• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, ANALISIS. Kebijakan hukum pidana merupakan keseluruhan dari adanya peraturan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, ANALISIS. Kebijakan hukum pidana merupakan keseluruhan dari adanya peraturan yang"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, ANALISIS

A. KERANGKA TEORI

1. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Sebelum pembahasan mengenai kebijakan hukum pidana, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebijakan hukum pidana.

Kebijakan hukum pidana merupakan keseluruhan dari adanya peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, dan juga bagaimana sanksi yang tepat dijatuhkan terhadap pelaku yang dimana dengan tujuan untuk melakukan penanggulan kejahatan. Hukum pidana secara umum mengandung setidaknya dua jenis norma, yakni norma yang harus selalu dipenuhi agar suatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari suatu tindak pidana.

Secara terinci undang-undang hukum pidana telah mengatur tentang:

a. bilamana suatu pidana dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku,

b. jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut c. untuk berapa lama pidana dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda

yang dapat dijatuhkan, dan

d. dengan cara bagaimanakah pidana harus dilaksanakan

Tentu saja masalah kebijakan hukum pidana bukan hanya semata-mata pekerjaan dalam pembuatan undang-undang saja melainkan dalam pembuatan perundang-undangan tersebut dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik, juga memerlukan konseptual yuridis faktual yang dapat berupa

(2)

12

konseptual sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula konseptual komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan konseptual integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Marc Ancel menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen yaitu

“Criminology”, “Criminal Law” dan “penal policy” dikatakannya bahwa “Kebijakan hukum pidana atau penal policy” adalah ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis dalam merumuskan undang-undang, menerapkan undang-undang dan melaksanakan putusan pengadilan.12 Selain itu juga Marc Ancel memberikan definisi penal policy yang diistilahkan sebagai kebijakan hukum pidana adalah sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, yang mana peraturan hukum positif (the positive rules) dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan, dalam definisi Marc Ancel adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana.13 Maka dari itu penerapan hukum pidana dapat benar-benar dirasakan bila adanya keadilan bagi masyarakat, dan juga penyelenggaraan dan pelaksanaan peradilan tersebut akan berpegangan pada pedoman yang baik.

Senada dengan Marc Ancel, Prof. Sudarto memberikan pengertian “Penal Policy” sebagaimana dikutip oleh barda Nawawi Arief ialah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;14

12 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, 2008, hlm 23

13 Ibid, Hlm 26

14 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159;

(3)

13

b. Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakan.15

Pendapat lainnya berasal dari A. Mulder, “Strafrechtspolitiek atau Penal Policy”

ialah garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.16

Berdasarkan dengan adanya pendapat yang dituangkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “Kebijakan Hukum Pidana” atau “Penal Policy” ialah suatu peraturan yang dimana dirumuskan juga ditetapkan oleh badan yang berwenang yang dimana menjadi suatu pedoman atau acuan (Hukum Positif) bagi masyarakat ataupun bagi para penegak hukum yang tentunya bertujuan untuk mengurangi atau mencegah atau menanggulangi suatu kejahatan yang ada atau dengan kata lain suatu tindak pidana. Melakukan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana juga hakikatnya merupakan bagian usaha dari penegakan hukum.

15 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 20

16 Barda Nawawi Arief, Op. cit., hlm 27;

(4)

14

2. EUTHANASIA

a. PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death or easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Berdasarkan KBBI Euthanasia merupakan tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing).

Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.17

Dalam Kongres Hukum Kedokteran sedunia di Gent (Belgia) pada tahun 1979, dirumuskan beberapa kategori yang berkaitan dengan proses kematian pasien yang ditangani dokter, yakni:

(1) No assistance in the process of death without intention to shorten life, contohnya kematian alamiah;

(2) Assistance in the process of death without intention to shorten life, di mana terdapat unsur kelalaian pihak dokter;

(3) No assistance in the process of death with intention to shorten life, euthanasia pasif termasuk kategori ini; dan

17 Budiyanto, A, et.al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran Indonesia:1997: h. 25-8

(5)

15

(4) Assistance in the process of death with intention to shorten life, hal ini termasuk ke dalam euthanasia aktif.

Hingga saat ini, ketentuan tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti dan masih tetap berlaku.

Sedangkan menurut blacks law dictionary sendiri Euthanasia memiliki arti sebagai:

“The act or practice of killing or bringing about the death of a person who suffers from an incurable disease or condition, esp. a painful one, for reasons of mercy. Euthanasia is sometimes regarded by the law as second-degree murder, manslaughter, or criminally negligent homicide.”

Kemudian sejak abad 19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:18

1. Pemakaian secara sempit

Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan

18 Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2010, Hal. 57.

(6)

16

penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku.

2. Pemakaian secara lebih luas

Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.

3. Pemakaian paling luas

Dalam pemakaian paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.

Menurut kode etik kedokteran Indonesia, terminologi kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:19

a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir.

b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang.

c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Sedangkan menurut gezondheidsraad belanda, dalam terminology kata euthanasia berarti suatu perbuatan yang dimana dengan sengaja memperpendek

19 Ibid, hal 57

(7)

17

hidup atau dengan sengaja tidak berbuat apapun untuk memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang kemudian bertanggungjawab kepadanya. Kemudian dilanjut menurut van Hattum, euthanasia merupakan sikap mempercepat proses kematian pada suatu penderitaan yang kemudian tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud tujuan untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam mengahadapi kematiannya dan untuk membantu keluarga menghindarkan diri supaya tidak melihat penderitaan korban dalam menghadapi kematiannya.

Berdasarkan dengan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu perbuatan mengakhiri kehidupan seorang penderita yang dilakukan atas dasar belas kasihan karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau penyakit yang diderita sudah sangat kronis. Hal ini dilakukan biasanya atas permintaan pasien itu sendiri, pihak keluarga, atau dokter demi mengurangi rasa sakit yang diderita oleh pasien atau mengurangi penderitaan keluarga pasien dalam menghadapi kematiannya.

b. JENIS-JENIS EUTHANASIA

Euthanasia dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang

(8)

18

sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.20

● Euthanasia dilihat dari cara pelaksanaannya.

Berdasarkan dengan cara sudut pelaksanaannya maka euthanasia digolongkan menjadi 2 bagian:

- euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan obat/suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.

Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai stadium akhir yang menurut para dokter sudah tidak mungkin lagi sembuh atau bertahan lama.

- euthanasia pasif adalah tindakan menghentikan pengobatan pada pasien yang sakit parah, yang secara medis sudah tidak mungkin dapat lagi disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.21

● Euthanasia dilihat dari segi permohonan atau keinginan pasien

Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) membagi eutha-nasia dalam empat bentuk yaitu:

20 Djaman Andi Nirwanto, dan Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi dan Hukum Pidana, GhaliaIndonesia, Jakarta, 1984, hal. 54.

21 Cecep Tribowo, Etika & Hukum Kesehatan, Yogyakarta:Nuha Medika, 2014, hal. 200.

(9)

19

- Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia). Pasien meminta, memberi ijin atau persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.

- Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) Membiarkan pasien mati tanpa sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan perawatan yang maemperpanjang hidup.

- Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing) Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan kematian.

- Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing) Tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.

● Euthanasia dilihat dari sudut pemberian izin

Berdasarkan penjelasan Ketut Gede Wijaya yang ditulis didalam makalahnya yang disampaikan pada seminar Pengkajian Hak untuk Mati bagi Masyarakat Indonesia yang dikutip oleh Petrus Yoyo Kardi, membagi euthanasia menjadi empat bagian:22

- Pertama, aktif atas kehendak yang bersangkutan (active voluntary euthanasia) adalah apabila yang bersangkutan meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang lain mengambil tindakan- tidakan untuk mempercepat kematian orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya karena sudah tidak sanggup menderita sakit

22 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manusia, (Yogyakarta: Media Pressendo, 2001), hlm. 31.

(10)

20

berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh, sedang dokter atau orang lain merasa kasihan dan tidak tega atas penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya tanpa rasa sakit.

- Kedua, pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia) adalah bila orang yang bersangkutan menghendaki segala usaha pertolongan untuk memperpanjang hidupnya dihentikan sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah tidak tahan lagi menahan penderitaan yang berkepanjangan.

- Ketiga, aktif dengan tanpa kehendak yang bersangkutan (active non- voluntary euthanasia) adalah bila orang yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena penyakitnya sudah tidak tertolong lagi.

- Keempat, pasif tanpa kehendak yang bersangkutan (passive non- voluntary euthanasia), yakni bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah, sehingga tidak mampu lagi untuk menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain karena kasihan, mengakhiri hidup orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit sehingga orang tersebut bebas dari penderitaannya.

● Euthanasia dilihat dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya euthanasia, antara lain yaitu:

(11)

21

a. Pembunuhan berdasaran belas kasihan (mercy killing) b. Euthanasia hewan.

c. Euthanasia berdasarkan bantuan dokter.23

Berdasarkan dengan bentuk-bentuk yang sudah dijelaskan diatas tentu saja dalam melakukan tindakan euthanasia pasti memiliki unsur atau kriteria pasien dapat menggunakan tindakan tersebut. Jika menurut Kartono Muhammad, pusat penggerak jantung dan paru-paru yang menjadi pembangun dalam tubuh manusia terletak didalam batang otak. Maka dari itu jika batang otak sudah mati dan tidak berfungsi dapat dinyatakan manusia itu sudah mati. Dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan mati otak. Istilah mati otak itu sendiri merupakan suatu definisi yang menunjukan kematian manusia yang ditandai dengan hilangnya fungsi kerja otak secara permanen. Berdasarkan dengan penjelasan yang dijabarkan diatas disimpulkan bahwa euthanasia dalam segala macam bentuk dan jenis yang ada pada inti nya merupakan suatu perbuatan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja yang dimana dilakukan demi mengurangi rasa sakit, bahkan mempermudah kematian seorang pasien yang sudah tidak memiliki harapan untuk sembuh agar tidak memiliki rasa sakit yang berkepanjangan.

3. KETENTUAN EUTHANASIA DI BEBERAPA NEGARA

23 http://hukum-kesehatan.web.id, (07 April 2022)

(12)

22

Pelaksanaan euthanasia itu sangatlah berhubungan dengan kebebasan manusia dalam menentukan sendiri kapan mereka menginginkan dan bagaimana mereka mati yang dimana dilakukan demi mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh rasa sakit yang berkepanjangan yang dialami oleh si pasien. Aturan hukum serta ketentuan yang berlaku di setiap negara tentu saja berbeda. Seiring dengan adanya perubahan norma dan budaya serta medis yang semakin maju yang berlaku di setiap negara tersebut. Di Indonesia sendiri pelaksanaan euthanasia masih sangat di larang untuk dilakukan dikarenakan adanya pertentangan dengan norma serta budaya yang ada.

Tapi beda hal nya dengan beberapa negara yang justru melegalkan pelaksanaan euthanasia.

a. Indonesia

Pengaturan terkait euthanasia di Indonesia jika kita melihat berdasarkan dengan kode etik kedokteran di Indonesia Pasal 7d tentang kewajiban umum seorang dokter diharuskan atau bahkan diwajibkan untuk mempertahankan serta menjaga dan memelihara kehidupan manusia atau pasien. Terlepas seberapa gawat kondisi penyakit yang di derita oleh si pasien, seorang dokter tetap harus melindungi dan juga mempertahankan pasien tersebut. Selain itu juga seorang dokter juga tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan untuk mengakhiri hidup atau mempercepat kematian si pasien.

Dilihat dari pemahaman yang terdapat dari pasal 7d kode etik kedokteran Indonesia dapat dikemukakan bahwa berdasrkan dengan etik dan juga moral, perbuatan euthanasia itu dilarang untuk dilakukan. Hal ini juga dikatakan oleh Oemar Senoadji:

(13)

23

“Menurut kode etik itu sendiri, maka di Indonesia sebagai suatu negara yang beragama dan berpancasila kepada kekuasaan mutlak dari pada Tuhan yang Maha Esa, sedangkan dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhirinya. Karenanya tidak menginginkan Euthanasia dilakukan oleh seorang dokter karena antara lain dipandang bertentangan dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.”24

Melihat dari penjelasan yang dituliskan sudah terlihat bahwa di Indonesia Euthanasia merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, yang dimana perbuatannya dapat mengakibatkan matinya orang lain, maka di Indonesia sendiri Euthanasia termasuk tindak pidana pembunuhan, yang kita ketahui semua tindakan tersebut diatur dalam pasal 344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.

b. Belanda

Belanda telah melegalkan adanya pelaksanaan praktek euthanasia yang tentunya harus melewati beberapa prosedur yang memang sudah dibuat dan diatur didalamnya. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda Menerbitkan Undang- Undang yang mengizinkan Euthanasia yaitu wet van 12 April 2001,

“Hondende toetsing van levensbeendiging op verzek en hulp bij lijkberzorging atau Review prosedures for the termination of life on reguest

24 Oemar Sesno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm. 78.

(14)

24

and assisted suicide and amandement of the Criminal code and the Burial and Crimation Act.”

Kemudian Undang-undang ini mulai dinyatakan efektif per tanggal 1 april 2002 yang dimana kemudian menjadikan Belanda sebagai negara pertama yang melegalkan praktek euthanasia. Akan tetapi sebenarnya hal ini pun bersinggungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda. Hal ini dikarenakan secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan dan dianggap sebagai tindakan criminal/. Kemudian dimulai pada akhir tahun 1993 seluruh dokter harus melapor semua kasus yang berkaitan dengan euthanasia dan bunuh diri berbantuan tersebut guna para hakim menilai apakah tindakan euthanasia yang dilakukan oleh dokter tersebut benar-benar menggunkan prosedur yang di terapkan. Kemudian di tahun 2002 dilakukan kodifikasi oleh Undang-Undag Belanda terhadap sebuah konvensi yang dimana sudah berusia 20 tahun. Dimana seorang dokter yang telah melakukan praktek euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. Yang dimana praktek euthanasia tersebut tentunya dilakukan atas dasar penderitaan berkelanjutan dan tak tertahankan lagi merupakan sebuah perbuatan legal. Dan selanjutnya juga di dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pasien harus dalam keadaan tenang dan juga dokter pun harus mendapatkan opini kedua, dan yang berhak memberikan hanyalah dokter bukan keluarga pasien.

