SKRIPSI
DiajukanKepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaSyari’ah(S.Sy)
Oleh: UDI WAHYUDI NIM: 108044100045
KO NSENT R ASI PE RA DIL AN A GAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
v
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehatwal’afiyatsehangga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam jaga tercurah kepada jungjungan Nabi besar kita Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, parasa habat, pengikut beliau seluruh umat
manusia yang setia kepadanya hingga akhir zaman.
Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam
menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak
sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan
baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya
sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan.
Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3. Dr. JM. Muslimin, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Kamarudiyana, Ma selaku Kepala Jurusan Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
5. Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
vi menyelesaikan skripsi ini.
7. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mufri Husni dan
Ibunda Hj. Tilawati yang telah memberikan banyak hal yang berarti dalam
kehidupan penulis. Cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril
maupun materil yang semua itu tak akan bisa tergantikan dengan apapun.
8. Kepada saudara-saudariku yaitu Mamang H. Nahdatul Muamar S.Thi, Teh Hj
Dwi Retno Sulanjani, Kang Yuli, Kang Sumar, Teh Ida, Teh Iis dan kedua
Adikku, Ali Rohman dan Ika Sohifatul Janah, semuanya telah memberikan
kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil yang berlimpah. Sehingga
penulis senantiasa termotivasi dan tidak kenal menyerah dalam mencapai
cita-cita.
9. Terkhusus untuk Kakek yaitu Alm. H Syahruddin dan Neneku tercinta Hj.
Sunenah, yang selalu turut memotivasi dan memperhatikan perkembangan
penulis sejak memasuki pondok pesantren hingga perguruan tinggi.
10. Teman-teman seperjuangan Kelas Peradilan Agama B Tahun 2008 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman satu kostan, yang telah memberikan
dukungan dan semangat. Dan seluruh pihak yang telah membantu dan tidak
dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak kepada teman-temanku
vii 11. Tri Utami yang selalu memotivasi penulis.
Akhir kata, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada bantuan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya
satu-persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
13 Rabiul Awal 1436 H Ciputat,
13 Februari, 2015
viii
Pandangan Medis)
.
Perkawinan pada usia muda atau remaja adalah masalah sosial budaya yang mengandung aspek medis, bagi seorang muda yang telah kawin secara sah maka dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang belum nikah. Namun tidak berarti ia bebas dari masalah. Secara medis dan mental ia belum matang benar, itulah sebabnya perkawinan usia muda dikatakan memiliki dampak medis. Isu-isu yang sering kali muncul dipermukaan dan sering kali berlindung pada konsep agama adalah tentang perempuan, khususnya mengenai kesehatan reproduksi itu sendiri.
Tingkat kedewasaan dalam perkawian antara laki-laki dan perempuan menjadi problem tersendiri dalam agama Islam, karena para fuqaha tidak banyak membahas batas usia minimal perkawinan, bisa jadi karena Nabi pun melakukan praktik nikah dini dengan Siti Aisyah. Maka dari sinilah penulis ingin meneliti tingkat kedewasaan perkawinan dilihat dari aspek fikih dan medis.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).
Kata kunci: Perkawinan Usia Muda, hukum Islam, medis
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSYAH... iii
HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAKSI... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Metodologi Penelitian ... 12
F. Review Terdahulu ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II USIA PERKAWINAN DI INDONESIA... 19
A. Pengertian Usia Perkawinan... 19
B. Batas Usia perkawinan di Indonesia... 20
x
A. Pengertian Dewasa Menurut Medis... 29
B. Fase Perkembangan Masa Dewasa... 31
C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan ... 36
BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN... 40
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan... 40
B. Pandangan Medis Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan ... 51
C. Analisis Penulis ... 59
BAB V PENUTUP... 68
A. Kesimpulan... 68
B. Saran ... 70
1
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam peroses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya
membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan
apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu
keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini dimaksud, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung
seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang
bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan
sebuah perkawinan seorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
sosial, biologis, maupun secara psikilogis. Seseorang dengan melangsungkan
sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa
terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan
hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah
lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.
Menurut Islam, perkawinan merupakan suatu perjanjian suci yang kuat
dan kokoh untuk hidup bersama yang bahagia ,aman, tenteram dan saling
mengasihi. Perkawinan merupakan fitrah manusia yang harus terjadi pada
1
kehidupan sebagai sarana untuk melimpahkan rasa cinta dan kasih yang telah
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.
Disyari’atkannya perkawinan dalam Islam itu dapat ditinjau dari tiga sudut.2Pertama, ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan suatu
perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara
sah dalam waktu yang tidak tertentu. Kedua ditinjau dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai lembaga suci dimana suami-istri dapat hidup
tenteram, saling mencintai dan mengasihi serta bertujuan untuk mengembangkan
keturunan. Ketiga, ditinjau dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang yang telah
kawin (berkeluarga) telah memenuhi syarat dari kehendak masyarakat serta
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari pada mereka
yang belum menikah.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak
memandang pada profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa
atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan
baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukan lah bersifat
sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayang tidak semua orang memahami
hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan
kebahagian yang sejati dalam berumah-tangga.
