• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ASUH ANAK ANGKAT PASCA PERCERAIAN ORANG TUA ANGKAT DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (Studi Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK ASUH ANAK ANGKAT PASCA PERCERAIAN ORANG TUA ANGKAT DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (Studi Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASUH ANAK ANGKAT PASCA PERCERAIAN ORANG TUA ANGKAT DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

(Studi Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NURUL AWALIA NIM: 11170440000045

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

(3)
(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Nurul Awalia

NIM : 11170440000045

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 20 Oktober 1999

Program Studi/Fakultas : Hukum Keluarga/ Syariah dan Hukum Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil asli saya atau hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Agustus 2021

Nurul Awalia

(5)

v ABSTRAK

Nurul Awalia, NIM 11170440000045. HAK ASUH ANAK ANGKAT PASCA PERCERAIAN ORANG TUA ANGKAT DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (Studi Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP). Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1444 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu relevansi dari pertimbangan hukum Hakim pada putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp tentang permohonan hak asuh seorang anak yang dimana anak tersebut merupakan anak angkat dengan teori Maslahah Mursalah. Serta menganalisi pertimbangan hakim tersebut menggunakan teori Maslahah Mursalah.

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian kualitatif.

Sumber data diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Padang Panjang nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku hukum serta karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan skripsi ini. Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan normative-yuridis atau biasa disebut dengan penelitian hukum doctrinal (doctrinal research). Metode analisis yang penulis gunakan yaitu metode analisis deskriptif.

Dari penelitian ini, penulis menemukan fakta bahwa dalam putusan nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp, anak yang dimohonkan hak asuh nya adalah seorang anak angkat, dan pengangkatannya hanya secara kekeluargaan antara orang tua kandung dan orang tua angkat. Dimana dari fakta inilah yang menyebabkan Hakim memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon selaku ibu angkat untuk mendapatkan hak asuh nya, karena anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum di mata pengadilan. Jadi pengadilan pun tidak berhak untuk memutus perkara bagi obyek hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kemudian untuk hasil analisis dari hak asuh anak angkat pasca perceraian

orang tua angkat dalam prespektif maslahah mursalah, penulis berpendapat: bahwa

keputusan Hakim dalam menolak permohonan Pemohon untuk ditetapkan sebagai

(6)

vi

pemegang hak asuh anak tidaklah sesuai dengan teori Maslahah Mursalah. Karena dengan Hakim menolak permohonan tersebut, menjadikan si Pemohon tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengambil hak asuh anak si Termohon. Dan hal tersebut menyebabkan si Pemohon semakin susah untuk Kembali mengasuh anak dari Pemohon dan Termohon. Namun kembali lagi, karena Indonesia adalah negara hukum, maka segala permasalahan yang akan di proses di Pengadilan haruslah sesuai dengan Hukum yang berlaku di Indonesia. Dan karena anak Pemohon dan Termohon tidak mempunyai kekuatan hukum, maka Pengadilan pun tidak berhak untuk memutuskan perkara yang terkait dengan anak tersebut.

Kata Kunci : Hak Asuh, Anak Angkat, Perceraian, Maslahah Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharli, SH, MA.

Daftar Pustaka : 1986 - 2020

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Pedoman Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambungkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Z

س S Es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis bawah

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

ظ Z zet dengan garis bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

(8)

viii

ف F Ef

ق Q Qo

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ھ H Ha

ء ’ Apostrop

ي Y Ye

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

____

ي

ai a dan i

____

و

au a dan u

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

__ؘ_ A fathah

ِ I kasrah

__ُ__ U dammah

(9)

ix c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ا Â a dengan topi di atas

ؚاي Î i dengan topi di atas

و Û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qomariyyah. Misalnya:

داهتخلاا = al-ijtihâd

ةصخرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah e. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةعفشلا = al-syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh

1) atau diikuti oleh sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

(10)

x

No. Kata Arab Alih Aksara

1. ةيرش syari’ah

2. ةيملاسلاا ةعيرشلا al syari’ah al-islâmiyyah 3. بھاذملا تانراقم muqâranat al-madzâhib g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya :

يراخبلا = al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No. Kata Arab Alih Aksara

1. ةروظحملا حيبتةرورضلا al-darûrah tubîhu almahzûrât

2. يملاسلاا داصتقلاا al-iqtisâd al-islâmî

(11)

xi

3. هقفلا لوصا usûl al-fiqh

4. ةحاب ࣲلاا ءايشلآا يف لصلاا al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5. ةلسرملا ةحلصملا al-maslahah al-mursalah

(12)

xii

KATA PENGANGTAR

Bismillahirrahmanirrahin. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak karunia dan ridha-Nya kepada kita, sehingga kita dapat beribadah dan bermuamalah dengan baik di dunia ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang karena nya kita di bombing hingga masuk kepada zaman yang penuh akan khazanah ilmu pengetahuan.

Selama penulis menempuh Pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta saat penulis Menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan banyak sekali arahan, motivasi, pengalaman, dan juga bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih secara khusus kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus dosen pembimbing skripsi yang senantia membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

4. Ibu Hotnidah Nasution, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik yang senantia memberikan bimbingan kepada penuli selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Dosen, Staff Karyawan, Staf Tata Usaha, Staf Perpustakaan, dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang tidak pernah lelah memberikan Ilmu dan membantu penulis hingga penulis dapat sampai pada tahap ini.

6. Kedua orang tua kandung penulis, Ayah Doan dan Ibu Haniroh. Orang tua

angkat penulis, Bapak Mukmin dan Ibu Kurniati, serta adik kandung penulis,

(13)

xiii

Bustanul Hikam yang senantiasa selalu menyayangi dan memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis.

