• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS Tinjauan Pustaka

2. Inflasi Desakan Biaya ( Cosh Push Inflation )

Inflasi desakan biaya (cost push inflation) adalah inflasi yang terjadi akibat adanya kelangkaan produksi atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai perekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.

Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dan lainnya), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dan lain-lainl yang memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan

yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu : kenaikan harga, misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

Beberapa kenaikan harga barang/jasa dalam proses produksi

(intermediate goods) akan berdampak pada harga barang/jasa (final goods)

termasuk harga barang/jasa pariwisata. Seperti halnya dengan kenaikan BBM akan memicu kenaikan ongkos/biaya transportasi dan selanjutnya memengaruhi besarnya kenaikan harga produk-produk pariwisata. Adapun untuk lebih jelas mengenai terjadinya inflasi desakan biaya, dapat dilihat pada Gambar 7 sebagai berikut: Harga S2 S1 P2 P1 output Q1 Q2

Gambar 7. Proses terjadinya inflasi desakan biaya (Cosh push inflation) Sumber: Mankiw, 2004

Gambar 7 disajikan kurva penawaran pariwisata bergeser dari S1 ke S2 harga tertentu saja naik dan menyebabkan inflasi dorongan biaya. Naiknya harga dan turunnya output seringkali diberi nama dengan stagnasi inflasi.

Harga pariwisata

Harga pariwisata merupakan harga yang terbentuk dalam kegiatan/aktivitas pariwisata, dimana dengan adanya interaksi antara permintaan dan penawaran wisata akan membentuk harga keseimbangan pariwisata (Bull, 1995). Terbentuknya harga keseimbangan dalam pasar pariwisata dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan geografi dan persepsi dari produk wisata yang diminta dan yang tersedia antar wilayah (tujuan wisata dan asal wisatawan). Seperti diketahui bahwa analisis keseimbangan pada umumnya berkaitan dengan kegiatan ekonomi nasional. Sementara itu 90 persen harga yang terbentuk dari kegiatan wisata internasional diukur berdasarkan lama tinggal dengan pendekatan dan ukuran domsetik dangan sangat sedikit data yang diperoleh berdasarkan pendekatan internasional. Oleh karena itu pasar wisata di suatu negara merupakan gabungan dari permintaan domestik dan internasional, dan komponen internasional akan lebih mendominasi dibandingkan dengan perdagangan luar negeri pada umumnya terhadap pasar domestik. Kondisi tersebut jelas akan lebih rumit apabila perlu adanya kesesuaian antara besarnya produk yang tersedia terhadap besarnya permintaan, dan permintaan terhadap penyediaan produk di daerah tujuan wisata.

Adapun metode penentuan harga pariwisata di Indonesia diambil berdasarkan data yang diperoleh dari Passenger Exit Survey (PES) yang dilakukan oleh Kemenpraf setiap dua tahun, data Survey inbound/outbound tourism yang dilakukan secara berkala setiap bulan, data harian keimigrasian (E/D card).

Adapun survey mengenai tujuan, lama tinggal, dan rata-rata pengeluaran wisatawan selama berkunjung yang dicatat dalam PES merupakan suatu data rujukan dan menjadi standar bagi penentuan harga pariwisata di Indonesia.

Selain itu UNWTO (2011) juga menyatakan bahwa metode penentuan harga pariwisata dapat diambil dari besarnya pengeluaran dan biaya hidup wisatawan ssat mereka berkunjung ke negara/daerah tujuan wisata yang menjadi dasar terbentuknya Travel, Transport, and Tourism Price Index (TTPI). Dengan kata lain TTPI merupakan indeks harga pariwisata yang mengGambarkan adanya perubahan harga barang/jasa dalam kegiatan pariwisata yang dikonsumsi oleh wisatawan (inbound dan wisnus) selama melakukan perjalanan wisata. Data harga tersebut diambil berdasakan survey yang diambil dari IHK dan data yang diambil berdasarkan hasil survey rata-rata pengeluaran wisatawan. Sedangkan data pengeluaran wisatawan yang akan menjadi indikator penentuan harga rata- rata pariwisata akan terbagi menjadi berbagai kegiatan yang terdiri dari (1) paket perjalanan, (2) akomodasi, (3) makanan dan minuman, (4) transportasi, (5) kegiatan rekreasi, budaya, dan olah raga, (6) belanja, dan lainnya.

