• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kerangka Teori.

1. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum. a. Definisi Perlindungan Hukum.

Perlindungan hukum yaitu memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang diruugikan orang lain dan perlindungan tersebut di berikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.1

Menurut Setiono, perlindungn hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan keteriban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.2

Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suaty hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memebrikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari suatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. 3

Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. .4

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.53.

2 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret, 2004, hal. 3.

3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1987,hal. 1-2.

4 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta; magister Ilmu Hukum

(2)

Jadi perlindungan merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum , yakini keadila, kemenfaatan, dan kepeastian hukum . perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang dibrikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam ragka menegakkan peraturan hukum. Hakekatnya semua orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.

b. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan huku, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun yang bersifat represif ( pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.5

Menurut Muchsin Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Perlindungan Hukum Preventif, perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasa-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2. Perlindungan Hukum Represif, perlindungan hukum represif merupakan

perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara dan hukuman sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.6

c. Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencabulan.

5

Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 4.

(3)

Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan adalah suatu kegiatan pengemabangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman-ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya.7 Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan, maka perlu diadakan pengelolaan korban tindak pidana pencabulan yang meliputi prevensi, terapi, dan rehabilitasi. 8

Perhatian seseorang yang ditiunjukkan padakorban,keluarga, lingkungan dan masyarakat luas. Jelasnya dalam pengelolalaln korban tindak pidana pencabulan itu akan dapat melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin: a) Pencegahan timbulnya pencabulan dan dapat pula dimaksudkan sebagai pencegahan timbulnya pelecehan seksual dikemudian hari. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana pencabulan maka disarankan agar para wanita untuk tidak berperhian seorang diri terutama pada waktu malam hari dan ketempat yang lenggang dan sunyi. Ada baiknya kalau wanita belajar bela diri, sekedar melindungi diri dari orang-orang yang berbuatjahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu berpergian, bila yerjadi kejahatan penacbulan maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak panic atau ketakutan. Apabila korban masih dibawah umur ada baiknya orangtua lebih ekstra hati-hati , dan lebih menasehati anaknya agar jangan bepergian bila ada orang asing yang tidak dikenal, orangtua jangan terlambat menjemput disekolah walaupun terlambat bisa dititpkan kepada guru terlebih dahulu. b) Terapi pada korban tindak pidana pencabulan memerlukan perhatian yang

tidak hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu pula didengar keluhan dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya pertama kali dan informasi dari lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru

7 Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, PT.Eresco, Bandung, 1995, hal. 136.

8 Seminar Nasional,Aspek Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan(Gangguan Psikiatrik Korban Perkosaan), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1991, hal. 10-14.

(4)

sering ditimbulkan oleh adanya gangguan keluarga atau lingkungannya. Tujuan terapi pada korban tindak pidana pencabulan adalah untuk mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Disamping itu juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan harus dapat mengemabalikan si korban pada kesibukannya dalam batas-batas kemampuanyya dan kebiasaan peran sosialnya. Tetapi harus dapat memberi motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana pencabulan dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif dan kreatif.

c) Rehabilitasi korban tindak pidana pencabulan adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersipkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya di masa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medic, psikologik, dan sosial. aspek medic bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek psikologik serta sosial bertujuan kerah tercapainya penyesuian diri, harga diri dan juga tercapainya pendangan dan sikap yang sehat dari keluarga dan masyarakat terhadap para korban tindak pidana pencaulan, untuk mencapai tujuan tersebut maka para orban tindak pidana pencabulan selalu mendapatkan pelayanan medic psikiatrik yang intensif.

2. Tinjauan Umum Mengenai Pengertian Anak. a. Pengertian Anak.

Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku delinkuensi anak, biasanya dilakuka dengan mendasarkan pada tingkatan usia,dalam arti tingkat usia berapak seorang dapat dikategorikan sebagai anak. 9 Anak memiliki krakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orag dewasa dan merupakan salah satu

9

Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras, Malang, 2010. hal.. 11.