7. Handika Ahmad Wijaya yang selalu mengingatkan dan memberi dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman seperjuangan penulis, Triyas Sakti Dewi, Wilda Amalia, Triva Ariva, Rofiqoh Mahmudah, Indi Niluvar, Muhammad Imam Bukhori, Arini Salwa Khairi, dan semua teman-teman seperjuangan di Program Studi Hukum Keluarga yang tidak bisa disebutkan semua satu persatu. Terima kasih penulis ucapkan atas doa, dukungan dan kebersamaannya di masa masa perkuliahan.

9. Teman seperjuangan saat di Pondok Pesantren yang masih berteman baik dengan penulis, Hanum Andriyani dan Maulida Rahma yang juga selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

Demikianlah pengantar yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis juga bagi para pembaca. Aamiin.

Jakarta, 19 Agustus 2021

Nurul Awalia

(14)

xiv DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANGTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

F. Kajian Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II HADHANAH DAN TEORI MASLAHAH MURSALAH ... 15

A. Hadhanah... 15

1. Pengertian Hadhanah ... 15

2. Dasar Hukum Hadhanah ... 16

3. Syarat Hadhanah ... 20

4. Pihak-Pihak Yang Berhak atas Hadhanah ... 21

B. Teori Maslahah Mursalah ... 24

1. Pengertian Maslahah Mursalah ... 24

(15)

xv

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah ... 26

3. Tingkatan Maslahah Mursalah ... 27

4. Macam-Macam Maslahah Mursalah ... 30

5. Kehujjahan Maslahah Mursalah ... 32

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 19/Pdt.G/2013/PA.Pp TENTANG HADHANAH ANAK ANGKAT ... 36

A. Posisi Kasus ... 36

B. Duduk Perkara ... 36

C. Amar Putusan ... 39

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR 19/Pdt.G/2013/PA.Pp DITINJAU DARI PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH ... 40

A. Uraian Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp 40 B. Analisis Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP Ditinjau Dari Prespektif Maslahah Mursalah ... 43

BAB V PENUTUP ... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengangkatan anak atau yang sering kita sebut dengan adopsi, sudah menjadi hal umum bagi masyarakat Indonesia. Namun tata cara pengkatan anak pasti berbeda di setiap daerah.

1

Dikarenakan Indonesia adalah negara hukum, maka pemerintah menetapkan peraturan tentang tata cara pengangkatan anak atau adopsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. Pada tanggal 25 Agustus 2020, Kepala Seksi Rehabilitasi Dinas Sosial Kulon Progo, Wahyu Budioarto kepada Wartawan Kompas mengatakan bahwa Dinas Sosial Kulon Progo mencatat ada 50 praktik adopsi secara sah yang dilakukan pasangan suami istri dalam satu tahun terakhir.

2

Dari data tersebut bisa kita lihat bahwa banyak pasangan suami isteri yang tidak bisa memiliki keturunan, dan memilih untuk mengambil jalan adopsi agar tetap bisa memiliki keturunan.

Masyarakat Indonesia sendiri masih awam dengan proses pengangkatan anak melalui lembaga Peradilan. Pengangkatan anak secara langsung atau kekeluargaan masih sering di jumpai di sekitar kita, terlebih bagi masyarakat pedesaan. Biasanya faktor yang mendorong hal tersebut karena jauhnya jarak dari rumah ke Pengadilan, rumitnya prosedur Pengangkatan anak, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya legalitas terhadap anak angkat, dan alasan-alasan lainnya.

3

Padahal, dari proses pengangkatan anak tersebut nantinya ada hukum baru yang memiliki konsekuensi nya sendiri. Maka dari itu pemerintah mengluarkan aturan tentang tata cara pengangkatan anak tujuannya adalah

1

Muhammad Kasyful Anwar Budi, Skripsi, “Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan (Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak)”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020, h.1

2

Kompas Regional, 50 Praktik Adopsi Anak Terjadi Di Kulon Progo Dalam Setahun

<https://regional.kompas.com/read/2020/08/25/11425571/50-praktik-adopsi-anak-terjadi-di-kulon-

progo-dalam-setahun?page=all> [diakses pada Tanggal 9 Desember 2020 Pukul 19.00 WIB]

3

Nurul Ayu Tri Ulfiah, Skripsi, “Penerapan PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sungguminasa)”, Makassar:

UIN Alaudin Makassar, 2017, h.5

(17)

2

melindungi anak tersebut dari hal hal yang tidak diinginkan dalam pengangkatan anak dan melindungi hak anak itu sendiri.

Peraturang tentang pengangkatan anak dalam peraturan perundang- undangan menentukan bahwa pengangkatan anak harus disahkan dengan penetapan pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum, dan juga dokumen hukum bagi anak angkat dan orang tua angkat.

4

Untuk mewujudkan perlindungan terhadap anak angkat diperlukan dukungan kelembagaan dan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya, karena berbagai undang-undang yang ada hanya mengatur hal-hal tertentu saja mengenai anak, tetapi secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak. Perlindungan anak angkat meliputi segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya.

5

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak disebutkan secara gamblang di Pengadilan mana yang memiliki kewenangan absolute dalam memutus perkara pengangkatan anak. Namun pada umumnya, seperti yang kita ketahui bahwa Pengadilan Negeri lah yang mengadili semua perkara, kecuali telah diatur tersendiri dalam Undanng-Undang. Dengan begitu, kita bisa tarik kesimpulan bahwa yang memiliki kewenangan absolute untuk menangani perkara pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri. Tetapi, dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadikan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk mengadili perkara di tingkat pertama bagi orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, salah satunya penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan seorang anak berdasarkan hukum Islam.

4

Kharisma Galu Gerhastuti dkk, “Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Dalam Pengangkatan Anak Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yang Beragama Islam”, Diponegoro Law Journal. Vol. 6 No. 2, 2017. h. 10

5

Mukmin, “Perlindungan Terhadap Hak-hak Anak Angkat”. Lex et Societatis, Vol II No.