Kemudian dokter yang memang langsung berhubungan dalam membantu proses praktek euthanasia tersebut akan tetap dianggap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya saja yang sudah dilakukannya itu tidak lagi dihadapkan dengan pengadilan dikarenakan euthanasia sudah bukan lagi suatu

(15)

25

tindakan criminal, sang dokter pun akan dihadapkan dengan suatu panel informal, yang terdiri dari ahli hukum, ahli medis, dan ahli ethis.

Dengan adanya perbuatan mengakhiri hidup seperti ini kemudian belanda pun menjadi negara yang terlalu bebas dan malah berpotensi bahaya.

Dan para pakar hukum Belanda pun mengatakan bahwa negara belanda menganut “active euthanasia” yang dimana secara hukum permohonan seseorang yang sangat kompeten untuk mengakhiri hidupnya dapat dikabulkan.

Berdasarkan Dutch Penal Codes Article 293, 294 kegiatan Euthanasia atau

“assisted suicide” dilindungi oleh hukum dengan beberapa panduan yang ditetapkan oleh pengadilan di Rotterdam tahun 1981 sebagai berikut:

- Pasien harus dalam kondisi nyeri yang tidak tertahankan.

- Pasien harus dalam keadaan sadar.

- Permintaan mengakhiri hidup harus dilakukan secara sukarela.

- Pasien harus diberikan alternatif selain Euthanasia dan diberi waktu sebelum Euthanasia dilakukan.

- Tidak ada lagi solusi logis yang bisa dijalani.

- Kematian pasien tidak menimbulkan penderitaan yang tidak diinginkan bagi yang lain.

- Harus ada lebih dari satu orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan Euthanasia.

- Hanya dokter yang dapat melakukan Euthanasia terhadap pasien.

c. Amerika Serikat

(16)

26

Negara amerika merupakan negara penganut system hukum Anglo Saxon yang dimana secara tegas melarang adanya pemberlakuan euthanasia baik itu pasif maupun aktif, hal itu dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi di salah satu negara bagian di Amerika yaitu Oeregeon euthanasia merupakan suatu hal yang legal, hal ini tentu nya memiliki suatu landasan. Oeregeon death with dignity act, dikatakan bahwa seorang pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi dapat mengakhiri hidupnya, Pelaksanaan Euthanasia, di negara bagian Amerika Oregionpun pelaksanaan euthanasia sangat diperketat, dengan syarat-syarat tertentu antara lain:

- Orang yang ingin diakhiri hidunya adalah orang yang benar-benar sakit dan tidak dapat diobati misalnya Kanker.

- Pasien berada dalam keadaan dimana kemungkinan hidupnya kecil dan hanya menunggu waktu kematian.

- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaanya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin,

- Pihak yang berhak melakukan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilakukan euthanasia.

Semua persyaratan tersebut harus dapat dipenuhi baru euthanasia dapat dilaksanakan.

d. Australia

(17)

27

Di negara Australia, bagian Northern Territory sebenarnya merupakan tempat pertama di dunia pengaturan undang-undang yang memperbolehkan euthanasia dan juga bunuh diri berbantuan, meskipun waktu yang berjalan tidak terlalu lama. Kemudian di tahun 1995 Northern Territory mendapatkan undang- undang yang dimana disebut Right of the Terminally II Bill (Undang-undang tentang Hak Pasien Terminal) dan dari sini lah seorang pasien yang mengidap penyakit kanker prostat dapat mengakhiri hidupnya lewat bantuan Euthanasia.

4. CONTOH KASUS EUTHANASIA

Euthanasia sendiri pernah dilakukan di setiap rumah sakit manapun, salah satu nya rumah sakit katolik yang berada di Surabaya. Setelah dilakukannya proses pengamatan dalam kurun waktu 5 tahun diantara tahun 2011-2015 beberapa alasan keluarga dan dokter tersebut melakukan tindakan euthanasia yang diantara nya 41 pasien tersebut tidak mempunyai harapan hidup (kualitas hidup rendah), 65 pasien tidak dapat membiayai rumah sakit (factor ekonomi) karena keadaan pasien yang tidak memungkinkan untuk dirawat dengan peralatan medis dengan waktu yang singkat, 22 orang pasien oleh keluarga dan dokter rumah sakit merasa kasihan dengan penderitaan pasien (faktor kemanusiaan) karena pertimbangan sakit yang sulit disembuhkan.25

25 Berdasarkan dokumen pasien rumah sakit katolik, di Surabaya, data tahun 2015 yang didapatkan dari jurnal Gendrayani Poerbowati, Dr. Pudji Astuti. S.H., M.H., Legalitas Euthanasia Dari Segi Medis Dan Hukum Positif Di Indonesia, Volume 3, 2016.

(18)

28

Salah satu contoh kasus Euthanasia yang dialami oleh Rudi Hartono yang dimana suami dari Siti Julaeha menyatakan bahwa keputusananya untuk melakukan permohonan euthanasia merupakan hal yang tepat. Hal ini membuat Rudi Hartono bersama dengan keluarga besarnya meminta kepada pihak Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan untuk memohonkan terkait euthanasia. Berdasarkan penuturannya ini, Rudi mengatakan bahwa ini sudah menjadi kesepakatan dirinya bersama dengan keluarga besar istri nya. Rudi mengatakan juga bahwa dirinya tidak mau melihat jika istrinya terus-terusan tersiksa dengan alat-alat yang terpasang di tubuhnya.

Keputusan yang diambil oleh Rudi ini semakin kuat dengan adanya pernyataan dari salah satu dokter di RSCM yang menyatakan bahwa Siti Julaeha istri dari Rudi Hartono sudah mengalami keadaan vegetative state. Yang dimana menurut dokter tersebut kemungkinan untuk sembuh pun sudah sangat tipis. Kondisi Siti pada saat itu pun tidak ada perubahan sejak sebulan dia mengalami perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Bahkan tubuh sang istri pun sudah habis yang tersisa tinggal tulang, dan selama itupun Siti tidak pernah sadar. Tubuhnya sempat dilakukan proses perlubangan dengan bor di sekitar dada dan juga iga sebelah kanan tubuh istirnya guna memudahkan Siti dalam proses bernapas. Siti Julaeha mulai terbaring dengan kondisi seperti itu setelah melakukan operasi kandungan yang dilakukan di Rumah Sakit di Jakarta Timur, pada 6 November 2004. Berdasarkan penuturan Sitorus, operasi yang dilakukan oleh Siti Julaeha atas dasar diagnose dokter yang mengatakan bahwa Siti mengalami hamil diluar kandungan. Dari situlah Siti tidak pernah kembali bangun seusai operasi tersebut dilakukan, karena menurut pernyataan yang diberikan

(19)

29

juga, pada saat operasi berlangsung oksigen sempat tidak mengalir ke pusat saraf otak selama 30 menit sehingga terjadilah kerusakan pada batang otak.26

