• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUB KONTRAKTOR SUB KONTRAKTOR

2. Analisis Pertanggungjawaban Perdata

a) Hak Menguasai Negara Atas Jalan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan menyatakan bahwa, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.8 Pengertian demikian

dianut pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan9,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006

8 Lihat Pasal 1 ayat (4).

Tentang Jalan10, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor.

20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan11.

Pengertian Jalan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tersebut tampak bahwa jalan memiliki bagian-bagian. Bagian-bagian jalan tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 11 bahwa, bagian-bagian jalan terdiri dari ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No.38 Tahun 2004, menyatakan bahwa jalan dikuasai oleh Negara. Artinya bahwa jalan berada di bawah kekuasaan Negara. Penguasaan Negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jalan meliputi

10 Lihat Pasal 1 ayat (3).

penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional, meliputi: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan

pengawasan. Wewenang pemerintah provinsi dalam

penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi. Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Sedangkan wewenang Pemerintah Kota sebatas penyelenggaraan jalan kota.12

Hak penguasaan jalan ada pada Negara bermakna bahwa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, mempunyai hak menyelenggarakan jalan secara umum. Penyelenggaraan jalan harus menjamin terselenggaranya peranan jalan yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah dengan memperhatikan keterhubungan antar kawasan atau keterhubungan dalam kawasan serta dilakukan secara konsepsional dan menyeluruh.13

Hak penguasaan Negara atas jalan bersumber dari UUD NRI 1945 pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi (3) :

12 Lihat Pasal 14, 15 dan 16 UU No.38 Tahun 2004 dan Pasal 5 Permen PU No.20 Tahun 2010

13 I Nengah Suantra, Made Nurmawati, Laporan Penelitian Pengaturan Jaringan Utilitas Terpadu Di Kabupaten Badung, Universitas Udayana Fakultas Hukum Denpasar, 2016, h. 12.

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berarti wewenang negara adalah penguasaan bukan kepemilikan atas kekayaan alam. Sebab pemilikan atas kekayaan alam tersebut adalah hak bangsa (rakyat) yang pelaksanaannya melalui alat negara yang kewenangannya didelegasikan sebagai Menteri dan kepada kepala daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.14

Selanjutnya Hak menguasai dari Negara dijabarkan secara spesifik di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria atau yang biasa dikenal dengan sebutan UUPA. Pada Pasal 2 menyatakan bahwa :

1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk :

a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

14 Dyah Hapsari Prananingrum, Aspek Filosofis dan Yuridis Kontrak Kerjasama Bisnis Pemerintah Daerah, di dalam Sri Harini Dwiyatmi, dkk, Beberapa Pemikiran Dalam Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014, h. 182-183.

c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Uraian kata dari pasal-pasal di atas mengandung makna bahwa di dalamnya memberikan kewenangan pada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk mengatur sumber daya alam yang terkandung di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang ditujukan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Menurut Filsafat Bentham dengan teori Utiliti, bahwa tujuan hukum adalah the greatest good of the greatest number

bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Hal ini secara metafisis menempatkan kesejahteraan sebagai dasar filosofis dengan bertumpu pada kemajuan ekonomi serta kondisi sosial budaya masyarakat. Konsep pemikiran utilitarianisme tampak melekat pada makna “adil dan

makmur”, dan Pasal 33 ayat (2) “sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat” yang dapat dimaknai sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, karenanya hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu. Disisi lain

kesejahteraan masyarakat (luas) yang merupakan hukum tertinggi

(solus publica supreme lex) namun untuk menjamah kebahagiaan, manusia harus mencukupi apa adanyan untuk diri mereka, seperti yang dikemukakan oleh aristoteles (to be happy means to be

sufficient for one’s self).15

Hak menguasai tersebut dalam konteks hak dan kewajiban Negara sebagai pemilik yang bersifat sebagai badan hukum publik, bukan sebagai badan hukum privat. Negara sebagai pemilik berarti Negara memiliki wewenang sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan jalan16. Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak

mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi dapat diwujudkan. Dalam pemikiran barat, kekuasaan Negara tersebut digunakan sebagai alat untuk mencapai perkembangan individu sehingga perkembangan individu yang berkemampuan sepenuhnya sebagai dasar poltik dan hukum dari masyarakat modern. Gagasan demikian sudah ada sejak demokrasi Athena yang kemudian dikembangkan oleh John Locke dan diadopsi ke dalam deklarasi hak

