• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB III"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

67

TEMUAN DATA DAN ANALISIS

A.

GAMBARAN UMUM

Utilitas adalah “fasilitas yang menyangkut kepentingan umum meliputi

listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya,

sanitasi dan sejenisnya”. Utilitas merupakan fasilitas umum yang

menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang mempunyai sifat

pelayanan lokal maupun wilayah di luar bangunan pelengkap dan pelengkap

jalan. Sebagai salah satu hal yang penting dalam memanfaatkan ruang

manfaat jalan, jaringan utilitas dalam pelaksanaannya membutuhkan

pengaturan lebih lanjut yang berkaitan dengan perizinan dan standard yang

harus dipenuhi dalam pemasangan jaringan utilitas itu sendiri pada jalan yang

ada. Pemasangan jaringan utilitas itu sendiri tidak terlepas dari pihak yang

berwenang dalam penyelenggaraan jalan dalam hal pemberian izin

pemanfaatan ruang manfaat jalan.

Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa wewenang

penyelenggaraan jalan pada tiap status jalan berbeda-beda. Terhadap jalan

nasional, Wewenang penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah pusat

▸ Baca selengkapnya: pada pemasangan kabel straight, pin yang digunakan untuk menerima (receiving) data dari node lain adalah

(2)

penyelenggaraan jalan berada pada pemerintah provinsi. Terhadap jalan kota,

wewenang penyelenggaraan berada pada pemerintah kota, sedangkan pada

jalan kabupaten dan desa, wewenang penyelenggaraan jalan berada pada

pemerintah kabupaten. Dalam hal ini maka wewenang penyelenggaraan jalan

pada jalan kota di Kota Salatiga dalam hal pembangunan bangunan dan

jaringan utilitas berada pada Pemerintah Kota Salatiga.

1. Perubahan Nomenklatur Struktur Organisasi Pemerintah

Sebagai kota yang tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur,

Salatiga juga tidak terlepas dari pembangunan jaringan utilitas dalam hal

ini pemasangan jaringan kabel fiber optik. Pemasangan jaringan kabel

fiber optik dilakukan di bagian-bagian jalan atau trotoar yang merupakan

wilayah publik. Dalam pelaksanaannya pemasangan jaringan kabel fiber

optik tersebut sering bermasalah antara lain izin yang tidak ada,

pelaksanaan tidak kembali seperti sedia kala, pelaksanaan merusak

fasilitas umum, maupun tidak menyertakan jaminan pelaksanaan dan

jaminan pemeliharaan. Permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak

terpisahkan dari aturan-aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini yaitu

produk hukum yang ada di Kota Salatiga. Untuk Kota Salatiga, walikota

dalam wewenangnya sesuai dengan penyelenggara jalan dalam

pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan ruang jalan dilaksanakan

(3)

54 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Pejabat

Struktural pada Dinas Daerah. Pada Pasal 62 menyatakan bahwa :

(1) Dinas Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Air mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah bidang

bina marga dan pengelolaan sumber daya air berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dinas Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Air menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang bina marga dan pengelolaan sumber daya air;

b. pemberian dukungan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelayanan umum dibidang bina marga dan pengelolaan sumber daya air;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang bina teknis, bina marga dan sumber daya air;

d. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan Walikota.

(3) Untuk menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f Kepala Dinas mempunyai uraian tugas sebagai berikut:

f. menyelenggarakan manajemen dan pemberian rekomendasi serta perizinan dibidang pekerjaan umum meliputi bina marga dan sumber daya air untuk meningkatkan pelayanan;

Berdasarkan pasal 62 Peraturan Walikota Salatiga Nomor 54

Tahun 2011 tersebut dapat diketahui bahwa penyelenggaraan manajemen

dan pemberian rekomendasi serta perizinan di bidang pekerjaan umum

meliputi bina marga dan sumber daya air adalah Dinas Bina Marga dan

Pengelolaan Sumber Daya Air. Lahirnya Perwali tersebut dalam rangka

menjamin kepastian dan efektivitas pelaksanaan tata kerja Organisasi

(4)

simplifikasi, dan akuntabilitas, perlu mengatur mengenai tugas pokok,

fungsi, dan uraian tugas pejabat struktural pada Dinas Daerah. Selain itu

perwali tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu landasan hukum

lahirnya perwali tersebut.

Dalam perkembangannya pada tahun 2014 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dipandang tidak

sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Oleh

sebab itulah dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004. Menindaklanjuti pergantian Undang-Undang tentang

pemerintah daerah yang baru, maka berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah

yang lama haruslah menyesuaikan dengan Undang-Undang tentang

Pemerintahan Daerah yang baru. Oleh karena itu lahirlah Peraturan

Walikota Salatiga Nomor Peraturan Walikota Salatiga Nomor 40 Tahun

2016 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta

Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang. Dalam perwali

tersebut terdapat berbagai hal yang baru yang berkaitan dengan

(5)

wewenang pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan ruang jalan

yang semula berada dan dilaksanakan oleh Dinas Bina Marga PSDA

pada Perwali Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan

Uraian Tugas Pejabat Struktural pada Dinas Daerah, berubah pada

Perwali Nomor Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan

Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum

Dan Penataan Ruang.

Dalam pasal 4 dikatakan bahwa :

(1) Dinas mempunyai tugas membantu Walikota melaksanakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah bidang pekerjaan umum dan penataan ruang serta tugas pembantuan yang diberikan kepada Daerah.

(2) Dinas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;

b. pelaksanaan kebijakan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;

c. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. pelaksanaan administrasi Dinas; dan

e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.

(3) Kepala Dinas dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf l mempunyai uraian tugas:

(6)

Terdapat perbedaan dalam hal dinas terkait yang mengurusi

rekomendasi perizinan. Perubahan aturan dan Dinas yang mengurusi

rekomendasi perizinan dalam hal ruang manfaat jalan dari yang semula

berada pada Dinas Bina Marga PSDA pada Perwali Nomor 54 Tahun

2011 menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang pada Perwali

Nomor 40 Tahun 2016. Perubahan nomenklatur tersebut yang mengatur

dengan rekomendasi perizinan dalam hal ruang manfaat jalan untuk

pemasangan jaringan kabel fiber optik tidak terlepas dari adanya

perubahan dasar hukum yang melandasi kedua perwali tersebut. Perwali

Nomor 54 Tahun 2011 dengan salah satu dasar hukumnya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Perwali Nomor 40 Tahun 2016 dengan dasar hukumnya yaitu

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan nomenklatur dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang diganti Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 yang berimbas pada penyesuaian terhadap Peraturan

Walikota Salatiga pada tahun 2011 dan tahun 2016 diharapkan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan

(7)

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan

kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dengan adanya perubahan nomenklatur yang berkaitan dengan

perizinan ruang manfaat jalan tersebut diharapkan memberikan dampak

positif bagi penyelenggaraan perizinan khususnya pemasangan jaringan

kabel fiber optik di Kota Salatiga. Namun pada praktiknya berbagai

permasalahan muncul berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan

jaringan kabel fiber optik pada ruang milik jalan. Pemasangan jaringan

kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak masalah karena

pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai

petunjuk teknis kebinamargaan. Pemerintah Kota Salatiga sebagai

penyelenggara jalan Kota Salatiga dalam hal ini SKPD Bina Marga dan

PSDA maupun yang telah dirubah yaitu OPD Dinas Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang, tidak dapat mengatasi permasalahan akibat

perizinan yang telah dikeluarkan. Beberapa hal yang menyebabkan hal

tersebut terjadi yaitu pemegang hak perizinan tidak bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan kegiatan mereka, keterbatasan aparatur sipil negara

yang mengawasi pelaksanaan pekerjaan mereka. Hal tersebut karena

tugas pengawasan pekerjaan milik non pemerintah tidak tertuang dalam

(8)

mengganggu pengguna jalan dalam beraktivitas menggunakan ruang

badan jalan.