7. 2014. h. 66

(18)

3

Namun, tidak semua pasangan yang tidak bisa memiliki keturunan mampu menerima kenyataan tersebut. Dalam artian, tidak semua pasangan yang tidak memiliki keturunan mau melakukan hal yang sama yaitu pengangkatan anak.

Beberapa diantaranya juga ada yang malah menjadikan hal ini sebagai salah satu alasan untuk mengambil langkah perceraian. Mereka yang memilih untuk bercerai biasanya memiliki alasan untuk mencari pasangan yang baru agar bisa memiliki anak dari darah daging nya sendiri dari pada harus memiliki anak namun anak tersebut merupakan anak angkat. Bahkan ada beberapa kasus keluarga yang sudah melakukan pengangkatan anak, namun pada akhirnya tetap memilih langkah perceraian karena sudah tidak adanya lagi keharmonisan dalam berumah tangga.

Perceraian diambil sebagai langkah terakhir saat segala upaya perdamaian yang telah dilakukan tidak berhasil. Karena pada hakikatnya, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

6

Jika dalam perkawinan sudah tidak lagi ada kebahagiaan, maka perceraian lah salah satu jalannya. Karena keadaan yang sudah bertentangan dengan tujuan dalam pernikahan itu sendiri. Meskipun perceraian adalah hal yang diperbolehkan, namun perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Sekalipun proses perceraian berjalan dengan baik dan damai, namun dari perceraian tersebut, pasti akan terasa beberapa dampak setelahnya, terutama dampak pada anak. Banyak anak yang merasa bahwa dia menjadi anak yang kurang beruntung dan kurang mendapatkan kasih sayang karena hancurnya rumah tangga orang tuanya. Akibat lain dari perceraian adalah anak akan merasa bingung harus ikut dengan ibu, ayah, atau keluarga yang lain setelah orang tuanya bercerai. Dari sini lah Islam mengatur tentang adanya hadhanah. Hadhanah adalah mendidik anak-

6

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(19)

4

anak yang tidak dapat mengurus diri sendiri menurut umur tertentu terhadap orang yang berhak terhadapnya, yaitu dikalangan keluarganya.

7

Hadhanah merupakan hak bagi suami, istri, dan anak itu sendiri. Setelah perceraian, tanggung jawab suami dan isteri terhadap anak tidak putus begitu saja.

Dalam Pasal 41 UU Perkawinan disebutkan bahwa;

8

Akibat putusnya Perkawinan karena perceraian ialah: pertama, demi kepentingan anak, Ibu dan Bapak tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan apabila ada perselishan dalam hal pengasuhan anak, maka bisa di selesaikan melalui proses Pengadilan; Kedua, biaya pengasuhan anak termasuk tanggung jawab Bapak, dan jika Bapak tidak mampu menanggung biaya pemeliharaan sepenuhnya maka ibu boleh membantu dalam biaya pengasuhan tersebut; ketiga, Pengadilan dapat mepajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Di Indonesia, Hadhanah juga di atur dalam KHI Pasal 105. Dimana aturan tersebut menyatakan bahwa anak yang belum Mumayyiz hak asuh nya jatuh kepada Ibu. Sedangkan untuk anak yang sudah Mumayyiz, hak tersebut ada pada anak itu sendiri. Dimana anak berhak memilih akan ikut dengan Ayah atau Ibunya. Dan biaya pengasuhan tersebut tetap menjadi tanggung jawab ayahnya.

9

Hadhanah menurut para ulama fiqh adalah pemeliharaan terhadap anak- anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu untuk kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang membahayakan, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

10

Ulama fiqih sepakat bahwa bila terjadi perceraian maka ibu yang lebih berhak mengasuh anak,

7

Supardi, “Hadhanah dan Tanggung Jawab Perlindungan Anak”, Jurnal Al-Manahij Vol 8 No 1, 2014, h. 58

8

Pasal 41 UU Perkawinan

9

Pasal 105 KHI

10

Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, (Bandung: Al-Ma’arif, 2007), h. 173

(20)

5

sedangkan pembiayaan yang sifatnya material pada operasional dalam pengasuhan anak menjadi kewajiban dan tanggung jawab ayah.

11

Dalam rangka menyejahterakan hak anak, Pemerintah membuat regulasi tentang kesejahteraan anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 2 ayat (3) dan (4) yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (3)

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan”

Ayat (4)

“Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”

Sebagai upaya penjamin kemaslahatan bagi anak, pemerintah juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana penting nya pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian agar tidak menghilangkan hak-hak anak. Karena selain memiliki kewajiban, anak juga memiliki hak yang mana hak tersebut menjadi tanggung jawab orang tuanya, meskipun dalam hal ini, orang tua yang dimaksud adalah orang tua angkat.

Dari uraian diatas, hal yang menarik untuk di teliti lebih lanjut adalah menganai putusan hakim pada Pengadilan Padang Panjang yang menolak permohonan seorang ibu untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh atas anak nya yang saat permohonan itu diajukan, anak tersebut belum mumyyiz. Dalam membaca putusan ini, patut menjadi pertanyaan mengapa seorang Hakim bisa menolak permohonan penetapan hak asuh anak yang diajukan oleh Pemohon selaku ibu kandung untuk menjadi pemegang hak asuh anak yang anak tersebut usianya masih 4 tahun. Tapi setelah membaca putusan lebih lanjut, dinemukan fakta bahwa anak yang dimaksud merupakan anak angkat yang proses pengangkatannya hanya

11

M. Djamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian di Indonesia”, Cet 1, (Yogyakarta: Gama

Media, 2001), h. 82.