15 Ibid. h. 183.

16 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara atas Tanah, Cetakan 1, Total Media, Yogyakarta, 2009, h. 101.

asasi manusia di Perancis dan konstitusi Amerika Serikat.17 Dengan

demikian, Negara sebagai pemilik jalan berwenang mengelola dan memanfaatkan jalan untuk mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kemampuan sepenuhnya untuk berkembang, dan pemanfaatan ruang milik jalan oleh pihak lain memerlukan izin dari Negara.

b) Ijin Sebagai Persetujuan Yang Melahirkan Perikatan

Kata Izin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya); per-setujuan membolehkan.18 Selanjutnya menurut N.M. Spelt dan

Prof. Mr. J.B.J.M. ten Berge, pengertian izin dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan. Hal serupa juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bagir Manan yang menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan

17 W. Friedman, Legal Theory, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-masalah Komtemporer, Raja Jaya Offset, Jakarta 1990, h. 46.

melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.19

Melalui pemberian izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut diperkenankannya suatu tindakan, yang demi kepentingan umum mengharuskan adanya pengawasan khusus atas tindakan tersebut.20 Sedangkan izin dalam

arti sempit adalah pengikatan-pengikatan terhadap suatu peraturan izin secara umum, yang didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau menghindari terjadinya keadaan yang tidak baik. Tujuannya adalah mengatur tindakan-tindakan yang sebenarnya bukan perbuatan tercela, namun hendak diadakan pengawasan atas tindakan tersebut. Inti dari izin dalam arti sempit adalah suatu tindakan dilarang, kecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang terkait dapat diberikan batas-batas tertentu kasus per kasus. Jadi persoalannya bukan hanya untuk memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang

19

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 170-171.

20 N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, disunting oleh Dr. Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993, h. 2-3.

diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan).21

Pengertian mengenai izin juga terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Pasal 1 ayat (19) menyatakan bahwa :

Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sistem perizinan muncul karena tugas mengatur dari pemerintah, karena perizinan akan dibuat dalam bentuk peraturan yang harus dipatuhi masyarakat yang berisikan larangan dan perintah. Dengan demikian izin ini akan digunakan oleh penguasa sebagai instrumen untuk mempengaruhi hubungan dengan para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya, guna mencapai tujuan yang konkrit.22

Izin/verguning merupakan salah satu instrumen pemerintah yang banyak digunakan dalam hukum administrasi Negara sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat. Sebagai salah satu instrumen pemerintah, izin merupakan perbuatan

21 Ridwan, Hukum Administrasi Negara , Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 199-200.

pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk ditetapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu.23 Pencantuman tujuan dalam suatu sistem

perizinan pada hakekatnya akan membawa konsekuensi penting bagi organ organ penguasa dalam setiap pengambilan keputusan pemberian izin, dimana organ pemerintah/ penguasa tidak boleh menggunakan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Penolakan izin hanya dilakukan bila kriteria yang ditetapkan pemerintah tidak dipenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa izin tersebut dipergunakan oleh pemerintah sebagai instrumen hukum.

Selain itu Perizinan dapat berfungsi sebagai Sumber Pendapatan Negara. Perizinan dapat digunakan sebagai cara pemerintah untuk meningkatkan pendapatannya. Penggunaan sistem perizinan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Di mana dengan adanya sistem perizinan, maka pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon dapat dikenakan retribusi. Dalam hal retribusi, dikarenakan pemerintah mendapatkan kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan ini

23 http://digilib.unila.ac.id/2980/12/BAB%20II.pdf, dikunjungi pada tanggal 21 April 2017 pukul 09.16.

hanya bisa dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Proses penarikan retribusi baru dapat dilakukan jika ada dasar hukumnya yaitu undang-undang (no taxation without the law).24

Izin bilamana dilihat dari tujuan dan ketentuannya pada hakikatnya membolehkan perbuatan bersangkutan akan tetapi untuk dapat melakukannya diisyaratkan prosedur dan persyaratan tertentu yang harus dilalui. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi bagi para pihak yang ingin mengajukan perizinan pemasangan jaringan kabel fiber optik. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Pada pasal 3 huruf (a) jo. Pasal 4 angka (1) menyatakan :

Pasal 3

Lingkup pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagianbagian jalan kecuali Bagian-bagian jalan tol meliputi:

1. pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media informasi, bangunbangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik jalan;

2. . . .