2. Masalah Yang Muncul Berkaitan Dengan Tanggung Jawab

Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap sarana utilitas

memerlukan adanya keterpaduan perencanaan dalam penempatan

jaringan utilitas di bawah tanah, di atas tanah dan di dalam laut yang

diarahkan menggunakan sarana jaringan utilitas terpadu dengan

memperhatikan kepentingan umum dan keserasian lingkungan. Salah

satu Sarana utilitas yang menjadi fokus penelitian ini yaitu pemasangan

jaringan kabel fiber optik di Kota Salatiga.

Kegiatan penempatan jaringan utilitas di bawah tanah maupun di atas

tanah dapat menimbulkan akibat tertentu khususnya kemungkinan

terjadinya kerusakan sararana dan prasarana kota milik instansi atau

Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, penempatan jaringan utilitas

dilakukan pada bagian-bagian jalan milik Pemerintah Kota Salatiga.

Beberapa hal yang menjadi tantangan yang dihadapi dalam

pembangunan jaringan di ruas jalan adalah izin yang tidak ada, prosedur

teknis yang tidak dilaksanakan dengan benar, pelaksanaan tidak

mengembalikan seperti sedia kala, pelaksanaan merusak

(9)

dan wewenang antara pemberi tugas (pemilik pekerjaan) dan penerima

tugas (kontraktor pelaksana) serta pihak pemerintah. Selama ini

kebanyakan proses pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kota

Salatiga tidak dilakukan dengan standard yang benar bahkan pada

prinsipnya tidak mengembalikan pada keadaan semula sehingga sangat

mengganggu dan membahayakan pengguna jalan, baik pejalan kaki

maupun kendaraan beroda dua dan empat. Bahkan lebih dari itu bahwa

Pemerintah Kota Salatiga harus menganggarkan sebagian anggarannya

untuk perbaikan sarana fasilitas yang rusak akibat pemasangan jaringan

utilitas tersebut1, yang notabenenya anggarannya dapat digunakan untuk

hal lain jika pemasangan jaringan utilitas tersebut tidak merusak sarana

publik yang ada.

Pelaksanaan perizinan utilitas dalam hal ini pemasangan jaringan

kabel fiber optik dari tahun ke tahun selalu merusak infrastruktur dan

mengakibatkan kerugian yang tidak semestinya bagi pemerintah daerah.

Oleh sebab itu menjadi penting untuk mengetahui dan memahami pihak

manakah yang harus bertanggung jawab karena kegiatannya yang

merusak fasilitas publik. Tanggung jawab hukum ini penting untuk

tercapainya kepastian hukum. Demi memenuhi kepastian hukum maka

segala hal pelanggaran yang dilakukan dapat dicegah dan proses

(10)

perizinan guna pemasangan jaringan kabel fiber optik tidak

memunculkan gangguan ketertiban umum dan kenyamanan publik bagi

pengguna jalan.

Berkaitan dengan tanggung jawab hukum yang menjadi fokus pada

penelitian hukum ini ialah pihak manakah yang bertanggung jawab dan

seperti apa bentuk pertanggung jawabannya. Selain demi tercapainya

kepastian hukum, pertanggungjawaban hukum juga agar proses perizinan

untuk pemasangan jaringan utilitas ke depannya dapat dilaksanakan

dengan standard yang telah ditetapkan dan tidak merugikan pengguna

jalan.

B.

TEMUAN DATA

1. Realita Hukum Di Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Kota Salatiga

Operator seluler guna mengembangkan perluasan pelayanan maka

mengembangkan jaringan , untuk itu mereka harus mengajukan izin

kepada Dinas teknis terkait yaitu Dinas Bina Marga dan PSDA agar

dapat memasang jaringan kabel fiber optik untuk keperluan perluasan

jaringan / penggantian jaringan lama ( dari kabel tembaga) agar

akses-akses pengiriman data melalui jaringan internet bisa menjadi lebih cepat.

(11)

meng-upgrade kemampuan mutu pelayanan jaringan akses data dengan

mengadakan tender pekerjaan. Tender itu diikuti oleh

kontraktor-kontraktor. Kontraktor pemenang / yang ditunjuk (sebagai pelaksana

pemasangan jaringan kabel FO) inilah yang nantinya akan melakukan

pekerjaan pemasangan jaringan kabel fiber optik dengan cara mendodos

dan menggali.

Pelaksanaan pemasangan jaringan kabel fiber optik pada area Ruang

Milik Jalan (Rumija) dan fasilitas umum (fasum), selanjutnya oleh pihak

swasta dialihkan ke kontraktor sebagai pelaksana di lapangan.

Pemasangan jaringan kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak

masalah karena pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik

dan tidak sesuai petunjuk teknis kebinamargaan. Beberapa ada yang

mengajukan perizinan kepada pemerintah kota, bahkan terdapat pula

perizinan diajukan ketika sudah muncul komplain dan teguran terhadap

kerusakan yang terjadi di mana-mana. Sehingga timbullah beberapa

permasalahan.

Permasalahan itu dalam bentuk:

1. Izin tidak ada 2

2. Prosedur teknis tidak dilaksanakan dengan benar

3. Lokasi tidak sesuai dengan yang dimohonkan

(12)

4. Pelaksanaan tidak mengembalikan seperti sedia kala

5. Pelaksanaan berlarut-larut

6. Pelaksanaan merusak bangunan/fasilitas umum

7. Tidak menempuh jalur/prosedur perizinan yang benar

8. Pekerjaan disub-subkan lagi ke mandor yang tidak paham terhadap

tanggungjawabnya

9. Tidak ada koordinasi tentang tugas dan wewenang antara pemberi

tugas (pemilik pekerjaan) dan penerima tugas (kontraktor pelaksana)

serta pihak pemerintah

10.Tidak menyertakan jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan

11.Jaminan dari perusahaan asuransi fiktif

12.Jaminan Bank Garansi berada di kota lain yang berjarak jauh dari

Kota Salatiga

13.Besaran Jaminan Garansi tidak sesuai dengan jumlah minimal

perhitungan

14.Pihak tertanggung yang dijamin bukan pemerintah Kota Salatiga,

melainkan perusahaan operator seluler

(13)

16.Ketidakpedulian masyarakat terhadap perusakan fasilitas umum

yang dilaksanakan oleh pelaksana pekerjaan (kontraktor/sub

kontraktor)3.