(5)

kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting di prioritaskan.10

Sedangkan pengertian anak menurut kamus bahas Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkn ketururnannya, yangdimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di rahimwanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersbut pada waktunya nanti akan melahirkan keturunannya. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia sutuhnya. Anak merupakan makhluk sosial hal ini sama dengan orang dewasa, anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak harus kita jaga dan dilindungi, dikarenakan:

1. Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus.

2. Anak adalah sebagai potensi tumbuh kembang bangsa di masa depan. 3. Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dari

orang lain.

4. Anak merupakan tunas, sumber potensi dan generasi muda penerus, perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akandtang nantiya, oleh karena itu kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan butuk atau sebagai korban perbuatan buruk seseorang.

b. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum .

Untuk meletakkan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal didalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:11

10

PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010 . Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, KementrianPemberdayaan Perempuandan Perlindungan Anak R.I.

(6)

1) Unsur Internal.

Sebagai manusia anak juga digolongkan sebagai human right yang terkait dalam ketentuan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalia, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan hak dan kewajiban, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum akan meletakkan anak sebagai posisi perantara hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orng dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.

2) Unsur Eksternal.

Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum

(equality before the law) dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perician tentang klasifikaksi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD dan peraturan perundang-undangan

Adapun pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan: 1) Pengertian Anak berdasarkan UUD 1945.

Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibinuntuk mencapai kesejahteraan anak,demgan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(7)

2) Pengertian Anak Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang di duga melakukan tindak pidana”. 12

3) Pengertian Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termaksud anka yang masih dalam kandungan”. 13

4) Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata.

Di dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ditegaskan bahwa: “ yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin seblumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum genap 21 tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa”. 14

Pada Pasal 330 KUH Perdata memberikan pengertiain anak adalah orang belum dewasa yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pengertian ini sama dengan yang disebutkan oleh UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.15

Dalam ketentuan hukum perdata, anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang di anggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anakmenghendaki sebagaiman yang dimaksud oleh Pasal 2 KUH Perdata.

12

Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

13

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

14 Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung, 2005, hal. 4

15 Eugenia Liliawati Muljono, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Anak,Harvarindo,

(8)

5) Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang tidak secara tegas mengatur tentang batasan seseorang dikatakan dewasa atau masih kategori anak. Akan tetapi dapat kita lihat pada Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 tentang pengaturan seseorang yang melakukan tindak pidana dan belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun mendapat pengurangan ancaman hukuman dibanding orang dewasa.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut KUH Pidana batasan umur seseorang anak telah dikatakan dewasa apabila telah mencapai umur 15 tahun atau 16 tahun. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum postif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik. Oleh karena itu, jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada kedua orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.16

Pada hakekatnya, pengertian anak dan status kedudukan anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut:

a) Ketidak mampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana

b) Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dan hukum kebiasaan dengan maksud untuk mensejahterakan anak.

c) Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. d) Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.

e) Hak anak dalam proses hukum acara pidana.

(9)

Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa. Sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan terbaik dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang dibetikan oleh pemerintah atau negara

.

3. Hak-Hak Anak Sebagi Korban di dalam Perundang-Undangan.

a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem peradilan Pidana Anak.

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.

b. Dipisahkan dari orang dewasa. c. Memperoleh bantuan hukum. d. Melakuan kegiatan rekrasional.

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta meredahkan derajat dn martabatnya.

f. Tidak di jatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.

g. Tidak di tangkap, di tahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.

h. Memeperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak dan dalam sdiang yang tertutup oleh umum.

i. Tidak di publikasikan identitasnya.

j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak. k. Memperoleh advokasi soisal.

(10)

m. Memperoleh aksibilitas terutama bagi anak cacat. n. Memperoleh pendidikan.

o. Memeproleh pelayanan kesehatan.

p. Memeperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Pasal 5.

(1) Saksi dan Korban berhak:

1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4) Mendapat penerjemah.

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. 7) Mendapat informasi mengenai putusan pendadilan. 8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan 9) Dirahasiakan identitasnya.

10) Medapat identitas baru.

11) Mendapatkan tempat kediaman sementara. 12) Mendpat tempat kediaman baru.

13) Memperoleh pengganti biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. 14) Mendapat nasihat hukum.

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan atau

16) Mendapat pendampingan.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

(11)

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4.

