• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Euthanasia merupakan kejahatan dalam KUHP Indonesia

Di Negara Indonesia saat ini mempunyai ketentuan hukum yang mengatur perbuatan Euthanasia, yaitu melalui pasal 344 KUHP. Penanganan Euthanasia itu sendiri jika dikaitkan dengan pasal 344 KUHP yang dimana jika dikelompokan termasuk kejahatan yang berhubungan dengan nyawa. Delik kejahatan atau Rechtsdelicten adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, seperti misalnya pembunuhan ataupun perncurian. Euthanasia di Indonesia sendiri jika dilihat secara hukum merupakan suatu pembunuhan yang diminta oleh si pasien kepada dokter. Berdasarkan dengan pasal 344 KUHP yang didalamnya terpenuhi unsur-unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Ketentuan Euthanasia tersebut sebenarnya belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hanya saja sampai detik ini hanya pasal tersebut yang mendekati dengan perbuatan Euthanasia. Bentuk kesalahan suatu tindak pidana yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang baik sengaja maupun tidak disengaja itu termasuk kedalam delik perbuatan Euthanasia yang dikelompokan kedalam delik kejahatan. Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa pembunuhan adalah adanya niat atau Mens Rea yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai.

47

Secara yuridis euthanasia belum diatur secara tegas dan jelas didalam hukum positif Indonesia termasuk dalam Undang-undang kesehatan dan Undang-undang Praktik Kedokteran. Jika melihat kembali dari pasal 344 KUHP yang mengatakan

“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Euthanasia dikatakan sebagai suatu kejahatan terhadap nyawa.

Euthanasia secara hukum merupakan tindakan pembunuhan yang dimana dilakukan atas permintaan dari si korban. Berdasarkan dengan adanya rumusan pasal 344 KUHP tersebut menghilangkan nyawa seseorang merupakan suatu tindakan yang dianggap sebagai suatu kejahatan yang diancam dengan pidana. Tindakan Euthanasia baik dalam KUHP maupun dalam hukum positif yang ada di Indonesia dilarang untuk dilakukan. Akan tetapi secara eksplisit belum ada penjelasan yang jelas mengenai tindakan euthanasia di Indonesia itu sendiri. Banyaknya pemikiran yang mendukung dan menolak tindakan euthanasia mengakibatkan tindakan ini menjadi suatu tindakan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak. Sehingga dengan begitu ketika di Indonesia itu sendiri terdapat kasus Euthanasia banyak para ahli yang masih mempertimbangkan berdasarkan dengan hukum positif yang ada serta pasal 344 KUHP yang dimana jika dilihat dari rumusan pasal tersebut Euthanasia termasuk suatu kejahatan.

Dengan adanya penerapan pasal-pasal dalam KUHP tersebut banyak kasus Euthanasia yang akhirnya menggunakan pasal-pasal yang selama ini dianggap dapat menyelesaikan permasalah Euthanasia, yang dimana pasal tersebut merupakan pasal-pasal Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa yang terdiri dari Kejahatan terhadap Tubuh atau penganiayaan yaitu pasal 351 KUHP sampai pasal 361 KUHP,

48

tentang Kejahatan terhadap Nyawa atau Pembunuhan pasal 338 KUHP sampai Pasal 350 KUHP. Permasalahan Euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang Pembunuhan dilakukan karena permintaan si korban dan Pasal 345 KUHP tentang bantuan bunuh diri. Disisi lain melakukan tindak pidana Euthanasia tidak hanya dari sisi pasien saja di sisi dokter juga tentunya akan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 344 KUHP tersebut. Menjatuhkan pidana terhadap seorang dokter yang melakukan sebuah tindakan Euthanasia tidak menjamin tindakan Euthanasia tersebut dapat berkurang. Jika dilihat secara asas legalitas, tindakan Euthanasia belum ditemukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur Euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang dimana mewakili kejahatan terhadap tubuh bukan tindakan Euthanasia.

2. Legalitas euthanasia menurut Hak Asasi Manusia

Jika dilihat berdasarkan dengan UUD 1945 mengenai Hak Asasi Manusia pasal 28a yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Dengan adanya penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa Euthanasia sangatlah bertentangan dengan pengaturan yang dijleaskan. Berdasarkan dengan penjelasan yang dijelaskan oleh pasal tersebut Berkaitan dengan adanya hak untuk hidup tersebut kemudian munculah suatu tuntutan yang mengakui adanya juga “hak mati” atau yang biasa kita kenal merupakan Euthanasia.