Untuk dapat melaksanakan pekerjaan pemasangan jaringan kabel

fiber optik di bagian-bagian jalan, Operator seluler harus mengajukan

izin kepada Dinas teknis terkait yaitu Dinas PU & PR agar dapat

memasang jaringan kabel fiber optik untuk keperluan perluasan jaringan/

penggantian jaringan lama ( dari kabel tembaga) agar akses-akses

pengiriman data melalui jaringan internet bisa menjadi lebih cepat.

Untuk keperluan itu maka operator – operator seluler tersebut dalam

meng-upgrade kemampuan mutu pelayanan jaringan akses data dengan

mengadakan tender pekerjaan. Tender itu diikuti oleh

kontraktor-kontraktor. Kontraktor pemenang / yang ditunjuk (sebagai pelaksana

pemasangan kabel FO) inilah yang nantinya akan melakukan pekerjaan

pemasangan jaringan kabel fiber optik dengan cara mendodos dan

menggali.

Pelaksanaan pemasangan jaringan kabel fiber optik pada area Ruang

Milik Jalan (Rumija) dan fasilitas umum (fasum), selanjutnya oleh pihak

swasta dialihkan ke kontraktor sebagai pelaksana di lapangan.

Pemasangan jaringan kabel fiber optik tersebut menimbulkan banyak

(14)

masalah karena pelaksanaan kegiatan tidak dilaksanakan dengan baik

dan tidak sesuai petunjuk teknis kebinamargaan. Beberapa ada yang

mengajukan perizinan kepada pemerintah kota, bahkan terdapat pula

perizinan diajukan ketika sudah muncul komplain dan teguran terhadap

kerusakan yang terjadi di mana-mana.

2. Data Pertanggungjawaban Perdata Terkait Dengan Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Bagian-Bagian Jalan

Di dalam surat persetujuan izin pemanfaatan rumija diatur dengan

ketentuan sebagai berikut4 :

1. Dalam pelaksanaan pekerjaan, agar tidak mengganggu dan

membahayakan pengguna jalan, baik pejalan kaki, kendaraan tidak

bermotor maupun kendaraan bermotor, untuk itu harus dipasang

rambu-rambu untuk pengamanan dan kelancaran pengguna jalan dan

pelaksanaan kegiatan tersebut.

2. Pelaksana kegiatan harus memperbaiki kerusakan akibat pekerjaan

yang dilaksanakan seperti sedia kala.

3. Apabila di kemudian hari ada kebijakan pemerintah untuk

melaksanakan pembangunan jalan yang mengakibatkan bangunan

4

(15)

saudara terkena kegiatan tersebut, maka diminta untuk memindahkan

demi kepentingan umum.

4. Pelaksanaan pekerjaan galian dan bongkar pasang jalan/trotoar, agar

secepatnya diselesaikan agar tidak mengganggu lingkungan setempat.

5. Pemadatan terhadap tanah urugan harus dilakukan, agar tidak

berakibat terjadinya penurunan tanah di kemudian hari (pemadatan

dilakukan tiap urugan setinggi 20 cm)

6. Teknis pemasangan kembali trotoar dan jalan mengacu pada standar

dari Bina Marga.

7. Setelah pelaksanaan pekerjaan selesai, diwajibkan menyerahkan

bukti-bukti pelaksanaan perbaikan yang telah dilaksanakan kepada

Dinas BM dan PSDA Kota Salatiga.

8. Segala resiko yang diakibatkan oleh kegiatan menjadi tanggung jawab

(16)

Per Men PU No. 20/PRT/M/2010

Pengajuan Ijin (Form A1 & A2): -syarat administrasi

(17)

Keterangan Bagan 5:

Pemerintah Kota Salatiga sebagai Penyelenggara Jalan Kota adalah

pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan

pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya, yaitu jalan kota. Di

dalam proses pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan

Permohonan izin dapat diajukan oleh pemohon yang berupa

perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi, badan usaha, badan

hukum, instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 


Permohonan izin ditujukan kepada Dinas PU & PR sebagai Dinas

teknis terkait sebagai pejabat yang ditunjuk oleh Walikota selaku

penyelenggara jalan kota dalam pemberian izin, dispensasi, dan

rekomendasi.

Di dalam melakukan Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan

bagian–bagian jalan mempunyai maksud untuk menjamin bahwa

pemanfaatan rumaja dan rumija selain peruntukannya, penggunaan

rumaja yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan

dan jembatan, serta penggunaan ruwasja dapat dilaksanakan secara

tertib. Dan tentunya bertujuan untuk pengamanan fungsi jalan, menjamin

kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi

(18)

jalan.

Sedangkan dalam permohonan izin dengan norma / prosedur

diajukan secara tertulis oleh pemohon dan disampaikan kepada Dinas PU

& PR dengan disertai persyaratan administrasi dan teknis untuk

kemudian mendapatkan persetujuan prinsip.

Persyaratan administrasi berupa :

a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai dengan

Formulir A.1; 


b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan

menjaga bangunan dan jaringan utilitas/iklan/media

informasi/bangun bangunan/bangunan gedung untuk keselamatan

umum dan menanggung segala resiko atas segala akibat yang

mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau

prasarana yang dibangun/dipasang pada bagian–bagian jalan yang

dimohon sesuai dengan Formulir A.2. 


Sedangkan Persyaratan teknis berupa :

a. lokasi;

a. rencana teknis;

b. jadwal waktu pelaksanaan. 


Setelah penyampaian Permohonan Izin dan surat Pernyataan,

(19)

teknis serta hasil peninjauan lapangan, terbitlah Persetujuan Prinsip

(Formulir A.3.). Agar persetujuan prinsip dapat diproses pemberian

izin, maka Pemohon wajib melengkapi persyaratan :

a.rencana teknis rinci;

b.metode pelaksanaan;

c.izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;

d.perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah; dan

e. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan bank

serta polis asuransi kerugian pihak ketiga, yang diterima dan

disimpan oleh pemberi izin 


Setelah semua persyaratan tersebut lengkap maka penerbitan izin untuk

jalan kota dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja

sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh pemohon, berupa

Formulir A.4. Surat Izin (Formulir A.4.) tersebut akan digunakan

sebagai rekomendasi teknis dalam rangka pemanfaatan barang milik

negara/daerah (BMN/D) sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan dan ditandatangani kedua belah pihak bermeterai.

Di dalam Surat Izin terdapat ketentuan wajib bagi pemohon untuk:

a. Wajib melaksanakan pengaturan lalu lintas; 


(20)

jalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara

jalan; 


c. Wajib menjaga, memelihara bangunan dan jaringan utilitas dan

bertanggung jawab terhadap segala kerusakan jalan yang disebabkan

oleh pelaksanaan pemanfaatan bangunan dan jaringan utilitas selama

jangka waktu perizinan;

d. Bersedia membongkar, memindahkan, menanggung biaya dan

mengembalikan jalan seperti semula, dalam hal :
- berakhirnya

jangka waktu perizinan dan tidak diperpanjang kembali.
-

penyelenggara jalan membutuhkan lahan.

e. Masa berlakunya izin sejak tanggal diterbitkannya surat izin.

