67
TEMUAN DATA DAN ANALISIS
A.
GAMBARAN UMUM
Utilitas adalah “fasilitas yang menyangkut kepentingan umum meliputi
listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya,
sanitasi dan sejenisnya”. Utilitas merupakan fasilitas umum yang
menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang mempunyai sifat
pelayanan lokal maupun wilayah di luar bangunan pelengkap dan pelengkap
jalan. Sebagai salah satu hal yang penting dalam memanfaatkan ruang
manfaat jalan, jaringan utilitas dalam pelaksanaannya membutuhkan
pengaturan lebih lanjut yang berkaitan dengan perizinan dan standard yang
harus dipenuhi dalam pemasangan jaringan utilitas itu sendiri pada jalan yang
ada. Pemasangan jaringan utilitas itu sendiri tidak terlepas dari pihak yang
berwenang dalam penyelenggaraan jalan dalam hal pemberian izin
pemanfaatan ruang manfaat jalan.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa wewenang
penyelenggaraan jalan pada tiap status jalan berbeda-beda. Terhadap jalan
nasional, Wewenang penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah pusat
▸ Baca selengkapnya: pada pemasangan kabel straight, pin yang digunakan untuk menerima (receiving) data dari node lain adalah
(2)penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah provinsi. Terhadap jalan kota,
wewenang penyelenggaraan berada pada pemerintah kota, sedangkan pada
jalan kabupaten dan desa, wewenang penyelenggaraan jalan berada pada
pemerintah kabupaten. Dalam hal ini maka wewenang penyelenggaraan jalan
pada jalan kota di Kota Salatiga dalam hal pembangunan bangunan dan
jaringan utilitas berada pada Pemerintah Kota Salatiga.
1. Perubahan Nomenklatur Struktur Organisasi Pemerintah
Sebagai kota yang tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur,
Salatiga juga tidak terlepas dari pembangunan jaringan utilitas dalam hal
ini pemasangan jaringan kabel fiber optik. Pemasangan jaringan kabel
fiber optik dilakukan di bagian-bagian jalan atau trotoar yang merupakan
wilayah publik. Dalam pelaksanaannya pemasangan jaringan kabel fiber
optik tersebut sering bermasalah antara lain izin yang tidak ada,
pelaksanaan tidak kembali seperti sedia kala, pelaksanaan merusak
fasilitas umum, maupun tidak menyertakan jaminan pelaksanaan dan
jaminan pemeliharaan. Permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak
terpisahkan dari aturan-aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini yaitu
produk hukum yang ada di Kota Salatiga. Untuk Kota Salatiga, walikota
dalam wewenangnya sesuai dengan penyelenggara jalan dalam
pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan ruang jalan dilaksanakan
54 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Pejabat
Struktural pada Dinas Daerah. Pada Pasal 62 menyatakan bahwa :
(1) Dinas Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Air mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah bidang
bina marga dan pengelolaan sumber daya air berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dinas Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Air menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan teknis dibidang bina marga dan pengelolaan sumber daya air;
b. pemberian dukungan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum dibidang bina marga dan pengelolaan sumber daya air;
c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang bina teknis, bina marga dan sumber daya air;
d. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan Walikota.
(3) Untuk menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f Kepala Dinas mempunyai uraian tugas sebagai berikut:
f. menyelenggarakan manajemen dan pemberian rekomendasi serta perizinan dibidang pekerjaan umum meliputi bina marga dan sumber daya air untuk meningkatkan pelayanan;
Berdasarkan pasal 62 Peraturan Walikota Salatiga Nomor 54
Tahun 2011 tersebut dapat diketahui bahwa penyelenggaraan manajemen
dan pemberian rekomendasi serta perizinan di bidang pekerjaan umum
meliputi bina marga dan sumber daya air adalah Dinas Bina Marga dan
Pengelolaan Sumber Daya Air. Lahirnya Perwali tersebut dalam rangka
menjamin kepastian dan efektivitas pelaksanaan tata kerja Organisasi
simplifikasi, dan akuntabilitas, perlu mengatur mengenai tugas pokok,
fungsi, dan uraian tugas pejabat struktural pada Dinas Daerah. Selain itu
perwali tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu landasan hukum
lahirnya perwali tersebut.
Dalam perkembangannya pada tahun 2014 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dipandang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Oleh
sebab itulah dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Menindaklanjuti pergantian Undang-Undang tentang
pemerintah daerah yang baru, maka berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah
yang lama haruslah menyesuaikan dengan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah yang baru. Oleh karena itu lahirlah Peraturan
Walikota Salatiga Nomor Peraturan Walikota Salatiga Nomor 40 Tahun
2016 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta
Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang. Dalam perwali
tersebut terdapat berbagai hal yang baru yang berkaitan dengan
wewenang pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan ruang jalan
yang semula berada dan dilaksanakan oleh Dinas Bina Marga PSDA
pada Perwali Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan
Uraian Tugas Pejabat Struktural pada Dinas Daerah, berubah pada
Perwali Nomor Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum
Dan Penataan Ruang.
Dalam pasal 4 dikatakan bahwa :
(1) Dinas mempunyai tugas membantu Walikota melaksanakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah bidang pekerjaan umum dan penataan ruang serta tugas pembantuan yang diberikan kepada Daerah.
(2) Dinas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;
b. pelaksanaan kebijakan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;
c. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. pelaksanaan administrasi Dinas; dan
e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.
(3) Kepala Dinas dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf l mempunyai uraian tugas:
Terdapat perbedaan dalam hal dinas terkait yang mengurusi
rekomendasi perizinan. Perubahan aturan dan Dinas yang mengurusi
rekomendasi perizinan dalam hal ruang manfaat jalan dari yang semula
berada pada Dinas Bina Marga PSDA pada Perwali Nomor 54 Tahun
2011 menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang pada Perwali
Nomor 40 Tahun 2016. Perubahan nomenklatur tersebut yang mengatur
dengan rekomendasi perizinan dalam hal ruang manfaat jalan untuk
pemasangan jaringan kabel fiber optik tidak terlepas dari adanya
perubahan dasar hukum yang melandasi kedua perwali tersebut. Perwali
Nomor 54 Tahun 2011 dengan salah satu dasar hukumnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Perwali Nomor 40 Tahun 2016 dengan dasar hukumnya yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan nomenklatur dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang diganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 yang berimbas pada penyesuaian terhadap Peraturan
Walikota Salatiga pada tahun 2011 dan tahun 2016 diharapkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan
kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dengan adanya perubahan nomenklatur yang berkaitan dengan
perizinan ruang manfaat jalan tersebut diharapkan memberikan dampak
positif bagi penyelenggaraan perizinan khususnya pemasangan jaringan
kabel fiber optik di Kota Salatiga. Namun pada praktiknya berbagai
permasalahan muncul berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan
jaringan kabel fiber optik pada ruang milik jalan. Pemasangan jaringan
kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak masalah karena
pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai
petunjuk teknis kebinamargaan. Pemerintah Kota Salatiga sebagai
penyelenggara jalan Kota Salatiga dalam hal ini SKPD Bina Marga dan
PSDA maupun yang telah dirubah yaitu OPD Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang, tidak dapat mengatasi permasalahan akibat
perizinan yang telah dikeluarkan. Beberapa hal yang menyebabkan hal
tersebut terjadi yaitu pemegang hak perizinan tidak bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan kegiatan mereka, keterbatasan aparatur sipil negara
yang mengawasi pelaksanaan pekerjaan mereka. Hal tersebut karena
tugas pengawasan pekerjaan milik non pemerintah tidak tertuang dalam
mengganggu pengguna jalan dalam beraktivitas menggunakan ruang
badan jalan.