(21)

6

secara kekeluargaan, dalam artian proses pengangkatan anak tersebut dilakukan tanpa prosedur Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama. Atas dasar tersebut, penulis ingin mengakaji lebih lanjut tentang Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP dalam hal penentuan hak asuh apabila ditinjau dari prespektif Maslahah Mursalah dengan menarik judul “HADHANAH ANAK ANGKAT PASCA PERCERAIAN ORANG TUA ANGKAT DALAM PRESPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (STUDI PUTUSAN NOMOR 19/Pdt.G/2013/PA.Pp)”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang sudah di jelaskan diatas, maka akan disebutkan identifikasi masalah yang nanti nya akan dijelaskan lebih lanjut yaitu:

1. Bagaimana cara penyelesaian perkara hak asuh anak di Indonesia ?

2. Bagaimana ketentuan hak asuh anak menurut Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?

3. Bagaimana ketentuan hak asuh anak angkat di Indonesia?

4. Bagaimana analisis pada putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP ?

5. Apa yang melatarbelakangi Pemohon mengajukan permohonannya pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP ?

6. Apakah anak angkat mempunyai hak yang sama dengan anak kandung ? 7. Bagaimana prosedur pengangkatan anak di Indonesia ?

8. Mengapa Majelis Hakim menolak permohonan Pemohon pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP ?

C. Batasan Masalah

Dikarenakan luasnya masalah yang terjadi dalam lingkungan Pengadilan

Agama, maka penulis membatasi permalasahan yang akan dibahas kali ini pada

masalah Hadhanah dalam putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.Pp. Penulis ingin

meneliti putusan ini karena penulis menganggap pertimbangan hakim dalam

memutus perkara ini tidak sesuai dengan kaidah maslahah mursalah.

(22)

7 D. Rumusan Masalah

Adapun masalah utama dalam penelitian ini yaitu adanya problematika bagi Hakim dalam menentukan penetapan hak asuh anak angkat dalam prespektif maslahah mursalah. Untuk mempermudah penulis dalam menjawab rumusan masalah diatas, maka akan diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi dasar hukum bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP?

2. Bagaimana relevansinya dengan teori Maslahah Mursalah atas keputusan Majelis Hakim yang menolak seorang ibu menjadi pemegang hak asuh anak?

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan maalah yang penulis buat, maka tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui apa yang menjadi dasar hukum bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP.

b. Mengetahui relevansi putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP dengan teori Maslahah Mursalah.

2. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, penulis sangat mengharapkan manfaat dari adanya penulisan ini yaitu sebagai berikut:

a. Menjadi tambahan ilmu bagi orang lain dalam bidang perkawinan di Indonesia khususnya tentang hak asuh anak dan pengangkatan anak.

b. Menjadi sumber rujukan bagi akademisi dalam mengerjakan tugas-tugas

yang berkaitan dengan hak asuh anak dan pengangkatan anak.

(23)

8

c. Menjadi tambahan wawasan bagi masyarakat awam tentang pentingnya melakukan pengangkatan anak melalui prosedur Pengadilan Agama.

F. Kajian Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu mengkaji beberapa karya tulis yang berhubungan dengan Hadhanah dan anak angkat yang sebelumnya sudah dibahas oleh sebagian orang. Dari hasil kajian tersebut, ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dengan masalah yang akan dibahas oleh penulis.

Perbedaan tersebut ada karena berbedanya sudut pandang, karakter, atau objek penelitian. Untuk itu, penulis akan memberikan review terhadap beberapa karya tulis yang relavan dengan hasil penelitian penulis.

Pertama, karya tulis ilmiah berupa skripsi yang ditulis oleh Lutfi Zakaria Mubarok, salah satu alumni dari Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi nya, ia membuat analisis perbandingan dari tiga putusan berbeda, yaitu Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, Putusan Nomor 638/K/Ag/2015. Hasil dari penelitian tersebut, Lutfi mengatakan bahwa dari analisis ketiga putusan tersebut, yang lebih maslahat adalah putusan Putusan Nomor 638/K/Ag/2015. Berkaitan dengan implikasi atau akibat hukum dari putusan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan Nomor 638/K/Ag/2015, yang mana Majelis Hakim Tingkat Kasasi memberikan hak pengasuhan anak (hadhānah) kepada sang ibu, tentunya hal tersebut berakibat pada terjaminnya hak anak-anak untuk diasuh dan bertempat tinggal. Karena dengan kondisi bahwa kedua anak masih dalam usia belia, tentu saja hal tersebut membuat anak-anak masih membutuhkan perhatian secara khusus dari orang tuanya. Karena bagaimanapun, kepentingan terbaik bagi anak haruslah menjadi prioritas utama dibanding dengan kepentingan orang tua. Sehingga dengan demikian, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dapat dilakukan di waktu yang akan datang.

12

Pada review

12

Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak

Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah,2019), h.104

(24)

9

ini, persamaan yang ditemukan adalah dari pembahasan hadhanah dalam teori maslahah mursalah. Sedangkan perbedaannya, pembahasan hadhanah oleh Lutfi Zakaria Mubarok menggunakan teori perbandingan antar putusan, juga hadhanah yang dibahas adalah hadhanah untuk anak kandung, bukan hadhanah anak angkat.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Defanti Putri Utami dengan judul

“Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz (Studi Pembatalan Putusan Perkara No.

29/Pdt.G/2013/PA.Cbn)”. Hasil dari penelitian ini adalah menjelaskan tentang alasan dan pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang telah membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong No. 29/Pdt.G/2013/PA.Cbn.

Dalam putusan Pengadilan Agama Cibinong telah menetapkan hak hadhanah tersebut kepada bapak, kemudian Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung membatalkan putusan tersebut dan menetapkan hadhanah tersebut kepada ibu dengan alasan bahwa anak tersebut memang masih dibawah umur (belum mummayiz) dan tidak ada halangan ibu untuk mengasuhnya, setidaknya sampai anak tersebut baligh dan setelah itu dapat menentukan pilihannya akan ikut dengan ibu atau bapaknya.

