• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Hadhanah

Dalam ajaran Islam, pemeliharaan anak disebut dengan istilah Hadhanah.1 Secara etimologis, Hadhanah ini diartikan dengan “disamping”

atau berada “di bawah ketiak”, atau bisa juga berarti bagian badan mulai dari bagian bawah ketiak hingga bagian antar pusat dan pertengahan punggung diatas panggul paha, termasuk dada atau dua lengan atas dan bagian antara keduanya.2 Adapun secara terminologis, Hadhanah berarti merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sediri.3

Beberapa ulama juga memberikan definisi yang berbeda mengenai Hadhanah, yaitu sebagai berikut:

Menurut Ash-Shan’ani adalah memelihara4 seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya.5

Menurut Amir Syarifudin hadhanah atau disebut juga khafallah adalah pemeliharaan anak6 yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan7.

1 Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

244

2 Muhammad bin Ismail al-Amir, “Subulus Salam Syarah Bulugul Maram, Penterjemah Ali Nur Medan, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), cet ke-7, Jilid III, h. 191

3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 293

4 Menurut KBBI, “Memelihara: menjaga dan merawat baik-baik”

5 Ahmad Rofik, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.

197

6 Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu: Pendidikan, biaya hidup, Kesehatan, ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.

7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, cet, 1, 2006, h. 327

16

Sedangkan menurut Zahabi, Hadhanah yaitu melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya, oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri.8 2. Dasar Hukum Hadhanah

a. Ayat Al-Quran

Para ulama telah menyepakati bahwa hukum dari Hadhanah adalah wajib dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban bagi ayah dan ibunya.9 Dasar hukum hadhanah ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah: 233 yang berbunyi:

مِتُي نَأ َدا َرَأ ن َمِل ِن يَل ِماَك ِن يَل و َح نُهَد َلَ وَأ َن ع ِض رُي ُتاَدِلا َو لا َو

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan dari keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

8 Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 114

9 Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

247

17

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 233).

Penjelasan ayat diatas terdapat 2 (dua) ketetapan hukum tentang pengasuhan anak, yaitu10: Pertama, kewajiban seorang istri dalam mengasuh dan menyusui anaknya ketika rumah tangga masih berlangsung.

Kedua, kewajiban seorang suami dalam memberi nafkah terhadap istri untu memenuhi kebutuhan istri dalam mengasuh anak ataupun dalam hal lainnya.

b. Hukum Positif

Pengasuhan anak atau pemeliharaan anak memang sudah menjadi kewajiban semua orang tua, baik dalam ikatan perkawinan maupun setelah putusnya perkawinan. Pemeliharaan tersebut meliputi berbagai hal, mulai dari ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok sang anak.11 Oleh karena itu, hal terpenting dalam hal pemeliharaan anak adalah kerja sama antara bapak dan ibu untuk memenuhi segala kebutuhan anak sampai anak tersebut beranjak dewasa dan mandiri. Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara oran tua putus.12

10 Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

249

11 Iyan Harir, Skripsi, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Dalam Prespektif Maslahah (Studi Putusan No. 1037/Pdt.G/2016/PA.Cbn Dan Putusan No 0017/Pdt.G/2017/PA.Bdg), (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h.16

12 Subekti, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), h. 551

18

Selain dari Undang-Undang Perkawinan, ada juga hukum positive yang mengatur tentang pemeliharaan anak. Salah satunya dijelaskan dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;13

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana dalam kenyataan bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;14

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri;15

Selain itu pemeliharan anak juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 98, 104, 105, dan 106 KHI, sebagai berikut:

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik ataupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam da diluar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mempu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.16

13 Pasal 41 UU Perkawinan ayat a

14 Pasal 41 UU perkawinan huruf b

15 Pasal 41 UU Perkawinan huruf c

16 Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam

19 Pasal 104

(1) Semua biaya penyusuan anak di pertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.17

Pasal 105

(1) Pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,

(2) Pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagau pemegang hak pemeliharaannya.

(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.18 Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak di perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu mengehendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).19

Pasal-pasal tersebut diatas menegaskan bahwa kewajiban orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, membekali

17 Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam

18 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

19 Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam

20

mereka dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum, agar mereka memiliki bekal jika beranjak dewasa nanti.20

3. Syarat Hadhanah

Syarat merupakan ketentuan yang harus terpenuhi oleh sesorang sebelum melakukan segala tindakan.21 Begitu juga dengah Hadhanah.