Kemudian pada bulan Februari 2005 Rudi Hartono bersama dengan keluarga Siti Julaeha resmi mengajukan permohonan euthanasia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Rudi Hartono menyampaikan surat permohonan tersebut dan diterima oleh I Made Karna, S.H.

dimana ia pun didampingi oleh kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan diantaranya Pundrat Adriansyah, S.H. Keputusan ini diambil berdasarkan seluruh keputusan keluarga besar dari kedua belah pihak. Pengajuan ini didasari dan dibuat oleh Rudi Hartono atas ketidakmampuan medis guna mengatasi dampak dari perbuatan malpraktik akibat dari operasi yang sebelumnya dilakukan di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Menyikapi adanya permohonan yang dilakukan oleh Rudi Hartono ketua Persaudaraan Korban Sistem Kesehatan Indoneia, Rudi Hartono menegaskan bahwa yang dilakukannya itu merupakan suatu hal yang jauh lebih baik daripada harus terus berkutat dengan penderitaan. Ditambah lagi dengan kondisi Siti yang semakin tidak ada perubahan membuat dirinya harus dipindahkan ke bangsal kelas III RSCM Jakarta Pusat, karena dokter pun sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Permohonan yang dilakukan oleh Rudi Hartono ini juga dilakukan berdasarkan dengan pernyataan dari dokter neurology yang menyatakan bahwa kondisi pasien saat itu sudah tidak dapat kembali ke keadaan semula seperti kondisi sebelum dia mengalami kelumpuhan atau vegetative state. Surat permohonan tersebut

26 Tempo, “ Suami Siti Julaeha Menilai Euthanasia Adalah Keputusan Terbaik”, https://www.tempo.co diakses pada 14 April 2022, pukul 22.55 WIB.

(20)

30

ditembuskan juga kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Kesehatan, Ketua Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan dan Ketua Umum Persaudaraan Sistem Kesehatan. Akan tetapi surat yang dimohonkan belum bisa dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa lembaga pengadilan tidak dengan mudah begitu saja dapat mengeluarkan penetapan tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut terhadap suatu perkara yang diajukan oleh pemohon dengan segala alat bukti yang sudah ditetapkan sebagai pendukung dalil-dalil permohonannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Ditambah lagi surat permohonan yang diajukan tersebut merupakan surat permohonan perorangan biasa yang bisa dikatakan belum dapat dikatakan sebagai surat permohonan yang seharusnya pengajuannya harus melalui prosedur administrasi peradilan yang berlaku Keluarga Siti Julaeha pun sudah membuat surat tembusan untuk Presiden Republik Indonesia, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Kesehatan, Ketua Pendiri LBH Kesehatan, Ketua Umum Persaudaraan Sistem Kesehatan, dan Para Advokat dari Kantor LBH Kesehatan Hasil Penelitian .

Selain itu juga kasus Euthanasia yang terjadi di Indonesia yaitu pengajuan uji Materi pasal 344 KUHP Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dimana hal ini diajukan oleh Ignatius Ryan Tumiwa. Hal ini dia lakukan lantaran dia sudah sangat depresi dengan hidup nya yang menurut beliau sudah sangat berat. Akan tetapi pengajuan tersebut di tolak oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikemukakan kembali oleh Mahkamah Konstitusi melalui Ketetapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XII/2014. Hal ini dijelaskan bahwa meskipun Ryan tetap memohonkan pasal tersebut untuk diuji masih banyak pasal yang berkaitan dengan pasal tersebut yang dimana adanya larangan untuk mengakhiri hidup seseorang.

(21)

31

Adapun dokter yang melakukan akan mendapatkan sanksi atau hukuman atas perbuatannya tersebut.

5. ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN EUTHANASIA BERDASARKAN PASAL 48 KUHP

Perbuatan Euthanasia merupakan sebuah perbuatan menghilangkan nyawa seseorang, dan di dalam KUHP hal ini disebut sebagai pembunuhan. Perbuatan Euthanasia ini pun merupakan sebuah rangkaian atau tindakan yang dimana mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan begitu konsekuensi dari adanya kematian tersebut jelas tidak diperbolehkan oleh undang-undang yang dimana hal ini sengaja dilakukan dan membuat nyawa seseorang hilang. Didalam doktrin sebuah konsekuensi yang dilarang atau tidak diharapkan oleh undang-undang dikenal sebagai konstitutif gevolg atau sebagai konsekuensi konstitutif. Pada pasal 48 KUHP menyatakan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam situasi seperti ini pelaku tindak pidana tidak dapat melakukan hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepada pelaku. Kemudian daripada itu Perbuatan Euthanasia itu sendiri jika dilihat berdasarkan dengan pandangan objektif profesi medis, dan etika medis dapat dikatakan sebagai alasan penghapus pidana yang dimana dalam pranata hukum tersebut perilaku yang terjadi dalam perbuatannya merupakan keadaan darurat yang meliputi overmacht (daya paksa) yang dimana terdapat dalam pasal 48 KUHP.

Praktek Euthanasia merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan nyawa seseorang dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan

(22)

32

untuk hidup/sembuh lagi atau pasien sudah dalam keadaan yang dalam ilmu medis disebut in a persistent vegetative state (mati tidak, hidup pun tidak). Dalam kondisi seperti ini lah dokter dapat melakukan tindakannya guna mengurangi rasa sakit yang diderita oleh si pasien. Jika dikaitkan dengan hak asasi manusia setiap orang memiliki hak untuk bebas dari rasa sakit. Maka dari itu praktek euthanasia yang dilakukan oleh dokter tersebut dapat dilakukan guna mengurangi rasa sakit yang diderita oleh si pasien tersebut. Seperti hal nya praktek Euthanasia yang dilakukan di negara Amerika. Pelaksanaan Praktek Euthanasia, di negara bagian Amerika Oregion pun pelaksanaan euthanasia sangat diperketat, dengan syarat-syarat tertentu antara lain:

- Orang yang ingin diakhiri hidunya adalah orang yang benar-benar sakit dan tidak dapat diobati misalnya Kanker.

- Pasien berada dalam keadaan dimana kemungkinan hidupnya kecil dan hanya menunggu waktu kematian.

- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaanya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin,

- Pihak yang berhak melakukan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilakukan euthanasia.

Semua persyaratan tersebut harus dapat dipenuhi baru euthanasia dapat dilaksanakan.

Berdasarkan perspektif hukum pidana Euthanasia merupakan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hilang nya nyawa seseorang. Akan tetapi jika dilihat atau dikaitkan dengan adanya perspektif Hak Asasi Manusia terdapat kondisi-kondisi

(23)

33

tertentu yang dimana pasien tersebut mengalami penyakit yang berat dan sudah memasuki kondisi terminal akhir, praktek Euthanasia tersebut dapat dilakukan. Dan jika dikaitkan dengan Pasal 344 KUHP, praktek Euthanasia yang dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap hilang nya nyawa seseorang tersebut dapat dikatakan tidak ada hubungannya jika praktek Euthanasia tersebut dilakukan berdasarkan dengan syarat-syarat serta kondisi pasien yang memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk hidup/sembuh.