Di dalam penelitian ini, tampak terdapat pelanggaran hak dari

terbitnya Perizinan yang dilaksanakan oleh pemohon izin. Sedangkan

pelanggaran hak oleh pemohon izin ini dapat dilakukan oleh

Kontraktor pemenang tender, Sub Kontraktornya, Mandor ataupun di tingkat Pekerja. Untuk itu di dalam penelitian ini akan

dilihat mengenai bentuk Pertanggungjawaban pemohon kepada

(21)

Berikut adalah skema bagian-bagian jalan menurut penjelasan pasal 33

PP No.34 tahun 2006 tentang Jalan :

= Ruang manfaat jalan (Rumaja)

= Ruang milik jalan (Rumija)

= Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)

= Bangunan

a = Jalur lalu lintas d = Ambang pengaman

b = Bahu jalan x = b+a+b

(22)

RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan).

Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan

ambang pengamannya6. Rumaja diperuntukkan bagi median,

perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan,

trotoar, lereng, ambang pengaman timbunan dan galian

gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.

Dari diagram di atas, penempatan utilitas yang diperbolehkan adalah di luar Rumaja (Ruang Manfaat Jalan).

RUMIJA (Ruang Milik Jalan)

Pengertian Rumija dalam istilah Public Works (Pekerjaan Umum)

adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih

menjadi bagian dari ruang milik jalan, yang dibatasi oleh batas ruang

milik jalan, yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan

keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran

ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang7.

Lebar Minimum Rumija minimal sama dengan lebar Rumaja. Tinggi

atau kedalaman, yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta

6 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444)

7

(23)

penentuannya didasarkan pada keamanan, pemakai jalan sehubungan

dengan pemanfaatan Rumija, Rumaja.

RUWASJA (Ruang Pengawasan Jalan)

Merupakan ruas disepanjang jalan di luar Rumija yang ditentukan

berdasarkan kebutuhan terhadap pandangan pengemudi, ditetapkan

oleh Penyelenggara Jalan. Lebar Ruwasja diukur dari As Jalan.

Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya

didasarkan pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun

di tikungan dalam hal pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh

Penyelenggara Jalan.

C.

ANALISIS TEMUAN DATA

1. Analisis Realita hukum di dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga

a) Hubungan Hukum di dalam Pemasangan Jaringan kabel Fiber Optik di Kota Salatiga

Hubungan hukum yang terjadi dalam pemasangan jaringan kebel

optik di Kota Salatiga dapat penulis sampaikan dalam bentuk bagan

(24)

Bagan Hubungan Hukum Antara Para Pihak

Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik Di Kota Salatiga

Melalui bagan ini, penulis ingin menggambarkan bagaimana

hubungan hukum yang terjadi dan bagaimana posisi setiap pihak

dalam pemasangan jaringan kabel fiber optik. Yang pertama yaitu

bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam pemasangan jaringan

kabel fiber optik di Kota Salatiga yaitu terjadi antara antara

Pemerintah Kota Salatiga, Pemohon Izin, Kontraktor, dan sub

kontraktor.

Yang kedua ialah hubungan hukum yang terjadi antara

Pemerintah Kota Salatiga selaku penyelenggara jalan dan Pemohon

izin sebagai pihak yang berkepentingan untuk memperoleh izin

ialah sub ordinatif, di mana posisi para pihak tidaklah sejajar. Posisi

Pemerintah Kota Salatiga selaku pemberi izin berada di atas posisi

PEMERINTAH KOTA SALATIGA

PEMOHON IZIN

KONTRAKTOR

(25)

Pemohon izin. Dengan kata lain, pemohon izin wajib mematuhi dan

melaksanakan segala persyaratan yang dipersyaratkan dalam

pemberian izin dimaksud.

Yang ketiga ialah hubungan hukum yang terjadi antara

Pemohon izin dengan kontraktor. Dalam bagan di atas dapat

diketahui bahwa pemohon izin memiliki posisi yang seimbang atau

setara dengan kontraktor. Hal ini karena ketika izin dikeluarkan,

pemasangan jaringan kabel fiber optik, tidaklah dilaksanakan oleh

pemohon izin tersebut melainkan dilaksanakan oleh kontraktor

terpilih, melalui mekanisme lelang. Setelah kontraktor pemenang

lelang diperoleh, maka kontraktor tersebut akan mengadakan

perjanjian dengan pihak pemohon izin yang berisikan hak dan

kewajiban di antara para pihak. Dengan kata lain, telah terjadi

perikatan antara pemohon izin dengan kontraktor yang memuat hak

dan kewajiban dan wajib dipatuhi oleh para pihak.

Yang keempat adalah hubungan hukum yang terjadi antara

kontraktor dengan sub kontraktor. Hal ini sering terjadi ketika

kontraktor telah menerima proyek pekerjaan berupa pemasangan

jaringan kabel fiber optik dan pemasangan tersebut diberikan

kepada kontraktor lain. Pemberian pekerjaan terhadap

(26)

pemasangan jaringan kabel fiber optik dilaksanakan di daerah lain

yang bukan merupakan kantor pusat dari pemohon izin. Kontraktor

yang memenangkan lelang proyek tersebut bisa jadi kontraktor yang

berpusat di Jakarta atau juga bisa jadi yang berasal dari daerah luar.

Oleh sebab itu untuk meringankan biaya yang dikeluarkan maka

pekerjaan tersebut diberikan kepada kontraktor lain yang lebih dekat

dengan daerah di Salatiga, di mana lokasi proyek berada.

b) Fakta Pelaksanaan Perizinan Dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik

Berikut temuan data hasil pengamatan pelaksanaan perizinan

yang tidak sesuai dengan pengaturan/ hukum:

(27)

Foto 2 : Penempatan jaringan utilitas dengan kedalaman <1,5 m di Jl. Osa Maliki, Klaseman

Foto 3 : Proses

penggalian yang berhari-hari dan mengganggu pemanfaatan trotoar bagi pejalan kaki, di Jl. Osa Maliki, Klaseman

(28)

Foto 5 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota, di Jl. Merak, Klaseman

Foto 6 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota, di crossing pertigaan Jl. Osa Maliki-Merak

Foto 7 : Penempatan jaringan utilitas di dalam buis beton drainase kota dan pengurugan dengan diurug sampah, di Jl. Osa Maliki Klaseman

Foto 1, 2 dan 3 menunjukkan terjadinya kerusakan badan jalan

akibat penempatan utilitas yang terlalu dangkal dan masuk dalam

area Rumaja, yang seharusnya mengikuti ketentuan minimal berada

di batas Rumija. Sehingga ketika terpengaruh pembebanan lalu

(29)

terjadilah defleksi pada titik tersebut. Ketika hujan, air menggenang

pada titik lokasi lendutan tersebut, sehingga menyebabkan badan

jalan berupa perkerasan aspal menjadi hancur dan rusak.

Pelaksanaan mengabaikan ketentuan rencana teknis dan metode

pelaksanaan, dilaksanakan berlarut-larut, tidak melaksanakan

pengaturan lalu lintas dan tidak memberi ruang bagi pedestrian.