2. Masalah Yang Muncul Berkaitan Dengan Tanggung Jawab
Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap sarana utilitas
memerlukan adanya keterpaduan perencanaan dalam penempatan
jaringan utilitas di bawah tanah, di atas tanah dan di dalam laut yang
diarahkan menggunakan sarana jaringan utilitas terpadu dengan
memperhatikan kepentingan umum dan keserasian lingkungan. Salah
satu Sarana utilitas yang menjadi fokus penelitian ini yaitu pemasangan
jaringan kabel fiber optik di Kota Salatiga.
Kegiatan penempatan jaringan utilitas di bawah tanah maupun di atas
tanah dapat menimbulkan akibat tertentu khususnya kemungkinan
terjadinya kerusakan sararana dan prasarana kota milik instansi atau
Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, penempatan jaringan utilitas
dilakukan pada bagian-bagian jalan milik Pemerintah Kota Salatiga.
Beberapa hal yang menjadi tantangan yang dihadapi dalam
pembangunan jaringan di ruas jalan adalah izin yang tidak ada, prosedur
teknis yang tidak dilaksanakan dengan benar, pelaksanaan tidak
mengembalikan seperti sedia kala, pelaksanaan merusak
dan wewenang antara pemberi tugas (pemilik pekerjaan) dan penerima
tugas (kontraktor pelaksana) serta pihak pemerintah. Selama ini
kebanyakan proses pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kota
Salatiga tidak dilakukan dengan standard yang benar bahkan pada
prinsipnya tidak mengembalikan pada keadaan semula sehingga sangat
mengganggu dan membahayakan pengguna jalan, baik pejalan kaki
maupun kendaraan beroda dua dan empat. Bahkan lebih dari itu bahwa
Pemerintah Kota Salatiga harus menganggarkan sebagian anggarannya
untuk perbaikan sarana fasilitas yang rusak akibat pemasangan jaringan
utilitas tersebut1, yang notabenenya anggarannya dapat digunakan untuk
hal lain jika pemasangan jaringan utilitas tersebut tidak merusak sarana
publik yang ada.
Pelaksanaan perizinan utilitas dalam hal ini pemasangan jaringan
kabel fiber optik dari tahun ke tahun selalu merusak infrastruktur dan
mengakibatkan kerugian yang tidak semestinya bagi pemerintah daerah.
Oleh sebab itu menjadi penting untuk mengetahui dan memahami pihak
manakah yang harus bertanggung jawab karena kegiatannya yang
merusak fasilitas publik. Tanggung jawab hukum ini penting untuk
tercapainya kepastian hukum. Demi memenuhi kepastian hukum maka
segala hal pelanggaran yang dilakukan dapat dicegah dan proses
perizinan guna pemasangan jaringan kabel fiber optik tidak
memunculkan gangguan ketertiban umum dan kenyamanan publik bagi
pengguna jalan.
Berkaitan dengan tanggung jawab hukum yang menjadi fokus pada
penelitian hukum ini ialah pihak manakah yang bertanggung jawab dan
seperti apa bentuk pertanggung jawabannya. Selain demi tercapainya
kepastian hukum, pertanggungjawaban hukum juga agar proses perizinan
untuk pemasangan jaringan utilitas ke depannya dapat dilaksanakan
dengan standard yang telah ditetapkan dan tidak merugikan pengguna
jalan.
B.
TEMUAN DATA
1. Realita Hukum Di Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Kota Salatiga
Operator seluler guna mengembangkan perluasan pelayanan maka
mengembangkan jaringan , untuk itu mereka harus mengajukan izin
kepada Dinas teknis terkait yaitu Dinas Bina Marga dan PSDA agar
dapat memasang jaringan kabel fiber optik untuk keperluan perluasan
jaringan / penggantian jaringan lama ( dari kabel tembaga) agar
akses-akses pengiriman data melalui jaringan internet bisa menjadi lebih cepat.
meng-upgrade kemampuan mutu pelayanan jaringan akses data dengan
mengadakan tender pekerjaan. Tender itu diikuti oleh
kontraktor-kontraktor. Kontraktor pemenang / yang ditunjuk (sebagai pelaksana
pemasangan jaringan kabel FO) inilah yang nantinya akan melakukan
pekerjaan pemasangan jaringan kabel fiber optik dengan cara mendodos
dan menggali.
Pelaksanaan pemasangan jaringan kabel fiber optik pada area Ruang
Milik Jalan (Rumija) dan fasilitas umum (fasum), selanjutnya oleh pihak
swasta dialihkan ke kontraktor sebagai pelaksana di lapangan.
Pemasangan jaringan kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak
masalah karena pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik
dan tidak sesuai petunjuk teknis kebinamargaan. Beberapa ada yang
mengajukan perizinan kepada pemerintah kota, bahkan terdapat pula
perizinan diajukan ketika sudah muncul komplain dan teguran terhadap
kerusakan yang terjadi di mana-mana. Sehingga timbullah beberapa
permasalahan.
Permasalahan itu dalam bentuk:
1. Izin tidak ada 2
2. Prosedur teknis tidak dilaksanakan dengan benar
3. Lokasi tidak sesuai dengan yang dimohonkan
4. Pelaksanaan tidak mengembalikan seperti sedia kala
5. Pelaksanaan berlarut-larut
6. Pelaksanaan merusak bangunan/fasilitas umum
7. Tidak menempuh jalur/prosedur perizinan yang benar
8. Pekerjaan disub-subkan lagi ke mandor yang tidak paham terhadap
tanggungjawabnya
9. Tidak ada koordinasi tentang tugas dan wewenang antara pemberi
tugas (pemilik pekerjaan) dan penerima tugas (kontraktor pelaksana)
serta pihak pemerintah
10.Tidak menyertakan jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan
11.Jaminan dari perusahaan asuransi fiktif
12.Jaminan Bank Garansi berada di kota lain yang berjarak jauh dari
Kota Salatiga
13.Besaran Jaminan Garansi tidak sesuai dengan jumlah minimal
perhitungan
14.Pihak tertanggung yang dijamin bukan pemerintah Kota Salatiga,
melainkan perusahaan operator seluler
16.Ketidakpedulian masyarakat terhadap perusakan fasilitas umum
yang dilaksanakan oleh pelaksana pekerjaan (kontraktor/sub
kontraktor)3.