B. HASIL PENELITIAN

1. Unsur Tindak Pidana Euthanasia

Jika dilihat berdasarkan dengan jenis atau bentuk Euthanasia itu sendiri di bagi menjadi dua diantaranya Euthanasia atas permintaan atau Euthanasia Sukarela, dan Euthanasia tidak atas permintaan. Euthanasia atas permintaan seperti yang sudah dijelaskan diatas juga merupakan suatu tindakan yang dilakukan atas dasar permintaan dari si pasien sendiri atau bahkan adanya izin dari keluarga. Sedangkan untuk Euthanasia tidak atas permintaan merupakan perbuatan euthanasia yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya persetujuan dari pasien ataupun dari pihak keluarga. Jika melihat dari pembagian yang dijelaskan hal ini dapat dikaitkan dengan pasal 344 KUHP, Euthanasia sukarela lah yang bisa dikatakan memenuhi unsur yang terkandung dari pasal 344 KUHP. Seperti yang dikatakan oleh R. Soesilo dalam mengomentari pasal tersebut:

(24)

34

“Permintaan untuk membunuh itu harus disebutkan dengan nyata dan sungguh- sungguh jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa.”27

Dilihat dari komentar R. Soesilo bahwa jika seorang dokter yang memberikan sebuah suntikan yang menyebabkan kematian kepada seorang pasien atas permintaan dari si pasien itu sendiri atau permintaan keluarga maka dokter tersebut dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan dan dia akan diancam selama 12 tahun penjara sesuai dengan Pasal 344 KUHP, akan tetapi jika perbuatan tersebut atas adanya inisiatif dari dokter itu sendiri tanpa adanya permintaan dari pasien atau pihak keluarga maka dokter tersebut dikatakan telah melakukan pembunuhan sengaja biasa dan dikenakan hukuman selama 15 tahun penjara sesuai dengan Pasal 338 KUHP, atau bahkan bisa jadi dokter tersebut dikatakan sebagai pelaku pembunuhan sengaja dengan direncanakan dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup sesuai dengan pasal 340 KUHP.

Disisi lain Euthanasia juga tidak hanya sebatas sukarela dan tidak sukarela, Euthanasia juga terbagi menjadi Euthanasia aktif dan juga pasif. Euthanasia aktif merupakan jenis Euthanasia yang kita semua ketahui dilarang untuk dilakukan di Indonesia dan yang kita ketahui juga barangsiapa yang melakukan euthanasia aktif ini dapat dikenakan hukuman pencara maksimal 12 tahun penjara sesuai dengan Pasal 344 KUHP. Sedangkan untuk Euthanasia pasif itu sendiri yang merupakan sebuah tindakan penghentian atau tidak lagi memberikan obat kepada pasien yang sudah terlihat sakit keras dan sudah tidak dapat lagi disembuhkan dari penyakitnya,

27 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1976, hlm. 209.

(25)

35

apalagi perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan dengan persetujuan keluarga, hal itu tidak dianggap sebagai sebuah tindak pidana dan tidak dikenakan hukuman.

Meskipun Euthanasia merupakan suatu tindak pidana yang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 344 KUHP, tapi pada kenyataannya sampai saat ini belum ada kasus yang nyata dan diputus di pengadilan manapun. Menurut Djoko Prakoso kasus Euthanasia menjadi terhambat masuk ke pengadilan dikarenakan:

● Mungkin Euthanasia ini memang betul-betul terjadi di Indonesia, akan tetapi kasusnya tidak pernah dilaporkan ke Polisi, sehingga sulit untuk diadakan pengutusan lebih lanjut;

● Mungkin juga karena keluarga si korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian yang disebut sebagai Euthanasia, atau memang karena masyarakat Indonesia ini kebanyakan masih awam terhadap hukum, apalagi yang menyangkut permasalahan Euthanasia, yang jarang terjadi bahkan belum pernah terjadi;

● Alat-alat kedokteran dirumah-rumah sakit di Indonesia belum semodern seperti dinegara-negara maju, misalnya adanya respirator, sistem organ transplantasi dan sebagainya, yang dapat mencegah kematian seorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan.28

2. Permohonan Euthanasia Berdasarkan dengan Putusan Nomor 83/Pdt.P/2017/PN Bna

28 Djoko Prakoso, et al, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia, Jakarta, 1984, hlm.

134.

(26)

36

Jika dilihat berdasarkan dengan Putusan Nomor 83/Pdt.P/2017/PN Bna dengan duduk perkara yang merupakan permohonan untuk melakukan perbuatan euthanasia.

Dengan memperhatikan permohonan yang diajukan oleh pemohon ke pengadilan negeri, Hakim memutuskan untuk menolak permohonan Euthanasia yang diajukan oleh Berlin Silalahi dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek yang jika dilihat dari hasil putusan yang ditetapkan. Menimbang, berdasarkan dengan bukti yang ada tertulis, benar adanya bahwa pemohon mengajukan permohonan supaya dikeluarkan izin euthanasia dari pengadilan dikarenakan pemohon merupakan salah satu korban tsunami aceh yang kemudian menderita penyakit kronis, infeksi peradangan pada tulang, dan sesak (asma) sehingga dapat dikatakan pemohon tidak dapat kembali melakukan aktifitas apapun, dan merasa juga telah menjadi beban untuk keluarga. Pemohon juga bahkan telah berupaya untuk melakukan pengobatan terhadap dirinya tetapi tidak membuahkan hasil. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman seorang hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini juga didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dalam menjamin Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang dijelaskan didalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945.

Berdasarkan dengan hasil pertimbangan yang di hubungkan dengan pasal-pasal yang disebutkan diatas Hakim mempertimbangkan permohonan pemohon ini harus ditinjau dari beberapa aspek atau peraturan yang menjadi dasar yaitu aspek HAM (hak asasi manusia), aspek kode etik kedokteran, aspek sudut pandang agama islam, aspek hukum adat, serta aspek hukum positif apa dibenarkan apa tidak. Didalam putusan dijelaskan jika menimbang berdasarkan dengan Hak Hidup yang dijelaskan

(27)

37

di Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dala pasal 4 yang menjelaskan bahwa setiap manusia atau setiap orang tanpa kecuali memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Dengan melihat bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan diri manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan hal ini sebagai mana pada pasal 2 UU HAM.

Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan dengan Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983. Pada Pasal 10 disebutkan: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Pada bagian penjelasan dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Berdasarkan dengan isi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa sudah menjadi tugas seorang dokter harus memelihara serta mempertahankan hidup manusia. Kemudian daripada itu juga seorang dokter tidak dibolehkan untuk menggugurkan kandungan (abortus provocatus) dan juga mengakhiri hidup seseorang penderitam yang dimana menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia). berdasarkan dengan kode etik kedokteran pada pasal 9, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya

(28)

38

maut merupakan tugas seorang dokter. Kemudian dengan diberikannya pendapat dari Dr. Muhamad maupun Dr. Novi berpendapat bahwa euthanasia terutama suntik mati atau euthanasia aktif tidak diperbolehkan karena suatu kematian ditentukan atau bukan berada ditangan manusia termasuk dokter melainkan kematian datangnya dari Allah dan tidak bisa didahului oleh manusia. Dan berdasarkan dengan pertimbangan yang ada para medis didalam putusan dijelaskan bahwa mereka belum sepakat jika ada pasien yang meminta untuk melakukan Euthanasia atau Suntik mati.

