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan (5) UU No.1 tahun 1974. Adapu isi ayat (2):

“Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedang isi ayat (5) adalah:

Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),

(3), dan (4) (orang tua dan wali, pernikahan.), atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagadilan dalam deerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawianan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

Dengan demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orang tua,

pengadialn dapat memberikan izin.4 Isi pasal 7 ayat (1), tentang umur minimal

boleh kawin, diulang pada pasal 15 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam, yang

bunyinya:

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam

4

(32)

pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya 16 tahun.

Demikian isi pasal 6 ayat (2) UU No.1Tahun 1974 diulang pada pasal 15

ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6

ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan

kemungkinan melangsungkan perkawianan dengan syarat dispensasi dari

pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1

Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangna ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak peria maupun pihak wanita”.

C. Usia Perkawinan di Dunia

Jika dilihat dari beberapa batasan usia perkawinan di dunia, di bawah ini

Negara-negara yang menerapkan batasan usia perkawinan. Menurut catatan Joned,

seperti contohnya di Malaysia, sebelum munculnya undang-undang baru di bidang

perkawinan Malaysia, di beberapa daerah Malaysia hanya Johor yang membuat

ketentuan tentang umur minimum boleh kawin.5 Sebaliknya, setelah adanya

5

Menurut Undang-Undang Perkawinan Johor, Umur Minimum Bagi Wanita 16 tahun dan 18 untuk Pria. Lihat Ahilemah Joned,Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang

menghormati Ahamad Ibrahim, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian

(33)

pembaharuan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya barang kali karena

dianggap bertentangan dengan syari’ah. Sedang bagi wilayah persekutuan,

Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor dan Pulau Pinang, mengatur

minimum 18 untuk pria dan 16 untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan

kanak-kanak cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan bukan

karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan dan peluang

kerja.6

Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tetang ketentuan umur minimal boleh

kawin, misalnya dalam undang-undang keluarga islam negeri pulau pinang 1985,

pasal 8 disebutkan:

Tiada sesuatu perkawinan boleh diakad nikahkan atau didaftarkan di bawah

enakmen ini jika lelaki itu berumur kurang dari pada lapan belas tahun dan

perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakim

syari’ah telah memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.

Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU persekutuan disebut

“Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri Sembilan, UU

Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan. Demikian juga UU Serawak

6

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

(34)

menggunakan istilah “ Ordinan”. Maka bunyinya menjadi “ di bawah akta ini” dan

“di bawah Ordinan ini” sebagai ganti “ dibawah Enakmen ini”.7

Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang ditentukan

boleh kawin dengan catatan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Seperti

disebutkan pada pasal 8 ayat (1) UU Negeri Sembilan:

Dalam mana-mana kes berikut, yaitu (a) jika salah satu pihak kepada

perkawinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang di nyatakan dalam

seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang janda yang tersabit oleh

seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan tidak mempunyai wali dari pada

nasab mengikut Hukum Syara’, maka pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak

dibawah seksyen 17, merujuk permohonan itu kepada hakim Syari’ah yang

mempunyai bidang kuasa di tempat perempuan itu bermustautin.Pada ayat (2)

disebutkan:

Hakim Syari’ah, apabila berpuasa hati tentang kebenaran perkara-perkara

yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkawinan yang

dicadangkan itu dan bahwa kes itu adalah kes yang mewajarkan pemberian

kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8 atau kebenaran bagi maksud-maksud

seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap perkhawinan itu diakadnikahkan oleh

wali Raja bagi maksud-maksud seksyen (13) (b), mengikut mana yang berkenaan,

hendaklah pada bila-bila masa selepas permohonan itu dirujukan kepadanya dan

7

(35)