Pasal 4

1. Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a wajib memperoleh izin dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.

24

Selain itu juga hal yang berkaitan dengan perizinan tersebut juga tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :

1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah

2. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar

3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Untuk memperoleh izin dari penyelenggara jalan maka pemohon dalam hal ini perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi, badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya. Permohonan izin tersebut haruslah dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.25

25 Pasal 6 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.

Persyaratan administrasi yang dimaksud di atas mencakup:

a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai dengan Formulir A.1;

b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/ bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana yang dibangun/dipasang pada bagian– bagian jalan yang dimohon sesuai dengan Formulir A.2.26

Sedangkan persyaratan teknis yang dimaksud mencakup: a. lokasi;

b. rencana teknis; dan

c. jadwal waktu pelaksanaan.27

Setelah persyaratan administrasi dan teknis terpenuhi maka penyelenggara jalan melalui evaluasi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis serta hasil peninjauan lapangan28, terbitlah

26 Ibid Pasal 7

27 Ibid. Pasal 8

28

Persetujuan Prinsip (Formulir A.3.).

Agar persetujuan prinsip dapat diproses pemberian izin, maka Pemohon wajib melengkapi persyaratan 29:

a. rencana teknis rinci; 
 b. metode pelaksanaan; 


c. izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha; 


d. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan bank serta polis asuransi kerugian pihak ketiga, yang diterima dan disimpan oleh pemberi izin.


Setelah semua persyaratan tersebut lengkap maka penerbitan izin untuk jalan kota dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh pemohon, berupa Formulir A.430 dan ditandatangani bermeterai

antara ke dua belah pihak, yaitu pemohon dan pemberi izin serta mencantumkan jangka waktu berlakunya izin.

Izin yang dikeluarkan oleh penyelenggara jalan tersebut merupakan persetujuan yang diberikan oleh penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang

29 Ibid. Pasal 9 ayat 5

30

Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.

Persetujuan yang diberikan oleh penyelenggara jalan selaku pihak yang berkuasa untuk memberikan izin diberikan karena pihak pemohon untuk pemasangan jaringan kabel fiber optik bersedia untuk memenuhi dan mengikuti seluruh persyaratan dan ketentuan yang diberikan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Hal ini tentu membuat pihak pemohon selaku pihak yang berkepentingan telah mengikatkan dirinya terhadap persyaratan dan ketentuan yang termuat di dalam peraturan menteri

a quo. Perikatan yang ada merupakan konsekuensi logis dari persetujuan pihak pemohon terhadap segala persyaratan dan ketentuan yang ada di dalam peraturan menteri a quo.

Istilah perikatan dikenal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat rumusan tentang perikatan, tetapi di dalamnya terdapat aturan main dalam

perikatan. Pengertian perikatan dapat dilakukan dengan pendekatan ilmu hukum, terutama kaitannya dengan hukum perdata. Dalam ilmu hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau sebagai para pihak yang melakukan ikatan hukum, yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Terdapat juga pengertian lain tentang perikatan yaitu bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang telah disepakati bersama para pihak.31

Dalam KUHPerdata Pada pasal 1233 menyatakan bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena

undang-undang”. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah perjanjian dan

undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, antar pihak dengan sengaja bersepakat untuk mengikatkan diri dalam perikatan sehingga kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.32 Dalam bahasa Indonesia istilah

kontrak dikenal dengan istilah perjanjian yang merupakan terjemahan dari kata Overeenkomst dalam bahasa Belanda.

