• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pertanggungjawaban

2. Analisis Pertimbangan Hakim

Menurut KUHAP dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 8 (delapan) Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

mengadili.138 Sebagai penegak hukum, Hakim mempunyai tugas pokok di bidang

yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.139

Lebih lanjut tugas Hakim dapat dibedakan menjadi tugas Hakim secara normatif dan tugas Hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara. Tugas Hakim secara normatif diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal

4 ayat 1 (satu)).

138

Lihat Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

139

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 (dua)).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1 (satu)).

4. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada

lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22).

5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 (satu)).

6. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat 2 (dua)).

Di samping tugas Hakim secara normatif, Hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:

1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.

Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar

terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.

2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya.

Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang- undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada Undang-undangnya, sebaliknya Undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.

3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan

hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, Hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin oleh Undang-undang.

Hal ini harus dilakukan sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 5 ditegaskan:

1. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

2. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

3. Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim.

Selanjutnya dalam menetapkan putusan, dasar seorang Hakim adalah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.140 Oleh karena itu,

dalam menetapkan putusan, pertama-tama seorang Hakim bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia

bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.141 Hakim dalam membuat putusan

harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.142

Oleh karena itu, Hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan Hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusannya. Setiap memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan Hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-

140

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman. 2010, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Pasal 2 ayat (2).

141

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010) hal. 95.

142

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil,

yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.143

Setiap memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan Hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran Hakim yang logis, sehingga Hakim sampai pada putusannya.

Pertimbangan Hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan Hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.144

Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan Hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Adanya putusan Hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

Penjatuhan pidana oleh Hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:

143

Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu

Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hal 50.

144

1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;

2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera

dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak

pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan

pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam putusan perkara No.330K/Pid/2012. Majelis hakim Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang pada intinya tetap menguatkan putusan dari pengadilan Negeri Lubuk Pakam yaitu menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa Indra Fajar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) butir a KUHP, dan menjatuhkan hukuman pidana selama 1 tahun dengan pemberian pidana bersyarat serta menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.

Majelis hakim Mahkamah Agung berkeyakinan bahwa judex factie tidak melampaui batas wewenang, tidak salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku sebagaimana mestinya dan tidak lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Majelis hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dalam memori kasasi semata-mata karena penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang

suatu kenyataan yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP. Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP berbunyi:145

1. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas

permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan;

a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan

Undang-undang.

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

2 Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1 (satu) dilakukan dengan

sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.

145

3. Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1 (satu), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 (dua) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.

4. Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung

sejak diajukannya permohonan kasasi.

5. A. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.

B. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas

hari, sejak penetapan penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP, Mahkamah Agung diberi kewenangan oleh Undang-undang dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang dimohonkan kepadanya dalam hal; tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundang- undangan dan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Berkaitan

dengan hal tersebut Majelis hakim Mahkamah Agung telah tepat dan benar menjalankan fungsinya selaku lembaga Yudikatif tertinggi.

Jika ditelaah dari posisi kasus perkara studi putusan No.330K/Pid/2012, Berdasarkan pemeriksaan dan alat-alat bukti dipersidangan, bahwa perbuatan Terdakwa Indra Fajar terbukti melakukan tindak pidana melakukan perkawinan kembali tanpa persetujuan istri yang sah. Perbuatan Indra Fajar bertentangan dengan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP dan ketentuan Pasal 40 jo Pasal 45 ayat 1(satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penegakan hukumnya, penegak hukum mempergunakan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP dilandasi dengan asas Lex Superiori derogate Lex Inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengeyampingkan peraturan yang lebih rendah). Majelis hakim berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti dan saksi-saksi dipersidangan berkeyakinan bahwa perbuatan terdakwa Indra Fajar telah terbukti memenuhi unsur-unsur ketentuan Pasal 279 ayat 1(satu) butir a KUHP dengan ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun penjara, sehingga menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa selama 1 tahun penjara dengan pemberian pemidanaan bersyarat.

Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana siterpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh

pengadilan (pidana bersyarat ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana).146

“Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan Karena terpidana melakukan suatu delik sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu”.

Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa kepada pelanggar-pelanggar hukum, tetapi bertujuan pula untuk mendidik, membina, mengadakan pencegahan supaya orang tidak akan melakukan perbuatan pidana. Pemidanaan bersyarat dilandasi dalam ketentuan Pasal 14a KUHP berbunyi:

147

Pasal 14a KUHP memuat wewenang Hakim untuk memberikan putusan pidana bersyarat dalam hal pidana yang dijatuhkan tidak lebih dari satu tahun penjara, dan memuat syarat umum yaitu terpidana tidak boleh melakukan perbuatan yang dipidana selama masa percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem pidana, di mana terhadap pidana dijatuhi pidana penjara, tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa, apabila dalam masa percobaan dilakukan suatu pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan maka terdakwa dihukum penjara.148

146

Muladi, Op.cit, hal. 195-196

147

Lihat Pasal 14a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

148

Sampurno Djojodiharjo, Majalah Pembinaan Hukum Nasional, No. VIII, tahun 1970 hal. 64.

Tujuan dari pada pidana bersyarat ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana agar dalam waktu yang telah ditentukan, memperbaiki diri untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan pidana lagi. Di dalam praktek, Pidana bersyarat ini terpidana sering ditafsirkan atau dianggap sebagai bukan pidana, karena secara fisik tidak membawa pengaruh apapun terhadap terpidana. Terpidana sering pula dianggap sebagai pembebasan pidana.

Menurut Sampurno Djojodiharjo dikatakan bahwa “Pidana Bersyarat timbul berdasarkan suatu pemikiran bahwa tidak semua penjahat (terpidana) harus dimasukkan ke dalam penjara, khususnya terhadap pelanggaran pertama kali (first offender) demi mencegah adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat narapidana (inmate society) sebaiknya terhadap terpidana tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya di luar penjara”.

Pendapat ini dapat dipahami karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pidana bersyarat tidak sulit untuk dilaksanakan serta kurangnya pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat ini menimbulkan efek yang negatif seperti rasa tidak puas dari si korban dan keluarganya, juga pandangan dari anggota masyarakat yang tidak mengerti hukum. Setiap pelaku kejahatan semestinya dimasukkan ke dalam penjara sebagai balasan akan perbuatannya, tetapi dalam hal ini justru dipidana di luar tembok penjara.

Dokumen terkait