Untuk dapat melaksanakan pekerjaan pemasangan jaringan kabel
fiber optik di bagian-bagian jalan, Operator seluler harus mengajukan
izin kepada Dinas teknis terkait yaitu Dinas PU & PR agar dapat
memasang jaringan kabel fiber optik untuk keperluan perluasan jaringan/
penggantian jaringan lama ( dari kabel tembaga) agar akses-akses
pengiriman data melalui jaringan internet bisa menjadi lebih cepat.
Untuk keperluan itu maka operator – operator seluler tersebut dalam
meng-upgrade kemampuan mutu pelayanan jaringan akses data dengan
mengadakan tender pekerjaan. Tender itu diikuti oleh
kontraktor-kontraktor. Kontraktor pemenang / yang ditunjuk (sebagai pelaksana
pemasangan kabel FO) inilah yang nantinya akan melakukan pekerjaan
pemasangan jaringan kabel fiber optik dengan cara mendodos dan
menggali.
Pelaksanaan pemasangan jaringan kabel fiber optik pada area Ruang
Milik Jalan (Rumija) dan fasilitas umum (fasum), selanjutnya oleh pihak
swasta dialihkan ke kontraktor sebagai pelaksana di lapangan.
Pemasangan jaringan kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak
masalah karena pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik
dan tidak sesuai petunjuk teknis kebinamargaan. Beberapa ada yang
mengajukan perizinan kepada pemerintah kota, bahkan terdapat pula
perizinan diajukan ketika sudah muncul komplain dan teguran terhadap
kerusakan yang terjadi di mana-mana.
2. Data Pertanggungjawaban Perdata Terkait Dengan Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Bagian-Bagian Jalan
Di dalam surat persetujuan izin pemanfaatan rumija diatur dengan
ketentuan sebagai berikut4 :
1. Dalam pelaksanaan pekerjaan, agar tidak mengganggu dan
membahayakan pengguna jalan, baik pejalan kaki, kendaraan tidak
bermotor maupun kendaraan bermotor, untuk itu harus dipasang
rambu-rambu untuk pengamanan dan kelancaran pengguna jalan dan
pelaksanaan kegiatan tersebut.
2. Pelaksana kegiatan harus memperbaiki kerusakan akibat pekerjaan
yang dilaksanakan seperti sedia kala.
3. Apabila di kemudian hari ada kebijakan pemerintah untuk
melaksanakan pembangunan jalan yang mengakibatkan bangunan
4
saudara terkena kegiatan tersebut, maka diminta untuk memindahkan
demi kepentingan umum.
4. Pelaksanaan pekerjaan galian dan bongkar pasang jalan/trotoar, agar
secepatnya diselesaikan agar tidak mengganggu lingkungan setempat.
5. Pemadatan terhadap tanah urugan harus dilakukan, agar tidak
berakibat terjadinya penurunan tanah di kemudian hari (pemadatan
dilakukan tiap urugan setinggi 20 cm)
6. Teknis pemasangan kembali trotoar dan jalan mengacu pada standar
dari Bina Marga.
7. Setelah pelaksanaan pekerjaan selesai, diwajibkan menyerahkan
bukti-bukti pelaksanaan perbaikan yang telah dilaksanakan kepada
Dinas BM dan PSDA Kota Salatiga.
8. Segala resiko yang diakibatkan oleh kegiatan menjadi tanggung jawab
Per Men PU No. 20/PRT/M/2010
Pengajuan Ijin (Form A1 & A2): -syarat administrasi
Keterangan Bagan 5:
Pemerintah Kota Salatiga sebagai Penyelenggara Jalan Kota adalah
pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya, yaitu jalan kota. Di
dalam proses pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan
Permohonan izin dapat diajukan oleh pemohon yang berupa
perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi, badan usaha, badan
hukum, instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Permohonan izin ditujukan kepada Dinas PU & PR sebagai Dinas
teknis terkait sebagai pejabat yang ditunjuk oleh Walikota selaku
penyelenggara jalan kota dalam pemberian izin, dispensasi, dan
rekomendasi.
Di dalam melakukan Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan
bagian–bagian jalan mempunyai maksud untuk menjamin bahwa
pemanfaatan rumaja dan rumija selain peruntukannya, penggunaan
rumaja yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan
dan jembatan, serta penggunaan ruwasja dapat dilaksanakan secara
tertib. Dan tentunya bertujuan untuk pengamanan fungsi jalan, menjamin
kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi
jalan.
Sedangkan dalam permohonan izin dengan norma / prosedur
diajukan secara tertulis oleh pemohon dan disampaikan kepada Dinas PU
& PR dengan disertai persyaratan administrasi dan teknis untuk
kemudian mendapatkan persetujuan prinsip.
Persyaratan administrasi berupa :
a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai dengan
Formulir A.1;
b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan
menjaga bangunan dan jaringan utilitas/iklan/media
informasi/bangun bangunan/bangunan gedung untuk keselamatan
umum dan menanggung segala resiko atas segala akibat yang
mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau
prasarana yang dibangun/dipasang pada bagian–bagian jalan yang
dimohon sesuai dengan Formulir A.2.
Sedangkan Persyaratan teknis berupa :
a. lokasi;
a. rencana teknis;
b. jadwal waktu pelaksanaan.
Setelah penyampaian Permohonan Izin dan surat Pernyataan,
teknis serta hasil peninjauan lapangan, terbitlah Persetujuan Prinsip
(Formulir A.3.). Agar persetujuan prinsip dapat diproses pemberian
izin, maka Pemohon wajib melengkapi persyaratan :
a.rencana teknis rinci;
b.metode pelaksanaan;
c.izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;
d.perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah; dan
e. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan bank
serta polis asuransi kerugian pihak ketiga, yang diterima dan
disimpan oleh pemberi izin
Setelah semua persyaratan tersebut lengkap maka penerbitan izin untuk
jalan kota dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh pemohon, berupa
Formulir A.4. Surat Izin (Formulir A.4.) tersebut akan digunakan
sebagai rekomendasi teknis dalam rangka pemanfaatan barang milik
negara/daerah (BMN/D) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan dan ditandatangani kedua belah pihak bermeterai.