13

Dari review diatas, persamaan yang ditemukan terletak pada pokok pembahasan yaitu tentang hak asuh anak yang belum mummayiz. Lalu perbedaannya adalah pada fokus penelitiannya dimana peneliti sebelumnya memfokuskan dengan adanya putusan Pengadilan Tingi Agama Bandung yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong, sedangkan yang penulis teliti adalah tentang penolakan Hakim atas permohonan penetapan hak asuh anak yang diajukan oleh orang tua angkat.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh alumni UIN Sunan Kalijaga, Farida Nur Hayati yang berjudul “Hak Asuh (Hadhanah) Anak Angkat Pasca Perceraian Orang Tua Angkat dalam Prespektif Hukum Islam. Hasil analisis ini memperlihatkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yaitu sama sama mendapatkan hadhanah, kecuali dalam hal nasab sehingga tidak mendapatkan waris, kecuali wasiat wajibah bagi anak

13

Defanti Putri Utami, Skripsi, “Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz (Studi

Pembatalan Putusan Perkara No. 29/Pdt.G/2013/PA.Cbn)”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif

Hidayatullah, 2019), h. 4

(25)

10

angkat sebagaimana tercantum sepertiga saja. Dengan demikian, apa yang terjadi dengan anak angkat sama halnya dengan anak kandung sesuai dalam hal hak pemeliharaan anak selama anak angkat tersebut masih dibawah umur maka hak asuh diberikan kepada ibu angkat, jika sudah dewasa atau cukup umur maka anak angkat boleh memilih ingin ikut dengan siapa, dan meskipun demikian semua biaya pemeliharaan anak angkat tersebut dibebankan kepada ayah angkat.

14

Persamaan penelitian ini dengan apa yang penulis teliti, adalah masih sama sama membahas tentang hak asuh anak angkat dan perbedaannya adalah di penelitian ini hanya mempertegas status anak angkat dalam hal hak asuh anak itu sama hal nya dengan status anak kandung menurut Kompilasi Hukum Islam, sedangkan apa yang penulis teliti yaitu tentang putusan Hakim yang menolak permohonan Pemohon untuk menjadi pemegang hak asuh anak yang mana Pemohon tersebut adalah ibu dari anak tersebut.

Keempat, skripsi karya Zulpan Efendi yang berjudul “Hak Asuh Anak Dalam Perceraian Beda Agama Menurut Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Putusan No. 0117/Pdt.G/2016/PA.Prgi)”. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya bahwa pada Putusan No. 0117/Pdt.G/2016/PA.Prgi ini, yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutuskan hak asuh anak adalah Pasal 105 dan Pasal 156 KHI dengan beralasan bahwa anak tersebut belum Mumayyiz serta memerlukan perlindungan dari ibunya yang murtad

15

, padahal dalam pandangan Hukum Islam hak asuh anak yang jatuh kepada ibu murtad tidak dapat diberikan hak pengasuhannya karena bertentangan dengan syarat-syarat pengasuhan. Persamaan penelinitian ini dengan penelitian penulis adalah sama sama meneliti tentang perkara hak asuh anak yang masih dibawah umur. Dan perbedaannya terletak pada hasil putusan Majelis Hakim. Dimana pada penelitian putusan oleh Zulpan Efendi ini amarnya adalah dikabulkan, sedangkan penelitian putusan oleh penulis amarnya adalah di tolak.

14

Farida Nur Hayati, skripsi, “Hak Asuh (Hadhanah) Anak Angkat Pasca Perceraian Orang Tua Angkat Menurut Prespektif Hukum Islam”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), h.

2

15

Zulpan Efendi, Skripsi, Hak Asuh Anak Dalam Perceraian Beda Agama Menurut

Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Putusan No. 0117/Pdt.G/2016/PA.Prgi),

(Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2019), h. 56

(26)

11

Terakhir, skripsi oleh Vania Utami Fijriah mengahsilkan penelitian bahwa pada putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan pertimbangan hak asuh anak diberikan kepada Termohon yang mana sebagai mantan isteri dari Pemohon yang beragama Kristen sesuai dengan kesepakatan perdamaian bahwa hak asuh anak diberikan kepada Pihak kedua dengan ketentuan yang sudah diberikan. Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan mempertimbangkan hak asuh anak diberikan kepada Pemohon selaku ayah kandungnya dikarenakan Termohon keluar dari agama Islam.

16

Persamaan dari penelitian sebelumnya denga penelitian penulis adalah sama sama membahas tentang perkara hak asuh anak. Dan perbedaan adalah tentang status orang tua yang mengajukan hak asuh anaknya. Dimana pada penelitian sebelumnya, yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara adalah karena status ibu yang sudah keluar dari agama Islam. Sedangkan pada penelitian penulis, yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara adalah status pemohon sebaga ibu yang ternyata merupakan ibu angkat yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena proses pengangkatan anak yang tidak di lakukan di pengadilan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori, dengan menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan telaah terhadap putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP kemudian mengkajinya secara mendalam dengan mengambil referensi dari berbagai kitab, buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

16

Vania Utami Fijriah, Skripsi, Hak Asuh Anak Akibat Istri Murtad Menurut Penerapan

Teori Maqasid Al-Syariah (Studi Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Putusan Nomor

0734/Pdt.G/2014/PA.JU), (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2019). h. iv

(27)

12

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan normatif- yuridis atau yang biasa dikenal dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti dokumen yang kemudian akan dianalisis. Adapun pendekatan lainnya yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach). Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

3. Sumber Data a. Data Primer

Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan hak asuh anak (hadhānah) yaitu putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, serta tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini

17

. Seperti buku buku Ushul Fiqh, Undang-Undang tentang Perkawinan dan Karya Tulis Ilmiah yang berhubungan dengan masalah Hukum Keluarga. Oleh karena itu, umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.

18

4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan

17

Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), cet 3, h 43.

18

Sujono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, (Jakarta: Universitas Indonesia,

1986), h.11

(28)

13

hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan cara membaca, melihat, mendengar, maupun dengan penelusuran melalui media internet atas segala hal yang berkaitan dengan tema penelitian.