Foto 4 dan 5 adalah gambaran pelaksanaan yang merusak

infrastruktur jaringan drainase. Ketika di satu titik saluran bis beton

dilubangi untuk memasukkan kabel fiber optik, untuk kemudian

diurug timbunan kembali tanpa menutup lubang akan berakibat

timbunan akan mengisi dan terus bergerak mengisi rongga tempat di

sebelahnya di mana jaringan bis beton menerus. Hingga pada

akhirnya timbunan tersebut akan melendut, sehingga mengakibatkan

kerusakan trotoar di atasnya.

Foto 6 dan foto 7 menunjukkan penempatan utilitas di dalam

crossing jaringan drainase dan tidak dilakukan pengembalian

pekerjaan dengan sempurna. Penutup man hole rusak karena

pembebanan menunjukkan mutu beton di bawah ketentuan teknis.

Sehingga lubang yang ada ditimbun sampah, dijadikan tempat

(30)

luapan hujan. Hal ini akan membahayakan bagi pejalan kaki yang

pada malam hari dapat terperosok masuk lubang.

Di samping itu, kapasitas luas penampang basah crossing

menjadi lebih kecil karena terisi sampah sehingga ketika hujan, air

meluap ke badan jalan dan merusak aspal. Tidak hanya itu, karena

jaringan drainase tersebut sudah berisi bahan timbunan dan kabel

fiber optik, maka ketika hujan, air akan melimpah di badan jalan.

Sehingga mengakibatkan perkerasan jalan berupa aspal menjadi

rusak. Dari realita foto 1 hingga foto 7 tersebut adalah bentuk

pelanggaran dari PerMen PU nomor 20 Tahun 2010.

Pasal 10 :

Bangunan dan jaringan utilitas, iklan dan media informasi, bangun, bangunan gedung dalam ruang milik jalan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. tidak mengganggu keamanan dan keselamatan pengguna jalan; b. tidak mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konsentrasi

pengemudi;

c. tidak mengganggu fungsi dan konstruksi jalan serta bangunan pelengkapnya;

d. tidak mengganggu dan mengurangi fungsi ramburambu dan sarana pengatur lalu lintas lainnya; dan 


(31)

Pasal 12 ayat (1)

Bangunan dan jaringan utilitas pada jaringan jalan di dalam kawasan perkotaan dapat ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan dengan ketentuan:

a. yang berada di atas atau di bawah tanah ditempatkan di luar bahu jalan atau trotoar dengan jarak paling sedikit 1 (satu) meter dari tepi luar bahu jalan atau trotoar; 


b. dalam hal tidak terdapat ruang di luar bahu jalan, trotoar, atau jalur lalu lintas, bangunan dan jaringan utilitas sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat ditempatkan di sisi terluar ruang milik jalan. 


Pasal 12 ayat (5)

Bangunan dan jaringan utilitas di bawah tanah harus diletakkan pada kedalaman paling sedikit 1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan terendah pada daerah galian atau dari tanah dasar pada daerah timbunan.

Pasal 12 ayat (7)

Permukaan tanah pada lintasan bangunan dan jaringan utilitas yang ditempatkan di bawah tanah harus diberi tanda yang bersifat permanen.

Pasal 13

Rencana teknis rinci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a meliputi gambar lokasi, gambar konstruksi, dan bahan konstruksi bangunan dan jaringan utilitas.

Pasal 14 ayat (1)

(32)

pemasangan, dan pengembalian konstruksi jalan, serta rencana pengaturan lalu lintas. 


Pasal 14 ayat (2)

Pemegang izin wajib melaksanakan pengaturan lalu lintas selama pelaksanaan konstruksi bangunan dan jaringan utilitas agar gangguan terhadap kelancaran lalu lintas sekecil mungkin.

Pasal 14 ayat (3)

Pemegang izin wajib menjaga, memelihara bangunan dan jaringan utilitas, dan bertanggung jawab terhadap segala kerusakan jalan yang disebabkan oleh bangunan dan jaringan utilitas selama jangka waktu perizinan. 


Foto 8 : Posisi Guiding block sebagai penunjuk arah bagi pejalan kaki tuna netra tidak dikembalikan pada posisi yang benar dan terputus, di Jl. Diponegoro (depan Pizza Hut)

(33)

Foto 10 : Posisi Guiding block sebagai penunjuk arah bagi pejalan kaki tuna netra tidak dikembalikan pada posisi yang benar, sehingga dapat menyesatkan pengguna difable di Jl. Diponegoro (depan Pizza Hut)

Foto 8, foto 9 dan foto 10 tersebut di atas menunjukkan

pekerjaan utilitas tidak mengembalikan seperti semula dan

membahayakan keselamatan pejalan kaki tuna netra dan low vision.

Guiding Block yang berwarna kuning atau oranye berupa kode-kode

sebagai rambu penunjuk jalan bagi pejalan kaki tuna netra dan low

vision mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda. Ada yang

memberikan kode jalan terus, belok kanan, belok kiri,

persimpangan, jalan menurun dan naik. Guiding Block yang

bergelombang menunjukkan di depannya akan terdapat

persimpangan, sehingga sebagai peringatan agar lebih berhati-hati.

Guiding Block bulatan-bulatan kecil menunjukkan area berbahaya,

contohnya tempat keluar masuknya mobil dari dan ke jalan

raya-restoran.

Dari amatan foto 8, 9, 10 tersebut , disamping menunjukkan

terjadinya pelanggaran pada Per Men PU No.20 Tahun 2010 pasal

(34)

PU Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan

Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Pasal 3 ayat (1)

Dalam merencanakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas.

Pasal 3 ayat (2)

Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas yang diatur dalam peraturan ini dan juga PerMen PU nomor 20 Tahun 2010.

Mengenai Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang

Telekomunikasi , dari foto 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10 , jika kita

cermati juga termasuk dalam pelanggaran pasal 12, 13 dan 15

Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat.

Pasal 12

(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai

(35)

(1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 


Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 15

a. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi. 


b. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya. c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian

ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Dari foto-foto tersebut di atas dapat dilihat bahwa dari tahun ke

tahun pelaksanaan perizinan utilitas selalu bersifat merusak

infrastruktur karena pada prinsipnya tidak dikembalikan kepada

keadaan semula. Infrastruktur yang rusak antara lain : Saluran

(36)

badan jalan dan jembatan. Padahal dengan adanya perizinan tersebut

tidak menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Sehingga

dari tahun ke tahun pemerintah harus menganggarkan perbaikan

sarana dan prasarana infrastruktur dengan dana APBD Kota, APBD

Provinsi dan DAK (APBN).

2. Analisis Pertanggungjawaban Perdata

a) Hak Menguasai Negara Atas Jalan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

menyatakan bahwa, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang

meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah

permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali

jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.8 Pengertian demikian

dianut pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan9,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006

8 Lihat Pasal 1 ayat (4).

(37)

Tentang Jalan10, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor.

20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan

Bagian-Bagian Jalan11.

Pengertian Jalan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004

tersebut tampak bahwa jalan memiliki bagian-bagian.

Bagian-bagian jalan tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 11

bahwa, bagian-bagian jalan terdiri dari ruang manfaat jalan, ruang

milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan

meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.

Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah

tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan

jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di

bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No.38 Tahun 2004,

menyatakan bahwa jalan dikuasai oleh Negara. Artinya bahwa jalan

berada di bawah kekuasaan Negara. Penguasaan Negara tersebut

memberi wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah

untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Wewenang Pemerintah

dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jalan meliputi

10 Lihat Pasal 1 ayat (3).

(38)

penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan

nasional, meliputi: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan

pengawasan. Wewenang pemerintah provinsi dalam

penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi.

Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan

meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.

Sedangkan wewenang Pemerintah Kota sebatas penyelenggaraan

jalan kota.12

Hak penguasaan jalan ada pada Negara bermakna bahwa,

pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara,

mempunyai hak menyelenggarakan jalan secara umum.

Penyelenggaraan jalan harus menjamin terselenggaranya peranan

jalan yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah dengan

memperhatikan keterhubungan antar kawasan atau keterhubungan

dalam kawasan serta dilakukan secara konsepsional dan

menyeluruh.13

Hak penguasaan Negara atas jalan bersumber dari UUD NRI

1945 pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi (3) :

12 Lihat Pasal 14, 15 dan 16 UU No.38 Tahun 2004 dan Pasal 5 Permen PU No.20 Tahun 2010

(39)

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berarti wewenang negara adalah penguasaan bukan kepemilikan

atas kekayaan alam. Sebab pemilikan atas kekayaan alam tersebut

adalah hak bangsa (rakyat) yang pelaksanaannya melalui alat negara

yang kewenangannya didelegasikan sebagai Menteri dan kepada

kepala daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.14

Selanjutnya Hak menguasai dari Negara dijabarkan secara spesifik

di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Dasar Agraria atau yang biasa dikenal dengan sebutan

UUPA. Pada Pasal 2 menyatakan bahwa :

1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk :

a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

(40)

c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Uraian kata dari pasal-pasal di atas mengandung makna bahwa

di dalamnya memberikan kewenangan pada negara sebagai

organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk mengatur sumber

daya alam yang terkandung di wilayah negara kesatuan Republik

Indonesia yang ditujukan bagi kesejahteraan segenap rakyat

Indonesia. Menurut Filsafat Bentham dengan teori Utiliti, bahwa

tujuan hukum adalah the greatest good of the greatest number

bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang

bebas dari kesengsaraan. Hal ini secara metafisis menempatkan

kesejahteraan sebagai dasar filosofis dengan bertumpu pada

kemajuan ekonomi serta kondisi sosial budaya masyarakat. Konsep

pemikiran utilitarianisme tampak melekat pada makna “adil dan

makmur”, dan Pasal 33 ayat (2) “sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat” yang dapat dimaknai sebagai kebutuhan masyarakat

Indonesia, karenanya hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh

(41)

kesejahteraan masyarakat (luas) yang merupakan hukum tertinggi

(solus publica supreme lex) namun untuk menjamah kebahagiaan,

manusia harus mencukupi apa adanyan untuk diri mereka, seperti

yang dikemukakan oleh aristoteles (to be happy means to be

sufficient for one’s self).15

Hak menguasai tersebut dalam konteks hak dan kewajiban

Negara sebagai pemilik yang bersifat sebagai badan hukum publik,

bukan sebagai badan hukum privat. Negara sebagai pemilik berarti

Negara memiliki wewenang sebagai pengatur, perencana, pelaksana

dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan

pemanfaatan jalan16. Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak

mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi dapat

diwujudkan. Dalam pemikiran barat, kekuasaan Negara tersebut

digunakan sebagai alat untuk mencapai perkembangan individu

sehingga perkembangan individu yang berkemampuan sepenuhnya

sebagai dasar poltik dan hukum dari masyarakat modern. Gagasan

demikian sudah ada sejak demokrasi Athena yang kemudian

dikembangkan oleh John Locke dan diadopsi ke dalam deklarasi hak

15 Ibid. h. 183.

(42)

asasi manusia di Perancis dan konstitusi Amerika Serikat.17 Dengan

demikian, Negara sebagai pemilik jalan berwenang mengelola dan

memanfaatkan jalan untuk mengembangkan potensi individu

sehingga memiliki kemampuan sepenuhnya untuk berkembang, dan

pemanfaatan ruang milik jalan oleh pihak lain memerlukan izin dari

Negara.

b) Ijin Sebagai Persetujuan Yang Melahirkan Perikatan

Kata Izin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya);

per-setujuan membolehkan.18 Selanjutnya menurut N.M. Spelt dan

Prof. Mr. J.B.J.M. ten Berge, pengertian izin dalam arti luas adalah

suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau

pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari

ketentuan larangan perundang-undangan. Hal serupa juga sejalan

dengan apa yang disampaikan oleh Bagir Manan yang menyebutkan

bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan

17 W. Friedman, Legal Theory, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-masalah Komtemporer, Raja Jaya Offset, Jakarta 1990, h. 46.

(43)

melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum

dilarang.19

Melalui pemberian izin, penguasa memperkenankan orang yang

memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang

sebenarnya dilarang. Ini menyangkut diperkenankannya suatu

tindakan, yang demi kepentingan umum mengharuskan adanya

pengawasan khusus atas tindakan tersebut.20 Sedangkan izin dalam

arti sempit adalah pengikatan-pengikatan terhadap suatu peraturan

izin secara umum, yang didasarkan pada keinginan pembuat

undang-undang untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau menghindari

terjadinya keadaan yang tidak baik. Tujuannya adalah mengatur

tindakan-tindakan yang sebenarnya bukan perbuatan tercela, namun

hendak diadakan pengawasan atas tindakan tersebut. Inti dari izin

dalam arti sempit adalah suatu tindakan dilarang, kecuali

diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang

terkait dapat diberikan batas-batas tertentu kasus per kasus. Jadi

persoalannya bukan hanya untuk memberi perkenan dalam

keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang

19

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 170-171.

(44)

diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam

ketentuan-ketentuan).21

Pengertian mengenai izin juga terdapat di dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pada Pasal 1 ayat (19) menyatakan bahwa :

Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sistem perizinan muncul karena tugas mengatur dari

pemerintah, karena perizinan akan dibuat dalam bentuk peraturan

yang harus dipatuhi masyarakat yang berisikan larangan dan

perintah. Dengan demikian izin ini akan digunakan oleh penguasa

sebagai instrumen untuk mempengaruhi hubungan dengan para

warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya, guna mencapai

tujuan yang konkrit.22

Izin/verguning merupakan salah satu instrumen pemerintah yang

banyak digunakan dalam hukum administrasi Negara sebagai sarana

yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat.

Sebagai salah satu instrumen pemerintah, izin merupakan perbuatan

21 Ridwan, Hukum Administrasi Negara , Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 199-200.

(45)

pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang- undangan

untuk ditetapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan

persyaratan tertentu.23 Pencantuman tujuan dalam suatu sistem

perizinan pada hakekatnya akan membawa konsekuensi penting bagi

organ organ penguasa dalam setiap pengambilan keputusan

pemberian izin, dimana organ pemerintah/ penguasa tidak boleh

menggunakan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan tujuan dari

ketentuan-ketentuan tersebut. Penolakan izin hanya dilakukan bila

kriteria yang ditetapkan pemerintah tidak dipenuhi. Hal ini

menunjukkan bahwa izin tersebut dipergunakan oleh pemerintah

sebagai instrumen hukum.