2
Untuk menemukan kebahagian di atas pula, penting melihat batas umur
perkawinan, hal ini menjadi syarat tersendiri. Batas usia perkawinan dikatakan
sangat penting karena seringkali keberhasilan sebuah perkawinan ditentukan oleh
kematangan dalam menyelesaikan sebuah masalah, hal tersebut bisa dilihat dari
segi usia calon pengantin, baik usia peria maupun wanita.
Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat
biologis, melainkan juga kematangan pisikologis dan sosial. batas minimal usia
nikah bagi laiki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus
SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai resiko,
baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda,
dan resiko pisikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi
reproduksi dengan baik.3 Oleh sebab itu kehidupan keluarga menuntut adanya
peran dan tanggung jawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.4
Dalam menilai hal tersebut di atas, terdapat pula komentar para ulama
klasik mengenai prasyarat yang dapat menikah atau yang biasa disebut dengan
kualifikasi dewasa (baligh/ahliyah). Kualifikasi ini masuk dalam kriteria syarat
serta rukun nikah, dimana dari syarat dan rukun nikah harus terpenuhi agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut as-Syafi’i bahwa salah satu dari syarat syahnya nikah adalah adanya wali, tanpa kehadiran wali pernikahan
3
Prof. dr Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan,(Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996), hal. 26
4
Sulostiawati S, Perempuan dan Hukum, (Menuju Hukum yang Berperspektif
tersebut adalah batal, sedangkan Abu Hanifah, wanita yang sudah dewasa dan
berakal sehat berhak mengurus sendiri akad perkawinannya, baik gadis atau
janda.5
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perkawinan gadis di bawah
umur, As-Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan yang belum dewasa tidak
boleh menikah hingga ia cukup dewasa dengan seizin walinya, agar anak
perempuan nanti tidak terjatuh pada hal-hal yang kurang baik seperti kurang
tanggung jawabnya suami kepada istri. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa
hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi anak perempuan tersebut setelah baligh
diberi hak khiar.6
Dalam syariat Islam sendiri, batas umur untuk melakukan perkawinan
tidak ditetapkan secara jelas dan tegas, tidak memberi batasan secara definitif
(pasti) mengenai usia perkawinan seseorang, Al-Qur’an dan Hadis hanya
menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda saja. Umat Islam diberi kebebasan
untuk menetapkan batas-batas umur, sehingga batasan perkawinan dikembalikan
pada individu tanpa melanggar syarat yang telah ditentukan, serta disesuaikan
pula dengan kondisi sosial dimana hukum itu akan diundangkan.7Dalam hal usia,
5
Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 241 6
Sayyidd Sabiq,Fikih al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 224 7
seperti dikutip Rahmad Rosyadi,8 bahwa Allah SWT tidak menentukan kapan
usia yang baik atau usia yang ideal bagi seorang wanita untuk langsungkan
perkawinan, karena yang demikian bukanlah menjadi urusan Allah, akan tetapi
sebagai urusan manusia dalam menyelesaikan problematika hidupnya.
Oleh sebab itu mengenai urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada
manusia karena dianggap bahwa manusia lebih tahu dan lebih mengetahui dalam
ranah ijtihadi. Sejalan dengan hal tersebut, tidak menjadikan salah atau berdosa
apabila manusia memberikan batasan suatu usia tertentu atau usia yang tepat
untuk melakukan perkawinan, karena menurut penulis merupakan ranah ijtihadi
seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi.
Perbedaan pendapat tentang batas usia pernikahan seseorang dapat
memberikan kejelasan pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional
yang umumnya terjadi pada masyarakat agraris, sebagaimana terbatasnya jenis
pendidikan formal yang hanya berkisar antara sekolah dasar sampai sekolah
lanjutan tingkat pertama, kemudian dialihkan menjadi tenaga kerja untuk
membantu kehidupan keluarganya, sehingga dengan berakhirnya masa belajar dan
kemudian terjun kelapangan pekerjaan, maka orang tersebut telah dianggap
dewasa untuk melakukan pernikahan dalam usia muda.
Fenomena ini menarik untuk dikaji, dengan adanya dua konsep yang
berbeda mengenai batas minimal usia perkawinan yang memunculkan pemikiran
8
untuk meneliti serta membahasnya dalam sebuah karya ilmiah, mengingat bahwa
dalam realita pendapat dari para Ahli Fiqih dan UU No.1 Tahun 1974 atau KHI
sama-sama kuat dan mendasar.
Secara jelas KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun
1974 yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.9
Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa baik Al-Qur’an dan as -Sunnah secara eksplisit tidak mengatur mengenai batas usia minimal dalam
perkawinan. Umat islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan
adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah. 10 Dilihat dari segi
literatur, akil baligh juga dikenal sebagai batas kematangan seksual, namun antara
perempuan dan laki-laki terdapat ciri-ciri yang berbeda. 11 Namun juga
kematangan usia perempuan dan laki-laki berpengaruh pada tingkat kesehatan
seksualitas.