Penentuan harga pariwisata yang diperoleh dari survey biaya hidup wisatawan, pada akhirnya akan membentuk harga pariwisata (baik harga permintaan pariwisata maupun harga penawaran pariwisata). Harga permintaan pariwisata merupakan harga yang terbentuk dari besarnya permintaan barang/jasa pariwisata, sedangkan harga penawaran pariwisata adalah harga yang terbentuk dari besarnya penawaran barang/jasa pariwisata termasuk dalam hal ini biaya produksi yang digunakan. Adapun perhitungan TTPI yang akan menentukan besarnya indeks harga pariwisata menurut UNWTO (2011) dilandasi oleh rumus Laspeyres sebagai berikut:

I = (  Pt. Qo/  Po. Qo) * 100 I = (  Pt/Po ) * W / W ) * 100

Dimana: Pt adalah harga individu produk pada tahun ke-t, Po dan Qo adalah harga dan kuantitas individu/ produk tertentu pada tahun dasar, W adalah masa (variabel) pada produk/ individu tertentu.

Daya Saing

Menurut Porter dalam Daryanto (2009) konsep daya saing yang dapat diterapkan dalam level nasional tidak lain adalah produktivitas yang didefinisikan sebagi nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Oleh Bank Dunia, produktivitas juga dinyatakan sebagai besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.

Sedangkan Institute Management Development (IMD) dalam Daryanto (2009) menyatakan bahwa daya saing nasional merupakan bentuk kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agregativitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial sehingga negara dalam hal ini mampu menciptakan daya saing domestik dan global melalui peranannya menciptakan iklim yang kondusif bagi ekonomi nasional.

Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing suatu negara menurut Porter (1990) dala Daryanto (2009):

1. faktor pokok

Ada empat faktor produksi yang merupakan faktor pokok terdiri dari kondisi produksi (production condition), kondisi permintaan pasar (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industries) serta strategi perusahaan, struktur perusahaan dan rivalitas (strategy, structure, and rivalry).

2. faktor penunjang. Adapun dua faktor penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan pemerintah (role of government).

Daya saing Pariwisata

Pengertian daya saing suatu negara dalam kepariwisataan adalah kemampuan menarik kunjungan wisatawan, baik wisatawan yang datang langsung ke negara tersebut, maupun yang datang setelah berkunjung ke negara lain. Secara umum daya saing yang perlu ditingkatkan untuk memacu pertumbuhan pariwisata nasional mencakup tiga aspek yaitu:

1. daya saing negara termasuk di dalamnya organisasi pariwisata nasional dan kualitas sumber daya manusia yang terdapat di negara tersebut;

2. daya saing masyarakat termasuk di dalamnya nilai-nilai yang dimiliki masyarakat dalam menyikapi kepariwisataan;

3. daya saing unit bisnis kepariwisataan termasuk kemampuan dalam mengantisipasi keinginan wisatawan yang semakin meningkat.

World Economic Forum (WEF) tahun 2011 telah menerbitkan index daya saing pariwisata dunia tahun 2011. Index ini menempatkan Indonesia pada peringkat 74. Sedangkan Singapura berada peringkat ke-10, Malaysia ke-35, dan Thailand ke-41. Adapun penilaian WEF terhadap daya saing tidak saja diukur dari keindahan alam dan keanekaragaman budaya dari suatu destinasi. Bukan juga semata masalah harga yang kurang menarik, ataupun sektor swasta yang kalah berbisnis. Daya saing versi WEF ini didasarkan pada 13 kriteria, yaitu:

1. Perundangan

2. Peraturan dan kebijakan yang menata dan mengembangkan pariwisata & perjalanan (tourism and travel)

3. Kebijakan lingkungan hidup 4. Keamanan destinasi

5. Kebersihan 6. Kesehatan

7. Penempatan tourism and travel sebagai prioritas pembangunan 8. Infrastruktur perhubungan udara

9. Infrastruktur pariwisata

10. Infrastruktur teknologi informasi 11. Daya saing harga

12. Mutu dan kerja sumber daya manusia 13. Persepsi nasional terhadap pariwisata

14. Dan baru terakhir ini adalah sumber daya alam dan budaya.

Penilaian Index Pariwisata Indonesia pada peringkat ke-74, selain didasarkan pada statistik dan data, mau tidak mau juga didasarkan pada persepsi dunia yang oleh media televisi global termasuk media di Indonesia sendiri, memberi kesan bahwa negara ini tetap kurang aman, kotor, tidak sehat, dan lain- lain yang semuanya menghambat niat wisatawan untuk berlibur di Indonesia.

