PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI
YANG SAH
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)
OLEH
117005066/ ILMU HUKUM ZAID ALFAUZA MARPAUNG
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Assalamu a’laikum Wr.Wb.Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunianya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul:
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PERKAWINAN
POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH” (Studi Putusan
Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012). Shalawat dan salam semoga tercurah selalu
kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan memperoleh
gelar Magister Hukum (S.2) pada sekolah Pasca sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan. Dalam penulisan tesis ini penulis memperoleh bantuan dari
berbagai pihak, baik yang bersifat material maupun spritual, sehingga Tesis ini dapat
diselesaikan secara sederhana. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati dan hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM &
H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K). dan Pembantu Rektor, atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, S.H., M.Hum. yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada penulis
untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan dalam Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. yang senantiasa memberikan dorongan dan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menggali ilmu pengetahuan pada
Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh dosen-dosen dan staf-staf civitas Akademis Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak
menyalurkan ilmunya dan juga meluangkan waktu untuk mahasiswanya. Semoga
Allah SWT melipat gandakan pahalanya, Amin ya Robbal alamin.
Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan
sangat arif dan bijaksana, sehingga menjadi pengalaman tersendiri yang tentunya sulit
untuk dilupakan. Demikian pula kepada Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. dan
Ibunda Dr. Utary Maharany Barus S.H., M.Hum. selaku anggota Komisi
Pembimbing, disela-sela kesibukannya masih bersedia untuk meluangkan waktunya
untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat
berharga hingga rampungnya penulisan Tesis ini. Semoga kiranya Allah SWT
melipat gandakan pahalanya, Amin ya Robbal alamin.
Rasa terima kasih juga disampaikan secara tulus kepada Ibunda Dr. Idha
Aprilyana, S.H., M.Hum. dan Ibunda Dr. Marlina, SH., M.Hum. yang telah berkenan
melakukan pengujian Tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang
konstruktif serta memperkaya isi materi Tesis ini.
Teristimewa dengan segala kerendahan hati dan hormat penulis
Ibrahim Marpaung dan Ibunda tercinta Hj. Zuraida, S.Pd yang dengan ikhlas dalam
mengasuh, menjadi guru bagi kehidupan saya. Doa, dorongan dan dukungan positif
yang diberikan hingga saat ini telah membantu penulis dalam melalui kehidupan suka
maupun duka. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak saya, dr.
Rabitha Ibda dan Qurrota A’yuni, S.H serta abang-abang ipar saya Kompol. Hendra
Gunawan Simatupang, S.H., dan Muhammad Syafii Hutabarat, S.STP., yang penulis
sayangi. Semangat, nasehat dan motivasi yang diberikan sangat membantu
terselesaikannya Tesis ini. Tidak luput pula, ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada seluruh rekan-rekan/sahabat-sahabat tercinta di Program Pasca sarjana Ilmu
Hukum angkatan 2011/2012, khususnya buat saudara Muhammad Yusuf Siregar,
S.Hi., M.H., saudara Zainal Abidin Pakpahan, S.H., M.H., saudari Risna Oktavianti,
S.H., M.H. serta teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Begitu juga ucapan terima kasih kepada rekan-rekan kantor, terutama senior abangda
Tri Purnowidodo, S.H., abangda Bahren Samosir, S.H., yang telah banyak
membimbing untuk penyelesaian Tesis ini.
Akhirul kalam, Tesis ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, untuk itu
pada kesempatan ini penulis memohon maaf. Dan penulis berharap semoga Tesis ini
dapat bermanfaat dan pelajaran berharga bagi semua pihak sehingga dapat menjadi
amal jariyah dihadapan Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
Medan, 25 Desember 2013
Penulis
PROFIL HIDUP (Curiculum Vitae)
Nama : Zaid Alfauza Marpaung
Tempat/Tgl Lahir : Kisaran, 24 Agustus 1988
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jl. Syech Ismail II No. 26 Kelurahan Teladan,
Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara.
No Telp : 085262637278.
Social Media : alfauzamarpaung@rocketmail.com.
Riwayat Pendidikan :1. SD Negeri 1 Kota Kisaran Barat, Kabupaten
Asahan, Lulus Tahun 2000.
