• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 GAMBARAN UMUM EKONOMI PARIWISATA INDONESIA DAN DUNIA

6 ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN PARIWISATA INDONESIA

Analisis Permintaan Pariwisata Indonesia

Model ini akan digunakan untuk menganalisis dampak aliran investasi, dan perdagangan barang/jasa pariwisata internasional terhadap sisi permintaan pariwisata Indonesia (tujuan penelitan nomor 2). Persamaan penerimaan pariwisata Indonesia terdiri dari 3 variabel dependent (terdiri dari kunjungan wisman (TAit), konsumsi/pengeluaran wisatawan per kunjungan di Indonesia (TEit), dan total permintaan pariwisata Indonesia (TDt), serta 8 variabel independent (terdiri dari pendapatan per kapita negara asal wisatawan (YCjt), harga riil pariwisata Indonesia di negara asal wisatawan (Pjt), nilai tukar riil (ERjt), inflow barang/jasa pariwisata dari negara wisman ke Indonesia (IFjt), outflow barang/jasa pariwisata Indonesia ke negara asal wisamn (OFjt), investasi (fisik) yang disediakan untuk sektor pariwisata (FDI_INAt), dummy krisis ekonomi Indonesia (D1it), dummy travel warning Indonesia (D2it), dan dummy travel warning negara lain (D3kt). Perubahan yang terjadi pada 8 variabel independen tersebut akan memengaruhi besar kecilnya jumlah kunjungan wisatawan, dan konsumsi wisatawan per kunjungan. Adapun hasil estimasi permintaan pariwisata pada Tabel 13 dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil uji Chow (Lampiran 8) maka hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV adalah metode yang akan digunakan, dimana H0 : PLS dan H1 : LSDV dengan nilai-p (0.000) < alpha 5 persen (two- tailed) sehingga H0 ditolak dan Hi diterima . Hasil estimasi pada metode LSDV juga menunjukkan bahwa variabel GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow/inflow barang/jasa pariwisata Indonesia, harga riil pariwisata Indonesia, biaya transportasi, krisis ekonomi, dan travel warning Indonesia merupakan variabel yang signifikan berpengaruh terhadap variabel jumlah kunjungan wisatawan.

Selain itu juga berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV (Tabel 13) sebagai metode yang dipilih maka diperoleh pengaruh variabel independent (GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow/inflow barang/jasa pariwisata Indonesia, harga riil pariwisata Indonesia, biaya transportasi, krisis ekonomi, dan travel warning Indonesia) secara bersama-sama memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan dengan F-statistik yang diperoleh 7322.59 (taraf nyata 5 persen) > F-Tabel sebesar 3.84 sehingga H0 ditolak dan Hi di terima. Ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia.

Adapun koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 0.99 menunjukkan bahwa kemampuan variabel GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow/inflow barang/jasa pariwisata Indonesia, harga riil pariwisata Indonesia,

biaya transportasi, krisis ekonomi, dan travel warning Indonesia dalam menjelaskan variasi dari variabel jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia adalah sebesar 99 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen variasi variabel jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia dijelaskan oleh faktor lain diluar pengamatan seperti promosi pariwisata, teknologi yang digunakan, dan harga riil pariwisata negara pesaing.

Secara individu diketahui bahwa variabel GDP per kapita positif berpengaruh secara signifikan (taraf nyata 2.04 persen < alpha 5 persen) terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan GDP per kapita negara asal wisatawan sebesar 1 persen akan meningkatkan kunjungan wisatawan sebesar koefisien perubahnnya. Sebaliknya variabel outflow barang/jasa pariwisata negatif berpengaruh signifikan (taraf nyata 1.62 persen < alpha 5 persen) terhadap besarnya kunjungan wisatawan. Hal ini berarti meski terjadi kenaikan kunjungan wisatawan, akan tetapi justru outflow (ekspor) barang/jasa pariwisata menurun. Salah satu penyebab adalah rendahnya daya saing produk pariwisata dalam negeri. Menurut data World Economic Forum (2011), daya saing produk pariwisata Indonesia, berada pada peringkat ke-116 dengan nilai yang diperoleh adalah 2.0 (Lampiran 10), jauh dibanding daya saing produk wisata dari negara Malaysia (peringkat 54), Singapura (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 82).

