• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR 19/Pdt.G/2013/PA.Pp DITINJAU DARI PERSPEKTIF MASLAHAH

MURSALAH

A. Uraian Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

Dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dibutuhkan sikap bijaksana dan adil dalam diri seorang Hakim, karena sikap Hakim merupakan cerminan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang. Juga dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, hakim harus bebas dari campur tangan pihak manapun, sehingga Hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.1

Dalam salinan putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, maka penulis uraikan pertimbangan hukum yang Majlis Hakim gunakan dalam memutus suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

Bahwa pada persidangan yang telah ditetapkan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap persidangan, namun ternyata tidak pernah hadir dan tidak pernah mengutus orang lain sebagai wakil/kuasanya, maka Termohon harus dinyatakan tidak hadir, dan oleh sebab itu pemeriksaan perkara dilakukan secara sepihak, dan permohonan Pemoho dapat diputus secara Verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 149 ayat 1 R.Bg;2

Bahwa Majelis Hakim telah berusaha memberi nasihat kepada Pemohon agar bisa dibicarakan dengan Termohon mengenai hak asuh anak mereka, namun tidak berhasil karena Pemohon tetap pada permohonannya;3

Bahwa yang menjadi alasan Pemohon dalam mengajukan permohonan hak asuh anak adalah karena sejak Pemohon dan Termohon bercerai, anak tersebut

1 Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah,2019), h. 79

2 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

3 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

41

berada di bawah pengasuhan Pemohon. Namun sejak 26 Desember 2012 Termohon membawa anak dari Pemohon dan tidak memperbolehkan lagi Pemohon membawa anak dari kediaman Termohon sampai sekarang;4

Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya Pemohon telah mengajukan bukti surat yang bertanda P.1, P.2, dan P.3. dan ketiga bukti surat tersebut merupakan bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan materil serta mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat;5

Bahwa selain bukti tertulis, Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi, yaitu Saksi I dan Saksi II. Yang dimana dari masing-masing saksi tersebut telah memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang mana keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat formil suatu pembuktian, namun dari segi materil akan dipertimbangkan sebagai berikut; bahwa dari keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon pada pokoknya menerangkan bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan suami istri yang telah bercerai dan pada saat pernikahan tidak mempunyai anak, namun pernah mengambil anak orang lain tanpa melalui proses pengangkatan anak di Pengadilan dan pada saat ini anak tersebut diambil oleh Termohon dan Pemohon khawatir terhadap anak tersebut bila diasuh oleh Termohon.

Bahwa atas keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon tersebut, Pemohon telah membernarkan keterangan saksi yang dimaksud dan menerangkan bahwa anak perempuan yang lahir pada 21 Agustus 2008 bukan anak kandung Pemohon dan Termohon, tetapi anak angkat yang diambil secara kekeluargaan tanpa melalui proses pengangkatan anak di pengadilan;

Bahwa hak asuh anak (hadhanah) sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam yaitu suatu kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri, dan dalam hal perkawinan orang tuanya putus karena perceraian, baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara

4 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

5 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

42

dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan bila ada perselisihan Pengadilan memberi keputusan (vide: pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974);

Bahwa sebagaimana termuat dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan dalam mempertimbangkan hak asuh anak harus diutamakan untuk kepentingan anak agar dapat hidup tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekuasaan dan diskriminasi agar menjadi anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera;

Bahwa terhadap hak asuh anak (hadhanah), dimana orang tua baik ayah maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Namun dalam hal ini, hak asuh anak (hadhanah) tersebut hanya berlaku untuk anak kandung dan anak angkat yang dilakukan melalui prosedur pengangkatan anak di pengadilan;