2. MTs.S Al-Washliyah II Kota Kisaran Timur,
Kabupaten Asahan, Lulus Tahun 2003.
3. SMA Negeri 2 Kota Kisaran Timur, Kabupaten
Asahan, Lulus Tahun 2006.
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan
ABSTRACT
Criminal Responsibility is the continuation of reproach objective of the offenses and subjective to a person eligible to be sent to jail for his actions. Criminal Rensponsibility lead to comprehension basically bear the punishment of the perpetrators of criminal acts. Elements of criminal responsibility among others unlawful act, error, delibérate, responsable abilities.
Arranged in polygamous marriage law No 1 of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 on The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic law for the adherents of the religión of Islam. Polygamous marriages that do not meet the requirements as specified by law No 1of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 in The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic, one of them without the consent of the lawful wife (Study of The Supreme Court Decisión No 330K./Pid/2012) a criminal offensed. Criminal sanctions stipilated in Article 45 letter a Goverment Regulation No 9 of 1975 on The Implementation of the law of Marriage which is the crime of administration and also subject to the providions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code which is a crime against civil position.
This study was conducted to determine the criminal responsibility of the polygamous marriage without the consent of the legitimate wife (Study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012). Type of research is the study of normative. This study uses data collection methods legal literature. Data analysis was done qualitatively, making it easier to analyze the problems which will be discussed later , interpret and draw conclusions.
Based of the result obtained can be concluded consideration of the judge to criminal liability study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012 polygamous marriage without the consent of the legitimate wife. The judge believes the defendant meets the criminal elements set forth in the provisions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code and the defendant has meet the elements of criminal responsibility is unlawful act, error, delibérate, responsable abilities. The judges impose conditional sentencing the defendant for 1 year
ABSTRAK
Pertanggungjawaban Pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah kepada pemahaman menanggung akibat pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Unsur-unsur dari pertangunggjawaban pidana antara lain perbuatan melawan hukum, kesalahan, kesengajaan, dan kemampuan bertanggungjawab.
Perkawinan poligami diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi penganut agama Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, salah satunya mengenai tanpa adanya persetujuan dari istri yang sah sebagaimana studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 merupakan tindak pidana. Sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, yang merupakan tindak pidana administrasi dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP yang merupakan kejahatan terhadap kedudukan perdata .
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah (studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian Normatif. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah hakim berkeyakinan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP dan perbuatan terdakwa telah memenuhi elemen-elemen dari pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, sehingga hakim menjatuhkan pemidanaan bersyarat kepada terdakwa selama 1 tahun.
DAFTAR ISI
Halaman BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..……….. 1
B. Perumusan Masalah……….. 13
C. Tujuan Penelitian………... 13
D. Manfaat Penelitian……...………... 14
E. Keaslian Penelitian ……….…... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi…………...………... 15
1. Kerangka Teori……….…... 15
2. Kerangka Konsep ………...………... 22
G. Metode Penelitian ………...……… 24
1. Jenis Penelitian ………..…... 25
2. Sumber Bahan Hukum ………... 26
3. Teknik Pengumpulan Data ………. 27
4. Analisis Data ………... 28
BABII KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH. A. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ………... 31
1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……… 31
2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam……... 36
B. Kedudukan Sanksi Pidana………... 42
1. Sanksi Pidana Administrasi………... 49
2. Sanksi Pidana Menurut KUHP………... 58
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BERDASARKAN STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 330K/PID/2012 MENGENAI PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH.
A. Posisi Kasus……….. 67
1. Kronologis……… 67
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum……….. 69
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum………... 71
4. Pertimbangan Hakim………... 76
5. Putusan Hakim……….. 83
B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Studi Putusan No. 330K/Pid/2012………... 88
1. Analisis Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Konsep Pertanggungjawaban Pidana……… 88
a. Perbuatan Melawan Hukum………... 89
b. Kesalahan……… 90
c. Kesengajaan……….... 93
d. Kemampuan Bertanggungjawab………... 96
2. Analisis Pertimbangan Hakim……….. 98
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan……… 109
B. Saran………... 110
ABSTRACT
Criminal Responsibility is the continuation of reproach objective of the offenses and subjective to a person eligible to be sent to jail for his actions. Criminal Rensponsibility lead to comprehension basically bear the punishment of the perpetrators of criminal acts. Elements of criminal responsibility among others unlawful act, error, delibérate, responsable abilities.