5. Metode Analisis Data

Analisa data merupakan bagian penting dalam metode ilmiah. Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta hukum yang dimaksud.

19

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Bab pertama, berisikan pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab kedua, mengulas gambaran umum tentang hak pengasuhan anak (hadhānah) dan teori Maṣlaḥah Mursalah, mulai dari konsep hadhānah sampai konsep Maṣlaḥah Mursalah.

Bab ketiga, memaparkan pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara hadhanah dalam putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP.

Bab keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini.

Yaitu analisis pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara hadhanah dalam putusan Nomor 19/Pdt.G/2013/PA.PP.

19

Sumardi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),

h. 18

(29)

14

Bab kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup

yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi

penyempurnaan penelitian ini.

(30)

15 BAB II

HADHANAH DAN TEORI MASLAHAH MURSALAH A. Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Dalam ajaran Islam, pemeliharaan anak disebut dengan istilah Hadhanah.

1

Secara etimologis, Hadhanah ini diartikan dengan “disamping”

atau berada “di bawah ketiak”, atau bisa juga berarti bagian badan mulai dari bagian bawah ketiak hingga bagian antar pusat dan pertengahan punggung diatas panggul paha, termasuk dada atau dua lengan atas dan bagian antara keduanya.

2

Adapun secara terminologis, Hadhanah berarti merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sediri.

3

Beberapa ulama juga memberikan definisi yang berbeda mengenai Hadhanah, yaitu sebagai berikut:

Menurut Ash-Shan’ani adalah memelihara

4

seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya.

5

Menurut Amir Syarifudin hadhanah atau disebut juga khafallah adalah pemeliharaan anak

6

yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan

7

.

1

Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

244

2

Muhammad bin Ismail al-Amir, “Subulus Salam Syarah Bulugul Maram, Penterjemah Ali Nur Medan, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), cet ke-7, Jilid III, h. 191

3

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 293

4

Menurut KBBI, “Memelihara: menjaga dan merawat baik-baik”

5

Ahmad Rofik, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.

197

6

Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu: Pendidikan, biaya hidup, Kesehatan, ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.

7

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, cet, 1,

2006, h. 327

(31)

16

Sedangkan menurut Zahabi, Hadhanah yaitu melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya, oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri.

8

2. Dasar Hukum Hadhanah

a. Ayat Al-Quran

Para ulama telah menyepakati bahwa hukum dari Hadhanah adalah wajib dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban bagi ayah dan ibunya.

9

Dasar hukum hadhanah ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah: 233 yang berbunyi:

مِتُي نَأ َدا َرَأ ن َمِل ِن يَل ِماَك ِن يَل و َح نُهَد َلَ وَأ َن ع ِض رُي ُتاَدِلا َو لا َو س فَن ُف لَكُت َلَ ِفو ُر ع َم لاِب نُهُت َو س ِك َو نُهُق ز ِر ُهَل ِدوُل وَم لا ىَلَع َو َةَعاَض رلا ِث ِرا َو لا ىَلَع َو ِهِدَل َوِب ُهَل دوُل و َم َلَ َو اَه ِدَل َوِب ةَدِلا َو راَضُت َلَ اَهَع س ُو لَِإ ا َم ِه يَلَع َحاَن ُج َلَف ر ُواَشَت َو ا َمُه ن ِم ضا َرَت نَع ًلَاَصِف اَدا َرَأ نِإَف َكِل ََٰذ ُل ث ِم مُت يَتآ ا َم مُت م لَس اَذِإ مُك يَلَع َحاَن ُج َلَف مُكَد َلَ وَأ اوُع ِض رَت سَت نَأ مُت د َرَأ نِإ َو ري ِصَب َنوُل َم عَت ا َمِب َ اللّ نَأ او ُمَل عا َو َ اللّ اوُق تا َو ِفو ُر ع َم لاِب

Artinya:

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan dari keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

8

Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 114

9

Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

247

(32)

17

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 233).

Penjelasan ayat diatas terdapat 2 (dua) ketetapan hukum tentang pengasuhan anak, yaitu

10

: Pertama, kewajiban seorang istri dalam mengasuh dan menyusui anaknya ketika rumah tangga masih berlangsung.

Kedua, kewajiban seorang suami dalam memberi nafkah terhadap istri untu memenuhi kebutuhan istri dalam mengasuh anak ataupun dalam hal lainnya.

b. Hukum Positif

Pengasuhan anak atau pemeliharaan anak memang sudah menjadi kewajiban semua orang tua, baik dalam ikatan perkawinan maupun setelah putusnya perkawinan. Pemeliharaan tersebut meliputi berbagai hal, mulai dari ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok sang anak.

11

Oleh karena itu, hal terpenting dalam hal pemeliharaan anak adalah kerja sama antara bapak dan ibu untuk memenuhi segala kebutuhan anak sampai anak tersebut beranjak dewasa dan mandiri. Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara oran tua putus.

12

10

Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), H.

249

11

Iyan Harir, Skripsi, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Dalam Prespektif Maslahah (Studi Putusan No. 1037/Pdt.G/2016/PA.Cbn Dan Putusan No 0017/Pdt.G/2017/PA.Bdg), (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h.16

12

Subekti, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Undang-Undang

Perkawinan”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), h. 551

(33)

18

Selain dari Undang-Undang Perkawinan, ada juga hukum positive yang mengatur tentang pemeliharaan anak. Salah satunya dijelaskan dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

13

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana dalam kenyataan bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

14

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri;

15

Selain itu pemeliharan anak juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 98, 104, 105, dan 106 KHI, sebagai berikut:

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik ataupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam da diluar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mempu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

16

13

Pasal 41 UU Perkawinan ayat a

14

Pasal 41 UU perkawinan huruf b

15

Pasal 41 UU Perkawinan huruf c

16

Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam

(34)

19 Pasal 104

(1) Semua biaya penyusuan anak di pertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

17

Pasal 105

(1) Pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,

(2) Pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagau pemegang hak pemeliharaannya.