Berdasarkan dengan pandangan segi hukum di Indonesia, Euthanasia jika dilihat dari perundang-undangan saat ini memang belum ada pengaturan yang khusus atau masih belum ada kejelasan dalam pengaturan atau dalam bentuk undang-undang.

Kemudian daripada itu guna menjaga keselamatan serta keamanan nyawa manusia maka dicarilah pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur Euthanasia tersebut. Didalam putusan tersebut juga djelaskan bahwa ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan Euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP. Tidak hanya didalam pasal tersebut, pengaturan yang mendekati pun terdapat dalam pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang dimana dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan Euthanasia.

Euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP, namun apabila bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP diatas juga dapat tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya, sehingga dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Maka dari itu dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu

(29)

39

sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Hakim juga menimbang bahwa berdasarkan dengan pasal-pasal yang ada diatas negara Indonesia masih sangat melarang keras tindakan Euthanasia apapun itu alasannya. Kemudian jika ada seorang dokter yang memberi izin tindakan tersebut dapat dijerat dengan pasal-pasal yang ada. Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut.

Di sisi lain juga hakim menimbang jika seandainya Euthanasia tersebut dibenarkan berdasarkan dengan pakar hukum pidana Andriyanto Seno Adji, tindakan Euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi. Dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia pengaturan masalah Euthanasia terdapat di dalam Pasal 304 KUHP yang melarang adanya euthanasia pasif, dan di dalam Pasal 344 KUHP yang melarang adanya Euthanasia aktif.

Sehingga Euthanasia adalah perbuatan yang belum bisa diterapkan atau belum dilegalkan karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim juga memutuskan oleh karena permohonan pemohon tersebut tidak ada dasar Hukumnya dan tidak dikenal di Indonesia serta dilarang dan juga bertentangan dengan Hukum, Norma Agama dan Adat istiadat di Indonesia maka permohonan Pemohon tersebut ditolak.

3. Euthanasia Menurut HAM

a. Definisi Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia merupakan dasar atau suatu hal yang sudah melekat dalam diri manusia secara kodrat, universal, dan juga menjadi sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa. Hal itu berkaitan dengan hak hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak kesejahteraan, dan hak

(30)

40

yang lainnya. Oleh karena itu hak tersebut tidak lah bisa untuk dirampas ataupun diabaikan oleh siapapun.

Di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusai, hak hidup merupakan hak yang dimana didalamnya juga termasuk dalam kebebasan dasar manusia. Pada pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan kehidupannya”.

Sedangkan didalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 3 dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keselamatan pribadinya”. Dengan adanya jaminan konstitusi dan juga peraturan perundang- undangan tersebut bisa dilihat bahwa Indonesia sangatlah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Selain daripada itu, disini juga membahas pengertian Hak Asasi Manusia menurut para ahli. Berikut ini ada beberapa pengertian tentang Hak Asasi Manusia.

1. Soetandyo Wignjosoebroto “Hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia.”29

2. Maidin Gultom “Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus

29 Soetandyo Wignjosoebroto (2003), Hak-hak Asasi Manusia: Konsep Dasar Dan Pengertiannya Yang Klasik Pasa Masa masa Awal Perkembangannya dalam Toleransi Keragaman, Dalam: Rahayu, “Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)”, Universitas Diponegoro, Semarang, Cet. II, 2012, h. 2.

(31)

41

memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum”.30

3. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Berdasarkan dengan uraian pengertian yang ada diatas penulis menyimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan suatu hak dasar yang dimana setiap manusia sudah mendapatknya dan melekat pada diri manusia sebagau hakikat serta kodratnya sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia merupakan makhluk Tuhan yang Maha Esa yang dimana sejak lahir sudah dianugerahi hak dasar yang sering kita sebut hak asasi, dimana hak tersebut diberikan tanpa adanya perbedaan antara umat manusia yang satu dengan yang lainnya. Hak asasi tersebut seperti sudah dijelaskan berdasarkan dengan pengertian yang ada, biasanya manusia tersebut diberikan hak untuk mengembangkan dirinya, peranan, dan juga pemberian kesejahteraan hidup manusia. Manusia diberikan hak asasi dan memiliki tanggung jawab serta kewajiban yang dimana dipergunakan untuk menjamin keberadaan, harkat, dan

30 Maidin Gultom, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 7.

(32)

42

martabat kemuliaan manusia, dan juga menjaga keharmonisan kehidupan (Effendi, 2005).

b. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia

Semakin berkembangnya zaman, kebebasan manusia dalam melakukan sesuatu untuk dirinya menimbulkan adanya desakan atas tuntutan mengenai pengakuan terhadap praktek euthanasia. Hal ini justru menjadi sebuah perbedaan yang sangat menonjol. Dimana kita semua tau hak asasi manusia merupakan sebuah hak dasar setiap manusia yang sudah ada dan melekat di diri manusia sejak manusia masih berada di dalam Rahim sang ibu. Asal usul hakiki hak adalah kesadaran moral, hak-hak yang semata-mata atas dasar perintah kesadaran moral, yang dimana itu disebut sebagai “hak alamiah” atau “asasi”.

Akan tetapi menurut Jeremy Benthm didalam bukunya yang berjudul “The Theory of Legislation” yang kemudian dikutip oleh Abussalam disebutkan bahwa selain hak alamiah, ada pula yang dinamakan hak “non alamiah” yang dimana hak itu lahir dari kesadaran bebas antara pemilik hak alamiah.31

Maka dari itu berdasarkan dengan penjelasan yang di berikan oleh Abussalam kita dapat lihat hak merupakan sesuatu yang sudah melekat di dalam diri manusia, yang dimana itu merupakan hak mendasar sehingga kita semua sering menyebutnya dengan sebutan Hak Asasi Manusia. Jika dilihat berdasarkan dengan siklus kehidupan setiap manusia, manusia mempunyai hak untuk hidup, berkembang menjalani kehidupan, hak mencari kasih sayang, hak mendapatkan kebebasan pribadi, bahkan mempunyai hak yang berkaitan dengan

31 Abdussalam, 2010, HAM Dalam Proses Peradilan, Jakarta : PTIK Press, hlm 7

(33)

43

proses kematian. Maka sebab itu didalam konteks ini, kematian juga termasuk dari hak asasi manuia karena berhubungan dengan hak hidup seseorang.

Pandangan dari segala pihak yang kontra ataupun menentang terkait adanya praktek euthanasia ini jelas didasari dari segi hak asasi manusia, yang dimana banyak kita tahu bahwa keduanya bisa dibilang sangat bertolak belakang dari apa yang ada di dalam Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang didalamnya telah mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Dari sekian banyak nya hak-hak asasi manusia yang berada didalamnya, hak mati lah yang tidak terdapat didalamnya. Hak tersebut kemudian terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu:32

● Hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara. Biasanya hak-hak ini disebut hak-hak warga negara dan hak politis (civil and political rights).