Arranged in polygamous marriage law No 1 of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 on The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic law for the adherents of the religión of Islam. Polygamous marriages that do not meet the requirements as specified by law No 1of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 in The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic, one of them without the consent of the lawful wife (Study of The Supreme Court Decisión No 330K./Pid/2012) a criminal offensed. Criminal sanctions stipilated in Article 45 letter a Goverment Regulation No 9 of 1975 on The Implementation of the law of Marriage which is the crime of administration and also subject to the providions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code which is a crime against civil position.
This study was conducted to determine the criminal responsibility of the polygamous marriage without the consent of the legitimate wife (Study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012). Type of research is the study of normative. This study uses data collection methods legal literature. Data analysis was done qualitatively, making it easier to analyze the problems which will be discussed later , interpret and draw conclusions.
Based of the result obtained can be concluded consideration of the judge to criminal liability study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012 polygamous marriage without the consent of the legitimate wife. The judge believes the defendant meets the criminal elements set forth in the provisions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code and the defendant has meet the elements of criminal responsibility is unlawful act, error, delibérate, responsable abilities. The judges impose conditional sentencing the defendant for 1 year
ABSTRAK
Pertanggungjawaban Pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah kepada pemahaman menanggung akibat pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Unsur-unsur dari pertangunggjawaban pidana antara lain perbuatan melawan hukum, kesalahan, kesengajaan, dan kemampuan bertanggungjawab.
Perkawinan poligami diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi penganut agama Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, salah satunya mengenai tanpa adanya persetujuan dari istri yang sah sebagaimana studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 merupakan tindak pidana. Sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, yang merupakan tindak pidana administrasi dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP yang merupakan kejahatan terhadap kedudukan perdata .
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah (studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian Normatif. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah hakim berkeyakinan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP dan perbuatan terdakwa telah memenuhi elemen-elemen dari pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, sehingga hakim menjatuhkan pemidanaan bersyarat kepada terdakwa selama 1 tahun.
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang.
Hukum dan budaya dalam perkawinan yang berlaku di masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu hidup.
Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan agama membutuhkan suatu
aturan yang merupakan realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang
yang bersifat nasional dan sesuai dengan falsafah pancasila. Konstitusi menegaskan
bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.1
Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga,
karena perkawinan mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.
Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih mengasihi
antara kedua belah pihak suami dan istri yang senantiasa diharapkan berjalan dengan
baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.2
1
Lihat Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28B ayat 1Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945
Sahnya suatu perkawinan selain harus menurut
hukum agamanya, juga harus menurut kepercayaan dari agama yang dianut oleh
calon mempelai bersangkutan. Negara berusaha untuk mengatur perkawinan dengan
2
suatu Undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga Indonesia, yaitu
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum dibidang hukum perkawinan.3
Sebelumnya mengenai hukum perkawinan diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling Op Gemeng de Huwelijken S.1898 No 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Perkawinan. Namun setelah diberlakukan
Undang-undang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan
sebelumnya tidak diberlakukan lagi.
4
Adanya Undang-undang Perkawinan berarti terciptalah kepastian hukum
dalam bidang perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Undang-undang
Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam
penyelenggaraan perkawinan. Unifikasi hukum perkawinan nasional, menjadikan
masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka suku, golongan dan agama tersebut
tunduk pada satu hukum perkawinan yang berdasarkan Undang-undang perkawinan
yang sah, sehingga menciptakan keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
5
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling), sebagai
perbuatan hukum mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu
3
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 1
4
Lihat Pasal 66 Undang-undang Perkawinan.
5
perbuatan hukum di tentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-undang tersebut.6 Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang bukan mahramnya dalam waktu yang lama.7
Esensinya perkawinan dilangsungkan dengan tujuan mendapatkan
kebahagiaan, kekal dan abadi sebagaimana didefinisikan Pasal 1 Undang-undang
perkawinan.