Bahwa dari keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh Pemohon tentang anak perempuan yang ternyata merupakan anak angkat yang diambil oleh pemohon dan Termohon dari orang lain secara kekeluargaan tanpa proses pengangkatan anak di pengadilan. Terhadap pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon tersebut mempunyai kekuatan hukum bila ada penetapan dari pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintan Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Bahwa berdasarkan Bukti P.2 yang menerangkan bahwa anak perempuan yang lahir pada tanggal 28 Agustus 2008 adalah anak kandung dari Pemohon dan Termohon, namun berdasarkan keterangan dari saksi-saksi bahwa Pemohon dan Termohon tidak memiliki anak kandung dan hanya mengambil anak dari orang lain secara kekeluargaan, maka artinya Pemohon dan Termohon dengan sengaja menghilangkan nashab anak tersebut dari orang tuanya, dan dengan dimikian Majelis Hakim menyatakan Kutipan Akta Kelahiran tertanggal 3 November 2008 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Dinas Pendaftaran Penduduk tidak mempunyai kekuatan hukum;

43

Bahwa Majelis perlu mentengahkan petunjuk Firman Allah dalam surah Al-Azhab ayat 4 dan 5 yang artinya:

Ayat 4

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan (jalan yang benar)”

Ayat 5

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Bahwa sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) dan penjelasan 49 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, permohonan Pemohon untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak (hadhanah) tidak terbukti, maka permohonan Pemohon harus di tolak;6

B. Analisis Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP Ditinjau Dari Prespektif Maslahah Mursalah

Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa para Ulama Fiqh telah bersepakat bahwa penetapan hukum syara’ adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Salah satu cara dalam mewujudkan

6 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

44

hal tersebut dengan adanya metode penetapan hukum Maslahah Mursalah, dimana suatu ketetapan hukum ditentukan berdasarkan kemaslahatan manusia dan tidak terdapat dalil-dalil syara’ yang menetapkan boleh atau tidaknya sesuatu hal dilakukan, hal ini menjadi basis bagi istidlal sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum.7

Undang-undang adalah salah satu sumber hukum yang digunakan Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara di Pengadilan. Hal ini bertujuan untuk terciptanya keputusan yang adil bagi para pihak yang berperkara. Terlebih Indonesia merupakan negara Hukum yang mana setiap perbuatan manusia diatur oleh hukum, dan barangsiapa melanggar, paasti ada konsekuensi yang akan diterima.

Pada penelitian kali ini, penulis ingin mengamati tentang dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Padang Panjang dalam memutus perkara hak asuh anak (hadhanah) pada perkara nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp. Dimana dalam putusannya, Majelis Hakim memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon selaku ibu untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak dari Pemohon dan Termohon, karena anak yang selama ini berada dibawah pengasuhan Pemohon pasca perceraian Pemohon dan Termohon telah diambil oleh Termohon. Dan Termohon tidak memperbolehkan lagi Pemohon untuk mengambil anak tersebut.

Pada amar putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, Majelis Hakim menolak permohonan Pemohon karena Pemohon tidak bisa membuktikan bahwa anak yang diajukan permohonan hak asuh nya adalah anak kandung Pemohon, melainkan anak angkat yang pada saat pernikahannya dengan Termohon, Pemohon dan Termohon mengambil anak tersebut dari orang lain dengan cara kekeluargaan saja dan tidak melalui proses pengangkatan anak di Pengadilan. Sesuai dengan Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dimana pengajuan pemegang hak asuh

7 Nur Asiah, “Istilah dan Aplikasinya dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum, vol. 14, no. 2, (Desember: 2016), h. 150

45

anak (hadhanah) hanya berlaku untuk anak kandung dan anak angkat yang sudang melalui proses pengangkatan anak di Pengadilan.8

Jika dilihat dari sisi kemaslahatan, Pemohon sebagai ibu jelas lebih berhak untuk mendapatkan hak asuh anak dari Pemohon dan Termohon. Terlebih, semenjak Pemohon dan Termohon bercerai, anak tersebut memang berada di bawah pengasuhan Pemohon. Hal ini dikarenakan anak tersebut masih berumur 5 tahun, dimana umur tersebut masih dikategorikan sebagai anak yang belum mumayyiz.