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 9 Ayat (1a).

Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

Pasal 15.

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

b. Pelibatan dalam sengeketa bersenjata. c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. e. Pelibatan dalam peperangan

f. Kejahatan seksual. Pasal 17.

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18.

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tinda pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

4. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana. a. Pengertian Tindak Pidana.

(12)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit, sedangkan para pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan , mengenai apa yang sebeneranya dimaksud dengan kata “strafbaar feit” maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat menegnai apa sebenernya maksud dari kata “strafbaar feit”

Simons, merumuskan “strafbaar feit” adalah suatau tindakan melanggar hukum

yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung jawbakna atas tidakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. 17 Dalam memberikan suatu penjelasan mengenai hukum positif dengan menggunakan pendapat-pendapat secara teoritis sangatlah berbahaya. Dalam pendapat yang diberikan Simons tentang pengertian dari strafbaar feit tersebut besifat khusus karena hanya spesifik yang menyebutkan bahwa suatu tindakan hanya dapat dipertanggung jawbakan jika dilakukan dengan sengaja.

Berbeda yang disebutkan oleh Pompe, menurut Pompe perkataan “strafbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.18

Menurut Pompe strafbaar feit merupakan suatu pelanggaran norma yang tidak hanya dilakukan dengan sengaja tetapi dapat juga dilakukan dengan tidak sengaja. Sebagai contoh pelanggaran norma yang dilakukan dengan sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP yaitu “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalahnya telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Tidak semua pembunuhan dilakukan dengan sengaja. Dapat dilihat pada Pasal 359 KUHP yaitu karena salahnya menyebabkan matinya orang. Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa menurut hukum positif, suatu “strafbaar feit “ itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang dapat dihukum.

17

Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, hal; 98.

(13)

Moeljatno berpendapat bahwa, setelah memilih perbuatan pidana sebagai terjemahan dari “strafbaar feit “, beliau memberikan perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan terciptanya tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.19

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. 20

a) Pendapat beberapa ahli tentang pengertian tindak pidana: Menurut Moeljatno, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu”. 21 b) Pengertian tindak pidana menurut Bambang Poernomo “Bahwa perbuatan

pidana adalah suatu perbuatan yang seolah suatu aturan hukum pidana dilarang dan di ancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 22

19

Ibid, hal; 99.

20 Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hal 62 21 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal; 54.

(14)

c) Menurut Vos, tindak pidana Adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.23

Berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Pada pembahasan sebelumnya telah dibicarakan mengenai berbagai pengertian dari tindak pidana oleh para ahli hukum. istilah “tindak” dari “tindak pidana” merupakan singkatan dari kata “tindakan” sehingga artinya ada orang yang melakukan suatu “tindakan”, sedangkan orang yang melakukan dinamakan “petindak”. Antara petindak dengan suatu tindakan ada sebuah hubungan kejiwaan, hubungan dari penggunaan salah satu bagian tubuh, panca indera, dan alat lainnya sehingga terwujudnya suatu tindakan. Hubungan kejiwaan itu

23Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas

(15)

sedemiian rupa, dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan apa yang dihindarinya, dapat pula tidak dengan sengaja melakukan tindakannya, atau setidak-tidaknya oleh masyarakat memandang bahwa tindakan itu tercela. Sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Schaffmeister, N. Keijzer, dan Mr. E. PH. Sutorius bahwa : “ Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat: perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela”. 24

Menurut Rancangan KUHP Nasional, Unsur-Unsur Tindak Pidana meliputi: 25

a. Unsur-Unsur Formal: 1) Perbuatan sesuatu

2) Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan

3) Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang

4) Peraturan itu oleh peraturan perundang-undangandi ancam pidana. b. Unsur-Unsur Materil:

Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dngan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Unsur – unsur apa yang ada di dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Tindak pidana itu terdiri dari unsur-unsur yang dapat dibedakan atas unsur yang bersifat subjektif dan unsur objektif. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atay yang berhubungan dengan sisi si pelaku, dan termaksud kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sdnagkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

24 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Loc.Cit, hal;99. 25 Ibid, hal;99.

(16)

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. 26

Unsur-Unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)

2) Maksud atau Voomemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: 1). Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.

2). Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3). Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur Tindak Pidana sebagai berikut: 27

a. Diancam dengan pidana oleh hukum b. Bertentangan dengan hukum

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah

26 Lamintang, P.A.F , Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia; PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal: 193. 27 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal: 88.

(17)

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya c. Pelaku Tindak Pidana.

Pelaku merupakan orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesegajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang di isyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki olh undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga.28 Dalam ketentuan Pasal 55 KUHP dibedakan antara Pelaku (pleger) dan Pembuat (dader). Pelaku (pleger) adalah pengertian sempit tentang orang yang melaksanakan tidak pidana, dapat berupa orang yang bertindak sendiri baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat untuk mewujudkan tindak pidana.29

Sedangkan menurut penjelasan mengenai pembentukan Pasal 55 KUHP yang harus dipandang sebagai Pembuat (daders) itu bukan saja mereka yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana melainkan juga mereka yang telah menyuruh melakukan dan mereka telah turut melakukan suatu tindak pidana. Melihat batasan dan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan :

1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (plegen) Yaitu orang tersebut melakukan tindak pidana sendirian tidak ada temannya. 2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana

(doen plegen) Yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dipidana.

28 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum Undip, 1984, hal: 37. 29 Penjelasan Pasal 55 KUHP tentang Pelaku Tindak Pidana.

(18)

3. Orang yang turut melakukan (mede plagen), turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen). 4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan

kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya memkai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain-lain sebagainya.

Dengan demikian Pelaku Tindak Pidana yaitu barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan dalam undang-undang.

5. Pengertian Korban Tindak Pidana Pencabulan.

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohanian sebagai akibat dari tindakannya sendiri manapun tindakan dari pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan. Korban dapat berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan hukum. Ketika suatau peristiwa itu terjadi, aturan hukum seringkali memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga seringkali korban korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Korban juga patut untuk diperhatikan karena pada dasarnya korban merupakan pihak yang cukup dirugikan dalam suatu tindak pidana. Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu harus diderita oleh sikorban itu sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung. Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan hidupnya. Tindak pidana pencabulan dinilai dapat merendahkan derajat wanita sebagai korban pencabulan serta merusak harkat dan martabatnya. Wanita adalah ibu dari

umat manusia, karna dari rahim wanitalah anak manusia dilahirkan. Hukum positif menerangkan, undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan

(19)

korban adalah undang-undang Nomor 13 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi. Namun Undang-Undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk pelindungan korban sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang medukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit.

6. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan.

Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, kesemuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan atau buah dada dan sebagainya. persetubuhan juga termasuk perbuatan cabul, akan tetapi didalam Undang-Undang disebutkan tersendiri. Perkosaan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antaralain sebagai berikut: “Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa pleh wanita. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku”. 30

Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh Undang-Undang sebagai suatu kejahatan.

Perbuatan cabul masuk dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan yang terdiri dari Pasal 289 KUHP. Dimana perbuatan tersebut sebagai suatu tindakan yang sangat merendahkan martabat dan kehormatan yang mana dilakukan dengan sengaja dan biasanya disertai ancaman kekerasan, ancaman, dan buju rayu. Sedangkan yang menjadi dasar hukum perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur diatur dalam Pasal 287 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

1. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya

(20)

belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2. Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP.

Pasal 293 KUHP menyatakan sebagai berikut:

1. Barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak tercatat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

2. Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu.

3. Tetapi yang disebut dalam Pasal 74, ditentukan buat satu-satunya ini ialah Sembilan dan dua belas bulan.

Makna Pasal 293 KUHP yaitu:

1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.

2. Membujuk dengan mempergunakan:

a. Hadiah atau perjanjian atau memberikan uang atau barang.

b. Pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada.

(21)

3. Orang yang dibujuk itu harus belum dewasa dan tidak bercatat kelakuannya, hal ini harus diketahuinya atau patut disangka oleh yang dibujuk.