Di dalam Surat Izin terdapat ketentuan wajib bagi pemohon untuk:
a. Wajib melaksanakan pengaturan lalu lintas;
jalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara
jalan;
c. Wajib menjaga, memelihara bangunan dan jaringan utilitas dan
bertanggung jawab terhadap segala kerusakan jalan yang disebabkan
oleh pelaksanaan pemanfaatan bangunan dan jaringan utilitas selama
jangka waktu perizinan;
d. Bersedia membongkar, memindahkan, menanggung biaya dan
mengembalikan jalan seperti semula, dalam hal : - berakhirnya
jangka waktu perizinan dan tidak diperpanjang kembali. -
penyelenggara jalan membutuhkan lahan.
e. Masa berlakunya izin sejak tanggal diterbitkannya surat izin.
Di dalam penelitian ini, tampak terdapat pelanggaran hak dari
terbitnya Perizinan yang dilaksanakan oleh pemohon izin. Sedangkan
pelanggaran hak oleh pemohon izin ini dapat dilakukan oleh
Kontraktor pemenang tender, Sub Kontraktornya, Mandor ataupun di tingkat Pekerja. Untuk itu di dalam penelitian ini akan
dilihat mengenai bentuk Pertanggungjawaban pemohon kepada
Berikut adalah skema bagian-bagian jalan menurut penjelasan pasal 33
PP No.34 tahun 2006 tentang Jalan :
= Ruang manfaat jalan (Rumaja)
= Ruang milik jalan (Rumija)
= Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)
= Bangunan
a = Jalur lalu lintas d = Ambang pengaman
b = Bahu jalan x = b+a+b
RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan).
Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan
ambang pengamannya6. Rumaja diperuntukkan bagi median,
perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan,
trotoar, lereng, ambang pengaman timbunan dan galian
gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.
Dari diagram di atas, penempatan utilitas yang diperbolehkan adalah di luar Rumaja (Ruang Manfaat Jalan).
RUMIJA (Ruang Milik Jalan)
Pengertian Rumija dalam istilah Public Works (Pekerjaan Umum)
adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih
menjadi bagian dari ruang milik jalan, yang dibatasi oleh batas ruang
milik jalan, yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan
keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran
ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang7.
Lebar Minimum Rumija minimal sama dengan lebar Rumaja. Tinggi
atau kedalaman, yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta
6 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444)
7
penentuannya didasarkan pada keamanan, pemakai jalan sehubungan
dengan pemanfaatan Rumija, Rumaja.
RUWASJA (Ruang Pengawasan Jalan)
Merupakan ruas disepanjang jalan di luar Rumija yang ditentukan
berdasarkan kebutuhan terhadap pandangan pengemudi, ditetapkan
oleh Penyelenggara Jalan. Lebar Ruwasja diukur dari As Jalan.
Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya
didasarkan pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun
di tikungan dalam hal pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh
Penyelenggara Jalan.
C.
ANALISIS TEMUAN DATA
1. Analisis Realita hukum di dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga
a) Hubungan Hukum di dalam Pemasangan Jaringan kabel Fiber Optik di Kota Salatiga
Hubungan hukum yang terjadi dalam pemasangan jaringan kebel
optik di Kota Salatiga dapat penulis sampaikan dalam bentuk bagan
Bagan Hubungan Hukum Antara Para Pihak
Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Kota Salatiga
Melalui bagan ini, penulis ingin menggambarkan bagaimana
hubungan hukum yang terjadi dan bagaimana posisi setiap pihak
dalam pemasangan jaringan kabel fiber optik. Yang pertama yaitu
bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam pemasangan jaringan
kabel fiber optik di Kota Salatiga yaitu terjadi antara antara
Pemerintah Kota Salatiga, Pemohon Izin, Kontraktor, dan sub
kontraktor.
Yang kedua ialah hubungan hukum yang terjadi antara
Pemerintah Kota Salatiga selaku penyelenggara jalan dan Pemohon
izin sebagai pihak yang berkepentingan untuk memperoleh izin
ialah sub ordinatif, di mana posisi para pihak tidaklah sejajar. Posisi
Pemerintah Kota Salatiga selaku pemberi izin berada di atas posisi
PEMERINTAH KOTA SALATIGA
PEMOHON IZIN
KONTRAKTOR
Pemohon izin. Dengan kata lain, pemohon izin wajib mematuhi dan
melaksanakan segala persyaratan yang dipersyaratkan dalam
pemberian izin dimaksud.
Yang ketiga ialah hubungan hukum yang terjadi antara
Pemohon izin dengan kontraktor. Dalam bagan di atas dapat
diketahui bahwa pemohon izin memiliki posisi yang seimbang atau
setara dengan kontraktor. Hal ini karena ketika izin dikeluarkan,
pemasangan jaringan kabel fiber optik, tidaklah dilaksanakan oleh
pemohon izin tersebut melainkan dilaksanakan oleh kontraktor
terpilih, melalui mekanisme lelang. Setelah kontraktor pemenang
lelang diperoleh, maka kontraktor tersebut akan mengadakan
perjanjian dengan pihak pemohon izin yang berisikan hak dan
kewajiban di antara para pihak. Dengan kata lain, telah terjadi
perikatan antara pemohon izin dengan kontraktor yang memuat hak
dan kewajiban dan wajib dipatuhi oleh para pihak.
Yang keempat adalah hubungan hukum yang terjadi antara
kontraktor dengan sub kontraktor. Hal ini sering terjadi ketika
kontraktor telah menerima proyek pekerjaan berupa pemasangan
jaringan kabel fiber optik dan pemasangan tersebut diberikan
kepada kontraktor lain. Pemberian pekerjaan terhadap
pemasangan jaringan kabel fiber optik dilaksanakan di daerah lain
yang bukan merupakan kantor pusat dari pemohon izin. Kontraktor
yang memenangkan lelang proyek tersebut bisa jadi kontraktor yang
berpusat di Jakarta atau juga bisa jadi yang berasal dari daerah luar.
Oleh sebab itu untuk meringankan biaya yang dikeluarkan maka
pekerjaan tersebut diberikan kepada kontraktor lain yang lebih dekat
dengan daerah di Salatiga, di mana lokasi proyek berada.
b) Fakta Pelaksanaan Perizinan Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik
Berikut temuan data hasil pengamatan pelaksanaan perizinan
yang tidak sesuai dengan pengaturan/ hukum:
Foto 2 : Penempatan jaringan utilitas dengan kedalaman <1,5 m di Jl. Osa Maliki, Klaseman
Foto 3 : Proses
penggalian yang berhari-hari dan mengganggu pemanfaatan trotoar bagi pejalan kaki, di Jl. Osa Maliki, Klaseman
Foto 5 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota, di Jl. Merak, Klaseman
Foto 6 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota, di crossing pertigaan Jl. Osa Maliki-Merak
Foto 7 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota dan pengurugan dengan diurug sampah, di Jl. Osa Maliki Klaseman
Foto 1, 2 dan 3 menunjukkan terjadinya kerusakan badan jalan
akibat penempatan utilitas yang terlalu dangkal dan masuk dalam
area Rumaja, yang seharusnya mengikuti ketentuan minimal berada
di batas Rumija. Sehingga ketika terpengaruh pembebanan lalu
terjadilah defleksi pada titik tersebut. Ketika hujan, air menggenang
pada titik lokasi lendutan tersebut, sehingga menyebabkan badan
jalan berupa perkerasan aspal menjadi hancur dan rusak.