Seperti yang sudah di atur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dimana pasal itu menyebutkan bahwa “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum beurumur 12 Tahun adalah hak ibunya”.9

Menurut penulis, alasan yang juga menguatkan untuk Pemohon selaku ibu agar menjadi pemegang hak asuh anak adalah karena dalam keterangan yang diberikan Saksi I dan Saksi II yang diajukan oleh Pemohon, dikatakan bahwa saat Saksi I dan Saksi II berkunjung ke rumah Termohon, mereka melihat keadaan anak Pemohon yang semakin kurus seperti tidak terurus. Juga mereka memberi kesaksian bahwa Termohon sering pergi ke luar kota meninggalkan anak dan menitipkannya ke saudara Termohon. Dan selama Pemohon dan Termohon dalam ikatan perkawinan sampai saat ini, Termohon tidak mempunyai pekerjaan, dan segala kebutuhan Termohon ditanggung oleh orang tua Termohon. Hal inilah yang menyebabkan Pemohon khawatir dengan Kesehatan jasmani dan rohani anak nya.

Dan dari hal ini juga bisa disimpulkan bahwa Pemohon sebenarnya lebih berhak untuk menjadi pemegang hak asuh anak.

Salah satu faktor kenapa ibu lebih berhak atas hak asuh anak yang belum mumayyiz ialah faktor psikologis. Ibu lebih memiliki kelembutan, sehingga dapat memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih terhadap anaknya, khususnya kepada anak yang masih dibawah umur.10

8 Salinan Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp

9 Kompilasi Hukum Islam Pasal 105

10 Irfan Islami dan Aini Shara, “Legalitas Penguasaan Hak Asuh Anak Dibawah Umur (Hadhanah) Kepada Bapak Pasca Perceraian”, Jurnal Al-Qadau, vol. 6, no. 2, (Desember: 2019), h. 189

46

Jika melihat dari sudut pandang maslahah mursalah, pemberian hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibunya dapat dikategorikan dalam maslahah adh-dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia. Kemaslahatan ini ada lima, yaitu memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl), dan memelihara harta (hifdz mal). Dan pemberian hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibunya termasuk kedalam hifdz nafs dan hifdz an-nasl.

Ayat al-Quran yang mengatur tentang Hadhanah ialah Q.S Al Baqarah: 233 yang berbunyi:

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan dari keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 233).

47

Pada ayat diatas memang Al-Quran tidak menegaskan bahwa hadhanah tersebut ditujukan kepada orang tua kandung saja atau juga untuk para orang tua angkat. Di Indonesia sendiri pun tidak ada spesifikasi yang menegaskan aturan tentang Hadhanah itu dibuat dan diperuntukan kepada siapa.

Dalam kasus ini, Majelis Hakim menolak untuk mengabulkan permohonan pemohon hanya dengan berpaku kepada hukum yang sudah ada. Padahal menurut penulis, Hakim bisa saja mengabulkan permohonan Pemohon dengan pertimbangan adanya Sila ke 1 Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sila tersebut, Majelis Hakim sebagai penentu suatu hukum di Pengadilan Agama harusnya bisa menggunakan sila tersebut sebagai alasan untuk memutuskan suatu perkara dengan metode hukum yang ada dalam Islam. Salah satu nya ialah Qiyas.

Menurut penulis, lebih baik jika pada saat itu Hakim meng Qiyas kan ayat Al-Quran yang mengatur tentang Hadhanah sebagai dasar untuk memutus perkara Hadhanah anak angkat ini. Karena walaupun dalam Al-Quran tidak mengatur tentang Hadhanah anak angkat, tapi tetap saja anak angkat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perawatan, perlindungan, dan kasih sayang dari orang tua angkatnya. Dan juga, jika saat itu Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan Pemohon, maka tindakan Hakim tersebut tidak bertentangan dengan kaidah Maslahah Mursalah.

Namun dalam putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, pertimbangan Majelis Hakim dan amar putusannya sangat bertentangan dengan maslahah mursalah yang sudah penulis jelaskan sebelumnya. Dimana Majelis Hakim tidak bisa mengabulkan permohon Pemohon selaku ibu untuk menjadi pemegang hak asuh anak yang belum mumayyiz. Karena setelah adanya keterangan dari para Saksi yang diajukan oleh Pemohon, dapat diketahui bahwa anak yang dimaksud bukanlah anak kandung dari Pemohon dan Termohon. Melainkan hanyak anak angkat yang diambil dari orang lain secara kekeluargaan dan tidak melalui proses pengangkatan anak di Pengadilan.