8
Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya
suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai
suami isteri, perkataan lain dapat disebut sebagai hubungan formal. Hubungan formal
ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau
masyarakat. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal,
suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tetapi ikatan itu harus ada
karena tanpa ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Seyogyanya dapat
dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Taraf permulaan untuk mengadakan Sampai seberapa jauh kekekalan dan keabadian rumah tangga suatu
perkawinan akan bergantung pada kuatnya ikatan lahir batin antara suami isteri.
Semakin kuat ikatan lahir batin suami isteri menunjukkan semakin besar iman mereka
pada Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tidak
hanya cukup dengan adanya ikatan lahir ataupun ikatan batin saja, melainkan harus
kedua-duanya.
6
Ibid, hal. 20.
7
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2001), hal. 374.
8
perkawinan, ikatan batin diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk
hidup bersama. Seterusnya ikatan batin akan merupakan inti ikatan lahir. Terjalinnya
ikatan lahir dan ikatan batin merupakan pondasi dalam membentuk dan membina
keluarga yang bahagia dan kekal.9
Pada prinsipnya Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami,10
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki
seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki
seorang suami.
tetapi memberikan pengecualian kepada suami untuk berpoligami dengan
pembatasan-pembatasan yang cukup berat berupa pemenuhan dan syarat tertentu
serta izin dari pengadilan, seperti yang disyaratkan oleh Undang-undang Perkawinan.
Sebagaimana dipertegas dalam Pasal 3 Undang-undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa:
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang Perkawinan dinyatakan
bahwa pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang
tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan harus mengingat
pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan
adanya poligami. Pasal 4 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:
9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980 ), hal 15.
10
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Menurut Undang-undang Perkawinan, hanya berdasarkan alasan-alasan
sebagaimana terdapat pada Pasal 4 ayat 2 (dua) itulah seorang suami dapat beristri
lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang Perkawinan ditegaskan
pula bahwa:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 (satu) huruf a Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim pengadilan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai poligami bagi pemeluk agama Islam
terdapat juga dalam Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, diatur dalam Bab IX Pasal 55 sampai dengan Pasal 59. Isi pasal-pasal ini
bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Ketentuan-ketentuan tersebut
bertalian dengan persyaratan, pembatasan dan tatacara pengajuan permohonan izin
poligami ke Pengadilan Agama.
Persyaratan dan pembatasan yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang
hendak melakukan poligami adalah sebagai berikut:11
1. Batasan istri yang dikawini dalam waktu yang sama hanya sampai empat
orang istri.
2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Syarat adil ini merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi. Jika tidak
mungkin dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.
3. Suami harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi
Pasal 4 ayat 2 (dua) dan Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan dilakukan menurut tata cara pada Bab VIII PP No 9 tahun
11
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Apabila perkawinan
dengan istri kedua dan seterusnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan
Agama, maka perkawinan-perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.
4. Apabila istri tidak menyetujui suaminya melakukan poligami, maka
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin poligami setelah
mendengar dan memeriksa istri tersebut di persidangan dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan beristeri lebih dari satu
orang harus mempunyai izin dari Pengadilan Agama dan memenuhi syarat lain yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang No 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa “Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini”. Selanjutnya Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam antara lain dibidang perkawinan”.
Sarlito Wirawan Sarmono dan kawan-kawan menyatakan bahwa, bahtera
dan lancar, setelah keluarga terbentuk, berbagai masalah bisa timbul dalam kehidupan
keluarga yang pada gilirannya dapat menjadi benih yang mengancam kehidupan
perkawinan yang berakibat keretakan ataupun perceraian.12
Oleh karena itu, putusnya hubungan perkawinan karena perceraian tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan didahului oleh keadaan keretakan dalam
membina mahligai rumah tangga yang menjurus kepada ketidakharmonisan dan
keserasian dalam bekeluarga. Keserasian antara pasangan suami isteri merupakan
syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan perkawinan, yaitu memperoleh keturunan
dan ketentraman serta mewujudkan kemaslahatan bersama, bila keserasian itu tidak
terjadi dan sudah tidak bisa lagi menyatukan dua watak yang berbeda, maka tidak ada
lagi kemaslahatan dalam perkawinan.
