• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memksa,

B. Hasil Penelitian

2. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memksa,

melakuan tipu muslihat, melakukan serangkain kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan membiarkan dilakukan perbuatan pencabulan.

Tuntutan:

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaukan tindakan pidana “melakukan ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan membiarkan dilakukan perbuatan cabul „yamg diatur dan di ancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana dalam dakwaan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama

5 (lima) tahun di kurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 60.000.000., subsidair 6 bulan kurungan.

Pertimbangan hakim dalam putusan ini:

Menimbang, bahwa yang dianggap sebagai subyek hukum pelaku tindak pidana dalam perkara ini lengkap dengan segala identitasnya, menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah terdakwa Achiruddin Pasila Als. Babe, berdasarkan hasil pemeriksaan di depan persidangan ternyata identitas terdakwa cocok dan sesuai dengan identitasnya sebagai tercantum dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat unsur kesatu “setiap orang” telah terpenuhi dan karenanya terbukti menurut hukum.

2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkain kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Menimbang bahwa telah terbukti unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dan memaksa. Bahwa pada saat terdakwa mengajak anak korban masuk kedalam kamar dan terdakwa menggendong amak korban terdakwa mengancam mengatakan tidak akan memasukkan anak korban dalam club volley. Bahwa selain anak korban terdakwa ternyata juga pernah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak saksi Aprillia Putri Setyorini yang juga masih dibawah umur, setelah melakukan perbuatan pencabulan terhadap anak saksi disebuah hotel, terdakwa mengancam kepada anak saksi untuk tidak memberitahukan perbuatan pencabulan yang telah terdakwa lakukan kepada anak saksi.

Menimbang bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak telah terbukti, maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal.

Mengadili: dalam putusan ini hakim menjatuhkan pidana terhadap

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

b. Hasil wawancara dengan Hakim dan Jaksa Yang menangani Kasus Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/Pn.Slt.

1. Hakim.

Dalam hasil penelitian ini penulis sudah melakukan wawancara kepada Hakim Ibu Yesi Akhista, S.H selaku ketua Majelis Hakim yang menangani kasus Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/Pn.Slt, dalam wawancara ini pendapat Hakim Yesi Akhista sudah mewakili pendapat ke 2 hakim lainnya yaitu Hakim Anggota I Ibu Nur Rismayanti, S.H, dan Hakim Anggota II Ibu meniek Emelinna Latuputty, S.H.

Dalam hasil wawancara ini penulis bertanya mengenai perlindungan hukum yang telah hakim berikan kepada korban dalam menangani kasus ini di dalam proses beracara di pengadilan negeri salatiga.

Hasil dari wawancara ini hakim memberikan jawaban sebagai berikut42: Terkait putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt karena terdakwanya dewasa, maka penyelesaian perkaranya dalam persidangan mengikuti hukum acara pidana biasa yang terdapat di KUHAP , namun terkait dengan materilnya mengikuti Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014.dan untuk pemeriksaan terhadap korban di pengadilan mengikuti/melihat Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban hakim sudah melakukan berdasarkan asas-asas yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dan juga tidak mengabaikan hak –hak anak dalam proses peradilan seperti pada Pasal 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2012. Hal ini dapat dilihat sebelum hakim melakukan pemeriksaan terhadap korban di persidangan, hakim mempelajari terlebih dahulu atau

meilihat terlebih dahulu mengenai kasus yang terjadi kepada anak korban dan dakwaannya, setelah itu hakim bertanya terlebih dahulu kepada jaksa penutut umum mengenai kondisi anak korban saat diperiksa oleh penuntut umum mengenai kasus yang di alami oleh korban. Apakaah anak korban mentalnya terganggu atau tidak. Menurut hakim hal ini perlu untuk dipastikan agar dalam memeriksa korban hakim telah mengetahui kondisi yang dialami anak korban, jadi ketika hakim memeriksa anak korban di persidangan hakim lebih berhati hati lagi dalam memperlakukan anak korban selama proses pemeriksaan dan lebih berhati hati lagi dalam memberikan pertanyaan kepada anak korban.

Hakim juga mengatakan bahwa pada setiap tahapan proses pemeriksaan dipersidangan korban selalu didampingi oleh orang tua anak korban, hal ini sudah sesaui dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 yang berbunyi :

a. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib di berikan bantuan hukum dan di dampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Dalam setiap tingkat pemeriksaa, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan /atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan / atau anak sakis atau pekerja sosial

Hakim juga berpendapat selama proses pemeriksaan anak korban di persidangan, sidang dilakukan secara tertutup untuk umum, dan para penegak hukum yang ada di dalam persidangan tidak menggunakan atribut hukum seperti yang telah di atur di dalam Pasal 22 Undang-Undang Ssitem Peradilan Pidana Anak (SPPA), namun untuk pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan menggunakan hukum acara pidana biasa pada umumnya.

Terkait dengan pemeriksaan korban di dalam persidangan apakah korban di pisahkan oleh terdakwa atau tidak. Hakim menjelaskan bahwa dalam setiap kasus yg berkaitan dengan anak di dalam pengadilan negeri salatiga, hakim bertanya terlebih dahulu kepada korban apakah korban tidak keberatan jika dalam pemeriksaan korban terdakwa dihadirkan. Jika korban tidak keberatan, maka terdakwa tetap di dalam ruangan persidangan , namun jika korban keberatan maka terdakwa tidak di dalam ruangan persidangan. Namun dalam kasus ini, pada saat pemeriksaan anak korban di dalam persidangan anak korban tidak dipisahkan oleh terdakwa, karena anak korban tidak keberatan jika terdakwa ada di dalam satu ruangan persidangan dengan anak korban, dan saat itu anak korban di damping oleh ibunya.