Selain itu Perizinan dapat berfungsi sebagai Sumber Pendapatan

Negara. Perizinan dapat digunakan sebagai cara pemerintah untuk

meningkatkan pendapatannya. Penggunaan sistem perizinan

bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Di mana

dengan adanya sistem perizinan, maka pendapatan pemerintah akan

bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon dapat

dikenakan retribusi. Dalam hal retribusi, dikarenakan pemerintah

mendapatkan kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan ini

23 http://digilib.unila.ac.id/2980/12/BAB%20II.pdf, dikunjungi pada tanggal 21 April 2017 pukul 09.16.

(46)

hanya bisa dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Proses

penarikan retribusi baru dapat dilakukan jika ada dasar hukumnya

yaitu undang-undang (no taxation without the law).24

Izin bilamana dilihat dari tujuan dan ketentuannya pada

hakikatnya membolehkan perbuatan bersangkutan akan tetapi untuk

dapat melakukannya diisyaratkan prosedur dan persyaratan tertentu

yang harus dilalui. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi bagi para

pihak yang ingin mengajukan perizinan pemasangan jaringan kabel

fiber optik. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman

Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Pada pasal 3

huruf (a) jo. Pasal 4 angka (1) menyatakan :

Pasal 3

Lingkup pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagianbagian jalan kecuali Bagian-bagian jalan tol meliputi:

1. pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media informasi, bangunbangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik jalan;

2. . . .

Pasal 4

1. Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a wajib memperoleh izin dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.

24

(47)

Selain itu juga hal yang berkaitan dengan perizinan tersebut

juga tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999

Tentang Telekomunikasi. Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :

1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai

3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Untuk memperoleh izin dari penyelenggara jalan maka

pemohon dalam hal ini perseorangan, kelompok masyarakat,

organisasi, badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah mengajukan permohonan izin secara

tertulis kepada penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.

Permohonan izin tersebut haruslah dilengkapi dengan persyaratan

administrasi dan persyaratan teknis.25

(48)

Persyaratan administrasi yang dimaksud di atas mencakup:

a. surat permohonan yang berisi data/identitas pemohon sesuai

dengan Formulir A.1;

b. surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara

dan menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media

informasi/ bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk

keselamatan umum dan menanggung segala resiko atas segala

akibat yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi

atas sarana atau prasarana yang dibangun/dipasang pada bagian–

bagian jalan yang dimohon sesuai dengan Formulir A.2.26

Sedangkan persyaratan teknis yang dimaksud mencakup:

a. lokasi;

b. rencana teknis; dan

c. jadwal waktu pelaksanaan.27

Setelah persyaratan administrasi dan teknis terpenuhi maka

penyelenggara jalan melalui evaluasi persyaratan administrasi dan

persyaratan teknis serta hasil peninjauan lapangan28, terbitlah

26 Ibid Pasal 7

27 Ibid. Pasal 8

28

(49)

Persetujuan Prinsip (Formulir A.3.).

Agar persetujuan prinsip dapat diproses pemberian izin, maka

Pemohon wajib melengkapi persyaratan 29:

a. rencana teknis rinci;

b. metode pelaksanaan;

c. izin Usaha, dalam hal pemohon adalah badan usaha;

d. jaminan pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan berupa jaminan

bank serta polis asuransi kerugian pihak ketiga, yang diterima

dan disimpan oleh pemberi izin.


Setelah semua persyaratan tersebut lengkap maka penerbitan

izin untuk jalan kota dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5

(lima) hari kerja sejak dilengkapinya seluruh persyaratan oleh

pemohon, berupa Formulir A.430 dan ditandatangani bermeterai

antara ke dua belah pihak, yaitu pemohon dan pemberi izin serta

mencantumkan jangka waktu berlakunya izin.

Izin yang dikeluarkan oleh penyelenggara jalan tersebut

merupakan persetujuan yang diberikan oleh penguasa berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang

29 Ibid. Pasal 9 ayat 5

30

(50)

Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang

memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang

sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang

mengharuskan adanya pengawasan.

Persetujuan yang diberikan oleh penyelenggara jalan selaku

pihak yang berkuasa untuk memberikan izin diberikan karena pihak

pemohon untuk pemasangan jaringan kabel fiber optik bersedia

untuk memenuhi dan mengikuti seluruh persyaratan dan ketentuan

yang diberikan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan

Bagian-Bagian Jalan. Hal ini tentu membuat pihak pemohon selaku

pihak yang berkepentingan telah mengikatkan dirinya terhadap

persyaratan dan ketentuan yang termuat di dalam peraturan menteri

a quo. Perikatan yang ada merupakan konsekuensi logis dari

persetujuan pihak pemohon terhadap segala persyaratan dan

ketentuan yang ada di dalam peraturan menteri a quo.

Istilah perikatan dikenal di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW). Di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat rumusan

(51)

perikatan. Pengertian perikatan dapat dilakukan dengan pendekatan

ilmu hukum, terutama kaitannya dengan hukum perdata. Dalam ilmu

hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang

berkaitan dengan harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih atau sebagai para pihak yang melakukan ikatan hukum, yang

satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Terdapat juga pengertian lain tentang perikatan yaitu bahwa

perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang

isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang

telah disepakati bersama para pihak.31

Dalam KUHPerdata Pada pasal 1233 menyatakan bahwa

“Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena

undang-undang”. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah perjanjian dan

undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian,

antar pihak dengan sengaja bersepakat untuk mengikatkan diri

dalam perikatan sehingga kedua pihak mempunyai hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi.32 Dalam bahasa Indonesia istilah

kontrak dikenal dengan istilah perjanjian yang merupakan

terjemahan dari kata Overeenkomst dalam bahasa Belanda.

31 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan , Pustaka Setia, Bandung, 2011, h. 15-17.

(52)

Sekalipun demikian dalam prakteknya istilah kontrak lebih banyak

digunakan dalam kegiatan yang bernuansa bisnis.33

Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, perikatan

yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan

manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya

perikatan, melainkan undang-undang yang menetapkan adanya

perikatan, dengan kata lain bahwa adanya kewajiban untuk

memenuhi ketentuan undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi,

berarti pelanggaran undang-undang.34 Jika dilihat dari penjelasan

perikatan tersebut dapat dipahami bahwa perikatan yang terjadi

ketika pemohon memohon izin untuk pemasangan jaringan kabel

fiber optik ialah perikatan yang bersumber dari undang-undang dan

bukanlah perikatan yang bersumber dari perjanjian. Hal ini membuat

pemohon izin tersebut berkewajiban untuk memenuhi ketentuan

undang-undang yang mengatur tentang pemanfaatan ruang jalan

bagi pemasangan jaringan utilitas khususnya jaringan kabel fiber

optik. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari izin yang telah

diberikan. Kewajiban untuk memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan tersebut termaktub di dalam Undang-Undang

33 Dyah Hapsari Prananingrum, Dinamika Hukum Kontrak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, h. 41.

(53)

Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan jo. Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2010 Tentang Pedoman

Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan. Kewajiban

tersebut seperti yang telah yang disampaikan sebelumnya yaitu

memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administrasi.