Seperti diketahui bahwa GDP per kapita merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi makro suatu negara, dimana dengan peningkatan GDP per kapita berarti menunjukan besarnya output barang/jasa yang dihasilkan di suatu negara. Dan dengan peningkatan output barang/jasa tersebut akan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat, hal ini disebabkan terjadi peningkatan pada penggunaan faktor-faktor produksi di masyarakat. Dengan kata lain sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka pendapatan masyarakat pun cenderung meningkat, dan kondisi inilah yang menyebabkan daya beli masyarakat meningkat termasuk kemampuan daya beli masyarakat dalam melakukan kegiatan wisata. Sedangkan dampak negatif aliran permintaan barang/jasa pariwisata Indonesia yang dibawa wisatawan ke luar (outflow) terhadap besarnya kunjungan wisatawan yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan besarnya outflow barang/jasa pariwisata dari Indonesia ke luar negeri akan menurunkan kunjungan wisatawan.

Pengaruh penyediaan investasi pariwisata Indonesia terhadap kunjungan wisatawan berdasarkan hasil estimasi persamaan kunjungan wisatawan adalah positif dan tidak signifikan. Tidak berpengaruhnya hubungan antara penyediaan investasi pariwisata terhadap kunjungan wisatawan Indonesia menunjukan bahwa investasi pariwisata di Indonesia sebagian besar merupakan investasi pendukung pariwisata atau investasi dari sektor lain yang secara langsung maupun tidak langsung (dapat) digunakan dalam kegiatan pariwisata. Seperti misalnya investasi fisik berupa infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, rumah pemotongan hewan, ataupun perkebunan bunga (dalam pencatatatan statitsik masuk dalam kategori sektor pengangkutan, peternakan, dan pertanian) yang tidak termasuk dalam investasi sektor pariwisata namun fungsi dan kegunaannya secara langsung bisa digunakan dalam sektor pariwisata. Dengan kata lain investasi sektor pertanian maupun non-pertanian dapat memberikan multiplier efek kepada sektor pariwisata. Selain itu juga, kecilnya daya saing investasi pariwisata Indonesia juga

merupakan salah satu faktor dari tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap kunjungan wisman ke Indonesia.

Berdasarkan Lampiran 10 (tabel peringkat daya saing pariwisata Indonesia), menunjukan bahwa daya saing ketersediaan investasi pariwisata Indonesia hanya menduduki peringkat 86 dengan total nilai 3.3 yang berasal dari penilaian pada ketersediaan infrastruktur transportasi, komunikasi, dan layanan wisata. Peringkat dan nilai tersebut menunjukan bahwa infrastruktur dan ketersediaan investasi fisik di Indonesia masih cukup kecil dan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan dari permintaan wisatawan terutama jika dikaitkan dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan rata-rata sebesar 5 persen selama periode 2005-2012 (Kemenpraf, 2013)

Pengaruh variabel biaya transportasi terhadap jumlah kunjungan wisatawan, beradasarkan hasil estimasi yang diperoleh adalah negatif dan memengaruhi secara signifikan (taraf nyata 1.32 persen < alpha 5 persen). Hal ini menunjukan bahwa dengan meningkatnya biaya transportasi sebesar 1 persen akan menurunkan besarnya kunjungan wisatawan sebesar koefisien perubahannya. Kondisi ini juga mengisyaratkan bahwa dengan semakin mahalnya biaya transportasi dari negara asal wisatawan ke Indonesia (atau sebaliknya) akan berdampak pada menurunnya jumlah kunjungan wisatawan, karena semakin besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh wisatawan tersebut. Berdasarkan laporan World Forum Indonesia 2011 peringkat daya saing pariwisata Indonesia mengenai biaya transportasi Indonesia dengan nilai sebesar 5.8 meduduki peringkat 40 setelah Malaysia, dan Singapura bahkan Thailand menduduki peringkat ke-15 dengan nilai sebesar 4.2 (Lampiran 10). Ini menujukkan bahwa daya saing pariwisata untuk kategori biaya transportasi masih kalah dengan negara tetangga terdekat Malaysia, Singapura, dan Thailand. Lampiran 10 menunjukan bawa biaya transportasi di Indonesia yang dinyatakan dengan harga pengisian bahan bakar pesawat bila dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand masih jauh lebih rendah, tetapi bila dibandingkan dengan Malaysia justru biaya transportasi di Indonesia masih lebih mahal (Indonesia berada di urutan 19 sedangkan Singapura berada pada urutan 14).

Begitu juga dengan hasil estimasi pada variabel aliran permintaan barang/jasa pariwisata yang masuk (inflow) ke Indonesia yang berpengaruh positif dan signifikan (taraf nyata 4.4 persen < alpha 5 persen) terhadap besarnya kunjungan wisatawan ke Indonesia. Hal ini menunjukkan jika terjadi peningkatan aliran permintaan barang/jasa pariwisata yang masuk (inflow) ke Indonesia akan meningkatkan besarnya jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia sebesar koefisien perubahannya. Besarnya aliran permintaan barang/jasa pariwisata yang masuk dan keluar tentu saja berdampak pada besarnya jumlah kunjungan wisatawan, karena dalam kegiatan pariwisata baik barang maupaun jasa merupakan komoditas yang dikonsumsi dan diperlukan oleh wisatawan selama melakukan aktivitas wisata seperti makanan, akomodasi, transportasi, souvenir, maupun barang-barang lain yang dibawa masuk (impor) maupun keluar (ekspor), seperti diketahui bahwa dalam aktivitas pariwisata barang/jasa yang dikonsumsi yang berasal dan dibawa masuk oleh wisman dikategorikan sebagai barang impor pariwisata sedangkan barang atau jasa yang dikonsumsi wisatawan dan dibawa keluar dikategorikan sebagai barang ekspor pariwisata.

Hasil estimasi menunjukan secara individu, besarnya investasi pariwisata yang masuk ke Indonesia negatif tidak berpengaruh secara signifikan (nilai-p (0.493) > alpha 5 persen) terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Begitu juga dengan nilai tukar adalah negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan (nilai-p (0.133) > alpha 5 persen) terhadap jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Kondisi tidak berpengaruhnya nilai tukar terhadap besarnya kunjungan wisatawan mengartikan bahwa nilai tukar bukan merupakan suatu faktor yang memengaruhi pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Indonesia selama ini.

Begitu juga dengan adanya kenaikan harga riil pariwisata Indonesia di negara-negara asal wisatawan terhadap besarnya kunjungan wisatawan akan memengaruhi daya saing pariwisata Indonesia, jika daya saing (harga) menurun maka harga pariwisata Indonesia dianggap mahal dibanding negara lain. Dimana harga yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata akan memberikan imbas atau timbal balik pada wisatawan yang akan berpergian, sehingga permintaan wisatapun akan berkurang begitu pula sebaliknya Apalagi jika pariwisata Indonesia hanya merupakan substitusi dari pariwisata negara lain seperti Singapura, Malaysia, ataupun Thailand sebagai negara pesaing di kawasan Asean, sehingga tidak memungkinkan para wisman akan mengalihkan/mengubah perjalanannya dari Indonesia (Ariyanto, 2005).