(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

18

Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak di perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu mengehendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

19

Pasal-pasal tersebut diatas menegaskan bahwa kewajiban orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, membekali

17

Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam

18

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

19

Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam

(35)

20

mereka dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum, agar mereka memiliki bekal jika beranjak dewasa nanti.

20

3. Syarat Hadhanah

Syarat merupakan ketentuan yang harus terpenuhi oleh sesorang sebelum melakukan segala tindakan.

21

Begitu juga dengah Hadhanah.

Seseorang yang hendak ditunjuk sebagai Hadhin harus memenuhi syarat- syarat. Satria Effendi M. Zein merumuskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemegang hak asuh anak

22

, yakni diantaranya:

a. Adapun bagi yang melakukan Hadhanah hendaklah sudah Baligh berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab Hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas Hadhanah.

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik Mahdun, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas Hadhanah menjadi terlantar.

c. Seseorang yang melakukan Hadhanah hendaklah dapat dipercaya dan memegang Amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.

d. Jika yang akan melakukan Hadhanah itu adallh ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain.

e. Seseorang yang melakukan Hadhanah harus bearagam Islam.

Syarat-syarat bagi pemegang hak asuh anak atau Hadhin menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut:

23

20

Mardani, “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2016), h.132

21

Ali Wafa, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), h.

252

22

Satria Effendi M. Zein, “Hukum Keluarga Islam Kontemporer”, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, h. 172

23

Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah) Prespektif Sayyid Sabid dan Wahbah

Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember: 2018), h. 11-13

(36)

21 a. Berakal sehat

b. Baligh

c. Mampu mendidik d. Amanah dan berbudi e. Islam, dan

f. Merdeka

Selain Hadhin, mahdun atau anak yang akan diasuh juga mempunyai syarat-syarat yang wajib dipenuhi, yaitu:

24

a. Berada dalam usia anak-anak atau belum mumayyiz dan belum mandiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

b. Berada dalam ketidaksempurnaan akalnya. Oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang dewasa yang sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

25

4. Pihak-Pihak Yang Berhak atas Hadhanah

Meskipun sudah tidak dalam status suami istri, namun antara bekas suami dan bekas istri tersebut mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat, membiayai, dan mendidk ana-anak mereka hingga dewasa.

26

Pihak- pihak yang mempunyai hak dalam perawatan dan pengasuhan mempunyai urutan. Dimulai dari jalur perempuan (ibu), setelah itu baru pihak laki-laki (ayah), dan kakek sampai keatas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai kebawah, kemudian para paman dan anak-anaknya. Apabila semua urutan

24

Amir Syariffudin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, h.330

25

Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah,2019), h. 18

26

Muhammad Faisal, Skripsi, “HADHANAH ANAK DI BAWAH UMUR PASCA PERCERAIAN

(Studi Analisis Putusan Nomor. 1261/Pdt.G/2018/PA.Bgr. Nomor. 542/Pdt.G/2020/PA.Bgr dan

Nomor. 704/Pdt.G/2019/PA.JS), h. 22

(37)

22

diatas tidak ada atau pihak dari laki-laki tidak ada, maka Hadhanah dalam penguasaan atau kewajiban pemeritah.

Sebelum menentukan siapa pihak yang lebih berhak dalam hal Hadhanah, maka hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui anak yang akan menjadi Mahdun tersebut apakah sudah Mumayyiz atau belum. Anak yang sudah dianggap Mumayyiz apabila ia telah mampu makan, minum, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Pada Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa bahwa terjadi dalam hal perceraian, pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.

27

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 menjelaskan bahwa anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan Haadhanah dari ibunya. Bila ibunya meninggal, maka dapat digantikan oleh:

a. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke ibu;

b. Ayah;

c. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah;

d. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

f. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;

Urutan-urutan yang berhak melakukan Hadhanah dari kalangan perempuan menurut Ulama Fiqh adalah sebagai berikut:

a. Menurut Madzhab Hanafi, hak asuh anak berturut-turut dialihan dari ibu kepada:

1) Ibunya ibu 2) Ibunya ayah

3) Saudara-saudara perempuan sekandung 4) Saudara-saudara perempuan seibu

27

Wahyu Kuncoro, “Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”,

(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), h. 66-67

(38)

23

5) Saudara-saudara sperempuan seayah

6) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung 7) Anak perempuan dari saudara perempuan seibu

8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah

28

b. Menurut Madzhab Maliki, hak asuh anak berturut turut dialihkan dari ibu

kepada:

1) Ibunya ibu dan seterusnya keatas 2) Saudara perempuan ibu sekandung 3) Saudara perempuan ibu seibu

4) Saudara perempuan nenek dari pihak ibu 5) Saudara perempuan kakek dari pihak ibu 6) Saudara perempuan kakek dari pihak ayah 7) Ibu ibunya ayah

8) Ibu ibunya ayah dan seterusnya

29

c. Menurut Madzhab Syafi’I, hak asuh anak berturut-turut dialihkan dari ibu kepada:

1) Ibu

2) Ibunya ibu dan seterusnya hingga keatas itu mereka adalah pewaris- pewaris si anak

3) Ibu dari ibunya ayah hingga keatas itu mereka adalah pewaris-pewaris si anak pula

4) Saudara-saudara perempuan sekandung 5) Saudara-saudara perempuan seibu 6) Saudara-saudara perempuan seayah 7) Anak perempuan dari saudara seibu

8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah d. Menurut Madzhab Hambali, hak asuh anak berturut-turut dialihkan dari

ibu kepada:

28

Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, “Fiqh Wanita”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456

29

Peunoh Daly, “Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Dalam Kalangan Ahlusunnah dan

Negara-negara Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 87

(39)