9
Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
10
Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 6 11
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW sendiri baru menikah usia 25 tahun,
dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani rasul. Penetapan
batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada substansinya
mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Baik
pandangan normatif fiqih serta peraturan hukum positif Indonesia terdapat
perbedaan pula, hal ini mengindikasikan bahwa baik fiqih serta peraturan
perundang-undangan di Indonesia seharusnya tidak mencendrai landasan
sosiologis, karena ia tidak sejalan dengan semangat zaman.bahkan hal ini akan
berdampak pada ketidak adilan setra pendiskriminasian. Sejalan dengan apa yang
diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 bahwa secara eksplisit mengatakan
“Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengandung tiga landasan yaitu, landasan normatif, landasan filosofis, serta landasan sosiologis.12
Artinya bahwa undang-undang telah memberikan legitimasi sosiologis atau bisa
dikatakan dalam hukum Islam “Hukum harus melihat zaman serta kondisi setempat (taghayyur al-ahkm bi taghayyur al-azminah wal amkinh wal ahwl).
Oleh sebab itu, batas minimal umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16
tahun sangat rentan terjadi pada kesehatan reproduksi bagi perempuan, hal itu
12
senada dengan pendapat ahli medis yang mengatakan bahwa kurun waktu
reproduksi sehat yaitu mencapai umur 20-30 tahun. Di bawah umur itu sangat
potensi mengalami kesehatan reproduksi, seperti resiko keguguran, persalinan
prematur, kelainan bayi (berat bayi tidak normal/bayi cacat), anemia kehamilan
serta kematian seorang ibu (perempuan) akibat keguguran.13
Dengan batasan minimal usia perkawinan pada pria berumur 19 tahun dan
perempuan 16 tahun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlihat
tidak relevan lagi dari segi medis. Untuk itu, perlu kiranya penelaahan yang
mendalam permasalahan ini melalui penelitian penulis dalam bentuk skripsi yang
berjudul “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum
Islam Dengan Pandangan Medis”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah pandangan fikih dalam menilai batas
usia perkawinan serta pandangan hukum positif Indonesia mengenai peraturan
batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Instruksi Persiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Dalam pasal 7 UU No. 1 1974 yakni calon suami
sekurang-13
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga
kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun. (2). Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
UU No. 1 Tahun 1974, begitu pula pasal 15 dalam KHI.
Perbedaan ini jelas terlihat antara calon suami (laki-laki) yang secara
umur lebih tua tiga tahun dari pada perempuan yang lebih muda. Namun jika
dilihat dari segi medis, usia perempuan ketika menikah di bawah umur 20 tahun
sangat lah berpotensi negatif pada kesehatan reproduksi perempuan seperti yang
dijelaskan di atas.
2. Perumusan Masalah
Dari beberapa persoalan yang ada, menurut penulis perlunya penelusuran
lanjutan, karena persoalan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan
terlihat berbeda antara pandangan hukum Islam dengan pandangan medis dalam
hal ini mengenai batas usia perkawinan antara kedua belah pihak. Dari pokok
persoalan yang ada, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia
perkawinan laki-laki dan perempuan?
2. Bagaimanakah pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan
laki-laki dan perempuan?
3. Bagaimanakah komparasi pandangan hukum Islam dan medis menilai
C. Tujuan Penelitian
Secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Mengetahui pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia
perkawinan laki-laki dan perempuan
2. Mengetahui pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan
laki-laki dan perempuan
3. Memahami perbandingan hukum Islam dan medis menilai batas usia
perkawinan antara laki-laki dan perempuan
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum Islam terlebih
mengetahui pandangan psikologis dalam menilai batas usia perkawinan, agar
terciptanya singkronisasi landasan normatif, filosofis serta berdimensi sosiologis.
Disamping itu meningkatkan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka
mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya hukum Islam dan
diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk
mendalami criteria dewasa dalam perkawinan.
2. Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi ulama, akademisi, legal drafter, hakim, mahasiswa, santri dan khususnya para penggiat kajian keilmuan hukum Islam,
sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang
berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat
(relevan).
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pertama, penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14 Penelitian
Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.15 Jenis
penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini
adalah menganalisis batas usia perkawinan dalam pasal 7 UU N0. 1 Tahun 1974
yahkni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan KHI pasal 15.
Kemudian kedua, menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa,
mengkaji, serta merumuskan formulasi buku-buku serta literature yang berkaitan
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjawan
Singkat(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 85
15
dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pandangan keilmuan medis
menetapkan kedewasaan antara laki-laki dan perempuan.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian
hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan ini menurut penulis dengan mendekati
substansi pasal (statute approach) dalam UU No. 1/1974 pasal 7 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 15 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan.
Fokus ini juga sekaligus menjadi tema sentral suatu penelitian16penulis, dalam
hal ini batas usia perkawinan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan medis yang
mempunyai fokus terhadap pendekatan tingkat kedewasaan seseorang secara fisik
dan lain-lain.
Dan terakhir adalah pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu untuk mengetahui perbandingan makna yang dikandung dalam hukum Islam baik
fikih ataupun hukum positif di Indonesia dalam hal ini UUNo.1/1974, Inpres
No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pandangan medis.
16
3. Sumber bahan hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17yaitu
pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI) pasal
15.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum perimer18seperti fiqih , jurnal hukum islam,
hasil-hasil penelitian, buku-buku hukum islam mengenai skripsi ini, tesis dan
disertasi, serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pembahasan ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukum islam, ensiklopedia dan lain-lain.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Baik bahan hukum perimer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan
berdasarkan topik pembahasan yang telah dirumuskan berdasarkan menurut
sumber, asas-asas hukum islam, metodologi atau formulasi mendapatkan hukum
yang dikaji secara komprehensif, dengan menyesuaikan pada masalah yang
dibahas.
