• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Dasar Pemidanaan dalam Menjatuhkan Putusan

Pertimbangan Hakim adalah hal-hal yang menjadi dasar atau yang dipertimbangkan Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana.

Sebelum memutus suatu perkara, Hakim harus memperhatikan setiap hal-hal penting dalam suatu persidangan. Hakim memperhatikan syarat dapat dipidananya seseorang, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

Hakim memeriksa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang memperhatikan syarat subjektifnya, yaitu adanya kesalahan, kemampuan bertanggungjawab seseorang, dan tidak ada alsana pemaaf baginya. Selain itu Hakim juga memperhatikan syarat objektifnya, yaitu perbuatan yang dilakukan telah mencocoki rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar (Mappiasse, S, 2017).

Apabila hal tersebut terpenuhi, selanjutnya Hakim mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan putusan yang akan dijatuhkannya nanti. Pertimbangan Hakim dinilai dari faktor hukum dan nonhukum yang kesemuanya itu haruslah disertakan dalam putusan. Faktor hukum seperti pengulangan tindak pidana (residive), merupakan tindak pidana berencana, dll. Sedangkan faktor nonhukum seperti sikap Terdakwa dipersidangan dan alasan-alasan lain yang meringankan (Gulo, 2018).

Pasal 25 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut memuat pula pasal dijadikan dasar untuk mengadili . Berdasarkan Pasal 25 tersebut , maka dalam membuat suatu keputusan, Hakim harus mempunyai suatu alasan dan dasar putusan serta juga harus memuat pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau commit to user

(2)

sumber hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk mengambil suatu alasan dan dasar suatu putusan, Hakim terlebih dahulu harus mempunyai pertimbanganpertimbangan yang berhubungan dengan Terdakwa.

Kekuasaan keHakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan keHakiman bebas dari campur tangan pihak-pihak dan kekuasaan negara kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Kebebasan yang dimiliki Hakim dalam mengambil keputusan sering menimbulkan disparitas (Handoko, 2015).

a. Pertimbangan Yuridis dan Nonyuridis Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.

Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

1) Dakwaan jaksa Penuntut Umum;

2) Keterangan saksi;

3) Keterangan Terdakwa;

4) Barang-barang bukti;

5) Pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana ada Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap kasus putusan nomor 6/Pid.B/2019/PN Snn yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalulintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia menurut pendapat majelis Hakim telah terpenuhi atas diri Terdakwa mengingat pasal 310 ayat (4) UU RI No 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan. Undang-undang nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan perkara.

Ketentuan mengenai pertimbangan Hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d dan f KUHAP. commit to user

(3)

Pasal 197 ayat (1) huruf d yang berbunyi :

“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa.”

Pasal 197 ayat (1) huruf f yang berbunyi :

“pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa”

Dijelaskan pula pada Peraturan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan KeHakiman Pasal 50 (1) yang berbunyi :

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Pasal 53 Peraturan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan KeHakiman yang berbunyi :

“(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.”

Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pertimbangan Non Yuridis (Sosiologis)

Pertimbangan non yuridis dapat dilihat dari latar belakang, akibat perbuatan Terdakwa, kondisi diri Terdakwa, dan agama Terdakwa.

Pertimbangan keputusan disesuaikan dengan kaidah-kaidah, asasasas commit to user

(4)

dan keyakinan yang berlaku di dalam masyarakat, karena itu pengetahuan tentang sosiologi, psikologis perlu dimiliki oleh Hakim.

Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara , yaitu (Mappiasse, S, 2017) :

1) Latar belakang perbuatan Terdakwa

Latar belakang perbuatan Terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri Terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

Keadaan ekonomi, misalnya merupakan contoh yang sering menjadi latar belakang kejahatan.kemiskinan, kekurangan, atau kesengsaraan merupakan suatu keadaan ekonomi yang sangat keras mendorong Terdakwa melakukan perbuatannya. Orang miskin sukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara tuntutan hidup senantiasa mendesak akhirnya bagi yang lemah iman,dengan mudah menentukan pilihan berbuat pidana.

2) Akibat perbuatan Terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Pada Perkara Nomor : 6/Pid.B/2019/PN Snn Tentang Tindak Pidana Kelalaian atau Kealpaan yang mengakibatkan luka atau kematian terhadap orang lain, akibat dari perbuatan Terdakwa sangat merugikan orang lain bahkan akibat perbuatan Terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh kepada masyarakat luas. Oleh Karena itu dapat menjadi pertimbangan oleh Hakim.

3) Kondisi Terdakwa

Kondisi diri Terdakwa adalah keadaan fisik ataupun psikis Terdakwa sebelum melakukan kejahatan,termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis commit to user

(5)

dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan misalnya dalam keadaan marah mempunyai perasaan dendam, mendapatkan ancaman atau tekanan orang lain dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal.

4) Keadaan sosial ekonomi Terdakwa

Menurut Dahlan, salah satu yang harus dipertimbangkan Hakim adalah keadaan sosial ekonomi Terdakwa, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya, kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta yang terungkap dimuka persidangan karena pada dasarnya faktor ekonomilah yang sangat berpagaruh Terdakwa untuk melakukan kejahatan.

5) Faktor agama Terdakwa

Digolongkannya faktor agama dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis disebabkan tidak adanya satu ketentuan dalam KUHAP maupun ketentuan formal lainnya yang menyebutkan bahwa faktor agama harus dipertimbangkan dalam putusan. Namun perlu dicatat bahwa meskipun faktor agama dimasukkan sebagai pertimbangan yang bersifat non yuridis tidak berarti kita memisahkan agama dengan hukum.Karena tidak adanya ketentuan formal itulah yang menyebabkan faktor agama untuk sementara digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat non yuridis.

2. Ruang Lingkup Pengaturan Keadilan Restoratif dalam Perkara Pidana Konsep Restorative Justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan diberbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional. Keadilan Restoratif bukan keadilan yang menekankan pada commit to user

(6)

prosedur (keadilan prosedural), melainkan subtantif. model pendekatan Restorative Justice ini sebenarnya telah digunakan di beberapa negara dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum yang terjadi diantara mereka (Satria, 2018).

Walaupun model pendekatan ini masih banyak diperdebatkan dalam tataran teori oleh para ahli, namun dalam kenyataannya tetap tumbuh dan eksis serta mempengaruhi kebijakan dan praktek hukum di banyak negara.

Secara umum penyelesaian masalah atau sengketa ini dapat ditempuh dengan dua jalur yaitu dengan menggunakan jalur litigasi dan jalur non litigasi. Pada dasarnya kedua jalur ini bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan bagi masyarakat pada umumnya, dan keadilan untuk para pihak pada khususnya. Penggunaan salah satu jalur penyelesaian perkara litigasi maupun non litigasi tersebut akan sangat ditentukan oleh konsep dan tujuan penyelesaian perkara yang ingin dicapai oleh para pihak serta yang tidak kalah pentingnya adalah itikad baik dari para pihak untuk menyelesaiikan perkara tersebut.

a. Pengertian Prinsip Keadilan Restoratif

Istilah Restorative Justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal di Indonesia sejak era tahun 1960-an dengan istilah Keadilan Restoratif. Di beberapa negara maju keadilan restoratif bukan sekedar wacana oleh para akademisi hukum pidana maupun kriminologi.

Amerika Utara, Australia dan beberapa negara di Eropa keadilan restoratif telah diterapkan dalam tahap proses peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, ajudikasi dan tahap eksekusi.

Prinsip-prinsip keadilan restoratif secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah model penyelesaian perkara di luar lembaga pengadilan atau atau sering disebut dengan out of court settlement yang lebih memperhatikan keadilan, tujuan dan keinginan para pihak dengan konsep victim awareness work. Dalam kerangka normatif maupun dari kerangka teoretis prinsip penyelesaian perkara pidana di luar lembaga commit to user

(7)

pengadilan atau out of court settlement banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat juga beberapa praktek penyelesaian perkara pidana di luar sistem peradilan pidana (Syahrin, 2018).

Pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana memiliki kekuatan yang mampu memulihkan hubungan antar pihak yang menjadi pelaku dan yang menjadi korban. Juga memiliki kekuatan untuk mencegah adanya permusuhan lebih mendalam antar para pihak dan mendorong rekonsilisasi antara pihak pelaku dan korban secara sukarela (Flora, 2018). Kekuatan lainnya ialah mendorong adanya partisipasi warga masyarakat lainnya, misalnya anggota keluarga atau tetangga serta menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses menuju keadilan.

Di sisi korban, keadilan restoratif memberi kekuatan untuk memberi kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa penyesalan kepada korban dan lebih baik bila difasilitasi bertemu dalam pertemuan yang dilakukan secara professional. Perspektif keadilan restoratif ini sebagai akibat adanya pergeseran hukum dari lex talionis atau retributive justice dengan menekankan pada upaya pemulihan (restorative). Dalam upaya pemulihan korban bilamana dengan pilihan pendekatan yang lebih retributive dan legalistic sulit untuk mengobati luka korban. Maka keadilan restoratif berupaya untuk menekankan tanggung jawab pelaku atas perilakunya yang menyebabkan kerugian orang lain (Meliala, 2015).

Di sisi bantuan hukum, secara umum tidak selalu tersedia atau kalaupun tersedia biaya pranata hukum tidak murah dan kesadaran akan peran para pihak sendiri dalam menentukan keputusan masih membutuhkan pengalaman dan konsistensinya. Implikasi dari keadilan restoratif ini, diharapkan dapat berkurangnya jumlah orang yang masuk dalam proses peradilan pidana khususnya dalam lembaga pemasyarakatan, berkurangnya beban sistem peradilan pidana dan

commit to user

(8)

meningkatnya partisipasi publik dalam membantu penyelesaian kasus hukum.

b. Surat Edaran Kapolri Nomor 8 tahun 2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Salah satu upaya dalam penyelesaian tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tidak hanya melalui upaya penegakan hukum, namun melalui pendekatan keadilan restoratif yang berbeda dengan sistem peradilan pidana konvensional, di mana pendekatan ini menitikberatkan partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, Polri mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang mengatur bahwa perkara yang dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif adalah perkara pidana dengan kerugian kecil yang merupakan kategori tindak pidana ringan, dan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana berat yang mengakibatkan korban manusia.

Selain itu, penerapan keadilan restoratif hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana sebelum Penyidik mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Jaksa Penuntut Umum.

Untuk merespon harapan masyarakat pencari keadilan khususnya dalam penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sekaligus sebagai dasar hukum yang menjadi pedoman bagi penyidik dalam menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana, Polri telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Ketentuan Poin 3 a dan b dalam Surat Edaran Kapolri mengatur tentang syarat materiil penerapan keadilan restoratif yaitu:

commit to user

(9)

1) Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyrakat;

2) Tidak berdampak konflik sosial;

3) Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

4) Prinsip pembatas pada pelaku yakni tingkat kesalahan pelaku tidak relatif berat (kesalahan bukan dalam bentuk kesengajaan) dan bukan residivis, dan pada tindak pidana dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.

Selain syarat materiil, Surat Edaran Kapolri tersebut juga mengatur syarat formil penerapan keadilan dalam penerapan keadilan restoratif yaitu :

1) Surat permohonan perdamaian antara kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2) Surat pernyataan perdamaian dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan penyidik;

3) Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif (Restorative Justice);

4) Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif (Restorative Justice);

5) Pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab, ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela;

6) Semua tindak pidana dapat dilakukan Restorative Justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.

commit to user

(10)

3. Perbedaan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara dan Keadilan Retributif Dalam Cara Memutus Perkara

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan mengenai jenis sanksi apakah yang cocok dan bagaimanakah proses penyelesaian kejahatan itu dilakukan.

Sedangkan bagaimana hukum pidana itu dirumuskan sangat tergantung dari asumsi-asumsi dasar mengenai kejahatan serta cara dan sarana yang dapat dipakai untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Salah satu asumsi dasar yang mempunyai akar panjang dalam sejarah pembentukan hukum pidana adalah retributivisme.

Dalam hukum pidana yang dibuat menurut pandangan retributivisme, pemulihan korban, sebagai bagian dari masyarakat, tidak diperhatikan.

Padahal ketika tindak pidana terjadi, korban adalah pihak yang secara langsung mengalami penderitaan atau kerugian. Dengan kata lain, meskipun dalam tindak pidana korban adalah pihak yang kesejahteraannya terganggu, tetapi dalam penyelesaian perkara pidananya pemulihan kesejahteraan korban kurang atau bahkan tidak dipertimbangkan. Fakta tersebut tentu saja dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuan utama dari politik kriminal. Suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sejahtera apabila masing-masing anggota masyarakatnya dapat mencapai kesejahteraan.

Berbeda dengan pandangan retributivisme, keadilan restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban (viktimisasi). Dengan kata lain, keadilan restoratif memandang tindak pidana atau kejahatan sebagai konflik antara pelaku dan korbannya. Persepsi tentang kejahatan menurut keadilan restoratif tersebut mengandung konsekuensi harus dipertimbangkannya juga aspek korban dalam penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, commit to user

(11)

tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban.

Keadilan restoratif juga memandang penting dilibatkannya korban dalam proses penyelesaian perkara.

4. Kelalaian Lalu Lintas yang Menimbulkan Kematian Korban Dengan Berdasarkan Nilai Keadilan Restoratif Sesuai Dengan Putusan Nomor : 6/Pid.B/2019/PN Snn

a. Definisi Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Pengertian lalu lintas adalah gerak/pindah kendaraan manusia dan hewan di jalan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat gerak. Menurut Undang Undang No.22 Tahun 2009 Pasal 1 butir 24 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,

“kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda”.

Menurut Pasal 229 UU LLAJ menentukan sebagai berikut : 1) Kecelakaan lalu lintas digolongkan atas :

a) Kecelakaan lalu lintas ringan;

b) Kecelakaan lalu lintas sedang; atau c) Kecelakaan lalu lintas berat.

2) Kecelakaan lalu lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

commit to user

(12)

3) Kecelakaan lalu lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

4) Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

5) Kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaraan, serta ketidaklayakan jalan dan/atau lingkungan.

b. Pengertian Korban

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

2) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

3) Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi

“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, commit to user sebagai

(13)

akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya”.

c. Pertanggungjawaban Pidana

Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau tidak atau dilakukan dengan sengaja atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang dinyatakan harmful yang berarti menunjukkan hubungan eksternal antara perbuatan dan akibatnya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan akibat dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban inilah yang disebut pertanggungjawaban mutlak.

Seorang dikatakan mampu bertanggung jawab, bila memenuhi 3 syarat, yaitu (Aprilianda, 2017) :

1) Dapat menginsyafi makna dari pada perbuatan;

2) Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan.

Pasal 44 KUHP menentukan:

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;

2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan; commit to user

(14)

3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai berikut:

1) Mampu bertanggung jawab

Kitab Undang-undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukaan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

2) Kesalahan

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya. Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:

a) Kesengajaan (Opzet)

Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang.

commit to user

(15)

Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa

“kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni : (1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang.

(2) Kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari deik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.

(3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis)

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan”

bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.

b) Kealpaan (culpa)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat ke depan, kealpaan ini sendiri dipandang lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 bentuk, yakni: commit to user

(16)

(1) Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata)

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat tersebut.

(2) Kealpaan tanpa kesadaran (onbwuste schuld/culpa levis)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

3) Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas perbuatannya.

Meskipun perbuatannya melanggar hukum, karena alasan pengahapusan kesalahan tersebut si pembuat kesalahan bebas dari pemidanaan. Alasan ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan :

a) Daya paksa relatif

Dalam M.v.T. daya Paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa seseorang berada dalam posisi terjepit (dwangpositie). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar diri si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya.

b) Pembelaan terpaksa melampaui batas commit to user

(17)

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa noodwer dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodwer exces, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain.

5. Tindak Pidana Kelalaian Yang Mengakibatkan Luka atau Kematian Orang Lain

a. Dasar Hukum Tindak Pidana Kelalaian

Ketentuan-ketentuan mengenai kelalaian yang menyebabkan korbannya meninggal dunia diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) Buku Kedua tentang Kejahatan Bab XXI Pasal 359, yang bunyinya sebagai berikut :

“Barang siapa karena kesalahannya ( Kelalaiannya ) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun”.

Berdasarkan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 310 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yang bunyinya sebagai berikut :

1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun

commit to user

(18)

dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah);

3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang mengkibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

b. Unsur Tindak Pidana Karena Kelalaiannya yang Mengakibatkan Kematian atau Luka

Dirumuskan dalam Pasal 310 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan unsur-unsur dari rumusan Pasal 310 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut yaitu:

1) Unsur ‘Setiap Orang’

Unsur setiap orang yang dimaksud disini adalah menunjuk kepada Pelaku Tindak Pidana yang saat ini sedang didakwa, dan untuk menghindari adanya kesalahan terhadap orang (Error In Persona) maka identitasnya diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap dalam Dakwaan.

2) Unsur mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannnya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas

Di dalam Undang-Undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan itu sendiri maka untuk menyatakan “kealpaan”

Istilah tentang kealpaan ini disebut “schuld” atau “culpa”

yang dalam bahasa Indenesia diterjemahkan dengan

“kesalahan”. Tetapi maksudnya adalah dalam arti sempit commit to user

(19)

sebagai suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan, yaitu: kurang berhati-hati sehinga akibat yang tidak disengaja terjadi.

Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau cirinya adalah:

a) Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/ otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah suatu tindakan aktif (pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan;

b) Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

Penjelasan tentang apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri KeHakiman Belanda mengajukan Rancangan Undang- Undang Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan Rancngan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud denga “kelalaian” adalah:

a) Kekurangan pemikiran yang diperlukan;

b) Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan;

c) Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari.

3) Unsur Menyebabkan ‘Korban Meninggal Dunia’

Dalam unsur ini, karena kelalaiannya atau Kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, maka terhadap unsur ini adalah commit to user

(20)

untuk melihat hubungan antara perbuatan yang terjadi dengan akibat yang ditimbulkan sehingga rumusan ini menjadi syarat mutlak dalam delik ini adalah akibat.

B. Kerangka Pemikiran

Daftar Gambar 1 Bagan Kerangka Berpikir

Keterangan :

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu alasan yang mendasari Penyelesaian tindak pidana kelalaian yang dilakukan di luar persidangan dengan berdasar

Pertimbangan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Kelalaian Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian Korban

Tahap Pemeriksaan dalam Persidangan

Persidangan Tahap Pembuktian

Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan

Pertimbangan Hakim Putusan Pengadilan

Nomor : 6/Pid.B/2019/PN Snn Perdamaian di luar

persidangan

commit to user

(21)

keadilan restorative menurut ketentuan perundang-undangan. Dalam kasus ini diselesaikan melalui tahap perdamaian di luar persidangan pada keluarga Korban dan juga Terdakwa. Kemudian dilakukan pemeriksaan dalam persidangan oleh Hakim yang berwenang yaitu pada peradilan umum termasuk menghadirkan saksi terkait. Apabila perkara nya telah disidik dan diserahkan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Harus dilakukan pembuktian untuk dapat mengetahui kebenaran suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan melalui berkas berita acara maupun kesaksian saksi yang telah dihadirkan.

Setelah Hakim mengetahui peristiwanya dan telah menemukan isu hukumnya, Hakim akan segera menjatuhkan putusan sesuai dengan pertimbangan hakim atas dasar peraturan hukum pada Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan putusan pengadilan Nomor : 6/Pid.B/2019/PN. Jika Penuntut Umum mengajukan putusan yang sama maka tidak ada banding dalam putusan tersebut dan dinyatakan inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Penyalahgunaan jabatan yang dimasukkan sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict) tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

a. Perbuatan – perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika. Perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Wetmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan) merupakan salah satu prinsip dari negara hukum. Prinsip tersebut menjadi dasar bahwa

Tindak pidana di bidang perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, Pandangan ini memberikan

Tindak pidana pada umumnya sering didefinisiakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar peraturan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang

perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam dengan pidana, namun dalam ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tetap bersifat melawan hukum, perempuan hamil dan