Terkait dengan Perma Perempuan yang berhadapan dengan Hukum apakah hakim menerapkan dalam menangani kasus ini. Maka hakim menjelaskan bahwa dalam menangani kasus ini, hakim tidak melihat perma perempuan yang berhadapan dengan hukum. Hakim hanya melihat dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena menurut hakim Perma dengan Undang-Undang lebih tinggi Undang-Undang dan hakim juga berpendapat bahwa di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah mengatur secara lengkap bagaimana hakim harus menangani kasus ini dalam proses beracara, bagaimana hakim harus bersikap, memeriksa korban, memperlakukan korban dan bertanya kepada korban selama beracara di pengadilan.

Penulis juga bertanya mengenai apakah hakim dalam menangani kasus ini, memberikan aksebilitas mengenai perkembangan perkara kepada pihak korban. hakim menjelaskan bahwa terkait aksebilitas perkembangan perkara pihak pengadilan negeri salatiga sudah memberikan layanan sistem penelusuran perkara dan keterbukaan informasi. Jadi masyarakat umum isa memiliki aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara dan putusan.

Namun terkait dengan kasus asusila memang tidak dimuat dalam sistem penelusuran perkara dan keterbukaan informasi hal ini karena kasus asusila bersifat privasi dan untuk menjaga kerahasiaan data korban dan kepentingan korban. hakim juga memberikan penjelasan Jika korban ingin mengetahui perkembangan perkara yang sedang korban hadapi, maka pihak korban maupun korban bisa datang langsung kepengadilan salatigan dan kebagian PTSP.

Dalam memutuskan perkara putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN.Slt, hakim menjelaskan bahwa hakim memutuskan dengan mengacu pada KUHAP jika dalam beracara dan untuk materil mengacu pada apa yang didakwakan oleh penuntut umum, seperti pasal berapa dan undang-undang apa yang telah didakwakan oleh penuntut umum maka itulah yang akan dibuktikan oleh hakim. Dalam kasus ini penuntut umum memberikan dakwaan tunggal yaitu Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan anak, yang dimana pasal tersebut berbunyi “

setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana maksud di dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00. (lima ratus miliar rupiah)” dengan demikian hakim

harus membuktikan apakah dakwaan yg didakwakan oleh penuntut umum pada Pasal 82 ayat 1 tersebut terbukti dilakukan oleh terdakwa.

2. Jaksa Penuntut Umum.

Dalam Hasil Penelitian ini Penulis juga sudah mewawancarai Jaksa Penuntut Umum yang menangani Kasus Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/Pn.Slt yaitu Ibu Wahyu Dewi Purwati S.H. Dalam hal ini penulis bertanya mengenai perlindungan hukum apa yg sudah Jaksa Penuntut Umum berikan kepada Korban dalam menangani Kasus tersebut. Dalam hasil wawancara ini, jaksa memberikan jawaban sebagai berikut43: sebelumnya jaksa memberitahukan bahwa apa yang telah penutut umum

lakukan adalah sudah sesuai dengan apa yg sudah di atur di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jaksa menjelaskan bahwa perlindungan hukum yang sudah jaksa berikan terhadap korban dalam beracara hanya membantu korban dalam penuntutan terhadap terdakwa agar terdakwa dapat dihukum sesui dengan apa yang sudah terdakwa lakukan kepada korban . Jaksa juga menjelaskan bahwa korban tidak menggunakan pengacara karena kepentingan korban sudah diwakili oleh jaksa penuntut umum dan jaksa juga menjelaskan bahwa untuk bantuan advokad (pengacara) pihak kejaksaan tidak memfasilitasi jadi jika pihak korban ingin menggunakan pengacara maka pihak korban bisa mencari sendiri untuk bantuan advokad.

Mengenai dakwaan yang jaksa berikan, jaksa menjelaskan bahwa dakwaan yang jaksa berikan hanya dakwaan tunggal saja yaitu Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Hal ini jaksa berikan karena dilihat dari kasus yang terjadi dan keterangan dari korban mengenai kasus yang terjadi bahwa memang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah perbuatan tindak pidana pencabulan. Dalam kasus ini jaksa menjelaskan pula bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pencabulan juga terhadap saksi korban. namun jaksa menjelaskan kenapa jaksa hanya memberikan dakwaan Pasal 82 ayat (1) dan kenapa jaksa tidak memberikan dakwaan lebih dari satu Pasal, karena yg melaporkan kejadian atau kasus ini hanyalah satu orang yaitu anak korban.

Mengenai apakah jaksa memberikan aksesibilitas untuk perkambangan perkara terhadap korban. jaksa memberikan jawaban bahwa mengenai perkembangan perkara jaksa tidak memberikan informasi kepada pihak korban, terkecuali pihak korban sendiri yang bertanya kepada jaksa mengenai perkembangan perkaranya dan jaksa melakukan hal seperti itu karena jaksa merasa itu bukan tanggung jawab jaksa penuntut umum.

C. ANALISIS.

1. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak

Dokumen terkait