• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung

DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung

Buncit

Analisis kesesuaian konsep dan implementasi menggunakan ANN (Artificial Neuron Network). Adapun variabel yang digunakan adalah:

1. Keamanan bank 3. Pemenuhan janji 2. Kepastian hukum 4. Kelanjutan kerjasama

Tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM Cabang Warung Buncit setinggi 90%, score (1-5).

No Manfaat Jaminan Score Bobot Output

1 Keamanan bank 5 0.3 1.5

2 Kepastian hukum 4 0.3 1.2

3 Pemenuhan janji 4 0.2 0.8

4 Kelanjutan kerjasama 4 0.1 0.4

Jumlah output 3.9

Dalam penelitian ini, analisis bersifat kompleks (antara variabel saling berpengaruh). Adapun fungsi transformasi ditunjukan oleh rumus ANN: YT = [1 / (1 + e-Y)]

Dimana Y adalah output dari proses hubungan yang saling mempengaruhi perkalian antara nilai score dan nilai bobot tiap-tiap variabel.

Diketahui Y adalah 3.9 atau 39% (jumlah keseluruhan output) YT = [1 / (1 + e-Y)]

YT = [1 / (1 + e-3.9)] YT = [1 / (1 + 0.02)] YT = 0.98 atau 98%

Setelah dihitung dengan rumus ANN, nilai yang dihasilkan adalah 0.98 atau 98%, artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan pada tahun-tahun berikutnya.

Adanya jaminan di BSM Cabang Warung Buncit mengacu pada Undang- undang Perbankan No.10 tahun 1998 Pasal 1 No.23 yaitu agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah kepada debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Ada beberapa hal yang mendasari bank dalam memberikan nilai jaminan:

1. Untuk usaha yang dijamin dengan menggunakan uang tunai yang nilainya seratus persen. Jadi, kalau misalnya Anda meminjam uang dengan jaminan sebesar Rp 100 juta maka nilainya dihitung sama Rp 100 juta.

2. Untuk usaha yang memiliki jaminan tanah maka ada beberapa ketentuan karena untuk jaminan tanah ini ada beberapa hak antara lain tanah milik, tanah hak guna bangunan, dan tanah hak sewa. Untuk tanah hak milik, bank memberikan nilai antara 70% hingga 80%. Untuk tanah hak guna bangunan nilainya antara 60% sampai 70%, jaminan hak sewa itu tergantung banknya tetapi biasanya sekitar 50%. Kebanyakan persentase untuk bank ini menggunakan nilai PBB (pajak bumi dan bangunan) yang biasanya nilainya setengah dari harga pasar dan nilai likuidasi yaitu nilai saat menjual barang jaminan (untuk nilai ini biasanya sudah diperhitungkan biaya lelang, biaya notaris). Sebaliknya, bank jarang menggunakan nilai pasar (atau nilai jual sekarang).

3. Jaminan persediaan baik persediaan barang maupun persediaan piutang. Dalam jaminan persediaan ini dikenal adanya resi gudang. Akibat resi gudang ini, nilai persediaan barang bisa naik nilainya antara 50% hingga 60%, tapi kalau tanpa resi gudang, maka jaminan persediaan barang tidak ada nilainya atau jika ada maka nilainya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena jaminan ini tidak bisa dipegang.

Penilaian bank atas barang jaminan bersifat konservatif dalam arti benar-benar menjamin kepentingan bank karena diharapkan nilai jaminan itu saat dieksekusi harganya akan sama dengan yang diperkirakan oleh bank. Perkiraan bank itu berdasarkan pengalaman pada saat bank mengeksekusi atau pada saat menjual barang jaminan, karena menjual jaminan pada saat kolaps harganya akan jauh dibandingkan menjual pada saat usaha sedang berkembang. Oleh karena itu, bank mengambil nilai pada saat perusahaan macet. Pada prinsipnya, bank memang bukan membayar barang jaminan tetapi membiayai usaha.

Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah. Jual beli ini diperbolehkan karena bukan merupakan jual beli atas jual beli orang lain. Jual beli barang jaminan dengan cara lelang akan disebut sah apabila memenuhi syarat-syarat dalam jual beli, adanya syarat kejelasan dalam hal wujud barang, kualitas, ukuran ataupun harga. Dan pada dasarnya jual beli lelang barang jaminan diperbolehkan menurut perspektif hukum islam.