31 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan , Pustaka Setia, Bandung, 2011, h. 15-17.

Sekalipun demikian dalam prakteknya istilah kontrak lebih banyak digunakan dalam kegiatan yang bernuansa bisnis.33

Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, perikatan yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan, melainkan undang-undang yang menetapkan adanya perikatan, dengan kata lain bahwa adanya kewajiban untuk memenuhi ketentuan undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.34 Jika dilihat dari penjelasan

perikatan tersebut dapat dipahami bahwa perikatan yang terjadi ketika pemohon memohon izin untuk pemasangan jaringan kabel fiber optik ialah perikatan yang bersumber dari undang-undang dan bukanlah perikatan yang bersumber dari perjanjian. Hal ini membuat pemohon izin tersebut berkewajiban untuk memenuhi ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pemanfaatan ruang jalan bagi pemasangan jaringan utilitas khususnya jaringan kabel fiber optik. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari izin yang telah diberikan. Kewajiban untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut termaktub di dalam Undang-Undang

33 Dyah Hapsari Prananingrum, Dinamika Hukum Kontrak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, h. 41.

34 Ibid.

Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan jo. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Kewajiban tersebut seperti yang telah yang disampaikan sebelumnya yaitu memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administrasi.

Beberapa hal penting yang menjadi kewajiban dari pemohon yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan seperti surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/ bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana yang dibangun/ dipasang pada bagian–bagian jalan yang dimohon. Selain itu pemasangan jaringan kabel fiber optik harus memenuhi ketentuan seperti:

a) tidak mengganggu keamanan dan keselamatan pengguna jalan; b) tidak mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konsentrasi

pengemudi;

c) tidak mengganggu fungsi dan konstruksi jalan serta bangunan pelengkapnya;

d) tidak mengganggu dan mengurangi fungsi rambu–rambu dan sarana pengatur lalu lintas lainnya; dan

e) sesuai dengan peraturan daerah dan/atau peraturan instansi terkait.

Hal-hal di atas ini merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang memohon izin untuk pemasangan jaringan kabel fiber optik. Namun jika dilihat berdasarkan fakta yang terjadi di Kota Salatiga tidaklah demikian. Pada umumnya pihak swasta yang selama ini melaksanakan perluasan jaringan di Kota Salatiga sebagai pemohon pemasangan jaringan kabel fiber optik ialah operator seluler seperti Indosat, Telkomsel, Telkom Indonesia, XL, dan 3. Dalam praktiknya pemasangan jaringan kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak masalah karena pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai dengan petunjuk teknis kebinamargaan. Kenyataan yang terjadi akibat pelaksanaan pemanfaatan rumija tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang diharuskan dalam peraturan perundang-undangan seperti izin yang tidak ada, prosedur teknis tidak dilaksanakan dengan benar, lokasi tidak sesuai dengan yang dimohonkan, pelaksanaannya tidak mengembalikan seperti sedia kala, pelaksanaannya berlarut-larut, pelaksanaan merusak bangunan fasilitas umum, tidak menempuh

prosedur perizinan yang benar, tidak menyertakan jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan serta tidak menyertakan asuransi kerugian pihak ketiga. Hal tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan selalu bersifat merusak infrastruktur karena prinsipnya tidak dikembalikan kepada keadaan semula. Padahal di lain sisi izin yang diberikan oleh pemerintah Kota Salatiga selaku penyelenggara jalan tidaklah dikenakan retribusi yang justru melalui retribusi tersebut dapat meningkatkan pendapatan daerah, melainkan pemerintah Kota Salatiga yang harus menganggarkan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur dengan dana APBD Kota, APBD Provinsi dan Dana Alokasi Khusus yang bersumber dari APBN.

Melihat dari sample unit amatan yaitu Surat Persetujuan izin Nomor 620/148/103 tanggal 20 Maret 2013 tentang Persetujuan Izin, maka ada beberapa ketentuan di dalam PerMen PU Nomor 20 Tahun 2010 yang belum dipenuhi , yaitu:

a. Terbitnya Surat Persetujuan Izin tidak didahului dengan

Dokumen terkait