setelah dibayar fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya

untuk perkawinan dalam boring yang ditetapkan.8

Berdasarkan ayat 1 point b, dapat disimpulkan ada kemungkinan mendapat

izin untuk kawin bagi mereka yang belum mencapai umur minimal boleh kawin,

dengan catatan pengadilan mempertimbangkan cukup alasan untuk memberikan

alasan untuk memberikan izin, seperti tersebut pada ayat 2. Undang-undang Brunei

Darussalam tidak mengatur tentang umur minimal boleh kawin.9

Tidak berbeda jauh dengan pembahasan di atas, perundang-undangan

keluarga muslim di luar Asia tenggara kaitannya dengan umur perkawinan ada

beberapa catatan penting. Pertama, ada aturan umur minimal boleh melakukan

perkawinan. Artinya kalau umur minimal belum tercapai, secara prinsip calon tidak

boleh melakukan perkawinan. Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara

mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun aturan Negara-negara muslim yang

kaitan dengan umur minimal boleh melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan

dapat dilihat sebagai berikut:10

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

9

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

10

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

(36)

Yordania

tahun). Kedua, dua Negara yang menetapkan umur 21 tahun ini baru berlaku bagi

laki-laki, sementara menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker

mulut Rahim adalah usia di atas 20 tahun.

Adapun sikap Negara-negara muslim bagi pelaku perkawinan sebelum

mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini) adalah

bervariasi, yang dapat digambarkan berikut:11

1. India dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar.

2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan

tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak

dicatatkan, misalnya status hukuman yang dilahirkan.

11

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

(37)

3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan

izin pengadilan (hanya dengan izin pengadilan).

Kaitannya dengan Negara yang mengatur jarak umur minimal antara

calon, bahwa ada minimal dua Negara yang mencantumkan, yakni Syria dan

Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan

antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan

melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan ijin pengadilan tanpa

paksaan dan/atau tekanan.

D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia

Data Susenas Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada beberapa

provinsi yang usia kawin pertamanya dibawah 20 tahun, yaitu Propinsi Jambi

19.26 tahun, Lampung 19.38 tahun, Banten 19.40 tahun, Jawa Tengah 19.43

tahun, Kalimantan Tengah 19.43 tahun, Bengkulu 19.48 tahun, Nusa Tenggara

Barat 19.69 tahun, Sulawesi Utara 19.71 tahun, Sumatra Selatan 19.80 tahun,

Sulawesi Barat 19.84 tahun, Sulawesi Tengah 19.96 tahun. Untuk daerah

perdesaan ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya relative masih

sangat rendah yaitu Propinsi Banten 17.53 tahun, Jawa Barat 17.54 tahun, jawa

(38)

Tengah 18.76. Berdasarkan Riskerdas 2010, menunjukan bahwa prevalensi umur

perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebesar 41,9 persen.12

Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki

resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang

perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun

anak. Hal ini terjadi karena belum matangnya rahim seorang perempuan usia

muda untuk memproduksi anak dan belum siapnya mental dalam berumah

tangga. Untuk itu pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya

untuk memperkecil risiko yang terjadi terkait dengan kesehatan ibu maupun

anaknya.

12

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda

(39)

29

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis

Kata dewasa berasal dari kata latinadolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilahadolensencemempunyai arti yang lebih luas lagi

yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik, Dalam kata lain

dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi

dewasa dengan rentan usia antara 12-22 tahun, di mana pada masa tersebut

terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik maupun pisikologis.1

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi

lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah

menjadi pria atau wanita dewasa. Pengertian dewasa sendiri sering diidentikan

pada sebuah tahapan. Seperti masa dewasan merupakan salah satu tahapan

perkembangan manusia. Pada masa dewasa ini individu dianggap telah siap

menghadapi suatu perkawinan, namun perkawinan bukanlah suatu hal yang

mudah karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk

tahapan kehidupan baru sebagai manusia dewasa.2

1

Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 45

2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda

(40)

Makna dewasa sendiri bisa didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah

akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas atau sudah menikah, menurut

Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu bahwa usia

19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu

kematangan dan tanggung jawab.3

Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif.

Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki

karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika

berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara

legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab

yang mencerminkan karakter dewasa.

Kata "dewasa" kadang juga berarti "tidak dianggap cocok untuk

anak-anak", terutama sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku seksual,

seperti hiburan dewasa,video dewasa, majalah dewasa, serta toko buku dewasa.

Tetapi, pendidikan orang dewasa hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa,

dan bukan spesifik pendidikan seks.

Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula

pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir

pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi

dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa

3

(41)

pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai

keluarga, dan mengasuh anak anak.4

Adapun pengertian dewasa di sini yang dimaksud penulis adalah sebuah

masa dewasa awal di mulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun,

saat perbubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai tingkat

kemampuan reproduksinya ketika melangsungkan sebuah perkawinan.5Adapun

istilah medis sendiri diartikan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dalam

tataran keilmuan ilmiah medis. Jadi dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam

pengertian medis sendiri di sini yaitu sebuah masa dewasanya laki-laki maupun

perempuan untuk melangsungkan sebuah perkawinan dengan kesiapan

organ-organ kedewasaan secara biologis maupun medis.

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa

Setiap tahap perkembangan memiliki karaktersitik tersendri. Seperti

halnya tahap perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan berbagai macam

dan ciri khas tersendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut Dariyo,

bahwa secara fisik, seorang dewasa awal/muda menampilkan profil yang

sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek fisiologis

telah mencapai puncaknya. Mereka memiliki daya taha dan taraf kesehatan yang

4Dewasa

, diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB , lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa

5

Kesimpulan ini diambil dari Skripsi Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita

(42)

prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatf, kreatif,

energik, cepat dan proaktif. Sementara bagi Havihurts menjelaskan beberapa

perkembangan pada dewasan awal diantaranya mulai berkerja, memilih

pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan memulai membina keluarga.6

Sebelum melangkah lebih jauh dari karakteristik tingkat dewasa itu

sendiri, masa dewasa sendiri memiliki tahapan yang khas dari segi fisiologis dan

medisnya. Seperti biasanya, masa dewasa awal atau yang biasa disebut dengan

masa pubertas, pasti akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan yang

utama (primer) terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut memungkinkan

seorang laki-laki dan perempuan pada masa puber dapat menghasilkan bayi.

Perubahan utama diiringi perubahan sekunder atau perubahan fisik yang

ciri-cirinya tampak pada manusia.

1. Perkembangan Fisik Laki-Laki pada Masa Pubertas.

Seorang laki-laki telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya

terjadi perubahan, antara lain sebagai berikut:

a) Jakun mulai tumbuh

b) Dada tampak lebih berbidang

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan

d) Suara menjadi lebih berat dan besar

e) Mulai mengalami mimpi basah

6

(43)

f) Pembuangan minyak lambat, mulai tumbuh jerawat

g) Hormon seks makin matang menghasilkan organ seks laki-laki

h) Bahunya melebar dan otot-otot berisi

2. Perkembangan Fisik Perempuan pada Masa Pubertas

Seorang perempuan telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya

telah ada perubahan sebagai berikut:

a) Payudara mulai tumbuh besar

b) Pinggul mulai melebar

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan

d) Datangnya haid atau menstruasi setiap bulan

e) Bentuk tubuh membulat

f) Pertumbuhan tinggi badan berhenti

g) Usia 13 tahun rata-rata gadis mengalami haid pertama7

Selain ciri khas di atas, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi

dewasa mengalami tahap pubertas. Pada masa ini, baik laki-laki maupun

perempuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Badan akan bertambah

tinggi, bertambah gemuk, dan organ kelaminnya sudah mampu menghasilkan sel

kelamin yang matang.

7

(44)

Pada laki-laki ditandai dengan kemampuan testis (buah zakar) untuk

menghasilkan sperma. Pada perempuan ditandai dengan kemampuan ovarium

(indung telur) menghasilkan sel telur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah

mampu bereproduksi. Pada masa dewasa, badan seseorang tidak mengalami

pertumbuhan tinggi lagi, tetapi hanya bertambah berat. Masa dewasa ini akan

berakhir pada berkurangmya kemampuan fisiknya, seperti rambut terlihat

memutih. Gigi mulai tanggal dan tidak tumbuh kembali. Kulit mulai keriput.