Suami atau istri cenderung menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada
orang lain, bila ini terjadi maka tujuan perkawinan, sudah tidak mungkin dapat
dicapai lagi, sehingga perceraian mengandung kebaikan, kemuliaan, kesantunan dan
rahmat.13 Ketika dalam suatu kehidupan perkawinan diisi dengan banyak kebohongan
dan tidak adanya rasa kebersamaan, kasih sayang dan harga menghargai maka akan
terciptalah suatu ketidakharmonisan yang bisa mengakibatkan banyak hal, baik itu
pertengkaran, perceraian dan bahkan poligami.14
12
Sarlito Wirawan Sarmono, Dkk, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Rumah
Keluarga, (Jakarta : Pustaka Antara, 1996) hal. 12
13
Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Rahman Albukhari, Keagungan dan Kemudahan
Syariat Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia,1999) hal. 104
14
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau
istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).15 Elbert Hubbard, seorang
penulis Amerika Serikat16 menyatakan poligami adalah sebuah usaha untuk
mendapatkan lebih banyak dari yang semestinya diberikan oleh kehidupan. Poligami
adalah tradisi yang telah lama berlaku sebelum Islam datang, dan berkembang
disemua wilayah, pada suatu saat ketika perempuan dianggap sebagai spesies khusus
antara manusia dan hewan.17
Poligami merupakan perkara yang telah lama sekali, namun tidak diketahui
adanya aturan yang jelas, kecuali dalam syari’at Islam. Praktik poligami bukan hanya
dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam saja, namun poligami merupakan
sejarah seluruh ummat manusia. Agama-agama besar di dunia memang beragam
dalam memandang masalah poligami. Pada masyarakat Hindu zaman dulu misalnya,
telah terjadi praktik poligami maupun poliandri.
18
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, apabila seorang suami hendak beristri lebih dari satu orang maka harus
mengajukan permohonan ke pengadilan dan adanya persetujuan dari istri yang sah,
Undang-undang Perkawinan tidak melarang tetapi membatasi seorang suami untuk
sulit beristri lebih satu, salah satu syaratnya adalah persetujuan dari istrinya, apabila
perkawinan poligami tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang perkawinan, maka terdapat kedudukan sanksi pidana.
15
http://bsi-actions.indonesianforum.net/t60-pengertian-poligami, diunduh tanggal 27 Februari 2013, jam 17.30 WIB
16
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami?(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007) hal.13.
17
Ibid, hal 13
18
Setiap orang yang melakukan perkawinan poligami tidak melalui prosedur
yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan merupakan tindak pidana.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pidana Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan ketentuan Pasal
279 KUHP. Ketika perkawinan menjadi tindak pidana, maka ada beberapa orang
yang menjadi pelaku perbuatan tersebut, yaitu suami (laki-laki) dan istri (perempuan).
Fenomena poligami tanpa persetujuan istri yang sah merupakan salah satu
bentuk permasalahan yang cukup banyak terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
Umumya poligami dilakukan diluar prosedur oleh suami dikarenakan sulitnya untuk
berpoligami berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Poligami
dinilai banyak mudharatnya ketimbang kemashlahatannya. Stigma negatif yang
melekat terhadap poligami dikarenakan isteri merasa kecewa, sakit hati, sulitnya
berlaku adil sehingga mengakibatkan rumah tangga berantakan.19
Sebagaimana contoh berdasarkan putusan Mahkamah Agung
No.330K/Pid/2012 mengenai perkara perkawinan poligami tanpa persetujuan istri
yang sah dilakukan oleh IF yang sebelumnya telah menikah sah dengan NR pada
tanggal 13 februari 1997 di dusun IV Desa Pasar Bengkel Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai dan telah memiliki 2 (dua) orang anak dari hasil
perkawinan berdasarkan kutipan akte nikah No.917/51/II/1997 tanggal 24 Februari
1997.
