• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.

Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan Islam.

Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf al-Ûlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal ini pun dibolehkan oleh para sahabat,

seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah.1

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2 Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan anak-anak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta izin darinya adalah lebih baik.3

Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi

1Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum

Islam dan Perundang-undangan,hal. 80.

2

Musthafa al-Siba’i,Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal. 81.

3 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm

menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih

(khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y, Ahmad dan Ishaq.4

Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia (mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.

Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh‘AisyahUmmm al-Muminîndalam hadits:

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

ﻦ ﻋ

ﻦ ﻋ

ﻦ ﻋ

ﺔ ﺸ ﺋ ﺎ ﻋ

ن أ

ﻲ ﺒ ﻨ ﻟ ا

ﻰ ﻠ ﺻ

ﻢ ﻠ ﺳ و

ﺖ ﻨ ﺑ

ﺖ ﺳ

ﺖ ﻠ ﺧ د أ و

ﺖ ﻨ ﺑ

ﻊ ﺴ ﺗ

ﺖ ﺜ ﻜ ﻣ و

ه ﺪ ﻨ ﻋ

ﺎ ﻌ ﺴ ﺗ

)

(

٥ 4

HR: Bukhari dan Muslim, lihat Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

5

Hadits No. 4840,Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani,Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri:

Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun.

Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb al-talâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita.

Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang diriwayatkandari Abdullah bin Mas’ud:

ﻦ ﻋ

د ﻮ ﻌ ﺴ ﻣ ﻦ ﺑ ﷲ ﺪ ﺒ ﻋ

ل

:

:

)

(

٦

6 HR. Bukhari dan Muslim, lihat Abu Abdurrahman bin Syu’aib al

-Nasâi, Sunan

al-Nasâ’i, Juz VI, (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, tt), hal. 47. Lihat juga ‘Ibn Daqîq al-‘Abd, Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm

Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.

Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”.8 Para ulama mendefinisikan kemampuan itu sendiri denganshalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9

Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb(kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar

7

Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul,(Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930 8

Al-Rahawi, syarh al-Manar waKhawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930 9

Jurnal Sun Choirol Ummah, Kedewasaan untuk Menikah, (Yogyakarta: UNY, t.th,) hal. 45

kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia belum dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyyah al-ada’ al-nuqshân) da nada pula yang bersifat sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kâmilah). Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan perkawinan, maka timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk membangun rumah tangga?

Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6:

            

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim tentang keagamaannya.usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat dipercaya. Orang yang dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat diberi pertanggungjawaban secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah dewasa. Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa bulûgh al-nikâh berarti sampainya seseorang kepada umur untuk

menikah, yakni sampai bermimpi, pada umur itu, katanya, seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannyahudud. Karena itu makarusyd

adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendapatkan kebaikan. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya.10 Menurut ulama Syafi’iyah, rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak kebaikan tindakannya dalam soal beragama dan harta benda.11

Bedasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan “mimpi” dan “rusyd”. akan tetapi umur mimpi danrusyd kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belumrusyddalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam tindakan sehari-hari. Karena itu, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut:

10

Muhammad Rasyid Ridha,Tafsîr al-Manâr,Juz IV, (Mesir: Al-Manar, 1325 H), hal. 387.

11

Abdul Rahman al-Jaziri,Kitâb al-Fiqh‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh,Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 353

1. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.12

2. Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat,antara lain:

a) Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masakedewasaannya untuk peria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.13

b) Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi” , karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih

12

Abdul Rahman al-Jaziri,Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh,Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 350.

13

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dar al-urubah, 1964), hal. 603.

diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.

c) Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.14

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fikih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Menurut Muhammad Atho Mudzhar,15meskipun ketentuan ini tidak ada dalam kitab-kitab fikih pembatasan perkawinan ini sudah tidak lagi menimbulkan resistensi dari berbagai kelompok Islam, bahkan telah dianggap lumrah dan biasa.

Indonesia termasuk Negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan

14

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 602

15

Muhammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir

Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki,hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Leanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Syuriah. Sisanya adalah dibawa 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendaah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan. Sementara untuk usia perempuan yang tertinggi adalah 18 tahun, yang diterapkan di Aljazair, Bangladesh, dan Somalia.16 Usia 17 tahun diterapkan di Tunisia, Suriah, dan Libanon, sedang yang sama dengan Indonesia 16 tahun untuk perempuan adalah Yaman Selatan, Pakistan, Malaysia, Libya, dan Mesir.17

Dari sekian banyak Negara, hanya Yordania yang menerapkan batasan perbedaan umur antara calon pasangan yang hendak kawin. Di Negara ini diatur bahwa jika jarak usia laki-laki dan perempuan itu lebih dari 20 tahun, sedangkan perempuan kurang dari 18 tahun maka pernikahan tersebut dilarang.18 Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak.

16

Somalia mematok usia yang sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun. 17

Tahir Mahmood,Personal Law in Islamic Countries,(New Delhy: Academy of law and Religion,1987), hal. 270; Dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak disebut bahwa seseorang dikatagorikan sebagai anak-anak ketika berusia di bawah 18 tahun. Lihat pasal 1 Konvenan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional, ( Jakarta: Komnas HAH, 2008), hal. 133.

18

Mohammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir

Hanya saja perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak. Namun demikian, menurut al-Siba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya haram.19

Bila dilihat lebih teliti pernyataan al-Siba’i yang mengutip al-Qulyubi dapat diartikan bahwa Islam tidak pernah menetapkan adanya batasan minimal usia bagi perempuan atau laki-laki untuk menikah, namun pelaksanaan pernikahan tersebut sangat terkait dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan itu sendiri. Hal ini pula kiranya yang termaktub dalam penjelasan Undang-Undang perkawinan ketika menguraikan maksud dari pasal 7, bahwa untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.20 Dalam konteks ini, pengertian perkawinan telah melampaui interpretasi kitab-kitab kelasik yang hanya menekankan bolehnya hubungan badan atara laki-laki dan perempuan (al-wath).21 Sementara dalam Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa, perkawinan sebagai ikatan lahir batin

19

Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,

hal, 89. 20

Penjelasan UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) .

21

antara suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal,22 Kedewasaan yang matang diharapkan dapat menerima dan menyelesaikan problematika rumah tangga dengan nalar yang matang dan berpikir dewasa. Dalam arti Undang-undang perkawinan menganut perinsip bahwa calon suami-istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawianan, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

B. Pandangan Medis Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan

Dokumen terkait