Seseorang yang hendak ditunjuk sebagai Hadhin harus memenuhi syarat-syarat. Satria Effendi M. Zein merumuskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemegang hak asuh anak22, yakni diantaranya:

a. Adapun bagi yang melakukan Hadhanah hendaklah sudah Baligh berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab Hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas Hadhanah.

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik Mahdun, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas Hadhanah menjadi terlantar.

c. Seseorang yang melakukan Hadhanah hendaklah dapat dipercaya dan memegang Amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.

d. Jika yang akan melakukan Hadhanah itu adallh ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain.

e. Seseorang yang melakukan Hadhanah harus bearagam Islam.

Syarat-syarat bagi pemegang hak asuh anak atau Hadhin menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut:23

20 Mardani, “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2016), h.132

21 Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), h.

252

22 Satria Effendi M. Zein, “Hukum Keluarga Islam Kontemporer”, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, h. 172

23 Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah) Prespektif Sayyid Sabid dan Wahbah Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember: 2018), h. 11-13

21

Selain Hadhin, mahdun atau anak yang akan diasuh juga mempunyai syarat-syarat yang wajib dipenuhi, yaitu:24

a. Berada dalam usia anak-anak atau belum mumayyiz dan belum mandiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

b. Berada dalam ketidaksempurnaan akalnya. Oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang dewasa yang sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.25

4. Pihak-Pihak Yang Berhak atas Hadhanah

Meskipun sudah tidak dalam status suami istri, namun antara bekas suami dan bekas istri tersebut mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat, membiayai, dan mendidk ana-anak mereka hingga dewasa.26 Pihak-pihak yang mempunyai hak dalam perawatan dan pengasuhan mempunyai urutan. Dimulai dari jalur perempuan (ibu), setelah itu baru pihak laki-laki (ayah), dan kakek sampai keatas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai kebawah, kemudian para paman dan anak-anaknya. Apabila semua urutan

24 Amir Syariffudin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, h.330

25 Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah,2019), h. 18

26 Muhammad Faisal, Skripsi, “HADHANAH ANAK DI BAWAH UMUR PASCA PERCERAIAN (Studi Analisis Putusan Nomor. 1261/Pdt.G/2018/PA.Bgr. Nomor. 542/Pdt.G/2020/PA.Bgr dan Nomor. 704/Pdt.G/2019/PA.JS), h. 22

22

diatas tidak ada atau pihak dari laki-laki tidak ada, maka Hadhanah dalam penguasaan atau kewajiban pemeritah.

Sebelum menentukan siapa pihak yang lebih berhak dalam hal Hadhanah, maka hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui anak yang akan menjadi Mahdun tersebut apakah sudah Mumayyiz atau belum. Anak yang sudah dianggap Mumayyiz apabila ia telah mampu makan, minum, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Pada Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa bahwa terjadi dalam hal perceraian, pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.27

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 menjelaskan bahwa anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan Haadhanah dari ibunya. Bila ibunya meninggal, maka dapat digantikan oleh:

a. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke ibu;

b. Ayah;

c. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah;

d. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

f. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;

Urutan-urutan yang berhak melakukan Hadhanah dari kalangan perempuan menurut Ulama Fiqh adalah sebagai berikut:

a. Menurut Madzhab Hanafi, hak asuh anak berturut-turut dialihan dari ibu kepada:

1) Ibunya ibu 2) Ibunya ayah

3) Saudara-saudara perempuan sekandung 4) Saudara-saudara perempuan seibu

27 Wahyu Kuncoro, “Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), h. 66-67

23

5) Saudara-saudara sperempuan seayah

6) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung 7) Anak perempuan dari saudara perempuan seibu

8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah28 b. Menurut Madzhab Maliki, hak asuh anak berturut turut dialihkan dari ibu

kepada:

1) Ibunya ibu dan seterusnya keatas 2) Saudara perempuan ibu sekandung 3) Saudara perempuan ibu seibu

4) Saudara perempuan nenek dari pihak ibu 5) Saudara perempuan kakek dari pihak ibu 6) Saudara perempuan kakek dari pihak ayah 7) Ibu ibunya ayah

8) Ibu ibunya ayah dan seterusnya29

c. Menurut Madzhab Syafi’I, hak asuh anak berturut-turut dialihkan dari ibu kepada:

1) Ibu

2) Ibunya ibu dan seterusnya hingga keatas itu mereka adalah pewaris-pewaris si anak

3) Ibu dari ibunya ayah hingga keatas itu mereka adalah pewaris-pewaris si anak pula

4) Saudara-saudara perempuan sekandung 5) Saudara-saudara perempuan seibu 6) Saudara-saudara perempuan seayah 7) Anak perempuan dari saudara seibu

8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah d. Menurut Madzhab Hambali, hak asuh anak berturut-turut dialihkan dari

ibu kepada:

28 Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, “Fiqh Wanita”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456

29 Peunoh Daly, “Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 87

24 1) Ibu

2) Nenek dari jalur ibu 3) Nenek dari jalur ayah 4) Kakek dan ibunya kakek

5) Saudara perempuan dari kedua orang tua 6) Saudara perempuan dari ibu

7) Saudara perempuan dari ayah 8) Bibi dari jalur ibu

9) Bibi dari jalur ayah 10) Bibinya ibu

11) Putrinya saudara laki-laki

12) Putri paman ayah dan kerabat yang paling dekat30

Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan Ulama Fiqh tentang siapa yang berhak mendapat hak Hadhanah tidak jauh berbeda dengan Hukum Positive yang berlaku di Indonesia. Dimana intinya bahwa anak yang belum Mumayyiz, hak asuh nya jatuh kepada ibunya, dan Ibunya berkewajiban memelihara anak tersebut dengan dibantu bekas suami atau ayah dari anak tersebut dengan cara memenuhi nafkah sang anak sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

B. Teori Maslahah Mursalah

1. Pengertian Maslahah Mursalah

Dari segi Bahasa, Maslahah Mursalah terdiri dari dua suku kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Kata “al-maslahah” mempunyai kesamaan arti maupun wazannya dengan kata “al-manfa’at”.31 Kata Al-Maslahah dapat diartikan dengan kebaikan, kemanfaatan, keselarasan, kepatutan, dan

30 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 332-333

31 Ahmad Juaini Syukri Shofia, “Ilmu Ushul Fiqh”, h. 259

25

kepantasan.32 Secara terminologi, para ulama Fiqh mempunyai pendapat masing-masing untuk kata al-maslahah. Menurut Al-Ghazali, al-maslahah mempunyai makna asli yaitu menarik atau mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindari kemudharatan.33 Sedangkan Taufiq Yusul Al-Wa’i berpendapat bahwa segala sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat, baik manfaat yang diperoleh dengan cara mencari faedah-faedah atau kenikmatan-kenikmatan atau dengan cara menghindari atau menarik diri dari kerusakan, maka semua itu dapat dikategorikan sebagai maslahah.34

Kemudian kata al-mursalah merupakan isim maf’ul (objek dari fi’il madhi’ (kata dasar) dalam bentuk tsulasi), yaitu لسر dengan penambahan huruf

“alif” diawalnya, sehingga menjadi لسرا. Secara etimologis artinya terlepas atau bebas.35 Kata tersebut apabila digabungkan dengan maslahah memiliki maksud yakni terlepas dari dalil Al-Quran, as-sunnah, dan Ijma, akan tetapi tetap terkait kepada maqasid Syariah atau tujuan-tujuan Syara’.36

Beberapa Ulama Fiqh memberikan definisi berbeda terkait Maslahah Mursalah, yaitu:

a. Menurut Al Ghazali, Maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan).37

b. Prof Muhammad Abu Zahrah beliau menyebutkan definisi Maslahah Mursalah dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh ialah maslahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan Syariat Islam, dan tidak ditopang oleh

32 Nanda Huamairatuzzahra, Skripsi, “Habitual Residence Terhadap Anak Korban Perceraian Atas kawin Campur Perspektif Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 14

33 Asmawi, “Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010), h. 35

34 Taufiq Yusul al-Wai, “al-Bid ah wa al-Maslahah al-Mursalah: Bayanuhaa, Ta’siluhaa, wa Aqwal al Ulama fifaa, (Kuwait: Maktabah Daar at Turaaq, t.t). h. 241

35 Nanda Huamairatuzzahra, Skripsi, “Habitual Residence Terhadap Anak Korban Perceraian Atas kawin Campur Perspektif Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 15

36 Nur Asiah, “Istilah dan Aplikasi dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum, vol. 14, no.2, (Desember, 2016) h.150

37 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: Logos, 1996), h. 114

26

sumber dalil yang khusus, baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahah tersebut.38

c. Al Syatibi mendefinisikan Maslahah itu dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.39

d. Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam karya beliau yang berjudul Pengantar Hukum Islam, beliau mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala yang merusak makhluk.40

Dari beberapa definisi Maslahah Mursalah diatas, bisa ditarik kesimpulan tentang hakikat dari Maslahah Mursalah tersebut sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan bagi manusia.

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.41

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Yang menjadikan dasar bagi Ulama Hukum dalam mempergunakan Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah Syariah adalah sebagai berikut:

38 Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fikh”, cet, 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 427

39 Fadhillah Ahmad Nahrawi, Skripsi, “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam Mencegah Perkawinan Pada Usia Anak (Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap Maslahah Mursalah”, (Tangsel:

UIN Syarif Hidayatullah, 2018), h.43

40 Teungku Hasby Ash Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam”, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1987), h. 219

41 Amir Syarifuddin, “Ushul fiqh”, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 233

27

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) an RasulNya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Adanya perintah ini untuk mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Al-Quran dan as-Sunnah, dengan wajh al-istidal sebab mungkin perselisihan tersebut di akibatkan persoalan baru yang tidak ditemukan alam Al-Quran dan as-Sunnah. Untuk dapat menyelesaikan masalah ini, dapat ditempuh dengan metode Qiyas, dan juga dapat ditempuh dengan metode lain seperti istislah dan maslahah mursalah.43

3. Tingkatan Maslahah Mursalah

Dalam kajian Ushul Fiqh, pembagian maslahah mursalah dapat dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashi al-syariah para ulama mebagi maslahah menjadi tiga tingkatan, yaitu maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, maslahah tahsiniyyah.44

a. Al-Maslahah Ad-Daruriyyah

Maslahah ad-daruriyyah adalah kemaslahatan yang esensial bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak

42 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h. 87

43 Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah,2019), h. 28

44 Abd Rahman Dahlan, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 309

28

terwujudnya kehidupan itu sendiri, baik ukhrawi maupun duniawi. Dengan kata lain, jika dharuriyyah ini tidak terwujud, niscaya kehidupan manusia akan punah. Yang masuk kedalam ruang lingkup maslahah dharuriyyah yaitu meliputi pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan dan pemeliharaan harta.

1) Memelihara Agama

Mempercayai suatu agama adalah hak setiap manusia.

Memeluk suatu kepercayaan juga merupakan fitrah dan naluri yang tidak dapat di ingkari dan sangat dibutuhkan. Dengan itu Allah SWT mensyari’atkan agama yang wajib di pelihara setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah dan muamalah.

2) Memelihara Jiwa

Hak hidup juga merupakan hak yang paling penting bagi manusia. Dengan ini, hak hidup memiliki kaitan yang erat dengan kemaslahatan. Allah menyari’atkan hukum yang terkait dengan hak hidup manusia, seperti Qishas, dan hukum perkawinan untuk mlanjutkan kehidupan generasi manusia dan berbagai hukum lainnya.

3) Memelihara Akal

Akal merupakan instrument penting bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan pemeliharaan akal sebagai sesuatu yang esensial. Dengan itu, Allah SWT melarang manusia untuk meminum minuman keras (khamr) atau sesuatu yang memabukan karena dapat merusak akal dan pikiran.

4) Memelihara Keturunan

Memiliki keturunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Karena itu Allah SWT menysari’atkan adanya suatu pernikahan dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya.

5) Memelihara Harta

Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Karena itu, harta masuk kedalam suatu hal yang pokok (daruri) dalam

29

kehidupan manusia. Untuk memperoleh harta tersebut, Allah mensyari’atkannya dengan aturan mencari nafkah bagi suami, dan untuk memeliharanya Allah mensyari’atkan adanya hukuman untuk ppara pencuri.45

b. Al-Maslahah al-Hajiyyah

Al-Maslahah al-Hajiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat Daruri (pokok).46 Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara tidak lansgung menuju kearah sama seperti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maslahah Hajiyyat juga jika tidak terpenuhi dalam keidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan kerusakan.

c. Al-Maslahah al-Tahsiniyyah

Al-Maslahah al-Tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis

Al-Maslahah al-Tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis

Dokumen terkait