Pelaksanaan mengabaikan ketentuan rencana teknis dan metode
pelaksanaan, dilaksanakan berlarut-larut, tidak melaksanakan
pengaturan lalu lintas dan tidak memberi ruang bagi pedestrian.
Foto 4 dan 5 adalah gambaran pelaksanaan yang merusak
infrastruktur jaringan drainase. Ketika di satu titik saluran bis beton
dilubangi untuk memasukkan kabel fiber optik, untuk kemudian
diurug timbunan kembali tanpa menutup lubang akan berakibat
timbunan akan mengisi dan terus bergerak mengisi rongga tempat di
sebelahnya di mana jaringan bis beton menerus. Hingga pada
akhirnya timbunan tersebut akan melendut, sehingga mengakibatkan
kerusakan trotoar di atasnya.
Foto 6 dan foto 7 menunjukkan penempatan utilitas di dalam
crossing jaringan drainase dan tidak dilakukan pengembalian
pekerjaan dengan sempurna. Penutup man hole rusak karena
pembebanan menunjukkan mutu beton di bawah ketentuan teknis.
Sehingga lubang yang ada ditimbun sampah, dijadikan tempat
luapan hujan. Hal ini akan membahayakan bagi pejalan kaki yang
pada malam hari dapat terperosok masuk lubang.
Di samping itu, kapasitas luas penampang basah crossing
menjadi lebih kecil karena terisi sampah sehingga ketika hujan, air
meluap ke badan jalan dan merusak aspal. Tidak hanya itu, karena
jaringan drainase tersebut sudah berisi bahan timbunan dan kabel
fiber optik, maka ketika hujan, air akan melimpah di badan jalan.
Sehingga mengakibatkan perkerasan jalan berupa aspal menjadi
rusak. Dari realita foto 1 hingga foto 7 tersebut adalah bentuk
pelanggaran dari PerMen PU nomor 20 Tahun 2010.
Pasal 10 :
Bangunan dan jaringan utilitas, iklan dan media informasi, bangun, bangunan gedung dalam ruang milik jalan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. tidak mengganggu keamanan dan keselamatan pengguna jalan; b. tidak mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konsentrasi
pengemudi;
c. tidak mengganggu fungsi dan konstruksi jalan serta bangunan pelengkapnya;
d. tidak mengganggu dan mengurangi fungsi rambu–rambu dan sarana pengatur lalu lintas lainnya; dan
Pasal 12 ayat (1)
Bangunan dan jaringan utilitas pada jaringan jalan di dalam kawasan perkotaan dapat ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan dengan ketentuan:
a. yang berada di atas atau di bawah tanah ditempatkan di luar bahu jalan atau trotoar dengan jarak paling sedikit 1 (satu) meter dari tepi luar bahu jalan atau trotoar;
b. dalam hal tidak terdapat ruang di luar bahu jalan, trotoar, atau jalur lalu lintas, bangunan dan jaringan utilitas sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat ditempatkan di sisi terluar ruang milik jalan.
Pasal 12 ayat (5)
Bangunan dan jaringan utilitas di bawah tanah harus diletakkan pada kedalaman paling sedikit 1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan terendah pada daerah galian atau dari tanah dasar pada daerah timbunan.
Pasal 12 ayat (7)
Permukaan tanah pada lintasan bangunan dan jaringan utilitas yang ditempatkan di bawah tanah harus diberi tanda yang bersifat permanen.
Pasal 13
Rencana teknis rinci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a meliputi gambar lokasi, gambar konstruksi, dan bahan konstruksi bangunan dan jaringan utilitas.
Pasal 14 ayat (1)
pemasangan, dan pengembalian konstruksi jalan, serta rencana pengaturan lalu lintas.
Pasal 14 ayat (2)
Pemegang izin wajib melaksanakan pengaturan lalu lintas selama pelaksanaan konstruksi bangunan dan jaringan utilitas agar gangguan terhadap kelancaran lalu lintas sekecil mungkin.
Pasal 14 ayat (3)
Pemegang izin wajib menjaga, memelihara bangunan dan jaringan utilitas, dan bertanggung jawab terhadap segala kerusakan jalan yang disebabkan oleh bangunan dan jaringan utilitas selama jangka waktu perizinan.
Foto 8 : Posisi Guiding block sebagai penunjuk arah bagi pejalan kaki tuna netra tidak dikembalikan pada posisi yang benar dan terputus, di Jl. Diponegoro (depan Pizza Hut)
Foto 10 : Posisi Guiding block sebagai penunjuk arah bagi pejalan kaki tuna netra tidak dikembalikan pada posisi yang benar, sehingga dapat menyesatkan pengguna difable di Jl. Diponegoro (depan Pizza Hut)
Foto 8, foto 9 dan foto 10 tersebut di atas menunjukkan
pekerjaan utilitas tidak mengembalikan seperti semula dan
membahayakan keselamatan pejalan kaki tuna netra dan low vision.
Guiding Block yang berwarna kuning atau oranye berupa kode-kode
sebagai rambu penunjuk jalan bagi pejalan kaki tuna netra dan low
vision mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda. Ada yang
memberikan kode jalan terus, belok kanan, belok kiri,
persimpangan, jalan menurun dan naik. Guiding Block yang
bergelombang menunjukkan di depannya akan terdapat
persimpangan, sehingga sebagai peringatan agar lebih berhati-hati.
Guiding Block bulatan-bulatan kecil menunjukkan area berbahaya,
contohnya tempat keluar masuknya mobil dari dan ke jalan
raya-restoran.
Dari amatan foto 8, 9, 10 tersebut , disamping menunjukkan
terjadinya pelanggaran pada Per Men PU No.20 Tahun 2010 pasal
PU Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Pasal 3 ayat (1)
Dalam merencanakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas.
Pasal 3 ayat (2)
Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas yang diatur dalam peraturan ini dan juga PerMen PU nomor 20 Tahun 2010.
Mengenai Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi , dari foto 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10 , jika kita
cermati juga termasuk dalam pelanggaran pasal 12, 13 dan 15
Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat.