Pencabulan adalah pemaksaan perilaku seksual pada anak, baik dari lawan jenis atau sejenis. pencabulan terhadap anak adalah suatu pelanggaran seks yang termasuk dalam katagori parafilia atau disebut dengan pedofilia, yaitu pelampiasan hawa nafsu seksual terhadap Anak.

Dari perumusan di atas menunjukan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identic dengan lemah, dan laki-laki sebagai pelaku dikenal dengan kekutannya sangat kuat yang dapat melakukan pemaksaan persetubuhan dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Fungsi dari kekerasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini

memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada casual verband anatara kekerasan dengan ketidak berdayaan korban. Conthnya kekerasan apada pencabulan, yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368), yang mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan ketidak berdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.

b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada Pasal 211 atau Pasal 212.31

Ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang antaralain sebagai berikut: aspek obyektif ialah (a) wujud nyatadari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni

31 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,

(22)

kekerasan secara sempurna: dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis , berupa rasa takut, rasa cema (aspek subyektif yang di objektifkan). Aspek subyektif, ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak terpenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri morban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya. Dalam perkembangan yang sangat maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari pencabulan yang antaralain sebagai berikut:

1. memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut.

2. Memasukan sesuatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam vagina atau mulut wanita. Caranya tidak hanya dengan kekerasan/ancaman kekerasan, tetapi juga dengam cara apapun diluar kehendak/persetujuan korban.

Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuannya karena dibawah ancaman, karena kekeliruan/ kesesatan/ penipuan atau karena di bawah umur. Pelaku pencabulan terhadap anak-anak yang dapat juga disebut dengan chid molester, dapat digolongkan ke dalam lima kategori yaitu:

1. Immature : para pelaku melakukan pencabulan disebabkan oleh ketidakmampuan mengidentifikasikan diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa.

(23)

2. Frustated : para pelaku melakukan kejahatannya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.

3. Sociopathic : para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatanya dengan orang yang sama sekali asing baginya, suatu tindakan yang keluar dari kecenderungan agresif yang terkadang muncul.

4. Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya (premature senile deterioration).

5. Miscellaneous : yang tidak termasuk semua kategori tersebut di atas.32 7. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan.

Pencabulan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumnya diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut : “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan ia , diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. 33

Perhatikan dari bunyi pasal tersebut, terdapat unsur-unsur yang antara lain sebagai berikut:

1. Barangsiapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan.

2. “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang artinya melakukan kekuatan badan, dalam Pasal 289 KUHP disamakan dengan menggunakan kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.

3. “Memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia” yang artinya seorang yang bukan istrinya mendapat pemaksaan bersetubuh diluar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki.

32 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, IND-HILL-CO, Jakarta, 1997, hal; 67. 33

Penghimpun Solahudin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, Dan Perdata , Cet.Visimedia, Jakarta, 2008.

(24)

Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak di bawah umur diatur juga dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 jo. Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan:

a. Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasanSetiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

8. Jenis-jenis Pencabulan.

Di dalam mengklarifikasikan pencabulan dapat terbagi melalui beberapa macam jenis pencabulan yang antaralain sebagai berikut:

a. Sadistic rape.

Pencabulan sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku pencabulan telah Nampak menikmati kesenangan erotic bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban.

b. Angea rape.

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksi pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.

(25)

c. Donoonatiom rape.

Yakni suatu pencabulan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atau kekeuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan eksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

d. Seduktive rape.

Suatu pencabulan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa ke intiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

e. Victim precipitatied rape.

Yakni pencabulan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

f. Exploitation rape.

Pencabulan yang menujukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang telah diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Mislanya, istri yang dicabuli suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.

Adanya perbedaan pengertian atau persepsi tentang (bentuk) pencabul/tukang cabul, mempunyai pengaruh terhadap informasi yang berkaitan dengan pencabulan, sehingga masyarakat menganggap suatu perbuatan sebagai pencabulan, dan karena itu melaporkannya kepada polisi. Dan disisi lain polisi belum menganggap sebagai pencabulan, karena belum memenuhi unsur yuridis formal dalam pasal 289 KUHP.