Dari hasil estimasi Tabel 13 diperoleh harga riil pariwisata Indonesia adalah negatif berpengaruh siginifikan (taraf nyata 2.42 persen < alpha 5 persen) terhadap besarnya jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil pariwisata domestik sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah kunjungan wisatawan sebesar koefisien perubahannya. Seperti halnya kondisi dimana suatu negara mengalami krisis ekonomi biasanya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dimana terjadi peningkatan inflasi dan kurs mata uang yang terdepresiasi (Hanafiah dan Harun, 2011). Sehingga dengan terdepresiasinya mata uang domestik terhadap mata uang asing akan berimbas pada harga-harga barang di dalam negeri yang akan jauh lebih murah daripada harga-harga barang di luar negeri, dengan kata lain negara tersebut akan mengalami daya saing pada harga yang lebih baik dengan harga- harga di negara lain dan tentu saja akan memengaruhi besarnya permintaan (Dornbusch, et.al; 2004).

Sedangkan variabel krisis ekonomi (sebagai faktor kualitatif) terhadap besarnya kunjungan wisatawan berdasarkan Tabel 13 menunjukan adanya pengaruh yang signifikan (taraf nyata 4.54 persen < alpha 5 persen) dan negatif. Ini berarti dengan adanya krisis ekonomi akan berdampak negatif terhadap besarnya jumlah kunjungan wisatawan sebesar koefisien perubahannya. Seperti diketahui bahwa pada saat krisis ekonomi, daya beli masyarakat cenderung menurun akibat menurunnya pendapatan masyarakat. Sehingga dengan menurunnya daya beli masyarakat tersebut juga akan berpengaruh terhadap daya beli pariwisata.

Sedangkan dampak dummy travel warning terhadap, kunjungan wisatawan pada hasil estimasi adalah negatif dan berpengaruh signifikan (taraf nyata 0.79 persen < alpha 5 persen) yang berarti jika diberlakukannya travel warning akan berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Seperti diketahui bahwa dalam dunia pariwisata, masalah faktor keamanan merupakan hal yang sangat sensitif bagi perkembangan pariwisata karena hal itu

menyangkut tingkat keanyamanan dan keamanan pariwisata domestik di mata pariwisata dunia (Lumaksono, 2011). Secara empiris juga dinyatakan bahwa tingkat keamanan juga merupakan suatu indikator penting dalam menilai daya saing pariwisata nasional di luar negeri. Adapun berdasarkan Lampiran 10 mengenai peringkat daya saing Indonesia dalam kategori jaminan keamanan dan kenyamanan ada pada peringkat 72, jauh lebih baik dibandingkan dengan Thailand yang berada pada peringkat 94, bahkan Malaysia dan Singapura yang berada pada peringkat 83 (World Forum Economic, 2011)

2. Berdasarkan hasil uji Chow (Lampiran 8) maka hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV yang akan dipilih, dimana H0 : PLS dan H1 : LSDV dengan nilai-p (0.000) < alpha 5 persen sehingga H0 ditolak dan Hi diterima . Hasil estimasi pada metode LSDV juga menunjukkan bahwa GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow dan inflow barang/jasa pariwisata, harga riil pariwisata Indonesia, nilai tukar rupiah, travel warning Indonesia, dan travel warning negara pesaing, merupakan variabel yang signifikan berpengaruh terhadap konsumsi wisatawan per kunjungan.

Selain itu juga berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV (Tabel 13) sebagai metode yang digunakan yang selanjutnya diperoleh pengaruh variabel independent (GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow dan inflow barang/jasa pariwisata, harga riil pariwisata Indonesia, nilai tukar rupiah, travel warning Indonesia, dan travel warning negara pesaing) secara bersama-sama memengaruhi konsumsi wisatawan per kunjungan dengan F- statistik yang diperoleh 1217.7 pada taraf nyata 5 persen > F-tabel sebesar 3.84 sehingga H0 ditolak dan Hi di terima. Ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel konsumsi wisatawan per kunjungan.