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai
(1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 15
a. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
b. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya. c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Dari foto-foto tersebut di atas dapat dilihat bahwa dari tahun ke
tahun pelaksanaan perizinan utilitas selalu bersifat merusak
infrastruktur karena pada prinsipnya tidak dikembalikan kepada
keadaan semula. Infrastruktur yang rusak antara lain : Saluran
badan jalan dan jembatan. Padahal dengan adanya perizinan tersebut
tidak menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Sehingga
dari tahun ke tahun pemerintah harus menganggarkan perbaikan
sarana dan prasarana infrastruktur dengan dana APBD Kota, APBD
Provinsi dan DAK (APBN).
2. Analisis Pertanggungjawaban Perdata
a) Hak Menguasai Negara Atas Jalan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
menyatakan bahwa, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang
meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.8 Pengertian demikian
dianut pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan9,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006
8 Lihat Pasal 1 ayat (4).
Tentang Jalan10, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor.
20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan
Bagian-Bagian Jalan11.
Pengertian Jalan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004
tersebut tampak bahwa jalan memiliki bagian-bagian.
Bagian-bagian jalan tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 11
bahwa, bagian-bagian jalan terdiri dari ruang manfaat jalan, ruang
milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan
meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah
tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan
jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di
bawah pengawasan penyelenggara jalan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No.38 Tahun 2004,
menyatakan bahwa jalan dikuasai oleh Negara. Artinya bahwa jalan
berada di bawah kekuasaan Negara. Penguasaan Negara tersebut
memberi wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Wewenang Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jalan meliputi
10 Lihat Pasal 1 ayat (3).
penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan
nasional, meliputi: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan. Wewenang pemerintah provinsi dalam
penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi.
Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan
meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.
Sedangkan wewenang Pemerintah Kota sebatas penyelenggaraan
jalan kota.12
Hak penguasaan jalan ada pada Negara bermakna bahwa,
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara,
mempunyai hak menyelenggarakan jalan secara umum.
Penyelenggaraan jalan harus menjamin terselenggaranya peranan
jalan yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah dengan
memperhatikan keterhubungan antar kawasan atau keterhubungan
dalam kawasan serta dilakukan secara konsepsional dan
menyeluruh.13
Hak penguasaan Negara atas jalan bersumber dari UUD NRI
1945 pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi (3) :
12 Lihat Pasal 14, 15 dan 16 UU No.38 Tahun 2004 dan Pasal 5 Permen PU No.20 Tahun 2010
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Berarti wewenang negara adalah penguasaan bukan kepemilikan
atas kekayaan alam. Sebab pemilikan atas kekayaan alam tersebut
adalah hak bangsa (rakyat) yang pelaksanaannya melalui alat negara
yang kewenangannya didelegasikan sebagai Menteri dan kepada
kepala daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.14
Selanjutnya Hak menguasai dari Negara dijabarkan secara spesifik
di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Dasar Agraria atau yang biasa dikenal dengan sebutan
UUPA. Pada Pasal 2 menyatakan bahwa :
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk :
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Uraian kata dari pasal-pasal di atas mengandung makna bahwa
di dalamnya memberikan kewenangan pada negara sebagai
organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk mengatur sumber
daya alam yang terkandung di wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia yang ditujukan bagi kesejahteraan segenap rakyat
Indonesia. Menurut Filsafat Bentham dengan teori Utiliti, bahwa
tujuan hukum adalah the greatest good of the greatest number
bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang
bebas dari kesengsaraan. Hal ini secara metafisis menempatkan
kesejahteraan sebagai dasar filosofis dengan bertumpu pada
kemajuan ekonomi serta kondisi sosial budaya masyarakat. Konsep
pemikiran utilitarianisme tampak melekat pada makna “adil dan
makmur”, dan Pasal 33 ayat (2) “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” yang dapat dimaknai sebagai kebutuhan masyarakat
Indonesia, karenanya hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh
kesejahteraan masyarakat (luas) yang merupakan hukum tertinggi
(solus publica supreme lex) namun untuk menjamah kebahagiaan,
manusia harus mencukupi apa adanyan untuk diri mereka, seperti
yang dikemukakan oleh aristoteles (to be happy means to be
sufficient for one’s self).15
Hak menguasai tersebut dalam konteks hak dan kewajiban
Negara sebagai pemilik yang bersifat sebagai badan hukum publik,
bukan sebagai badan hukum privat. Negara sebagai pemilik berarti
Negara memiliki wewenang sebagai pengatur, perencana, pelaksana
dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan
pemanfaatan jalan16. Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak
mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi dapat
diwujudkan. Dalam pemikiran barat, kekuasaan Negara tersebut
digunakan sebagai alat untuk mencapai perkembangan individu
sehingga perkembangan individu yang berkemampuan sepenuhnya
sebagai dasar poltik dan hukum dari masyarakat modern. Gagasan
demikian sudah ada sejak demokrasi Athena yang kemudian
dikembangkan oleh John Locke dan diadopsi ke dalam deklarasi hak
15 Ibid. h. 183.
asasi manusia di Perancis dan konstitusi Amerika Serikat.17 Dengan
demikian, Negara sebagai pemilik jalan berwenang mengelola dan
memanfaatkan jalan untuk mengembangkan potensi individu
sehingga memiliki kemampuan sepenuhnya untuk berkembang, dan
pemanfaatan ruang milik jalan oleh pihak lain memerlukan izin dari
Negara.
b) Ijin Sebagai Persetujuan Yang Melahirkan Perikatan
Kata Izin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya);
per-setujuan membolehkan.18 Selanjutnya menurut N.M. Spelt dan
Prof. Mr. J.B.J.M. ten Berge, pengertian izin dalam arti luas adalah
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan larangan perundang-undangan. Hal serupa juga sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh Bagir Manan yang menyebutkan
bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
17 W. Friedman, Legal Theory, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-masalah Komtemporer, Raja Jaya Offset, Jakarta 1990, h. 46.