19
Kemudian pada hari jum’at tanggal 08 juli 2008, IF menikah lagi dengan
WN tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari istri pertama NR, tanpa adanya izin
pengadilan. Selanjutnya yang menikahkan diri IF dengan WN adalah P yang
merupakan orang tua kandung dari WN, karena permintaan keduanya dan tidak
dicatatkan di kantor urusan agama. Pada bulan agustus 2008, IF mengurus buku nikah
di kabupaten karo melalui seorang yang bernama J, yang saat ini tidak diketahui
alamatnya. Akibat dari perbuatannya tersebut, IF dihukum karena melakukan tindak
pidana Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP.
Putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 tersebut di atas merupakan
perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang
melakukan perkawinan secara tidak sah atau suatu perkawinan yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sehingga pelaku dihukum
dengan dakwaan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP.
Ketentuan Pasal 279 KUHP ayat (1) berbunyi “Dihukum penjara
selama-lamanya 5 tahun:
1. Barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinan nya yang
sudah ada menjadi halangan yang sah baginya kawin lagi.
2. Barangsiapa yang kawin,sedang diketahuinya bahwa perkawinan yang sudah
ada dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain itu akan kawin lagi.20
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.21
20
R.Soesilo, KUH Pidana, (Bogor: Politia,1994), hal 203
sifatnya, perbuatan-perbuataan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan
hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan
atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil.22
Menurut Soedarto, hakikatnya fungsi hukum pidana secara umum yaitu
mengatur hidup kemasyarakatan, atau menyelenggarakan tata hidup dalam
masyarakat. Sedangkan khusus melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan,
kehormatan, harta benda, dan kemerdekaan) dari perbuatan yang hendak
memperkosanya dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih kejam bila
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya.
Perkataan lain sebagai alat kontrol sosial fungsi hukum pidana sifatnya subsidiair.23
Artinya hukum pidana hendaknya dilaksanakan manakala usaha-usaha lain diluar
hukum pidana sudah tidak dapat mengatasi dan memadai.24
Fungsi hukum pidana yang bersifat subsidair juga sering disebut dengan
istilah Ultimum remedium (obat terakhir), yaitu sebagai obat akan dipergunakan
manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak efektif dipergunakan. Idealnya
sepanjang pergaulan hidup masyarakat, masih efektif diatur dengan menggunakan
21
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam hukum Pidana, Pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1955. Mengatakan “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan hukum pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
dinamakan perbuatan pidana, Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
(Jakarta:Aksara Baru, 1983), hal. 13.
22
Ibid,hal 13
23
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang:UMM Press, 2009) hal. 25
24
hukum lain diluar hukum pidana, maka semestinya tidak perlu menggunakan hukum
pidana.25
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti
dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami tanpa
persetujuan istri yang sah?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban
pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012
mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latarbelakang dan perumusan masalah tersebut diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami
tanpa persetujuan istri yang sah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim terhadap
pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung
No.330 k/pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri
yang sah.
25
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih,
dan kontribusi serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan, khususnya
yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum terhadap
pertanggungjawaban pidana dalam perkawinan poligami tanpa persetujuan
istri yang sah.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan
dan referensi bagi aparat penegak hukum (law of enforcement) yakni polisi,
jaksa, hakim dan juga masyarakat untuk mengetahui, memeriksa, mengadili
dan memutus perkara terkait permasalahan perkawinan poligami tanpa
persetujuan istri yang sah.
E.Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan
terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus
di lingkungan pascasarjana Ilmu hukum Universitas Sumatera Utara, terdapat
penelitian yang berjudul “Perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga
poligami ditinjau dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam
(Studi kasus di Kab. Aceh besar), Imam Jauhari, Nim 982105014”. Namun penelitian
menyangkut judul mengenai “Pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan
K/pid/2012) belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah
yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yang baru
dan keaslian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi
bahan perbandingan, pegangan teoritis.26 Kerangka teori merupakan landasan
berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap
penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan
dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat
pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.27
Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa
hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian
sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang
diajukan dalam masalah penelitian.28
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan Teori yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah teori Pertanggungjawaban Pidana.