Kelompok hak ini meliputi hak atas kehidupan, kebebasan, keamanan pribadi, penolakan perbudakan, keikutsertaan dalam hidup politik, hak atas milik, hak untuk menikah, hak mengungkapkan pendapat, hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat. Negara atau instansi lain tidak pernah boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak ini, tapi sebaliknya harus menjamin tenvujudnya semua hak ini.

● Hak lain yang tidak dimiliki manusia terhadap negara, justru sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain. Hak-hak ini biasa disebut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Diantaranya adalah hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan,

32 K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-Esai tentang Masalah Aktual, ctk. Kelima, Kanisius, Jogjakarta, 2001, hlm. 22

(34)

44

hak atas pelayanan kesehatan, hak ikut serta dalam kegiatan budaya, dan sebagainya. Di sini individu tidak bisa menuntut dari negara bahwa ia diberi pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. Akan tetapi sebagai warga negara bisa menuntut bahwa masyarakat diatur sedemikian rupa sehingga kesempatan kerja tersedia optimal mungkin, ada sekolah yang biayanya terjangkau dan cukup untuk menampung semua anak, dan fasilitas kesehatan yang cukup untuk semua orang sakit yang membutuhkan.

Pandangan mengenai hak untuk mati ini menjadi sebuah perdebatan yang menjadi pro dan kontra didalamnya, karena hak mati itu sendiri dipandang oleh beberapa orang sudah tercakup pengertiannya dalam hak untuk hidup yang selama ini telah diketahui secara jelas. Munculnya praktek euthanasia sebagai Hak Asasi Manusia yang dilihat dari segi hak untuk mati, merupakan sebuah konsekuensi yang bisa dibilang masuk akal dari adanya hak untuk hidup. Hal tersebut dilihat berdasarkan pemikiran yang menyatakan bahwa jika setiap orang berhak untuk hidup, maka setiap orang juga berhak untuk memilih kematiannya bagi dirinya sendiri.

Menurut J.S. Mill salah satu tokoh yang menganut aliran utilitarianisme, dia berpandangan bahwa ada hak universal untuk hidup ataupun hak untuk mati yang sebagaimana dikehendaki seseorang dengan catatan perbuatan yang dilakukan tersebut tidak merugikan orang lain. Akan tetapi menariknya dari para penganut utilitaris modern dalam pembelaan euthanasia biasanya digunakan untuk orang yang sedang mengalami sakit.

(35)

45

Menurut Robert H. Williams, pemikiran yang lahir terkait euthanasia disebabkan oleh 2 (dua) ha1 yaitu:

● Bahwa manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk berpikir;

● Bahwa manusia mempunyai kemampuan mental dan emosi untuk membuat keputusan dan menggunakannya seefektif mungkin.

Jika dijelaskan dengan rinci, hal yang menjadi alasan berbeda yang dapat digunakan untuk mendukung euthanasia antara lain :33

 tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai hak yang tak dapat dialihkan dan tak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya;

 anggapan mengenai kepemilikan - anggapan bahwa kehidupan seseorang merupakan miliknya sendiri;

 fakta materiil, yaitu bahwa sejumlah penyakit dirasakan membuat sangat menderita;

 keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan, kendatipun bukan karena rasa sakit, tidak mempunyai arti;

 pendapat bahwa ketergantungan pada perhatian orang lain itu merendahkan dan tidak pantas;

 gagasan bahwa teknis medis modern memaksa kita untuk menerima pembunuhan belas kasih (baca: euthanasia) dalam banyak kasus;

 teori filosofis nengenai tindakan dan kelalaian.

33 Jenny Teichman, Op. cit., hlm. 75-76.

(36)

46

C. ANALISIS PROBLEMA PENGATURAN PELAKSANAAN PRAKTEK EUTHANASIA

1. Euthanasia merupakan kejahatan dalam KUHP Indonesia

Di Negara Indonesia saat ini mempunyai ketentuan hukum yang mengatur perbuatan Euthanasia, yaitu melalui pasal 344 KUHP. Penanganan Euthanasia itu sendiri jika dikaitkan dengan pasal 344 KUHP yang dimana jika dikelompokan termasuk kejahatan yang berhubungan dengan nyawa. Delik kejahatan atau Rechtsdelicten adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, seperti misalnya pembunuhan ataupun perncurian. Euthanasia di Indonesia sendiri jika dilihat secara hukum merupakan suatu pembunuhan yang diminta oleh si pasien kepada dokter. Berdasarkan dengan pasal 344 KUHP yang didalamnya terpenuhi unsur-unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Ketentuan Euthanasia tersebut sebenarnya belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hanya saja sampai detik ini hanya pasal tersebut yang mendekati dengan perbuatan Euthanasia. Bentuk kesalahan suatu tindak pidana yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang baik sengaja maupun tidak disengaja itu termasuk kedalam delik perbuatan Euthanasia yang dikelompokan kedalam delik kejahatan. Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa pembunuhan adalah adanya niat atau Mens Rea yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai.

(37)

47

Secara yuridis euthanasia belum diatur secara tegas dan jelas didalam hukum positif Indonesia termasuk dalam Undang-undang kesehatan dan Undang-undang Praktik Kedokteran. Jika melihat kembali dari pasal 344 KUHP yang mengatakan

“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Euthanasia dikatakan sebagai suatu kejahatan terhadap nyawa.

Euthanasia secara hukum merupakan tindakan pembunuhan yang dimana dilakukan atas permintaan dari si korban. Berdasarkan dengan adanya rumusan pasal 344 KUHP tersebut menghilangkan nyawa seseorang merupakan suatu tindakan yang dianggap sebagai suatu kejahatan yang diancam dengan pidana. Tindakan Euthanasia baik dalam KUHP maupun dalam hukum positif yang ada di Indonesia dilarang untuk dilakukan. Akan tetapi secara eksplisit belum ada penjelasan yang jelas mengenai tindakan euthanasia di Indonesia itu sendiri. Banyaknya pemikiran yang mendukung dan menolak tindakan euthanasia mengakibatkan tindakan ini menjadi suatu tindakan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak. Sehingga dengan begitu ketika di Indonesia itu sendiri terdapat kasus Euthanasia banyak para ahli yang masih mempertimbangkan berdasarkan dengan hukum positif yang ada serta pasal 344 KUHP yang dimana jika dilihat dari rumusan pasal tersebut Euthanasia termasuk suatu kejahatan.

Dengan adanya penerapan pasal-pasal dalam KUHP tersebut banyak kasus Euthanasia yang akhirnya menggunakan pasal-pasal yang selama ini dianggap dapat menyelesaikan permasalah Euthanasia, yang dimana pasal tersebut merupakan pasal-pasal Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa yang terdiri dari Kejahatan terhadap Tubuh atau penganiayaan yaitu pasal 351 KUHP sampai pasal 361 KUHP,

(38)

48

tentang Kejahatan terhadap Nyawa atau Pembunuhan pasal 338 KUHP sampai Pasal 350 KUHP. Permasalahan Euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang Pembunuhan dilakukan karena permintaan si korban dan Pasal 345 KUHP tentang bantuan bunuh diri. Disisi lain melakukan tindak pidana Euthanasia tidak hanya dari sisi pasien saja di sisi dokter juga tentunya akan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 344 KUHP tersebut. Menjatuhkan pidana terhadap seorang dokter yang melakukan sebuah tindakan Euthanasia tidak menjamin tindakan Euthanasia tersebut dapat berkurang. Jika dilihat secara asas legalitas, tindakan Euthanasia belum ditemukan adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur Euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang dimana mewakili kejahatan terhadap tubuh bukan tindakan Euthanasia.