17
Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada,2008), hal. 31; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjawan Singkat,(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 13
18
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan
agar dapat menjawab serta disajikan sesuai penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab pembahasan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum yang dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang
dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui batas
usia perkawinan yang didekati dalam paradigma medis.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, merujuk pada buku panduan
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2013.
F. Review Terdahulu
Ada beberapa pembahasan yang hampir mirip dengan judul skripsi
penulis yaitu terkait masalah batas usia perkawinan atau mengenai tingkat
kedewasaan seseorang. Beberapa skripsi yang membahas mengenai hal ini, yaitu:
Yang pertama, Hidayatunisa,Penetapan Batas Minimal Usia Nikah Serta
Relevansinya Dengan Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus Warga
kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan, (Jurusan Peradilan Agama UIN Syarif
keluarga sakinah tidak serta merta didapat begitu saja, namun diperlukan
persiapan,pengorbanan dan perjuangan. Salah satu untuk mencapai keluarga
sakinah adalah kematangan lahir dan kesiapan batin, kematangan lahir dapat
dilihat dari kematangan fisik yang berupa kematangan biologis serta kesiapan
batin. Artinya adalah bahwa untuk mencapai sebuah rumah tangga yng skinah
diperlukan dua kematangan fisik dan batin. Adapun objek dalam skripsi ini adalah
warga cipete selatan yang menikah dalam usia 21 tahun kebawah selama tahun
2009, dimana warga cipete selatan banyak yang menikah di bawa rata-rata umur
21 tahun yang berimplikasi pada tingkat percerain atau ketidah harmonisan dalam
rumah tangga.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
deskripsi research yang bermaksud untuk mengeksplorasi sebuah fenomena
dalam ruang lingkup masyarakat cipete selatan. Sedangkan pendekatan adalah
menggunakan kuisoner, interview (wawancara), observasi dan dokumentasi.
Yang kedua, Muhamad Syarif Hidayatullah, Batas Usia Dewasa Untuk
Menikah menurut UU no. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Hukum Islam, (Jurusan
Perbandingan Mazhab dan fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009).
Pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai UU No. 1 tahun 1974 merupakan
pedoman umat islam di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintahan Indonesia.
Ada yang khas dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu terkain mengenai batas usia
perkawinan, yang mana dalam pasal 7 ayat (1) dal UU No. 1 tahun 1974 bahwa
dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, jika ditelusuri lebih lanjut
mengenai batas usia perkawinan, para ulama klasik tidak menentukan batas usia
perkawianan antara laki-laki maupun perempuan. Dari situ terdapat perbedaan
tajam antara hukum positif Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dengan fiqih klasik yang tidak menentukan hal itu, yang terpenting
dalam fiqih adalah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun jenis penelitian yang
diguakan dalam skripsi ini yaitu penelitian kualitatif, sedangkan teknik
pengumpulan datanya adalah mempergunakanlibrary research.
Yang ketiga, Haris Santoso,Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan
Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab . (Jurusan peradialan agama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi
ini yaitu tentang batas usia perkawinan tidak ditetapkan oleh islam itu sendiri,
oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat
untuk menyelesaikan masalah tersebut, tergantung setuasi,kondisi, kepentingan
peribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan
jaelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama
dalam agama. Permasalahannya adalah ulama berbeda pandangan mengenai batas
kadar dewasa dalam menentukan bahwa dia bisa melakukan perkawinan. Oleh
sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mazhab.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode induktif
yaitu dengan menggunakan antara hukum islam dan hukum positifsebagai bahan
acuan penelusuran skripsi ini.
Adapun perbedaan dari ketiga skripsi di atas yaitu membahasan mengenai
batas usia perkawinan baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam.
Sedangkan perbedaannya adalah pandangan medis melihat batas usia perkawinan
antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan metodelogi yang
digunakanan penulis berbeda dengan ketiga skripsi di atas, yang mana penulis
menggunakan metodelogi penelitian library research (kepustakaan) dan
normative research(riset aturan hukum).
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang
lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannaya adalah sebagai berikut.
Bab pertama seperti biasanya diawali dengan pembahasan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,
review terdahulu dan terakhir sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tentang usia perkawinan dalam Islam. Pada bab
usia perkawinan di Indonesia, usia perkawinan di dunia dan data usia perkawinan
muda di Indonesia.
Bab ketiga menjelaskan tentang tingkat kedewasaan tentang paradigma medis. Pada bab ini penulis tuangkan tiga pembahasan yaitu pengertian dewasa
menurut medis, fase perkembangan masa dewasa, dan terakhir perbedaan
perkembangan laki-laki dan perempuan.
Bab keempat pembahasan mengenai analisis tingkat kedewasaan antara
laki-laki dan perempuan relevansinya dengan batas usia perkawinan. Pada bab ini
penulis hadirkan tiga pembahsan yaitu pertama Pandangan Hukum Islam
Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, Pandangan Medis
Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, dan terakhir analisis
penulis terkait perbandingan hukum Islam dan pandangan medis menilai batas
usia perkawinan pada Laki-laki Dan Perempuan.