48

Hal ini terjadi karena Indonesia meruapakan negara hukum. Semua perkara yang akan diperiksa dan putus di Pengadilan juga harus mempunyai kekuatan hukum. Termasuk dengan pengajuan hak asuh anak. Anak yang diajukan hak asuh nya, harus merupakan anak kandung atau anak angkat yang proses pengangakatannya sah melalui proses pengangkatan anak di Pengadilan. Jadi, jika anak angkat yang hanya diambil secara kekeluargaan, Pengadilan Agama tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara apapun yang berkaitan dengannya.

Dari kejadian ini, penulis menyadari betapa pentingnya legalitas seorang anak angkat. Karena dari legalitas tersebut, hak dan kewajiban anak angkat dapat terlindungi. Legalitas anak angkat di dapatkan dari proses pengangkatan anak dipengadilan, yang bertujuan agar dikemudian hari anak angkat maupun orang tua angkatnya memiliki kepastian hukum. Terlebih kita semua tidak tau apa yang akan terjadi di kemudian hari. Apabila akan terjadi seperti hal diastase, jika anak angkat dan orang tua angkat memiliki kepastian hukum, maka saat ingin berperkara di Pengadilan pun akan sangat mudah prosesnya.

49 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan dari apa yang sudah penulis paparkan dari bab 1 hingga bab 4, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Majelis Hakim berpendapat dalam putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp bahwa permohonan pengajuan untuk menjadi pemegang hak asuh anak hanya berlaku untuk anak kandung dan anak angkat yang sudah melalui proses pengangkatan anak di pengadilan. Maka dari itu, pada amar putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, Majelis Hakim menolak permohonan Pemohon untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak, karena Pemohon tidak dapat membuktikan anak yang diajukan hak asuh nya adalah anak kandung nya.

Semua Bukti Surat yang diajukan oleh Pemohon dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum karena pada kenyataannya anak tersebut bukanlah anak kandung dari Pemohon dan Termohon.

2. Dari hasil analisis penulis terhadap pertimbangan Majelis Hakim pada putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp yang menolak permohonan Pemohon selaku ibu untuk ditetapkan menjadi pemegang hak asuh anak ini sebenarnya sangat bertentangan dengan kaidah fiqh maslahah mursalah. Dimana di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang Hadhanah, salah satunya adalah KHI Pasal 105 yang menyebutkan “Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun atau belum mumayyiz jatuh kepada ibunya. Namun yang menjadi alasan lain untuk Hakim menolak permohonan Pemohon adalah fakta yang diketahui setelah para Saksi yang di ajukan oleh Pemohon bahwa anak yang selama ini menjadi anak Pemohon dan Termohon adalah anak angkat yang diambil dari orang lain secara kekeluargaan dan tidak melalui proses pengangkatan anak di pengadilan. Dan karena hal itulah yang menjadikan anak angkat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Pengadilan juga tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan anak tersebut.

50 B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang sudah penulis lakukan, penulis sangat berharap penelitian ini akan memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan dalam bidang hukum. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini akan memberikan saran yang ditujukkan kepada:

1. Kepada para Hakim tertutama yang menangani perkara yang berkaitan dengan seorang anak. Dimana diharapkan ketegasan para Hakim dalam memutus suatu perkara demi terciptanya keadilan bagi para Pihak yang berperkara.

2. Kepada para Dinas Sosial untuk selalu memberikan sosialisasi dan edukasi terutama kepada para masyarakat pedesaan tentang pentingnya sebuah legalitas bagi orang tua yang hendak melakukan pengangkatan anak. Dimana legalitas tersebut nantinya akan melindungi hak bagi anak angkat maupun orang tua angkat itu sendiri.

51

Dokumen terkait