49

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) ini yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights yang juga memuat mengenai hak untuk hidup yaitu dalam Pasal 6 yang berbunyi, ”Setiap manusia mempunyai hak hidup, dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”, yang juga berkaitan dengan masalah euthanasia. Banyak yang memberikan penolakan terhadap perbuatan Euthanasia dari segi agama maupun Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan tentang adanya hak asasi manusia walaupun hal tersebut tidak dijelaskan secara terperinci. Jika dilihat dari semua hak yang ada hanya “hak mati” yang tidak dijelaskan didalamnya. Pandangan bagi orang yang menentang dengan adanya prinsip Euthanasia pastinya akan berbenturan dengan argumentasi yang jika kita kaitkan dengan hukuman mati yang diberikan oleh seorang hakim. Jika kita lihat perbandingan dari kedua peristiwa tersebut seseorang yang diutuduh kemudian dijatuhi hukuman mati oleh hakim dan masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya atau dengan kata lain ia masih ingin menggunakan “hak untuk hidup” dengan kata lain hakim disini telah memaksa kematian seseorang yang sebenarnya bisa dibilang masih ingin hidup. Sedangkan dalam perbuatan Euthanasia itu sendiri dilakukan atas dasar permintaan pasien tersebut yang diyakini perbuatan tersebut merupakan satu-satu nya jalan untuk mengakhiri penderitaannya yang memang sudah tidak tertahankan. Dengan kata lain berdasarkan dengan dua perbandingan yang ada diatas tersebut bisa dikatakan ketika orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh seorang hakim, dilain sisi

50

orang yang sudah tidak kuat menahan sakit yang diderita dipaksa untuk terus untuk hidup walaupun sebenarnya penderitaan tersebut akan semakin bertambah.

Di dalam perkembangannya Euthanasia di masyarakat memiliki nilai-nilai hak asasi manusia yang hidup di masyarakat yang diantaranya, Hak memperoleh layanan medis; Hak unuk memperoleh perawatan paliatif; Hak pasien untuk menerima dan menolak seluruh perawatan medis; Hak pasien untuk menghentikan perawatan medis; Hak untuk memilih alternatif pengobatan; Hak untuk memilih pendapat dari dokter ahli lain tentang keadaan diri pasien (second opinion); Hak untuk memperoleh informasi (tentang keadaan diri pasien); Hak untuk tidak disiksa; Hak untuk menentukan nasib; Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; Hak untuk kemerdekaan berpikir dan hati nurani. Maka dari itu Euthanasia itu sendiri sebenarnya merupakan wujud dari Hak Asasi Manusia untuk menentukan pilihan mereka sebagai kemerdekaan pikiran dan hati nurani sesuai dengan pasal 28I UUD 1945 dan juga merupakan wujud dari hak asasi manusia yang dimana memiliki hak untuk tidak disiksa sesuai pasal 28G UUD 1945.

3. Pengaturan Euthanasia di Indonesia Diperbaharui

Melihat berdasarkan dengan rumusan Pasal 344 KUHP jika kita melihat dari perbuatan Euthanasia itu sendiri apakah sudah dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada, sehingga perbuatan Euthanasia tersebut dapat dianggap sebuah tindakan yang mengancam resiko medis terhadap pasien tersebut Maka dari itu, perlu adanya sebuah perubahan dalam sistem pengaturan yang ada di Indonesia. Jika dilihat berdasarkan dari pandangan medis, Euthanasia itu bukan sebuah tindakan yang jahat melainkan sebuah tindakan medis yang diambil sebagai

51

alternatif akhir yang dimana memuat hak dari seorang pasien selama menjalani perawatan. Hal ini berkaitan biasanya dengan seorang pasien yang sudah memasuki keadaan yang dimana didalam ilmu medis disebut in a persistent vegetative state (mati tidak, hidup pun tidak). Tindakan ini pun tidak semata-mata dokter lakukan terhadap pasien. Didalam dunia medis ada istilah mengenai Informed consent. Dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dijelaskan apa itu informed consent, yang tercantum adalah persetujuan, menerima, atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima dan memahami informasi mengenai suatu tindakan yang akan dokter lakukan. Informed consent ialah suatu hal yang mutlak yang dilakukan oleh seorang dokter sebelum mengambil tindakan medis kepada pasien. Hal ini pun diatur didalam Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Informed consent ini dilakukan guna menjelaskan bagaimana keadaan pasien, tindakan apa saja yang harus dokter lakukan, serta resiko apa saja yang akan didapatkan selama dokter melakukan tindakan kepada pasien.