Bab kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan
19
A. Pengertian Usia Perkawinan
Sebelum menjelaskan definisi usia perkawinan, penting kiranya dibedah
satu persatu. Seperti yang kita ketahui istilah usia perkawinan ditemukan
pembahasannya dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Namun bukan dengan kata usia, tetapi memakai kata umur.1Untuk memperjelas
hal itu, istilah usia perkawinan merupakan gabungan dua suku kata, dari kata
“usia” dan “perkawinan’. Di mana pengertian usia sendiri dimaknai dengan umur
atau satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu makhluk atau benda, baik
yang hidup maupun yang mati, dengan perhitungan tahun tarik masehi maupun
lainnya. Misalnya, usia manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak
dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.2
Adapun pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir-bathin antara seorang
peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
1
Lihat pembahasan usia atau umur perkawinan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (2) Instruksi Presiden Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
2 Usia
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.3
Setelah menjelaskan dua kata dari usia dan perkawinan maka dapat
dsimpulkan bahwa pengertian usia perkawinan sendiri yaitu sebuah masa
kesiapan kedua calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam
melangsungkan sebuah perkawinan dengan batasan sebuah umur.
B. Batas Minimal Usia Perkawinan di Indonesia
Ketentuan peraturan dalam pembatasan usia perkawinan sebagaimana di
atur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak–sebagai
instrumen HAM — walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia
minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia
di bawah 18 tahun5 dan pasal 26 (1) huruf (c) UU Perlindungan Anak 2002
menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
(c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak6, Pasal 7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun.
Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang disebutkan
3
dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya dapat
diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
Disamping itu, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin dari kedua orang tua atau pengadailan, sebagai mana yang
diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan (5) UU No.1 tahun 1974. Adapu isi ayat (2):
“Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedang isi ayat (5) adalah:
Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),
(3), dan (4) (orang tua dan wali, pernikahan.), atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagadilan dalam deerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawianan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
Dengan demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orang tua,
pengadialn dapat memberikan izin.4 Isi pasal 7 ayat (1), tentang umur minimal
boleh kawin, diulang pada pasal 15 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam, yang
bunyinya:
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
4
pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya 16 tahun.
Demikian isi pasal 6 ayat (2) UU No.1Tahun 1974 diulang pada pasal 15
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6
ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan
kemungkinan melangsungkan perkawianan dengan syarat dispensasi dari
pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1
Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangna ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak peria maupun pihak wanita”.
C. Usia Perkawinan di Dunia
Jika dilihat dari beberapa batasan usia perkawinan di dunia, di bawah ini
Negara-negara yang menerapkan batasan usia perkawinan. Menurut catatan Joned,
seperti contohnya di Malaysia, sebelum munculnya undang-undang baru di bidang
perkawinan Malaysia, di beberapa daerah Malaysia hanya Johor yang membuat
ketentuan tentang umur minimum boleh kawin.5 Sebaliknya, setelah adanya
5
Menurut Undang-Undang Perkawinan Johor, Umur Minimum Bagi Wanita 16 tahun dan 18 untuk Pria. Lihat Ahilemah Joned,Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang
menghormati Ahamad Ibrahim, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
pembaharuan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya barang kali karena
dianggap bertentangan dengan syari’ah. Sedang bagi wilayah persekutuan,
Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor dan Pulau Pinang, mengatur
minimum 18 untuk pria dan 16 untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan
kanak-kanak cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan bukan
karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan dan peluang
kerja.6
Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tetang ketentuan umur minimal boleh
kawin, misalnya dalam undang-undang keluarga islam negeri pulau pinang 1985,
pasal 8 disebutkan:
Tiada sesuatu perkawinan boleh diakad nikahkan atau didaftarkan di bawah
enakmen ini jika lelaki itu berumur kurang dari pada lapan belas tahun dan
perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakim
syari’ah telah memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.
Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU persekutuan disebut
“Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri Sembilan, UU
Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan. Demikian juga UU Serawak
6
Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
menggunakan istilah “ Ordinan”. Maka bunyinya menjadi “ di bawah akta ini” dan
“di bawah Ordinan ini” sebagai ganti “ dibawah Enakmen ini”.7
Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang ditentukan
boleh kawin dengan catatan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Seperti
disebutkan pada pasal 8 ayat (1) UU Negeri Sembilan:
Dalam mana-mana kes berikut, yaitu (a) jika salah satu pihak kepada
perkawinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang di nyatakan dalam
seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang janda yang tersabit oleh
seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan tidak mempunyai wali dari pada
nasab mengikut Hukum Syara’, maka pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak
dibawah seksyen 17, merujuk permohonan itu kepada hakim Syari’ah yang
mempunyai bidang kuasa di tempat perempuan itu bermustautin.Pada ayat (2)
disebutkan:
Hakim Syari’ah, apabila berpuasa hati tentang kebenaran perkara-perkara
yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkawinan yang
dicadangkan itu dan bahwa kes itu adalah kes yang mewajarkan pemberian
kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8 atau kebenaran bagi maksud-maksud
seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap perkhawinan itu diakadnikahkan oleh
wali Raja bagi maksud-maksud seksyen (13) (b), mengikut mana yang berkenaan,
hendaklah pada bila-bila masa selepas permohonan itu dirujukan kepadanya dan
7
setelah dibayar fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya
untuk perkawinan dalam boring yang ditetapkan.8
Berdasarkan ayat 1 point b, dapat disimpulkan ada kemungkinan mendapat
izin untuk kawin bagi mereka yang belum mencapai umur minimal boleh kawin,
dengan catatan pengadilan mempertimbangkan cukup alasan untuk memberikan
alasan untuk memberikan izin, seperti tersebut pada ayat 2. Undang-undang Brunei
Darussalam tidak mengatur tentang umur minimal boleh kawin.9
Tidak berbeda jauh dengan pembahasan di atas, perundang-undangan
keluarga muslim di luar Asia tenggara kaitannya dengan umur perkawinan ada
beberapa catatan penting. Pertama, ada aturan umur minimal boleh melakukan
perkawinan. Artinya kalau umur minimal belum tercapai, secara prinsip calon tidak
boleh melakukan perkawinan. Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara
mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun aturan Negara-negara muslim yang
kaitan dengan umur minimal boleh melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan
dapat dilihat sebagai berikut:10
Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377
9
Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377
10
Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Yordania
tahun). Kedua, dua Negara yang menetapkan umur 21 tahun ini baru berlaku bagi
laki-laki, sementara menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker
mulut Rahim adalah usia di atas 20 tahun.