Beberapa hal penting yang menjadi kewajiban dari pemohon

yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan seperti

surat pernyataan bertanggung jawab atas kewajiban memelihara dan

menjaga bangunan dan jaringan utilitas/ iklan/ media informasi/

bangun-bangunan/ bangunan gedung untuk keselamatan umum dan

menanggung segala resiko atas segala akibat yang mungkin

ditimbulkan dari kerusakan yang terjadi atas sarana atau prasarana

yang dibangun/ dipasang pada bagian–bagian jalan yang dimohon.

Selain itu pemasangan jaringan kabel fiber optik harus memenuhi

ketentuan seperti:

a) tidak mengganggu keamanan dan keselamatan pengguna jalan;

b) tidak mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konsentrasi

pengemudi;

c) tidak mengganggu fungsi dan konstruksi jalan serta bangunan

(54)

d) tidak mengganggu dan mengurangi fungsi rambu–rambu dan

sarana pengatur lalu lintas lainnya; dan

e) sesuai dengan peraturan daerah dan/atau peraturan instansi

terkait.

Hal-hal di atas ini merupakan kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pihak yang memohon izin untuk pemasangan

jaringan kabel fiber optik. Namun jika dilihat berdasarkan fakta yang

terjadi di Kota Salatiga tidaklah demikian. Pada umumnya pihak

swasta yang selama ini melaksanakan perluasan jaringan di Kota

Salatiga sebagai pemohon pemasangan jaringan kabel fiber optik

ialah operator seluler seperti Indosat, Telkomsel, Telkom Indonesia,

XL, dan 3. Dalam praktiknya pemasangan jaringan kabel fiber optik

tersebut menimbulkan banyak masalah karena pelaksanaan kegiatan

tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai dengan petunjuk

teknis kebinamargaan. Kenyataan yang terjadi akibat pelaksanaan

pemanfaatan rumija tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang

diharuskan dalam peraturan perundang-undangan seperti izin yang

tidak ada, prosedur teknis tidak dilaksanakan dengan benar, lokasi

tidak sesuai dengan yang dimohonkan, pelaksanaannya tidak

mengembalikan seperti sedia kala, pelaksanaannya berlarut-larut,

(55)

prosedur perizinan yang benar, tidak menyertakan jaminan

pelaksanaan dan jaminan pemeliharaan serta tidak menyertakan

asuransi kerugian pihak ketiga. Hal tersebut berlangsung dalam

kurun waktu yang lama dan selalu bersifat merusak infrastruktur

karena prinsipnya tidak dikembalikan kepada keadaan semula.

Padahal di lain sisi izin yang diberikan oleh pemerintah Kota

Salatiga selaku penyelenggara jalan tidaklah dikenakan retribusi

yang justru melalui retribusi tersebut dapat meningkatkan

pendapatan daerah, melainkan pemerintah Kota Salatiga yang harus

menganggarkan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur dengan

dana APBD Kota, APBD Provinsi dan Dana Alokasi Khusus yang

bersumber dari APBN.

Melihat dari sample unit amatan yaitu Surat Persetujuan izin

Nomor 620/148/103 tanggal 20 Maret 2013 tentang Persetujuan Izin,

maka ada beberapa ketentuan di dalam PerMen PU Nomor 20 Tahun

2010 yang belum dipenuhi , yaitu:

a. Terbitnya Surat Persetujuan Izin tidak didahului dengan

Persetujuan Prinsip.

Sehingga pihak pemohon belum memenuhi syarat administrasi ,

yaitu surat pernyataan untuk memenuhi dan mematuhi semua

(56)

pelaksanaan maupun pemanfaatannya serta menanggung segala

akibat yang ditimbulkannya. dan syarat teknis, berupa :

 Rencana teknis rinci

 Metode pelaksanaan

 Izin usaha

 Jaminan pelaksanaan

 Jaminan pemeliharaan

 Polis asuransi kerugian pihak ketiga

b. Belum adanya Pencantuman masa berlakunya izin pada surat

Persetujuan izin.

Berdasarkan fakta dan masalah yang terjadi,

pertanggungjawaban hukum merupakan hal yang penting demi

memberikan kepastian hukum. Pihak operator seluler sebagai

pemohon izin pemasangan jaringan kabel fiber optik haruslah

bertanggung jawab berdasarkan perikatan yang telah terjadi di mana

pihak operator seluler wajib memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan di mana dalam praktiknya yang terjadi justru

bertolak belakang dan merugikan pemerintah Kota Salatiga pada

(57)

c) Prinsip Tanggung Jawab Perdata Atas Unsur Kesalahan

(Liability Based On Fault) Terhadap Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik

Dalam sub-sub bab ini, fokus pembahasan penulis yaitu pada

Tanggung jawab hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum

perdata atas unsur kesalahan (liability based on fault). Penulis

berpendapat bahwa Pihak Operator seluler sebagai pemegang izin

pemasangan jaringan kabel fiber optik haruslah bertanggung jawab

terhadap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pihak operator

seluler itu sendiri yang tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjadi penting karena

sebagai negara hukum, adalah suatu keharus untuk

mewujud-nyatakan kepastian hukum dalam kehidupan bernegara. Tindakan

dari operator seluler tersebut mengakibatkan rusaknya trotoar,

kanstin, jaringan drainase dan badan jalan sehingga pengguna jalan

yang tidak dapat menikmati fasilitas jalan sebagaimana mestinya

dan dana yang harus dianggarkan untuk memperbaiki kembali

trotoar kanstin, jaringan drainase dan badan jalan seperti sedia

kala.

Bentuk pertanggungjawaban hukum yang penulis gunakan

Referensi

Dokumen terkait

Terkait hakim yang menjatuhi pidana minimum terhadap terdakwa yang melakukan perdagangan orang, menurut penulis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan

Dapat melatih keterampilan berpikir kritis peserta didik, dalam menganalisis, merangkum, dan melalui kegiatan diskusi peserta didik akan terlatih menggunakan

Dimulai dari tahap formulasi, hukum pidana di Indonesia yang mengatur tentang penegakan hukum pidana terhadap produsen pangan yang mengandung zat berbahaya

sering kali berlangsung tanpa ketergantungan atau komunikasi antar peserta didik... Johnson &amp; Johnson menyatakan bahwa elemen utama pembelajaran kooperatif adalah

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan aktivitas guru dalam pelaksanaan pembelajaran dengan

Pada kriteria ini empat (4) validator memberi nilai 4 dan satu (1) validator memberi nilai 3, sehingga diperoleh nilai CVR sebesar 1,00 atau valid, dengan kata lain

Pemberdayaan pengelolaan usaha bisnis pendukung bidang pariwisata ini sangat diperlukan, salah satunya di bidang pelaporan keuangan usaha, yang dilakukan sesuai dengan

Materi perkuliahan ini meliputi analisis masalah keterbelakangan, sub ordinat dan ketidak berdayaan kaum perempuan, isu gender serta program pendidikan pemberdayaan perempuan