Dengan begitu untuk masa mendatang, dalam rangka ius constituendum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHP tersebut, perlu untuk dirumuskan kembali, agar dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam hal pembuktiannya. Hal tersebut dikarenakan Euthanasia bukanlah sebuah kejahatan yang dimana dirumuskan sesuai dengan Pasal 344 KUHP. Euthanasia berbeda dengan kejahatan yang tertulis di pasal 344. Euthanasia merupakan suatu perbuatan yang dilakukan guna mengurangi atau mengakhiri rasa sakit yang diderita oleh pasien dengan suatu keadaan tertentu atau terminal tertentu. Sebab Euthanasia memiliki beberapa alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan/dasar penghapusan pidana yaitu : Asas legalitas; Keadaan darurat

52

(Overmacht); Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang terletak di luar orang itu (Uitwendig) : melaksanakan perintah jabatan sebagai dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien; Actus Reus Mens Rea dan Actus Non Facit Nisi Mens Sit Rea.

Melihat dari hasil simposium euthanasia tahun 1984 yang diselenggarakan oleh Majalah Higina dijelaskan bahwa sebenarnya Euthanasia telah banyak terjadi di Indonesia hanya saja kasus euthanasia yang sering terjadi yaitu Euthanasia pasif dan tidak pernah diajukan ke pengadilan. Selain daripada itu tidak hanya dalam rumusan pasal 344 KUHP saja, Euthanasia dapat dilakukan berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang nanti nya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan hal tersebut. Pertimbangan tersebut berisikan yang pertama kondisi pasien tersebut memang sudah tidak dapat diharapkan kembali akan kehidupannya menurut ukuran medis yang dimana dinyatakan oleh dokter yang merawat.

Selanjutnya usaha penyembuhan yang dilakukan sudah tidak ada potensi lagi dalam membuat si pasien menjadi sehat kembali dan yang terakhir pasien sudah dalam keadaan yang dalam ilmu medis disebut in a persistent vegetative state (mati tidak, hidup pun tidak).

4. Perbandingan Hukum Yang Digunakan Untuk Praktek Euthanasia.

Berdasarkan dengan hasil perbandingan yang sudah dilakukan, negara Amerika adalah negara yang sudah melegalkan praktek Euthanasia. Meski hanya negara bagian saja, hal ini tentu nya memiliki suatu landasan. Oeregeon death with dignity act, dikatakan bahwa seorang pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi dapat mengakhiri hidupnya. Berdasarkan dengan landasan tersebut akhirnya para dokter

53

yang berada disana pun membuat beberapa syarat yang memang dapat dilakukan jika seorang pasien memutuskan untuk melakukan praktek Euthanasia. Pelaksanaan Euthanasia, di negara bagian Amerika Oregion pun pelaksanaan euthanasia sangat diperketat, dengan syarat-syarat tertentu antara lain:

- Orang yang ingin diakhiri hidunya adalah orang yang benar-benar sakit dan tidak dapat diobati misalnya Kanker.

- Pasien berada dalam keadaan dimana kemungkinan hidupnya kecil dan hanya menunggu waktu kematian.

- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaanya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin,

Pihak yang berhak melakukan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilakukan euthanasia.

Di sisi lain juga jika dikaitkan dengan Instrumen Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak mendapatkan hak untuk bebas dari rasa sakit di hidupnya.

Dengan begitu praktek Euthanasia pun sebenarnya dapat dilakukan saja asalkan sesuai dengan syarat dan juga penilaian dari para dokter ahli yang memang paham dan mengerti terkait penderitaan si pasien tersebut. Lain daripada itu juga Praktek Euthanasia juga bisa dikatakan sebagai wujud dari bentuk Hak Asasi Manusia, yang dimana si pasien dapat menentukan pilihan mereka sebagai kemerdekaan pikiran dan hati nurani sesuai dengan pasal 28I UUD 1945 dan juga merupakan wujud dari hak asasi manusia yang dimana memiliki hak untuk tidak disiksa sesuai pasal 28G UUD 1945.

Dokumen terkait