Di dalam Al-Qur‟an tidak ada aturan pasti yang mengatur tentang lelang, begitu juga dengan hadits. Berdasarkan definisi lelang, dapat disamakan (diqiyaskan) dengan jual beli di mana ada pihak penjual dan pembeli. Di mana bank dalam hal ini sebagai pihak penjual dan masyarakat yang hadir dalam pelelangan tersebut sebagai pihak pembeli.

Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun dalam Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002, yaitu:

a. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (bank) harus memperingatkan rahin (nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun (barang jaminan) dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan (bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).

d. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

Di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dalam praktiknya:

a. Pihak nasabahyang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat pemberitahuan keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila nasabah tidak menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan mengeksekusi langsung jaminan tersebut. Dilihat dari praktiknya, dalam hal peringatan bank terhadap nasabah pada saat jatuh tempo, maka dapat dikatakan BSM telah sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002.

b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya,

maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus oleh rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut adalah sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika dilihat dari praktiknya, dalam hal perlakuan terhadap marhun yang jatuh tempo dan tidak ditebus, maka BSM telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan (biaya lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial). Dilihat dari praktiknya, dalam hal perlakuan terhadap hasil penjualan marhun, maka BSM telah sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002. d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar

lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan. Dilihat dari praktiknya, perlakuan terhadap kelebihan hasil penjualan marhun di BSM, telah sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan penulis, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah: menurut Malik dan Syafi‟I mengingat hubungan antara investor dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib adalah orang yang dipercaya maka tidak ada jaminan. Namun para ahli hukum Islam kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah, menyatakan bahwa jaminan dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan karena untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus menerapkan asas prudential dan kondisi masyarakat yang telah berubah dalam hal komitmen terhadap nilai-nilai akhlak, seperti kepercayaan dan kejujuran. Oleh sebab itu, larangan jaminan dalam mudhârabah yang prinsip dasarnya bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. Meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan.

2. Konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah:

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah. Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) yang membolehkan praktik jaminan tersebut. Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan modal pinjaman maka dilakukan eksekusi / pelelangan jaminan. Pada prinsipnya, islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad Ba‟I muzayadah, berdasarkan ketentuan umum Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002.

3. Konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai dengan prinsip jaminan karena mengacu pada Undang-undang Perbankan No.10 tahun 1998, Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN No.8/DSN- MUI/IV/2000 yang membolehkan lembaga keuangan syariah meminta jaminan. Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah berdasarkan

Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002. Implementasi bank tentang pelelangan sudah sesuai Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:

a. Pihak nasabah yang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat pemberitahuan keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila nasabah tidak menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan mengeksekusi langsung jaminan tersebut.

b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus oleh rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut adalah sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan. c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan (biaya lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial).

d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan

penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan.

Dari analisis tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM Cabang Warung Buncit, dengan menggunakan analisis ANN (Artificial Neuron Network) diketahui tingkat kesesuaian antara konsep dan implementasi setinggi 0.98 atau 98%. Artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan pada tahun-tahun berikutnya.

B. Saran-Saran

Adapun masukan atau saran-saran yang bermanfaat dari penulis untuk pembahasan skripsi ini adalah :

1. Hendaknya nasabah yang melakukan pinjaman di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit diharapkan memiliki rasa tanggung jawab penuh untuk mengembalikan modal pinjaman atas pinjaman yang diberikan.

2. Pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, untuk pembiayaan pinjaman yang relatif kecil, sebaiknya di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit diberikan toleransi pinjaman tanpa jaminan agar masyarakat kelas kecil dan menengah dapat melakukan pinjaman di bank.

3. Dalam akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, diharapkan peminjam dan bank bersifat amanah agar masing-masing pihak memiliki rasa kepercayaan yang penuh dalam menjalankan usahanya.

4. Dana pinjaman yang diberikan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah adalah dana milik pribadi bank dan tabungan nasabah sehingga dengan adanya jaminan merupakan alternatif agar peminjam mengembalikan dana pinjamannya.