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang.19
Melalui pemberian izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang
sebenarnya dilarang. Ini menyangkut diperkenankannya suatu
tindakan, yang demi kepentingan umum mengharuskan adanya
pengawasan khusus atas tindakan tersebut.20 Sedangkan izin dalam
arti sempit adalah pengikatan-pengikatan terhadap suatu peraturan
izin secara umum, yang didasarkan pada keinginan pembuat
undang-undang untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau menghindari
terjadinya keadaan yang tidak baik. Tujuannya adalah mengatur
tindakan-tindakan yang sebenarnya bukan perbuatan tercela, namun
hendak diadakan pengawasan atas tindakan tersebut. Inti dari izin
dalam arti sempit adalah suatu tindakan dilarang, kecuali
diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
terkait dapat diberikan batas-batas tertentu kasus per kasus. Jadi
persoalannya bukan hanya untuk memberi perkenan dalam
keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang
19
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 170-171.
diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam
ketentuan-ketentuan).21
Pengertian mengenai izin juga terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pada Pasal 1 ayat (19) menyatakan bahwa :
“Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sistem perizinan muncul karena tugas mengatur dari
pemerintah, karena perizinan akan dibuat dalam bentuk peraturan
yang harus dipatuhi masyarakat yang berisikan larangan dan
perintah. Dengan demikian izin ini akan digunakan oleh penguasa
sebagai instrumen untuk mempengaruhi hubungan dengan para
warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya, guna mencapai
tujuan yang konkrit.22
Izin/verguning merupakan salah satu instrumen pemerintah yang
banyak digunakan dalam hukum administrasi Negara sebagai sarana
yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat.
Sebagai salah satu instrumen pemerintah, izin merupakan perbuatan
21 Ridwan, Hukum Administrasi Negara , Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 199-200.
pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang- undangan
untuk ditetapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan
persyaratan tertentu.23 Pencantuman tujuan dalam suatu sistem
perizinan pada hakekatnya akan membawa konsekuensi penting bagi
organ organ penguasa dalam setiap pengambilan keputusan
pemberian izin, dimana organ pemerintah/ penguasa tidak boleh
menggunakan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan tujuan dari
ketentuan-ketentuan tersebut. Penolakan izin hanya dilakukan bila
kriteria yang ditetapkan pemerintah tidak dipenuhi. Hal ini
menunjukkan bahwa izin tersebut dipergunakan oleh pemerintah
sebagai instrumen hukum.
Selain itu Perizinan dapat berfungsi sebagai Sumber Pendapatan
Negara. Perizinan dapat digunakan sebagai cara pemerintah untuk
meningkatkan pendapatannya. Penggunaan sistem perizinan
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Di mana
dengan adanya sistem perizinan, maka pendapatan pemerintah akan
bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon dapat
dikenakan retribusi. Dalam hal retribusi, dikarenakan pemerintah
mendapatkan kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan ini
23 http://digilib.unila.ac.id/2980/12/BAB%20II.pdf, dikunjungi pada tanggal 21 April 2017 pukul 09.16.
hanya bisa dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Proses
penarikan retribusi baru dapat dilakukan jika ada dasar hukumnya
yaitu undang-undang (no taxation without the law).24
Izin bilamana dilihat dari tujuan dan ketentuannya pada
hakikatnya membolehkan perbuatan bersangkutan akan tetapi untuk
dapat melakukannya diisyaratkan prosedur dan persyaratan tertentu
yang harus dilalui. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi bagi para
pihak yang ingin mengajukan perizinan pemasangan jaringan kabel
fiber optik. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman
Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Pada pasal 3
huruf (a) jo. Pasal 4 angka (1) menyatakan :
Pasal 3
Lingkup pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan kecuali Bagian-bagian jalan tol meliputi:
1. pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media informasi, bangun–bangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik jalan;
2. . . .
Pasal 4
1. Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a wajib memperoleh izin dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
24
Selain itu juga hal yang berkaitan dengan perizinan tersebut
juga tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi. Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :
1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai
3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Untuk memperoleh izin dari penyelenggara jalan maka
pemohon dalam hal ini perseorangan, kelompok masyarakat,
organisasi, badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah mengajukan permohonan izin secara
tertulis kepada penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.
Permohonan izin tersebut haruslah dilengkapi dengan persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis.25
Persyaratan administrasi yang dimaksud di atas mencakup:
a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai
dengan Formulir A.1;
b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara
dan menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media
informasi/ bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk
keselamatan umum dan menanggung segala resiko atas segala
akibat yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi
atas sarana atau prasarana yang dibangun/dipasang pada bagian–
bagian jalan yang dimohon sesuai dengan Formulir A.2.26
Sedangkan persyaratan teknis yang dimaksud mencakup:
a. lokasi;
b. rencana teknis; dan
c. jadwal waktu pelaksanaan.27
Setelah persyaratan administrasi dan teknis terpenuhi maka
penyelenggara jalan melalui evaluasi persyaratan administrasi dan
persyaratan teknis serta hasil peninjauan lapangan28, terbitlah
26 Ibid Pasal 7
27 Ibid. Pasal 8
28
Persetujuan Prinsip (Formulir A.3.).
Agar persetujuan prinsip dapat diproses pemberian izin, maka
Pemohon wajib melengkapi persyaratan 29:
a. rencana teknis rinci;
b. metode pelaksanaan;
c. izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;
d. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan
bank serta polis asuransi kerugian pihak ketiga, yang diterima
dan disimpan oleh pemberi izin.
Setelah semua persyaratan tersebut lengkap maka penerbitan
izin untuk jalan kota dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh
pemohon, berupa Formulir A.430 dan ditandatangani bermeterai
antara ke dua belah pihak, yaitu pemohon dan pemberi izin serta
mencantumkan jangka waktu berlakunya izin.
Izin yang dikeluarkan oleh penyelenggara jalan tersebut
merupakan persetujuan yang diberikan oleh penguasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang
29 Ibid. Pasal 9 ayat 5
30
Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang
sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang
mengharuskan adanya pengawasan.
Persetujuan yang diberikan oleh penyelenggara jalan selaku
pihak yang berkuasa untuk memberikan izin diberikan karena pihak
pemohon untuk pemasangan jaringan kabel fiber optik bersedia
untuk memenuhi dan mengikuti seluruh persyaratan dan ketentuan
yang diberikan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan
Bagian-Bagian Jalan. Hal ini tentu membuat pihak pemohon selaku
pihak yang berkepentingan telah mengikatkan dirinya terhadap
persyaratan dan ketentuan yang termuat di dalam peraturan menteri
a quo. Perikatan yang ada merupakan konsekuensi logis dari
persetujuan pihak pemohon terhadap segala persyaratan dan
ketentuan yang ada di dalam peraturan menteri a quo.
Istilah perikatan dikenal di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW). Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat rumusan
perikatan. Pengertian perikatan dapat dilakukan dengan pendekatan
ilmu hukum, terutama kaitannya dengan hukum perdata. Dalam ilmu
hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
berkaitan dengan harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih atau sebagai para pihak yang melakukan ikatan hukum, yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Terdapat juga pengertian lain tentang perikatan yaitu bahwa
perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang
isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang
telah disepakati bersama para pihak.31
Dalam KUHPerdata Pada pasal 1233 menyatakan bahwa
“Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang”. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah perjanjian dan
undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian,
antar pihak dengan sengaja bersepakat untuk mengikatkan diri
dalam perikatan sehingga kedua pihak mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi.32 Dalam bahasa Indonesia istilah
kontrak dikenal dengan istilah perjanjian yang merupakan
terjemahan dari kata Overeenkomst dalam bahasa Belanda.