Sedangkan koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 0.99 menunjukkan bahwa kemampuan variabel GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow dan inflow barang/jasa pariwisata, harga riil pariwisata Indonesia, nilai tukar, travel warning Indonesia, dan travel warning negara pesaing dalam menjelaskan variasi dari variabel konsumsi wisatawan per kunjungan adalah sebesar 99 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen variasi variabel konsumsi wisatawan per kunjungan dijelaskan oleh faktor lain diluar pengamatan.

Sedangkan secara individu (Tabel 13) masing-masing variabel independen GDP per kapita negara asal wisatawan, outflow barang/jasa pariwisata, nilai tukar, dan dan travel warning negara pesaing positif berpengaruh signifikan (taraf nyata 3.32 persen < alpha 5 persen) terhadap konsumsi wisatawan per kunjungan (TEit). Hal ini menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan pada faktor-faktor tersebut sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah konsumsi wisatawan per kunjungan sebesar masing-masing koefisien perubahannya tersebut.

Begitu juga dengan variabel inflow barang/jasa pariwisata positif sangat berpengaruh signifikan (taraf nyata 0.00 persen < alpha 5 persen) terhadap konsumsi wisatawan per kunjungan. Ini berarati apabila inflow meningkat 1 persen akan meningkatkan besarnya konsumsi wisatawan per kunjungan sebesar koefisien perubahannya. Kondisi ini tentu saja sangat ironis dan memprihatinkan dibalik keberhasilan perkembangan pariwisata nasional masih tingginya penggunaan produk-produk impor, yang sekaligus menandakan bahwa adaya

saing produk dalam negeri (khususnya daya saing produk wisata) masih rendah. Apabila mengacu pada laporan World Economic Forum (2011), daya saing produk pariwisata Indonesia masih berada pada peringkat ke-116 (WEF, 2011).

Secara empiris Tabel 13 menunjukkan harga riil pariwisata negatif sangat berpengaruh signifikan (taraf nyata 0.00 persen < alpha 5 persen) terhadap pengeluaran/konsumsi wisatawan (inbound dan wisnus) per kunjungan adalah negatif. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap USD negatif berpengaruh signifikan (taraf nyata 5 persen) terhadap variabel endogen konsumsi wisatawan per kunjungan, dan ini berarti jika harga pariwisata Indonesia naik maka konsumsi wisatawan akan menurun.

Pengaruh negatif harga riil pariwisata dan nilai tukar terhadap konsumsi wisatawan menunjukan bahwa dengan adanya kenaikan harga (riil) dan apresiasi nilai tukar (riil) menunjukkan bahwa harga pariwisata Indonesia cenderung mahal dan akan memengaruhi besanya konsumsi yang akan dikeluarkan oleh wisatawan. Menurut Hanafiah dan Harun (2011) kegiatan pariwisata merupakan jenis kegiatan yang melibatkan perpindahan barang/jasa, modal, dan tenaga kerja antar wilayah/negara yang menimbulkan adanya aliran masuk maupun keluar yang memengaruhi permintaan dan penawaran pariwisata. Dan dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi wisatawan maka ekspor maupun impor barang/jasa, modal, dan tenaga kerja dilakukan, dan menggunakan nilai tukar sebagai instrumen pembayaran. Pada saat permintaan akan barang/jasa, modal, dan tenaga kerja pariwisata tidak dapat dipenuhi di dalam negeri, impor merupakan salah satu cara yang paling sering dilakukan. Dan pada saat volume impor meningkat maka mata uang dalam negeri akan melemah terhadap mata uang asing dan sebaliknya pada saat volume ekspor komoditas barang/jasa mata uang dalam negeri akan menguat terhadap mata uang asing.

Adapun pengaruh variabel kualitatif krisis ekonomi negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan (nilai p (0.1128) > alpha 5 persen) terhadap varibel konsumsi wisatawan per kunjungan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya krisis ekonomi cenderung tidak berpengaruh terhadap naik turunnya konsumsi wisatawan.