24 1) Ibu

2) Nenek dari jalur ibu 3) Nenek dari jalur ayah 4) Kakek dan ibunya kakek

5) Saudara perempuan dari kedua orang tua 6) Saudara perempuan dari ibu

7) Saudara perempuan dari ayah 8) Bibi dari jalur ibu

9) Bibi dari jalur ayah 10) Bibinya ibu

11) Putrinya saudara laki-laki

12) Putri paman ayah dan kerabat yang paling dekat

30

Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan Ulama Fiqh tentang siapa yang berhak mendapat hak Hadhanah tidak jauh berbeda dengan Hukum Positive yang berlaku di Indonesia. Dimana intinya bahwa anak yang belum Mumayyiz, hak asuh nya jatuh kepada ibunya, dan Ibunya berkewajiban memelihara anak tersebut dengan dibantu bekas suami atau ayah dari anak tersebut dengan cara memenuhi nafkah sang anak sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

B. Teori Maslahah Mursalah

1. Pengertian Maslahah Mursalah

Dari segi Bahasa, Maslahah Mursalah terdiri dari dua suku kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Kata “al-maslahah” mempunyai kesamaan arti maupun wazannya dengan kata “al-manfa’at”.

31

Kata Al-Maslahah dapat diartikan dengan kebaikan, kemanfaatan, keselarasan, kepatutan, dan

30

Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 332-333

31

Ahmad Juaini Syukri Shofia, “Ilmu Ushul Fiqh”, h. 259

(40)

25

kepantasan.

32

Secara terminologi, para ulama Fiqh mempunyai pendapat masing-masing untuk kata al-maslahah. Menurut Al-Ghazali, al-maslahah mempunyai makna asli yaitu menarik atau mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindari kemudharatan.

33

Sedangkan Taufiq Yusul Al-Wa’i berpendapat bahwa segala sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat, baik manfaat yang diperoleh dengan cara mencari faedah-faedah atau kenikmatan-kenikmatan atau dengan cara menghindari atau menarik diri dari kerusakan, maka semua itu dapat dikategorikan sebagai maslahah.

34

Kemudian kata al-mursalah merupakan isim maf’ul (objek dari fi’il madhi’ (kata dasar) dalam bentuk tsulasi), yaitu لسر dengan penambahan huruf

“alif” diawalnya, sehingga menjadi لسرا. Secara etimologis artinya terlepas atau bebas.

35

Kata tersebut apabila digabungkan dengan maslahah memiliki maksud yakni terlepas dari dalil Al-Quran, as-sunnah, dan Ijma, akan tetapi tetap terkait kepada maqasid Syariah atau tujuan-tujuan Syara’.

36

Beberapa Ulama Fiqh memberikan definisi berbeda terkait Maslahah Mursalah, yaitu:

a. Menurut Al Ghazali, Maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan).

37

b. Prof Muhammad Abu Zahrah beliau menyebutkan definisi Maslahah Mursalah dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh ialah maslahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan Syariat Islam, dan tidak ditopang oleh

32

Nanda Huamairatuzzahra, Skripsi, “Habitual Residence Terhadap Anak Korban Perceraian Atas kawin Campur Perspektif Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 14

33

Asmawi, “Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010), h. 35

34

Taufiq Yusul al-Wai, “al-Bid ah wa al-Maslahah al-Mursalah: Bayanuhaa, Ta’siluhaa, wa Aqwal al Ulama fifaa, (Kuwait: Maktabah Daar at Turaaq, t.t). h. 241

35

Nanda Huamairatuzzahra, Skripsi, “Habitual Residence Terhadap Anak Korban Perceraian Atas kawin Campur Perspektif Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 15

36

Nur Asiah, “Istilah dan Aplikasi dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum, vol. 14, no.2, (Desember, 2016) h.150

37

Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: Logos, 1996), h. 114

(41)

26

sumber dalil yang khusus, baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahah tersebut.

38

c. Al Syatibi mendefinisikan Maslahah itu dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.

39

d. Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam karya beliau yang berjudul Pengantar Hukum Islam, beliau mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala yang merusak makhluk.

40

Dari beberapa definisi Maslahah Mursalah diatas, bisa ditarik kesimpulan tentang hakikat dari Maslahah Mursalah tersebut sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan bagi manusia.

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.

41

2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Yang menjadikan dasar bagi Ulama Hukum dalam mempergunakan Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah Syariah adalah sebagai berikut:

38

Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fikh”, cet, 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 427

39

Fadhillah Ahmad Nahrawi, Skripsi, “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam Mencegah Perkawinan Pada Usia Anak (Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap Maslahah Mursalah”, (Tangsel:

UIN Syarif Hidayatullah, 2018), h.43

40

Teungku Hasby Ash Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam”, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1987), h. 219

41

Amir Syarifuddin, “Ushul fiqh”, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 233

Referensi

Dokumen terkait

No. Sedangkan teknik analisis data untuk subjek ujicoba menggunakan skala Guttman yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Hasil Penelitian dan Pengumpulan Data

Kompetensi yang tercakup dalam unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya ditempat kerja

Dengan permasalahan yang ada yaitu tingkat komunikasi yang rendah antara karyawan dengan manajemen serta tidak fokusnya karyawan terhadap tanggung jawabnya, maka peneliti

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang bejudul “Pengaruh Persepsi Kemudahan Penggunaan, Persepsi Manfaat dan

4.2.4 Penggunan Produk Mudharabah pada Bank BNI Syariah di Jakarta Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada gambar 3 bahwa respon responden pada pengunaan produk

Dalam musyawarah yang dihadiri oleh Kepala Desa Wates, Kepala Desa Undaan Lor, serta beberapa warga yang tergabung dalam kelompok tani tersebut salah satunya menghadirkan

Pada penelitian ini untuk proyek risiko tinggi juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ade Setiawan, dkk karena dia menyebutkan bahwa pelaksanaan