Adapun sikap Negara-negara muslim bagi pelaku perkawinan sebelum
mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini) adalah
bervariasi, yang dapat digambarkan berikut:11
1. India dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar.
2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan
tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak
dicatatkan, misalnya status hukuman yang dilahirkan.
11
Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan
izin pengadilan (hanya dengan izin pengadilan).
Kaitannya dengan Negara yang mengatur jarak umur minimal antara
calon, bahwa ada minimal dua Negara yang mencantumkan, yakni Syria dan
Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan
melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan ijin pengadilan tanpa
paksaan dan/atau tekanan.
D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia
Data Susenas Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada beberapa
provinsi yang usia kawin pertamanya dibawah 20 tahun, yaitu Propinsi Jambi
19.26 tahun, Lampung 19.38 tahun, Banten 19.40 tahun, Jawa Tengah 19.43
tahun, Kalimantan Tengah 19.43 tahun, Bengkulu 19.48 tahun, Nusa Tenggara
Barat 19.69 tahun, Sulawesi Utara 19.71 tahun, Sumatra Selatan 19.80 tahun,
Sulawesi Barat 19.84 tahun, Sulawesi Tengah 19.96 tahun. Untuk daerah
perdesaan ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya relative masih
sangat rendah yaitu Propinsi Banten 17.53 tahun, Jawa Barat 17.54 tahun, jawa
Tengah 18.76. Berdasarkan Riskerdas 2010, menunjukan bahwa prevalensi umur
perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebesar 41,9 persen.12
Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki
resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang
perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun
anak. Hal ini terjadi karena belum matangnya rahim seorang perempuan usia
muda untuk memproduksi anak dan belum siapnya mental dalam berumah
tangga. Untuk itu pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya
untuk memperkecil risiko yang terjadi terkait dengan kesehatan ibu maupun
anaknya.
12
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda
29
A. Pengertian Dewasa Menurut Medis
Kata dewasa berasal dari kata latinadolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilahadolensencemempunyai arti yang lebih luas lagi
yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik, Dalam kata lain
dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi
dewasa dengan rentan usia antara 12-22 tahun, di mana pada masa tersebut
terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik maupun pisikologis.1
Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi
lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah
menjadi pria atau wanita dewasa. Pengertian dewasa sendiri sering diidentikan
pada sebuah tahapan. Seperti masa dewasan merupakan salah satu tahapan
perkembangan manusia. Pada masa dewasa ini individu dianggap telah siap
menghadapi suatu perkawinan, namun perkawinan bukanlah suatu hal yang
mudah karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk
tahapan kehidupan baru sebagai manusia dewasa.2
1
Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 45
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda
Makna dewasa sendiri bisa didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah
akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas atau sudah menikah, menurut
Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu bahwa usia
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu
kematangan dan tanggung jawab.3
Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif.
Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki
karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika
berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara
legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab
yang mencerminkan karakter dewasa.
Kata "dewasa" kadang juga berarti "tidak dianggap cocok untuk
anak-anak", terutama sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku seksual,
seperti hiburan dewasa,video dewasa, majalah dewasa, serta toko buku dewasa.
Tetapi, pendidikan orang dewasa hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa,
dan bukan spesifik pendidikan seks.
Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula
pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir
pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi
dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa
3
pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai
keluarga, dan mengasuh anak anak.4
Adapun pengertian dewasa di sini yang dimaksud penulis adalah sebuah
masa dewasa awal di mulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun,
saat perbubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai tingkat
kemampuan reproduksinya ketika melangsungkan sebuah perkawinan.5Adapun
istilah medis sendiri diartikan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dalam
tataran keilmuan ilmiah medis. Jadi dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam
pengertian medis sendiri di sini yaitu sebuah masa dewasanya laki-laki maupun
perempuan untuk melangsungkan sebuah perkawinan dengan kesiapan
organ-organ kedewasaan secara biologis maupun medis.