Berbeda dngan korban kejahatan konvensional lainnya, orban pencabulan mengalami traumatic yang mendalam, mengalami penderitaan lahir dan batin. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh korban tersebut membuka mata hati kita untuk memahami dan menegrti bagaimana cara

(26)

meminimalisir penderitaan korban pencabulan. Oleh karena itu perlu adanya upaya perlindungan bagi korban pencabulan secara hukum.

Sistem hukum dalam KUHAP yang diperhatikan secara khusus adalah hak asasi terdakwa saja yang dillindungi, khusunya korban pencabulan belum diatur secara eksplisit, untuk memudahkan upaya pembuktiannya hal ini perlu diperjuangkan dan perlu sinkronisasi dengan konsep KUHP Nasional. Persoalan akan bertambah rumit apabila dilihat dari kultur masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa tindak pidana kesusilaan atau pencabulan dianggap tabu, hal ini untuk menghindari stigmatisasi terhadap korban.

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“Undang-Undang Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.34

Adapun substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Sistem Perdilan Pidana Anak ini sebagai berikut:

1) Definisi Anak di Bawah Umur.

UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:

a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA)

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)

(27)

Sebelumnya Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori anak korban dan anak saksi. Kosekuensinya anak korban dan anak saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakitan menhadapi sistem peradilan anak.

2) Penjatuhan Sanksi.

Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA)

• Pengembalian kepada orang tua/Wali; • Penyerahan kepada seseorang;

• Perawatan di rumah sakit jiwa; • Perawatan di LPKS;

• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan • Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

• Perbaikan akibat tindak pidana. b. Sanksi Pidana.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA)

Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

(28)

3). Hak-hak Anak

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA): a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa;

c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional;

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

k. memperoleh advokasi sosial l. memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan

o. memperoleh pelayananan kesehatan;

p. dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Penahanan.

Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

(29)

5) Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban.

UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya (Pasal 58 ayat (3)) UU SPPA.

6) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum.

UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan. Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).

10.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena

(30)

masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku ± (kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan "paradigma hukum", diantaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta dinaikannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi. Pradigma baru tersebut sebagai berikut35:

1) Tanggung Jawab Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati

(31)

pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.

Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah yang dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak, serta memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

2) Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat.

Selain tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah, undang-undang ini pun memberikan amanah, tanggung jawab dan kewajiban kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak boleh lagi berpangku tangan dan bermasa bodoh dalam hal perlindungan kepada anak, diantara kewajiban dan tanggung jawab masyarakat diantaranya adalah melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak. Sehingga dalam hal ini organisasi masyarakat, akademisi dan pemerhati anak sudah seharusnya turun langsung ke lapangan melakukan pencegahan dengan jalan banyak melakukan edukasi dalam hal perlindungan kepada anak, sehingga kasus-kasus kejahatan terhadap anak (terutama kejahatan seksual) yang akhir-akhir ini banyak menghantui kita bisa diminimalisir. 3) Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua.

Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang ini juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal perlindungan kepada anak, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Karena pada kenyataannya

(32)

orang tualah yang paling dekat dengan sang anak dalam kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis sang anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak.

4) Kejahatan Seksual Terhadap Anak.

Dalam undang-undang perlindungan anak yang lama ancaman pelaku kejahatan seksual hanya diancam dengan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

5) Restitusi.

Restitusi adalah adanya ganti rugi kepada korban. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 masalah restitusi hanya di atur dalam satu pasal yakni pada Pasal 71 D yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Dalam penjelasan pasal tersebut di atas yang dimaksud dengan "restitusi" adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah anak korban.

(33)

Undang-Undang perlindungan saksi dan korban di bentuk atas pertimbingan bahwa pentingnya satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu, oleh karena itu diperlukannya pembentukan Undang-Undang perlindungan saksi dan korban yang dimana kedudukannya sangat penting dalam proses peradilan pidana dan undang-undang ini dibentuk dengan tujuan memberikan rasa aman epada saksi dn korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.36

12.PERMA Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Pedoman mengadili perkara perempuan dalam beracara mulai berlaku di Indonesia sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada 11 Juli 2017 yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1084 pada tanggal 4 Agustus 2017. PERMA Nomor 3 Tahun 2017 ini bertujuan untuk memastikan bahwa Negara memberikan jaminan kepada perempuan untuk mendapat akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi sistem peradilan.