Selain itu juga, hasil estimasi pada Tabel 13 diketahui bahwa variabel outflow barang/jasa pariwisata positif dan berpengaruh signifikan (taraf nyata 2.87 persen < alpha 5 persen) terhadap variabel endogen konsumsi wisatawan per kunjungan. Pengaruh positif outflow barang/jasa pariwisata terhadap besarnya konsumsi wisatawan per kunjungan menunjukan besarnya jumlah barang/jasa yang digunakan/dikonsumsi wisatawan selama di Indonesia baik itu yang berasal dan dibawa dari negaranya saat berkunjung ke Indonesia (inflow) maupun barang- barang lokal yang dibeli dan dibawa oleh wisatawan ke negara asalnya (outflow). Ini berarti pada saat konsumsi meningkat (sebagai akibat meningkatnya pendapatan masyarakat), maka kebutuhan akan barang-barang baik yang diperoleh di dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri (impor) cenderung meningkat, dan sebaliknya pada saat tingkat konsumsi masyarakat menurun kecenderungan untuk mengalokasikan pengeluarannya kepada barang/jasa baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor juga menurun. Begitu juga dengan pengaruh positif GDP perkapita terhadap konsumsi wisatawan pada hasil estimasi adalah positif. Ini menunjukan bahwa dengan naiknya GDP per kapita di suatu

negara akan memengaruhi daya beli masyarakatnya termasuk juga kemampuan mengkonsumsi barang/jasa pariwisata.

Selain faktor-faktor kuantitatif, faktor kualitatif dalam pariwisata juga diperhitungkan adapun faktor kualitatif yang paling umum untuk mengukur besarnya permintaan pariwisata adalah travel warning (Bull, 1995). Menurutnya bahwa travel warning merupakan faktor gucangan (shocks) yang paling sering digunakan untuk menentukan besarnya jumlah kedatangan wisman disuatu negara, maka faktor ini juga merupakan faktor yang patut diperhitungkan dan paling umum digunakan oleh negara-negara didunia dalam menentukan target penerimaan wisatawan. Tentu saja dengan kebijakan travel warning akan berdampak pada besarnya konsumsi wisatawan selama berkunjung di suatu daerah tujuan wisata (Adi Lumaksono, 2011).

Hasil estimasi menunjukan bahwa adanya pengaruh positif yang signifikan (taraf nyata 1.62 persen < alpha 5 persen) dari travel warning negara pesaing terhadap besarnya konsumsi wisatawan per kunjungan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan masalah keamanan yang terjadi di negara lain (pesaing) akan memberikan keuntungan bagi perkembangan pariwisata Indonesia. Seperti yang terjadi di Thailand selama tahun 2013-2014 ini, dimana dengan terjadinya suhu politik yang memanas di negara tersebut, justru berdampak positif terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke Indonesia. Seperti diketahui bahwa pariwisata Indonesia pada dasarnya merupakan subtitusi dari pariwisata beberapa negara di Asean. Sehingga apabila ada beberapa faktor gangguan di negara-negara pesaing tersebut akan berdampak positif terhadap kepariwisataan Indonesia. Selain itu juga daya saing pariwisata Indonesia pada kategori penilaian keamanan, berdasarkan laporan World Forum Economic tahun 2011 (Lampiran 10) berada pada peringkat ke-72 masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang berada pada peringkat ke-83, bahkan dengan Thailand yang berada pada peringkat ke-94 (World Forum Economic, 2011).

3. Berdasarkan hasil uji Chow (Lampiran 8) maka hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV yang akan dipilih, dimana H0 : PLS dan H1 : LSDV dengan nilai-p (0.000) < alpha 5 % sehingga H0 ditolak dan Hi diterima . Hasil estimasi pada metode LSDV juga menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan, konsumsi wisatawan per kunjungan, GDP per kapita negara asal wisatawan. Dan harga riil pariwisata Indonesia, merupakan variabel yang signifikan berpengaruh terhadap permintaan pariwisata Indonesia.