Penglihatan mulai kabur karena daya akomodasi lensa mata berkurang dan

pendengaran pun juga berkurang. Pada perempuan, ovarium sudah tidak dapat

menghasilkan sel telur lagi sehingga tidak terjadi menstruasi lagi. Masa ini

disebut menopause. Tetapi, pada laki-laki proses pembentukan sperma masih

terjadi, meskipun telah menurun.8

Jika melihat Periode Perkembangan Masa Dewasa itu sendiri, menurut E.

Hurlock terbagi dalam 3 periode masa dewasa, yaitu:

1) Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun–40 tahun).

Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia

tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in

population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).

Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan

akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum

8

(45)

maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap

menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll. Tugas-tugas perkembangan

(development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki

dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup

berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga,

memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok

sosial yang menyenangkan.

2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40–60 tahun).

Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan

mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik,

asam urat, dll). Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan

ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu

anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan

pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan

peran-perannya sebagai orang dewasa.

3) Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60– Mati).

Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran,

penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial). Tugas-tugas

perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan

ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik

(46)

hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan

dengan anggota keluarga.9

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan

Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara

pria dan wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis,

dan pola-pola pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan

wanita memiliki perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang memengaruhi

variasi ciri-ciri biologis, seperti kesuburan.10

Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibanding wanita, tapi

wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan

pria, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak

laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dibandingkan wanita.

Selain itu, secara neurologis, anak perempuan lebih matang dibandingkan anak

laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih

cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria.

Menurut Sigmund Freud, “Anatomi adalah takdir”. Apakah perbedaan

fisik pria dan wanita merupakan bukti bahwa perbedaan gender disertai juga

perbedaan psikologis? Pria dan wanita memang terlihat berbeda dan memiliki

9

Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 65

10

(47)

organ serta hormon seks yang berbeda. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pria

dan wanita juga berbeda dalam cara masing-masing berpikir, bertindak, dan

merasakan sesuatu. Semua itu karena alasan biologis.

Ada beberapa area di mana kita dapat menemukan perbedaan gender yang

reliabel berkaitan dengan kemampuan psikologis, khususnya dalam area yang

menyangkut kemampuan berpikir, persepsi, dan memori. Pada umumnya, pria

(sejak kecil hingga dewasa) memperlihatkan kemampuan spasial yang lebih baik,

sedangkan wanita (sejak kecil hingga dewasa) menunjukkan kemampuan verbal

yang lebih maju. Pria cenderung lebih berani mengambil tanggung jawab dalam

kelompok, sedangkan wanita lebih menaruh perhatian dan terlibat dalam

pengasuhan anak.

Masa pertumbuhan manusia ada batasnya. Secara normal, pada laki-laki

pertumbuhan terhenti pada usia sekitar 22 tahun, sedangkan pada perempuan di

usia sekitar 18 tahun. Pada kebanyakan remaja, perkembangan tubuh lebih cepat

dialami pada waktu mereka berusia 12 tahun–18 tahun. Untuk remaja

perempuan, pertumbuhan cepat itu biasanya terjadi pada usia 12 tahun,

sedangkan untuk remaja lakilaki pada usia 14 tahun. Setelah usia 14 tahun,

remaja laki-laki biasanya mengejar ketinggalan tinggi dan beratnya itu dan

melampaui tinggi serta berat remaja perempuan.11

11

(48)

Adapun perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki,

seperti dalam pertumbuhan bayi dan remaja, anak-anak tumbuh dengan tinggi

dan berat badan di tingkat yang sama-sama lambat tapi stabil. Tidak ada

perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin hingga akhir sekolah dasar.

Memang kebanyakan anak perempuan tumbuh tinggi lebih cepat, tapi biasanya

anak laki-laki dapat mengejar dan melebihi dalam beberapa tahun. Perempuan

biasanya tumbuh tinggi 3 inci per tahun atau sedikit lebih. Sedangkan anak

laki-laki tumbuh 3-4 inci per tahun.

Perbedaan pada masa pubertas atau memasuki dewasa awal, beberapa

gadis mulai menunjukkan perubahan pertama pubertas dengan adanya tunas

payudara dan (kemudian) rambut kemaluan di usia 8 tahun.