PERMA Nomor 3 Tahun 2017 ini berdasarkan pertimbangan bahwa perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

(34)

Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender, bahwa Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.

Asas dan Tujuan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dijelaskan pada Pasal 2 yaitu :37

“Hakim mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum berdasarkan asas: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;

b. non diskriminasi; c. Kesetaraan Gender;

d. persamaan di depan hukum; e. keadilan;

f. kemanfaatan; dan g. kepastian hukum.”

Tujuan dari Perma ini tertuang dalam Pasal 3 :

“Pedoman mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum bertujuan agar hakim:

a. memahami dan menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara

sehingga mengakibatkan Diskriminasi Terhadap Perempuan; dan

c. menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.”

(35)

Dalam pemeriksaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum, hakim tidak boleh :

menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;

membenarkan terjadinya Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias Gender;

mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung Stereotip Gender.

Serta selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

13. Peradilan Pidana.

a. Pengertian Proses Peradilan Pidana.

Penyelengaraan peradilan pidana merupakan meanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses peneyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan. Penuntutan dan pemerikasaan disidang penegadilan, serta pelaksanaan putusan pengadilan, atau dengan kata lain bekerjanya intitsuis epolisisa, institusi kejaksaan, intitusi kehakiman. Proses Pemeriksaan Anak Di persidangan.

b. Tahap-Tahap Proses Peradilan Pidana Menurut KUHAP dan Undang-Undang Pengadilan Anak.

Menurut Ratna Nurul Afiah, proses peradilan suatau perkara pidana melalui tahap-tahap sebagai berikut38:

a. Tahap penyidikan.

(36)

b. Tahap penuntutan oleh jaksa. c. Tahap pemeriksaan di pengadilan.

Penyidikan: adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 39

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan sebagai berikut 40

:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atauinterogasi.

8. Berita acara ( penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan ditempat). 9. Penyitaan.

10. Penyimpangan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untu disempurnakan.

Penuntutan: Pada Proses Penuntutan yang berwenang adalah jaksa yang berlaku sebagai penuntut umum atas nama negara akan membuat surat dakwaan yang di dalam surat dakwaan tersebut di dasari atas alat-alat buti yang teliti, diperiksa dan disimpan oleh jaksa. Penuntut umum itu sendiri adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dam melakasanakan penetapan hakim.41

39 Pasal 1 butur 2 KUHAP.

40

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal; 118-119.

(37)

Tahap-Tahap Proses Pemeriksaan Anak Di persidangan: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem Peradilan Pidana Anak telah diatur mengenai tahap-tahap Proses pmeriksaan Anak yng berhadapan dengan hukum di persidangan, sebagai berikut:

1. Dalam pemeriksaan anak di persidangan dilakukan oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yangbersangutan melalui ketua pengadilan tinggi (Pasal 43)

2. (1) anak disidangkan dalam ruangan sidang khusus anak.

(2) ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa.

(3) waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa (Pasal 53).

3. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan (Pasal 54).

4. (1) Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping, advoat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan.

(2) Dalam hal orang tua/wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi advoat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau pembimbing kemasyarakatan.

(3) Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sidang anak batal demi hukum. (Pasal 55)

5. Setelah hakim membuka persidangan dan menyaakan sidang tertutup untuk umum, anak di panggil masuk beserta orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan. (Pasal 56) 6. (1) setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing

kemasyaraatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. (Pasal 57).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan seluruh pengertian di atas diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud disiplin belajar adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses usaha yang

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa telah jelas perbuatan dari Heru, Ardian terhadap korban Vicki yang telah memegang dan meremas payudara korban di dalam Kamar

daripertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.Perbuatan yang telah

32 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm.56.. Penuangan tujuan itu kedalam

Berdasarkan pengertian di atas, variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Tipe Kepribadian dan Jenis Tindak Pidana terhadap Optimisme

Pengertian tindak pidana menurut rancangan KUHP Nasional adalah mirip dengan pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno, Oleh karena untuk adanya tindak pidana itu, selain

Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang

Tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang