• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan dalam proses beracara di Pengadilan Negeri Salatiga

B. Hasil Penelitian

1. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan dalam proses beracara di Pengadilan Negeri Salatiga

(Studi Kasus Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/PN Slt).

Pada sub bahasan kali ini, penulis akan membahas dan memberikan analisis serta jawaban atas rumusan masalah yang menjadi perhatian pada penelitian ini. Dari beberapa peraturan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana dalam proses peradilan seperti Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum dan juga dari hasil wawancara penulis terhadap hakim dan jaksa yang menangani kasus tersebut. Maka menurut hasil penelitian penulis, penegak hukum yaitu hakim dan jaksa di Penggadilan Negeri Salatiga yang mengadili perkara Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/Pn.Slt sudah sepenuhnya mengikuti peraturan perundang-undangan namun menurut penilaian penulis ada beberapa pasal yang sudah di terapkan dengan baik oleh penegak hukum di Pengadilan Negeri Salatiga dan ada juga beberapa pasal yang penulis nilai belum efektif penerapannya dilakukan oleh penegak hukum di Pengadilan Negeri Salatiga dalam pelaksanaannya jika dikaitkan dengan kasus Putusan Nomor 85/Pid.Sus/2018/Pn.Slt. hal ini dapat penulis berikat penilaian dan dapat penulis jabarkan sebagai berikut:

Dalam menangani Anak korban pada proses beracara jika di kaitkan terkait dengan putusan ini, hakim dan jaksa telah menerapkan Pasal 22 yang berbunyi “

Penyidik penuntut umum, hakim, pembimbing kemsayarakatan, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak, anak korban dan/ atau anak saksi tidak memakai toga atau atribur kedinasan” hal ini penulis nilai dalam hasil wawancara yang penulis lakukan

dengan Hakim yang mengadili perkara ini memang selama jalannya proses pemeriksaan korban di persidangan, penegak hukum yang menangani kasus ini tidak menggunakan toga atau atribut kedinasaan.

(1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan di dampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentaun peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban maupun anak saksi wajib di damping oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial.

Penerapan Pasal 23 ayat (1) jika dikaitkan dengan kasus ini, penulis menilai bahwa penerapan pasal ini belum sepunuhnya diterapkan, hal ini dapat dilihat ketika penulis melakukan wawancara dengan hakim dan jaksa yang menangani kasus ini. Penulis bertanya kepada hakim dan jaksa dengan pertanyaan yang sama yaitu “mengapa dalam kasus yang melibatkan anak sebagai korban tidak di dampingi oleh penasihat hukum/advokat/bantuan hukum lainnya?” kemudian hakim menjawab “ dalam kasus ini memang anak orban tidak di damping oleh advokat/penasihat hukum, anak korban hanya di dampngi oleh jaksa penuntut umum, hal ini dikarenakan jaksa penuntut umum sudah mewakili kepentingan anak korban selama proses beracara di persidangan dan jika anak korban ingin di damping oleh penasihat hukum/bantuan hukum lainnya, anak korban sendirilah yang mengajukan atau mencari bantuan hukum sendiri”dan ketika penulis bertanya kepada jaksa penuntut umum, kemudian jaksa penuntut umum menjawab “ mengenai hal ini memang anak korban tidak di damping oleh advokat atau penasihat hukum, karena kepentingan korban sudah di wakili oleh jaksa penuntut umum dan jaksa juga menjelaskan bahw untuk bantuan hukum pihak kejaksaan tidak memfasilitasi. Jadi jika pihak anak korban ingin memperoleh pendampingan hukum maka pihak korban bisa mencari sendiri untuk memperoleh bantuan advokad”. Melihat pelaksanaan terhadap pada Pasal 23 ayat (1) diatas jika diaitkan dengan kasus dan fakta dalam persidangan, pelaksanaannya belum efektif penulis menilai selayaknya anak sebagai korban pada proses beracara harus didampingi oleh advokat ataupun memperoleh bantuan hukum, karena menurut penulis bantuan hukum merupakan salah satu hak setiap anak dalam proses peradilan seperti apa yang telah di sebutkan di dalam Pasal 3 huruf (c) yang berbunyi “hak anak selama proses

peradilan memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif” dan

penulis pun menilai bahwa penuntut umum itu bukanlah suatu pemberi bantuan hukum seperti halnya advokat/penasihat hukum melainkan Penuntut umum merupakan penegak hukum yang diberikan wewenang oleh Undang Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim dan hal ini pun juga sudah di atur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mengatir tentang tugas dan wewenang kejaksaan sebagaimana ditentutkan dalam Pasal 30 yang berbunyi “ tugas dan

wewenang jaksa dalam bidang pidana melakukan penuntutan dan melaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap “ jadi

menurut penilian penulis dalam kasus ini seharusnya anak korban di damping oleh advokat atau pemberi bantun hukum. Karena jaksa dalam kasus ini hanya sebatas membantu anak korban pada saat memberikan tuntutan terhadap terdakwa sesuai dengan perbuatan yang telah dilakuan terhadap terdakwa dan hal ini belum bisa dikatakan Jaksa sudah mewakili kepentingan anak korban.

Penerapan Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi “dalam setiap pemeriksaan anak korban atau anak saksi wajib di damping oleh orang tua dan atau orang yang dipercayai oleh anak korban dan/atau anak saksi” dalam penerapannya di kaitan dengan kasus ini bahwa selama pemeriksaan anak korban di pengadilan, anak korban selalu di damping oleh orang tua anak korban.

Selama dalam proses pemeriksaan di persidangan hakim juga sudah menerapkan pasal 53 dan 54 bahwa anak di sidangkan dalam ruang sidang khusus anak dan persidangan tertutup untuk umum.

Penerapan Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi “Pada saat memeriksa anak

korban dan atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak di bawa keluar sidang”. Fakta di persidangan penerapan ayat (1) di pengadilan negeri salatiga dalam setiap pemeriksaan anak korban di persidangan hakim selalu bertanya terlebih dahulu kepada anak korban “apakah korban tidak keberatan

atau bersedia jika terdakwa tetap ada di dalam ruangan persidangan saat pemeriksaan korban di pengadilan?” jika korban menjawab korban tidak

keberatan atau bersedia saat pemeriksaan korban, terdakwa tetap ada di dalam ruangan persidangan , maka terdakwa akan tetap di dalam ruangan persidangan, namun jika jawaban korban keberatan atau tidak bersedia jika korban tetap ada di dalam ruangan persidangan saat pemeriksaan korban, maka terdakwa tidak ada di dlm ruangan persidangan saat pemeriksaan korban. namun menurut penilain penulis, walaupun pada saat pemeriksaan anak korban di persdiangan tidak di wajibkan agar di pisahkan dari terdakwa seperti apa yang tertulis di Pasal 58 ayat (1), namun penulis menilai lebih baiknya hakim dalam pemeriksaan anak korban di persidangam idak menanyakan kepada anak korban mengenai sedia atau tidak bersedianya jika dalam pemeriksaan terdakwa tetap berada di dalam ruanga persidangan, menurut penilaian penulis sebaiknya dalam oemeriksaan anak korban di persidangan dipisahkan oleh terdakwa , karena hal ini untuk menjaga mental atau psikis anak akibat perbuatan terdakwa terhadap anak korban.

Pasal 58 ayat (2) “ Pada saat pemeriksaan anak korban dan atau anak saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir”.

Fakta atau penerapan pasal ini jika dikaitkan dengan kasus ini memang sudah sesuai dan pada setiap pemeriksaan ana korban, anak korban selalu di damping oleh orang tua anak korban.

Hal lain juga terlihat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat 1 huruf b yang berbunyi

“saksi dan korban berhak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus” namun kenyataannya berdasarkan hasil wawancara penulis kepada

hakim, mengenai aksebilitas perkembangan perkara hakim menjawab bahwa penegak hukum di pengadilan negeri salatiga termaksud hakim sendiri tidak ada memberitahukan kepada korban mengenai perkembangan perkara, jika korban ingin mengetahui mengenai perkembangan perkara, korban sendiri yang bertanya atau datang langsung ke pengadilan negeri salatiga, penilain penulis mengenai hal ini seharusnya penegak hukum yang menangani kasus tersebut memberikan infirmasi terkait perkembangan perkara korban tanpa harus korban

sendiri yang bertanya kepada penega hukum yang menangani kasus ini atau kepengadilan negri salatiga. Karena hal ini sudah jelas bahwa terkait perkembangan perkara, itu merupakan hak korban untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara seperti apa yang sudah di sebutkan di Pasal 5 ayat 1 huruf f.

Dalam proses pemeriksaan terhadap anak korban dalam kasus ini hakim belum menerapkan Perma Nomor 13 Tahun 2017 tentang perempuan yang berhadapan dengan hukum. Faktanya dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap hakim ketika penulis bertanya mengenai “apakah dalam menangani kasus ini, hakim menerapkan Perma perempuan berhadapan dengan hukum? Karna kasus ini sendiri melibatkan anak yang menjadi korban dimana anak tersebut adalah perempuan” kemudian hakim menjawab bahwa dalam menangani kasus ini hakim tidak melihat dari Perma Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, karena menurut hakim Undang-Undang dan Perma lebih tinggi Undang-Undang, jadi hakim tidak perlu untuk melihat Perma ini. Namun menurut penulis seharusnya dalam menangani kasus ini hakim melihat perma perempuan berhadapan dengan hukum, hal ini bertujuan agar dalam proses pemeriksaan korban di persidangan tidak adanya diskriminasi perempuan yang terjadi, karena jika adanya diskriminasi dalam proses pemeriksaan di persidangan akan menimbulkan ketidak adalian bagi anak korban sebagai korban tindak pidana pencabulan, ketidk adalian tersebut akan berdampak pada penanganan perkara tersebut dan juga akan berdampa kepada kondisi psikis korban. maka menurut penulis pentinglah Perma Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan Dengan Hukum juga di perhatian dalam melindungi anak sebagai korban tindak pidana dalam Proses peradilan.

Dokumen terkait