Perubahan ini biasanya berlangsung di usia 8 dan 12 tahun. Perubahan ini

biasanya diikuti oleh menstruasi. Kebanyakan gadis mendapatkan periode haid

pertama mereka dalam lima tahun perkembangan payudara atau sebelum berusia

16 tahun.12

Namun ada juga beberapa anak perempuan yang “matang” di usia yang

sangat dini, 7 tahun. Situasi ini dikenal sebagai pubertas prekoks. Tidak jelas apa

yang menyebabkan pematangan awal ini. Diperkirakan berasal dari paparan

lingkungan genetika. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini biasa terjadi pada

anak perempuan Afrika-Amerika.

12

(49)

Sedangkan pada anak laki-laki sangat jarang ditemukan perubahan yang

dikarenakan pubertas. Biasanya pubertas ditandai dengan pembesaran testis dan

pertumbuhan penis serta rambut kemaluan. Ini terjadi sebelum usia 9 tahun.

Untuk keterampilan motorik, Pada anak laki-laki, keterampilan motorik

kasar (berjalan, melompat, keseimbangan) cenderung berkembang sedikit lebih

cepat. Sedangkan pada anak perempuan, keterampilan motorik halusnya

(memegang pensil, menulis) yang meningkatkan pertama kali. Hal ini bisa

menguntungkan posisi anak perempuan di sekolah dasar.13

Anak laki-laki juga lebih agresif dan impulsif secara fisik, seperti

diungkapkan oleh studi yang menganalis otak anak. Pusat kesenangan otak

benar-benar lebih “menyala” pada anak laki-laki ketika mereka dihadapkan pada

tantangan. Itu bukan berarti anak perempuan tidak aktif dan berani mengambil

risiko, hanya saja dalam hal ini anak laki-laki lebih memainkan perannya.

13

(50)

40

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai

adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak

menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.

Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw.

menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah

yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai

bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan

Islam.

Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf

al-Ûlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang

ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah

boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan

(51)

seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah,

Ibn Maz’un, dan Ammarah.1

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali

untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam

beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau

mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan

menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2

Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah

yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan

anak-anak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan

pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta

izin darinya adalah lebih baik.3

Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk

menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak

menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain

ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada

orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi

1Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum

Islam dan Perundang-undangan,hal. 80.

2

Musthafa al-Siba’i,Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal. 81.

3 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

(52)

anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak

boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm

menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki

maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih

(khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y,

Ahmad dan Ishaq.4

Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia

(mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum.

Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk

menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk

menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk

berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.

Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika

ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah

digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh‘AisyahUmmm al-Muminîndalam hadits:

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

5

Hadits No. 4840,Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani,Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri:

(53)

Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinya

ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun.

Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan

Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb

al-talâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena

itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan

sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan

bagi kaum wanita.

Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya.

Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan

supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang

diriwayatkandari Abdullah bin Mas’ud:

(54)

Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.

Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia

sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan

sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat

dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta

tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang

yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa

Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”.8 Para ulama mendefinisikan kemampuan itu sendiri denganshalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq

al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak

dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9

Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb(kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut

kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih

disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar

7

Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul,(Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930

8

Al-Rahawi, syarh al-Manar waKhawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930

9

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Media Masa Harian Pagi Riau Pos memiliki program dan alat-alat yang baik dan canggih dalam mendukung

Bagi membangunkan Sistem Sokongan Pembelajaran Kendiri atas Talian bagi topik Growth and Reproduction ini, beberapa ciri dititikberatkan untuk menghasilkan sebuah

Apakah peserta diklat memberikan saran/masukan terkait dengan layanan yang diberikan oleh lembaga?. Apakah peserta diklat memberikan saran/masukan terkait dengan

Respon siswa dalam pengembangan media pembelajaran berbasis kartun yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu uji kelompok kecil dan uji kelompok besar masuk pada

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika >10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi

Untuk pasien yang tidak dapat BAB, feses harus diambil langsung dengan jari yang memakai sarung tangan (cara toucher ).  Alat

berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi publik; serta restrukturisasi hubungan masyarakat dengan pemerintah dalam