B. Fase Perkembangan Masa Dewasa
Setiap tahap perkembangan memiliki karaktersitik tersendri. Seperti
halnya tahap perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan berbagai macam
dan ciri khas tersendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut Dariyo,
bahwa secara fisik, seorang dewasa awal/muda menampilkan profil yang
sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek fisiologis
telah mencapai puncaknya. Mereka memiliki daya taha dan taraf kesehatan yang
4Dewasa
, diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB , lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa
5
Kesimpulan ini diambil dari Skripsi Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita
prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatf, kreatif,
energik, cepat dan proaktif. Sementara bagi Havihurts menjelaskan beberapa
perkembangan pada dewasan awal diantaranya mulai berkerja, memilih
pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan memulai membina keluarga.6
Sebelum melangkah lebih jauh dari karakteristik tingkat dewasa itu
sendiri, masa dewasa sendiri memiliki tahapan yang khas dari segi fisiologis dan
medisnya. Seperti biasanya, masa dewasa awal atau yang biasa disebut dengan
masa pubertas, pasti akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan yang
utama (primer) terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut memungkinkan
seorang laki-laki dan perempuan pada masa puber dapat menghasilkan bayi.
Perubahan utama diiringi perubahan sekunder atau perubahan fisik yang
ciri-cirinya tampak pada manusia.
1. Perkembangan Fisik Laki-Laki pada Masa Pubertas.
Seorang laki-laki telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya
terjadi perubahan, antara lain sebagai berikut:
a) Jakun mulai tumbuh
b) Dada tampak lebih berbidang
c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan
d) Suara menjadi lebih berat dan besar
e) Mulai mengalami mimpi basah
6
f) Pembuangan minyak lambat, mulai tumbuh jerawat
g) Hormon seks makin matang menghasilkan organ seks laki-laki
h) Bahunya melebar dan otot-otot berisi
2. Perkembangan Fisik Perempuan pada Masa Pubertas
Seorang perempuan telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya
telah ada perubahan sebagai berikut:
a) Payudara mulai tumbuh besar
b) Pinggul mulai melebar
c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan
d) Datangnya haid atau menstruasi setiap bulan
e) Bentuk tubuh membulat
f) Pertumbuhan tinggi badan berhenti
g) Usia 13 tahun rata-rata gadis mengalami haid pertama7
Selain ciri khas di atas, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi
dewasa mengalami tahap pubertas. Pada masa ini, baik laki-laki maupun
perempuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Badan akan bertambah
tinggi, bertambah gemuk, dan organ kelaminnya sudah mampu menghasilkan sel
kelamin yang matang.
7
Pada laki-laki ditandai dengan kemampuan testis (buah zakar) untuk
menghasilkan sperma. Pada perempuan ditandai dengan kemampuan ovarium
(indung telur) menghasilkan sel telur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah
mampu bereproduksi. Pada masa dewasa, badan seseorang tidak mengalami
pertumbuhan tinggi lagi, tetapi hanya bertambah berat. Masa dewasa ini akan
berakhir pada berkurangmya kemampuan fisiknya, seperti rambut terlihat
memutih. Gigi mulai tanggal dan tidak tumbuh kembali. Kulit mulai keriput.
Penglihatan mulai kabur karena daya akomodasi lensa mata berkurang dan
pendengaran pun juga berkurang. Pada perempuan, ovarium sudah tidak dapat
menghasilkan sel telur lagi sehingga tidak terjadi menstruasi lagi. Masa ini
disebut menopause. Tetapi, pada laki-laki proses pembentukan sperma masih
terjadi, meskipun telah menurun.8
Jika melihat Periode Perkembangan Masa Dewasa itu sendiri, menurut E.
Hurlock terbagi dalam 3 periode masa dewasa, yaitu:
1) Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun–40 tahun).
Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia
tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in
population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).
Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan
akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum
8
maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap
menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll. Tugas-tugas perkembangan
(development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki
dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup
berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga,
memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok
sosial yang menyenangkan.
2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40–60 tahun).
Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan
mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik,
asam urat, dll). Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan
ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu
anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan
pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan
peran-perannya sebagai orang dewasa.
3) Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60– Mati).
Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran,
penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial). Tugas-tugas
perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan
ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik
hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan
dengan anggota keluarga.9
C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan
Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara
pria dan wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis,
dan pola-pola pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan
wanita memiliki perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang memengaruhi
variasi ciri-ciri biologis, seperti kesuburan.10
Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibanding wanita, tapi
wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan
pria, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak
laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dibandingkan wanita.
Selain itu, secara neurologis, anak perempuan lebih matang dibandingkan anak
laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih
cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria.
Menurut Sigmund Freud, “Anatomi adalah takdir”. Apakah perbedaan
fisik pria dan wanita merupakan bukti bahwa perbedaan gender disertai juga
perbedaan psikologis? Pria dan wanita memang terlihat berbeda dan memiliki
9
Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 65
10
organ serta hormon seks yang berbeda. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pria
dan wanita juga berbeda dalam cara masing-masing berpikir, bertindak, dan
merasakan sesuatu. Semua itu karena alasan biologis.