26
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80
27
Hadari Nawawi,”Metode Penelitian Bidang Sosial , (Yogyakarta:Universitas Gajah mada Press,2003), hal. 39-40
28
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum normatif
pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada
abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of
Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction”.29
Bertitik tolak pada rumusan tentang pertanggungjawaban (liability)
diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara
timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan
konsepsi liability. Menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang
yang telah “dirugikan”.
Kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab
dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana
keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, atau sehat
inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.30
29
Romli Atmasasmita, “Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hal.79
30
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana( Tinjauan
Terhadap Pasal 44 KUHP), dalam buku Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
Menilik uraian di atas, jelas bahwa soal pertanggungjawaban pidana,
tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian
tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana
hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana
adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
kesalahan (schuld). Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Sudarto menyatakan hal yang sama bahwa:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau berifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan ( an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.31
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, disini berlaku asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” (Keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau
nulla poene sine culpa). “Schuld” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan. Kesalahan (schuld) yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang
melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga
orang itu patut dicela.32
31
Sudarto, Hukum Pidana 1, (Semarang: Bahan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, 1988) hal. 85
Roeslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai
kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi
32
kemasyarakatan, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat
lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian.33
Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda
sebagai hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah
(vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechtelijke
gedraging). Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum di dalam perumusan hukum positif, disitu berarti
mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en wederrechteleijkeheid) dan
kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).34
Perbuatan pidana, Pertanggunganjawaban, dan Pidana adalah
ungkapan-ungkapan yang terdengar dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam
moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan
berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu
sistem aturan-aturan. Sistem aturan-aturan ini dapat bersifat luas dan aneka macam
(hukum perdata, hukum pidana, aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari
ketiga-tiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturan tentang
tingkah laku yang diikuti oleh setiap kelompok tertentu. Jadi sistem yang
melahirkan konsepsi perbuatan pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan itu
adalah sistem normatif.35
33
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru), hal. 77
34
Ibid hal. 79
35
Mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa
bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara
sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.36
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan
oleh sistem hukum tersebut. Hal itulah yang mendasari konsepsi liability menurut
Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip
Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan
adanya hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan
akibat-akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat
kodrati atau tidak bersifat kausal, melainkan menurut hukum.
Pidana itu dapat dikenakan secara
sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum
tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.
Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan
hukum. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.37
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa
pembuat tindak pidana, tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
36
Ibid, hal. 35
37
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). Lihat juga Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Lokakarya Masalah Pembaharuan
Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Buku I, BPHN Departeman Kehakiman, Jakarta, 13-15 Desember
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada
waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela
oleh karena perbuatannya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana itu, ada
dua aliran yang selama ini dianut, yaitu aliran indeterminisme dan aliran
determinisme. Kedua aliran tersebut membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan.
Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan
sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak
ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga
tidak ada pemidanaan. Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan,
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak
ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam
hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, yaitu perangsang-perangsang
datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut.
Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau
dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun
meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang
perbuatannya.38
Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan
kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan
pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan
terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea)
dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat
dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa
tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana,
yang padahal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak
pidana.
Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada
pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap
perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban
masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai buah hasil dari
kesalahan oleh sipembuat”.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
oleh Undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan
diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat
dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan
poligami tanpa persetujuan istri yang sah. Terhadap perkawinan poligami yang
38
tidak memenuhi prosedur, persyaratan, dan batasan-batasan yang ditetapkan oleh
ketentuan perundang-undangan berlaku, maka bagi pelaku tersebut perbuatannya
dinilai telah melanggar hukum, sehingga patut dicela untuk dimintai
pertanggungjawaban pidananya. Sebagaimana putusan Mahkamah Agung
No.330K/Pid/2012 terhadap pelaku perkawinan poligami tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan dimintai
pertanggungjawaban pidana sesuai dengan tindak pidana Pasal 279 KUHP.
2. Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping
yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk
membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya
dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang
dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk
keperluan analitis.39 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi
atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.40
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam
suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari
abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut sebagai definisi operasional.
Definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau
penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Bertitik tolak dari
39
Satjipto Raharjo, KonsepIlmu Hukum, (Bandung: Citra Adithya Bakti, 1996), hal. 397
40
kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut disusun kerangka konsep yang
dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara lain:
a. Pertanggungjawaban Pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif terhadap
tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut.41
b. Kedudukan Sanksi Pidana dimaksudkan adalah sebagai alat pemaksa berupa
pidana yang dipergunakan oleh penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap norma hukum yang telah ditetapkan.
c. Perkawinan Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu isteri pada waktu yang sama.42
d. Tanpa persetujuan Istri yang sah dimaksudkan adalah tidak adanya izin yang
diberikan oleh isteri pertama untuk melakukan perkawinan (pernikahan)
kembali.
e. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.43
f. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
41
Lihat Pasal 36 Rancangan KUHP bagian kedua mengenai Pertanggungjawaban Pidana, tahun 2006
42
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2004), hal. 43
43
dalam Undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim disidang pengadilan.44
g. Hakim adalah Pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus berdasarkan asas bebas,
jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara
yang diatur dalam undang-undang.45
h. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir”
dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri.46
G.Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran. Dilaksanakan penelitian untuk
mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan
jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan
rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar
44
Lihat Pasal 1 angka 7 tentang Ketentua Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
45
Lihat pasal 1 angka 9 tentang Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
46
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang
harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.47
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau
proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan
teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori
suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa
alamiah, peristiwa social atau peristiwa hukum tertentu.
48
Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan yang dimaksud dengan
penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum
tertentu dengan jalan menganalisisnya.49 Adapun metode penelitian yang
dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah
penelitian Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. Penelitian hukum normatif
disebut juga penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau
47
Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 9
48
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105
49
ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.
Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini
disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula
dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.50
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan
dan berdasarkan pada data sekunder, maka bahan yang dipergunakan dapat dibagi
kedalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:
a. Undang-undang Dasar 1945.
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d. Undang-undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
e. Undang-undang No 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan.
g. Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
h. Putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012.
50
i. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam
kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,
yang terdiri dari:
a. Buku-buku.
b. Jurnal-jurnal.
c. Majalah-majalah.
d. Artikel-artikel.
e. Dan berbagai tulisan lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti: Kamus Hukum, Ensiklopedia, Majalah dan Jurnal Ilmiah.51
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,
karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk
selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum
kepustakaan( library research).52
51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Grafitti Press, 1990) , hal 14
52
Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan
bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasai dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan
hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh bahan
hukum.53 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini
diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan
dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.54
Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis
antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari
teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini
dilakukan sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki
sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan
dari permasalahan penelitiannya, d) mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan, e) memperkaya ide-ide baru, dan f) mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut.
53
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data,mengorganisasikan kedalam suatu pola,kategori dan satuan uraian dasar.Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi uraian.dalam Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280
54
dengan menggunakan logika berpikir deduktif-induktif yakni dilakukan dengan
teori yang dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian.55
Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahan
instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan
menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri
yang sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No.330 K/Pid/2012). Kegiatan yang
dilakukan dalam analisis bahan hukum penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang
kedudukan hukum pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan
isteri yang sah.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi
tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap kedudukan hukum
pidana dalam perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah).
c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir dalam menarik kesimpulan
secara metode deduktif, yaitu kerangka peikiran diarahkan kepada aspek
normatif yang terkandung dalam hukum positif, sehingga hasil dari analisis ini
diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.
55
BAB II
KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH
A.Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)56 bagi penganut agama Islam.
Walaupun pada dasarnya asas57 yang melekat dalam Undang-undang perkawinan
tersebut merupakan asas monogami.58 Namun menurut Yahya Harahap asas
hukum59 dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas
monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.60
56
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai “golongan”melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003) , hal. 32
57
Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu “asasun” yang berarti pondasi. Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 52
58
Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. (pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hal. 184
59
Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah
poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas
poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak
memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan
sewenang-wenang.
Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama,
yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan
yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat
1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa61
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
:
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan,
didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal
4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus
Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengedepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), hal. 34
60
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 25-26
61
mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami
mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang. Pasal 4 Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.62
Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami
untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.63
Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5
62
Lebih Lanjut Lihat Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
63