31 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan , Pustaka Setia, Bandung, 2011, h. 15-17.
Sekalipun demikian dalam prakteknya istilah kontrak lebih banyak
digunakan dalam kegiatan yang bernuansa bisnis.33
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, perikatan
yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan
manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya
perikatan, melainkan undang-undang yang menetapkan adanya
perikatan, dengan kata lain bahwa adanya kewajiban untuk
memenuhi ketentuan undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi,
berarti pelanggaran undang-undang.34 Jika dilihat dari penjelasan
perikatan tersebut dapat dipahami bahwa perikatan yang terjadi
ketika pemohon memohon izin untuk pemasangan jaringan kabel
fiber optik ialah perikatan yang bersumber dari undang-undang dan
bukanlah perikatan yang bersumber dari perjanjian. Hal ini membuat
pemohon izin tersebut berkewajiban untuk memenuhi ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang pemanfaatan ruang jalan
bagi pemasangan jaringan utilitas khususnya jaringan kabel fiber
optik. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari izin yang telah
diberikan. Kewajiban untuk memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut termaktub di dalam Undang-Undang
33 Dyah Hapsari Prananingrum, Dinamika Hukum Kontrak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, h. 41.
Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan jo. Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman
Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Kewajiban
tersebut seperti yang telah yang disampaikan sebelumnya yaitu
memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administrasi.
Beberapa hal penting yang menjadi kewajiban dari pemohon
yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan seperti
surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan
menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/
bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan
menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin
ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana
yang dibangun/ dipasang pada bagian–bagian jalan yang dimohon.
Selain itu pemasangan jaringan kabel fiber optik harus memenuhi
ketentuan seperti:
a) tidak mengganggu keamanan dan keselamatan pengguna jalan;
b) tidak mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konsentrasi
pengemudi;
c) tidak mengganggu fungsi dan konstruksi jalan serta bangunan
d) tidak mengganggu dan mengurangi fungsi rambu–rambu dan
sarana pengatur lalu lintas lainnya; dan
e) sesuai dengan peraturan daerah dan/atau peraturan instansi
terkait.
Hal-hal di atas ini merupakan kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pihak yang memohon izin untuk pemasangan
jaringan kabel fiber optik. Namun jika dilihat berdasarkan fakta yang
terjadi di Kota Salatiga tidaklah demikian. Pada umumnya pihak
swasta yang selama ini melaksanakan perluasan jaringan di Kota
Salatiga sebagai pemohon pemasangan jaringan kabel fiber optik
ialah operator seluler seperti Indosat, Telkomsel, Telkom Indonesia,
XL, dan 3. Dalam praktiknya pemasangan jaringan kabel fiber optik
tersebut menimbulkan banyak masalah karena pelaksanaan kegiatan
tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai dengan petunjuk
teknis kebinamargaan. Kenyataan yang terjadi akibat pelaksanaan
pemanfaatan rumija tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang
diharuskan dalam peraturan perundang-undangan seperti izin yang
tidak ada, prosedur teknis tidak dilaksanakan dengan benar, lokasi
tidak sesuai dengan yang dimohonkan, pelaksanaannya tidak
mengembalikan seperti sedia kala, pelaksanaannya berlarut-larut,
prosedur perizinan yang benar, tidak menyertakan jaminan
pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan serta tidak menyertakan
asuransi kerugian pihak ketiga. Hal tersebut berlangsung dalam
kurun waktu yang lama dan selalu bersifat merusak infrastruktur
karena prinsipnya tidak dikembalikan kepada keadaan semula.
Padahal di lain sisi izin yang diberikan oleh pemerintah Kota
Salatiga selaku penyelenggara jalan tidaklah dikenakan retribusi
yang justru melalui retribusi tersebut dapat meningkatkan
pendapatan daerah, melainkan pemerintah Kota Salatiga yang harus
menganggarkan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur dengan
dana APBD Kota, APBD Provinsi dan Dana Alokasi Khusus yang
bersumber dari APBN.
Melihat dari sample unit amatan yaitu Surat Persetujuan izin
Nomor 620/148/103 tanggal 20 Maret 2013 tentang Persetujuan Izin,
maka ada beberapa ketentuan di dalam PerMen PU Nomor 20 Tahun
2010 yang belum dipenuhi , yaitu:
a. Terbitnya Surat Persetujuan Izin tidak didahului dengan
Persetujuan Prinsip.
Sehingga pihak pemohon belum memenuhi syarat administrasi ,
yaitu surat pernyataan untuk memenuhi dan mematuhi semua
pelaksanaan maupun pemanfaatannya serta menanggung segala
akibat yang ditimbulkannya. dan syarat teknis, berupa :
Rencana teknis rinci
Metode pelaksanaan
Izin usaha
Jaminan pelaksanaan
Jaminan pemeliharaan
Polis asuransi kerugian pihak ketiga
b. Belum adanya Pencantuman masa berlakunya izin pada surat
Persetujuan izin.
Berdasarkan fakta dan masalah yang terjadi,
pertanggungjawaban hukum merupakan hal yang penting demi
memberikan kepastian hukum. Pihak operator seluler sebagai
pemohon izin pemasangan jaringan kabel fiber optik haruslah
bertanggung jawab berdasarkan perikatan yang telah terjadi di mana
pihak operator seluler wajib memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di mana dalam praktiknya yang terjadi justru
bertolak belakang dan merugikan pemerintah Kota Salatiga pada
c) Prinsip Tanggung Jawab Perdata Atas Unsur Kesalahan
(Liability Based On Fault) Terhadap Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik
Dalam sub-sub bab ini, fokus pembahasan penulis yaitu pada
Tanggung jawab hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum
perdata atas unsur kesalahan (liability based on fault). Penulis
berpendapat bahwa Pihak Operator seluler sebagai pemegang izin
pemasangan jaringan kabel fiber optik haruslah bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pihak operator
seluler itu sendiri yang tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjadi penting karena
sebagai negara hukum, adalah suatu keharus untuk
mewujud-nyatakan kepastian hukum dalam kehidupan bernegara. Tindakan
dari operator seluler tersebut mengakibatkan rusaknya trotoar,
kanstin, jaringan drainase dan badan jalan sehingga pengguna jalan
yang tidak dapat menikmati fasilitas jalan sebagaimana mestinya
dan dana yang harus dianggarkan untuk memperbaiki kembali
trotoar kanstin, jaringan drainase dan badan jalan seperti sedia
kala.
Bentuk pertanggungjawaban hukum yang penulis gunakan