Ada beberapa area di mana kita dapat menemukan perbedaan gender yang
reliabel berkaitan dengan kemampuan psikologis, khususnya dalam area yang
menyangkut kemampuan berpikir, persepsi, dan memori. Pada umumnya, pria
(sejak kecil hingga dewasa) memperlihatkan kemampuan spasial yang lebih baik,
sedangkan wanita (sejak kecil hingga dewasa) menunjukkan kemampuan verbal
yang lebih maju. Pria cenderung lebih berani mengambil tanggung jawab dalam
kelompok, sedangkan wanita lebih menaruh perhatian dan terlibat dalam
pengasuhan anak.
Masa pertumbuhan manusia ada batasnya. Secara normal, pada laki-laki
pertumbuhan terhenti pada usia sekitar 22 tahun, sedangkan pada perempuan di
usia sekitar 18 tahun. Pada kebanyakan remaja, perkembangan tubuh lebih cepat
dialami pada waktu mereka berusia 12 tahun–18 tahun. Untuk remaja
perempuan, pertumbuhan cepat itu biasanya terjadi pada usia 12 tahun,
sedangkan untuk remaja lakilaki pada usia 14 tahun. Setelah usia 14 tahun,
remaja laki-laki biasanya mengejar ketinggalan tinggi dan beratnya itu dan
melampaui tinggi serta berat remaja perempuan.11
11
Adapun perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki,
seperti dalam pertumbuhan bayi dan remaja, anak-anak tumbuh dengan tinggi
dan berat badan di tingkat yang sama-sama lambat tapi stabil. Tidak ada
perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin hingga akhir sekolah dasar.
Memang kebanyakan anak perempuan tumbuh tinggi lebih cepat, tapi biasanya
anak laki-laki dapat mengejar dan melebihi dalam beberapa tahun. Perempuan
biasanya tumbuh tinggi 3 inci per tahun atau sedikit lebih. Sedangkan anak
laki-laki tumbuh 3-4 inci per tahun.
Perbedaan pada masa pubertas atau memasuki dewasa awal, beberapa
gadis mulai menunjukkan perubahan pertama pubertas dengan adanya tunas
payudara dan (kemudian) rambut kemaluan di usia 8 tahun.
Perubahan ini biasanya berlangsung di usia 8 dan 12 tahun. Perubahan ini
biasanya diikuti oleh menstruasi. Kebanyakan gadis mendapatkan periode haid
pertama mereka dalam lima tahun perkembangan payudara atau sebelum berusia
16 tahun.12
Namun ada juga beberapa anak perempuan yang “matang” di usia yang
sangat dini, 7 tahun. Situasi ini dikenal sebagai pubertas prekoks. Tidak jelas apa
yang menyebabkan pematangan awal ini. Diperkirakan berasal dari paparan
lingkungan genetika. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini biasa terjadi pada
anak perempuan Afrika-Amerika.
12
Sedangkan pada anak laki-laki sangat jarang ditemukan perubahan yang
dikarenakan pubertas. Biasanya pubertas ditandai dengan pembesaran testis dan
pertumbuhan penis serta rambut kemaluan. Ini terjadi sebelum usia 9 tahun.
Untuk keterampilan motorik, Pada anak laki-laki, keterampilan motorik
kasar (berjalan, melompat, keseimbangan) cenderung berkembang sedikit lebih
cepat. Sedangkan pada anak perempuan, keterampilan motorik halusnya
(memegang pensil, menulis) yang meningkatkan pertama kali. Hal ini bisa
menguntungkan posisi anak perempuan di sekolah dasar.13
Anak laki-laki juga lebih agresif dan impulsif secara fisik, seperti
diungkapkan oleh studi yang menganalis otak anak. Pusat kesenangan otak
benar-benar lebih “menyala” pada anak laki-laki ketika mereka dihadapkan pada
tantangan. Itu bukan berarti anak perempuan tidak aktif dan berani mengambil
risiko, hanya saja dalam hal ini anak laki-laki lebih memainkan perannya.
13
40
RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai
adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak
menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.
Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah
yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai
bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan
Islam.
Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf
al-Ûlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang
ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah
boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan
seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah,
Ibn Maz’un, dan Ammarah.1
Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali
untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam
beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau
mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan
menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2
Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah
yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan
anak-anak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan
pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta
izin darinya adalah lebih baik.3
Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk
menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak
menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain
ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada
orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi
1Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al
-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum
Islam dan Perundang-undangan,hal. 80.
2
Musthafa al-Siba’i,Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal. 81.
3 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al
anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak
boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm
menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki
maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih
(khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y,
Ahmad dan Ishaq.4
Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia
(mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum.
Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk
menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk
menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk
berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.
Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika
ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah
digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh‘AisyahUmmm al-Muminîndalam hadits:
ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ
Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 1255
Hadits No. 4840,Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani,Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri:
Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinya
ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun.
Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan
Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb
al-talâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena
itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan
sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan
bagi kaum wanita.
Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya.
Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan
supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang
diriwayatkandari Abdullah bin Mas’ud:
Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.
Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia
sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan
sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat
dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta
tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang
yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa
Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”.8 Para ulama mendefinisikan kemampuan itu sendiri denganshalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq
al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak
dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9
Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb(kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut
kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih
disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar
7
Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul,(Mesir: Dar al-Sa’adah,
1315 H), hal. 930
8
Al-Rahawi, syarh al-Manar waKhawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,
1315 H), hal. 930
9