Selain faktor eksternal, ada juga masalah internal kepariwisataan yang bersumber dari lemahnya Indonesia bersaing di kancah pariwisata global. Bila kita teliti kriteria yang menjadi dasar penilaian WEF diatas, maka sebenarnya kelemahan pariwisata Indonesia terletak pada lemahnya manajemen dan kepemimpinan destinasi di setiap tingkat, lemahnya profesionalisme sumber daya manusia di semua tingkatan, dan tidak adanya komitmen yang jelas (dari eksekutif maupun legislatif) yang secara konsisten memprioritaskan pengembangan kepariwisataan, yang terasa pada minimnya anggaran yang dialokasikan kepada sektor ini, sehingga dengan sendirinya Indonesia belum mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki biaya jauh lebih besar bagi pembangunan dan pemasaran sektor pariwisata.

Model Panel Gravity

Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Tinbergen (1962) dan Poyhonen (1963) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa dan terakhir diperkenalkan oleh Anderson (1979), Bergstrands (1985) dan Sanso dkk (1993) yang telah dibangun sebagai dasar teoritis (Djamaluddin, 2006)

Anderson pada tahun 1979 menurunkan persamaan gravitasi dengan menggunakan asusmsi diferensiasi produk dengan preferensi Cobb-Douglas dan CES (Constant Elasticity Substitution). Bergstrand sejak tahun 1985 sampai tahun 1990 melalui beberapa riset melengkapi model garivitasi dengan kerangka model Hekscher-Ohlin (H-O) dengan menggunakan asumsi kompetisi monopolistik yang menekankan adanya diferensiasi produk pada perusahaan dari pada diferensiasi produk pada negara (Bergstand 1965 dalam Djamaluddin 2006). Gravity model dilandasi oleh teori H-O maupun teori imperfect substitution yang dibuktikan oleh Deardoff (1998). Dengan menggunakan asumsi preferensi konsumen adalah identik dan homotetik, misal adalah vektor produksi dengan i dan adalah vektor konsusmsi negara i pada equilibrium perdagangan bebas dan vektor harga dunia p. pendapatan negara i adalah Yi = p.xi = p.ci dengan asumsi bahwa perdagangan dalam keadaan seimbang (equilibrium). Dengan menggunakan asumsi spesialisasi tidak sempurna, berbagai riset kemudian menguatkan hasil penelitian Deardoff (1998) dengan berbagai pendekatan teoritis dan menggunakan metodologi yang berbeda. Jika nilai ekspor dari negara j ke negara i adalah Tij, dengan preferensi identik dan homotetik, semua negara memiliki fraksi pendapatan yang dibelanjakan βk untuk produk k, sehingga konsumsi negara i untuk produk k adalah Cik = βk.Yk / Pk .

Bila fraksi kontribusi negara j terhadap produk dunia = , pembelian negara i dari negara j untuk produk k adalah bila: = / adalah jumlah produk dunia untuk produk k dengan fraksi pendapatan yang dikeluarkan oleh setiap negara identik, fraksi itu juga akan setara dengan pangsa dari produk k didalam pendapatan dunia Yw βk = PkXwk /Yw , maka nilai total impor i dari j adalah:

Tij = kpkCijk = kμjk kYi

= kXjk / Xiwk . PkXwk / Yi

= kPkXjkYi / Yw

= YiYj / Yw

Berdasarkan asumsi diatas dimana dengan menggunakan preferensi yang identik, homotetik dapat diturunkan persamaan gravitasi yang lebih sederhana daripada model gravitasi standar yaitu: Tij = AYiYj / Dij, dengan notasi konstanta proporsi, yaitu A = 1/Yw dan Dij adalah jarak dari j ke i.

Dari hasil penurunan model gravitasi Xwk =  J Xjk , maka model dasar grafity model log linier sebagai berikut:

X

ij

= AY

i i

Yj

i

Hi

μi

Hj

μ

Ni

j

Dij

θ

ij

Dimana adalah total ekspor negara i ke negara j, Yi adalah GDP negara i, Hi adalah ukuran geografis negara i. Ni adalah penduduk negara i, Dij adalah jarak antara negara i dan negara j, θi adalah rata-rata jarak negara i dengan pasar ekspor di negara lain. A konstanta dan β, μ > 0 dan ϒ, α, < 0. Jika ditransformasikan dalam model diperoleh:

log Xij= log A + 1logYi+ jlogYj+ μilogHi+ μjlogHj+ ilogNi+ jlogN j+ 1logDi

+

jlogDj+ ilogθi+ logϵij

Sedangkan menurut Tinbergen (1962), GDP dipakai dalam model ini karena volume ekspor suatu negara tergantung pada produksi negara tersebut. Selain itu volume barang yang diperdagangkan ditentukan oleh transportation cost. Kemudian Linneman (1966) dalam Bergstand (1985) mengembangkan model dengan memperkenalkan variabel jumlah penduduk. Variabel jumlah penduduk bagi negara eksportir terhadap hubungan negatif, sedangkan bagi importir adalah positif. Sementara transportation cost di proxy dengan jarak dari negara eksportir ke negara importir. Dengan demikian maka jarak berbanding terbalik. Sedangkan GDP berhubungan positif baik negara eksportir maupun importir.

Ramesh Durbarry (2000) dalam Djamaluddiin (2006) membuat model pengeluaran wisatawan di Inggris dengan gravity model yang diaplikasikan dengan sektor pariwisata. Teori dasar pada model tersebut diusulkan oleh Bergstand dengan menjelaskan permintaan wisatawan asing pada negara tertentu. Ide dasar wisatawan untuk melakukan perjalanan adalah pada daerah/kawasan tujuan wisata yang berbeda dan adanya keunikan, karenanya daerah/kawasan tujuan tersebut tidak dapat didistribusikan secara sempurna dan adanya aktivitas dari pariwisata termasuk bgi perjalanan, demikian pula dengan exchange rate. Sehingga dapat diperoleh model sebagai berikut:

Model 1:

LnEXPUKit = 0+ iLn YUKt+ 2Ln Yit+ 3LnPRICEUKit+ 4LnPKit

+ 5LnEXCHUKit+ 6LnDISTUKit+ UKit

Variabel harga diatas merupakan hal yang esensial dalam gravity model, idealnya proxy dari tourism price. Namun tourism price sangat sulit untuk diperoleh dan biasanya indeks harga konsumen dijadikan proxy untuk price tourism dinegara tujuan. Keputusan untuk menentukan daerah tujuan pda dasarnya sama dengan permintaan akan barang yang mana akan sangat tergantung

pada harga didaerah tujuan, karena itu 2 set harga didaerah tujuan manapun di daerah asal menjadi penting bagi wisatawan dalam membuat keputusan.

(1) Price tourism didaerah tujuan relatif dengan harga domestik adalah:

LN PRICEUKit = Ln CPIit CPIjt

Dimana CPIit = indeks harga konsumen daerah tujuan wisata, pada kondisi ini harga merupakan harga relatif bagi wisatawan dan memengaruhi mereka dalam pengambilan keputusan melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata, selain itu juga mengGambarkan living cost antar dua negara (daerah tujuan wisata dan daerah/negara asal wisatawan)

(2) Pada model perdagangan, gravity model mengidentifikasi bahwa negara lain yang memengaruhi arus perdagangan antar dua negara . Hal ini juga terjadi pada pariwisata, dimana tourism price pada daerah tujuan wisata potensial yang lain adalah variabel lain yang mememengaruhi keputusan untuk melakukan kunjungan dan berapa uang yang digunakan/dihabiskan didaerah tujuan tertentu. Harga ini dipandang sebagai harga substitusi yang tersedia di negara asala (negara j). Harga di negara lain /daerah tujuan wisata yang lain merupakan competitor price dengan ketentuan sebagai berikut:

ln Pkjt = ln Xkt = CPIkt X Ekt CPIiX Ekbase k

Dimana merupakan proporsi wisatawan yang berkunjung ke daerah k dari negara j pada waktu t tahun, dimana k adalah 1,2,3,..N tidak termasuk negara i. Ekt merupakan exchange rate untuk negara k dan negara n , dan Ekbase adalah exchange rate tahun dasar. Indeks harga substitusi di negara asal j diharapkan positif sehingga peningkatannya akan meningkatkan kunjungan wisatawan ke negara i. Secara umum gravity model yang dikembangkan oleh Bergstand juga memasukan unsur variabel exchange rate.

Dalam model ini EXCHij didefinisikan sebagai nilai tukar antar negara asal j dan negara tujuan i pada tahun dasar. Variabel ini juga mengGambarkan biaya hidup bagi wisatawan seperti dijelaskan sebelumnya. Bahwa pada model 1 telah meliputi tourism price, pada PRICEijk dan lnEXCHijt . Kedua harga ini dapat digabungkan sehingga menjadi effective price tourism seperti di bawah ini:

Dokumen terkait