Selain itu juga berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode LSDV (Tabel 13) sebagai metode yang digunakan yang selanjutnya diperoleh pengaruh variabel independent (jumlah kunjungan wisatawan, konsumsi wisatawan per kunjungan, GDP per kapita negara asal wisatawan. Dan harga riil pariwisata Indonesia) secara bersama-sama memengaruhi konsumsi wisatawan per kunjungan dengan F-statistik yang diperoleh 9264.53 pada taraf nyata 5 persen > F-tabel sebesar 3.84 sehingga H0 ditolak dan Hi di terima. Ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen signifikan berpengaruh terhadap variabel permintaan pariwisata Indonesia.

Adapun koefisien determinasi (R-square) yang diperoleh sebesar 0.99 menunjukkan bahwa kemampuan variabel jumlah kunjungan wisatawan, konsumsi wisatawan per kunjungan, GDP per kapita negara asal wisatawan, dan

harga riil pariwisata Indonesia dalam menjelaskan variasi dari variabel permintaan pariwisata Indonesia adalah sebesar 99 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen variasi variabel permintaan pariwisata Indonesia dijelaskan oleh faktor lain diluar pengamatan seperti: promosi pariwisata, teknlogi yang digunakan, harga substitusi pariwisata dari negara pesaing, dan selera masyarakat dunia.

Hasil estimasi Tabel 13 juga menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan, dan konsumsi wisatawan per kunjungan positif sangat berpengaruh secara signifikan (taraf nyata 0.00 persen < alpha 5 persen) terhadap variabel endogen total permintaan pariwisata. Sedangkan variabel harga pariwisata Indonesia positif berpengaruh signifikan (taraf nyata 5 persen ≤ alpha 5 persen) terhadap total permintaan pariwisata Indonesia (TDt) sebaliknya variabel pendapatan per kapita negara asal wisatawan tidak berpengaruh signifikan (nilai-p (0.0632) > alpha 5 persen) terhadap total permintaan pariwisata Indonesia. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ke- tiga variabel eksogen tersebut merupakan variabel/faktor yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan total permintaan pariwisata Indonesia, sekligus dapat menjadi acuan bagi peningkatan daya saing pariwisata Indonesia terutama jika dibandingkan dengan daya saing negara-negara Asean lainnya (Malaysia, Singapura, dan Thailand) yang posisinya berada pada peringkat jauh diatas Indonesia (Lampiran 10). Adapun pembahasan diatas dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 13 sebagai berikut:

Tabel 13 Hasil estimasi permintaan pariwisata Indonesia

Model Variabel Koefisien Pr > l t l R²

Jumlah Kunjungan Wisatawan inbound dan wisnus (TA)

GDP Perkapita negara asal

wisatawan 0.0054 0.0204

0.99857 Outflow barang/jasa pariwisata -0.0301 0.0162

Inflow barang/jasa pariwisata 0.07205 0.0440 Harga riil Pariwisata Indonesia -0.2673 0.0242

Nilai Tukar riil -0.0063* 0.4926

Investasi yang Tersedia untuk

Pariwisata Indonesia 0.006* 0.1327

Biaya transportasi -0.0117 0.0462

Krisis Ekonomi -0.0003 0.0454

Travel Warning Indonesia -0.0205 0.0079

Konsumsi wisatawan dan wisnus per kunjungan (TE)

GDP Perkapita negara asal

wisatawan 0.1703 0.0332

0.99141 Outflow barang/jasa pariwisata 0.05243 0.0287

Inflow barang/jasa pariwisata 0.24469 0.0000 Harga riil pariwisata Indonesia -0.626 0.0000

Nilai Tukar riil -0.5864 0.0516

Krisis Ekonomi -0.0479* 0.1128

Dokumen terkait