2. Legalitas euthanasia menurut Hak Asasi Manusia

Jika dilihat berdasarkan dengan UUD 1945 mengenai Hak Asasi Manusia pasal 28a yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Dengan adanya penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa Euthanasia sangatlah bertentangan dengan pengaturan yang dijleaskan. Berdasarkan dengan penjelasan yang dijelaskan oleh pasal tersebut Berkaitan dengan adanya hak untuk hidup tersebut kemudian munculah suatu tuntutan yang mengakui adanya juga “hak mati” atau yang biasa kita kenal merupakan Euthanasia.

(39)

49

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) ini yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights yang juga memuat mengenai hak untuk hidup yaitu dalam Pasal 6 yang berbunyi, ”Setiap manusia mempunyai hak hidup, dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang- wenang”, yang juga berkaitan dengan masalah euthanasia. Banyak yang memberikan penolakan terhadap perbuatan Euthanasia dari segi agama maupun Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan tentang adanya hak asasi manusia walaupun hal tersebut tidak dijelaskan secara terperinci. Jika dilihat dari semua hak yang ada hanya “hak mati” yang tidak dijelaskan didalamnya. Pandangan bagi orang yang menentang dengan adanya prinsip Euthanasia pastinya akan berbenturan dengan argumentasi yang jika kita kaitkan dengan hukuman mati yang diberikan oleh seorang hakim. Jika kita lihat perbandingan dari kedua peristiwa tersebut seseorang yang diutuduh kemudian dijatuhi hukuman mati oleh hakim dan masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya atau dengan kata lain ia masih ingin menggunakan “hak untuk hidup” dengan kata lain hakim disini telah memaksa kematian seseorang yang sebenarnya bisa dibilang masih ingin hidup. Sedangkan dalam perbuatan Euthanasia itu sendiri dilakukan atas dasar permintaan pasien tersebut yang diyakini perbuatan tersebut merupakan satu-satu nya jalan untuk mengakhiri penderitaannya yang memang sudah tidak tertahankan. Dengan kata lain berdasarkan dengan dua perbandingan yang ada diatas tersebut bisa dikatakan ketika orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh seorang hakim, dilain sisi

(40)

50

orang yang sudah tidak kuat menahan sakit yang diderita dipaksa untuk terus untuk hidup walaupun sebenarnya penderitaan tersebut akan semakin bertambah.

Di dalam perkembangannya Euthanasia di masyarakat memiliki nilai-nilai hak asasi manusia yang hidup di masyarakat yang diantaranya, Hak memperoleh layanan medis; Hak unuk memperoleh perawatan paliatif; Hak pasien untuk menerima dan menolak seluruh perawatan medis; Hak pasien untuk menghentikan perawatan medis; Hak untuk memilih alternatif pengobatan; Hak untuk memilih pendapat dari dokter ahli lain tentang keadaan diri pasien (second opinion); Hak untuk memperoleh informasi (tentang keadaan diri pasien); Hak untuk tidak disiksa; Hak untuk menentukan nasib; Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; Hak untuk kemerdekaan berpikir dan hati nurani. Maka dari itu Euthanasia itu sendiri sebenarnya merupakan wujud dari Hak Asasi Manusia untuk menentukan pilihan mereka sebagai kemerdekaan pikiran dan hati nurani sesuai dengan pasal 28I UUD 1945 dan juga merupakan wujud dari hak asasi manusia yang dimana memiliki hak untuk tidak disiksa sesuai pasal 28G UUD 1945.

3. Pengaturan Euthanasia di Indonesia Diperbaharui

Melihat berdasarkan dengan rumusan Pasal 344 KUHP jika kita melihat dari perbuatan Euthanasia itu sendiri apakah sudah dapat dikatakan memenuhi unsur- unsur tindak pidana yang ada, sehingga perbuatan Euthanasia tersebut dapat dianggap sebuah tindakan yang mengancam resiko medis terhadap pasien tersebut Maka dari itu, perlu adanya sebuah perubahan dalam sistem pengaturan yang ada di Indonesia. Jika dilihat berdasarkan dari pandangan medis, Euthanasia itu bukan sebuah tindakan yang jahat melainkan sebuah tindakan medis yang diambil sebagai

(41)

51

alternatif akhir yang dimana memuat hak dari seorang pasien selama menjalani perawatan. Hal ini berkaitan biasanya dengan seorang pasien yang sudah memasuki keadaan yang dimana didalam ilmu medis disebut in a persistent vegetative state (mati tidak, hidup pun tidak). Tindakan ini pun tidak semata-mata dokter lakukan terhadap pasien. Didalam dunia medis ada istilah mengenai Informed consent. Dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dijelaskan apa itu informed consent, yang tercantum adalah persetujuan, menerima, atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima dan memahami informasi mengenai suatu tindakan yang akan dokter lakukan. Informed consent ialah suatu hal yang mutlak yang dilakukan oleh seorang dokter sebelum mengambil tindakan medis kepada pasien. Hal ini pun diatur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 45 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Informed consent ini dilakukan guna menjelaskan bagaimana keadaan pasien, tindakan apa saja yang harus dokter lakukan, serta resiko apa saja yang akan didapatkan selama dokter melakukan tindakan kepada pasien.

Dengan begitu untuk masa mendatang, dalam rangka ius constituendum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHP tersebut, perlu untuk dirumuskan kembali, agar dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam hal pembuktiannya. Hal tersebut dikarenakan Euthanasia bukanlah sebuah kejahatan yang dimana dirumuskan sesuai dengan Pasal 344 KUHP. Euthanasia berbeda dengan kejahatan yang tertulis di pasal 344. Euthanasia merupakan suatu perbuatan yang dilakukan guna mengurangi atau mengakhiri rasa sakit yang diderita oleh pasien dengan suatu keadaan tertentu atau terminal tertentu. Sebab Euthanasia memiliki beberapa alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan/dasar penghapusan pidana yaitu : Asas legalitas; Keadaan darurat

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus adalah KUHP

Setelah mengadakan pembahasan tentang tindak pidana perzinahan penyusun menemukan hasil penelitian bahwa hukum Islam memandang perbuatan zina sebagai hal yang melanggar

32 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm.56.. Penuangan tujuan itu kedalam

Pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuankereatuan hukum Narkotika. 69 Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus Sebagaimana

Klasifikasi tindak pidana atas kejahatan dan pelanggar sangat menentukan pengaturan lembaga hukum lain dalam hukum pidana seperti perbuatan percobaan dan melakan. Namun

Dapat diartikan sebagai alasan atau keadaan yang membuat seseorang melakukan tindak pidana. 52 Skripsi oleh Jahid Hanafi, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH.. (Studi

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus adalah KUHP