16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana 1. Istilah Tindak Pidana
Dari berbagai literature dapat diketahui16 bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana17 , delict18, perbuatan pidana19. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain 20:
1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14 2. Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam undang-undang
Nomor 1 tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam undang-undang Darurat Nomor 2 tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen. 4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
16Lihat; Satochid Kartanegara, op.cit., Hal 74, Sudarto, Hukum Pidana Jilid IA-B, op.cit, Hal 30, Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, op.cit Hal 54-57
17 Sudarto, Hukum Pidana jilid IA-B, op.cit., Hal 31 18 Satochid Kartanegara, op.cit, Hal 74
19 Moeljatno, Asas-asas hukum pidana Indonesia, op.cit, Hal 54-57 20 Sudarto, Hukum Pidana Jilid IA-B, op.cit, Hal 30
17 5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai
undang-undang, misalnya :
a. Undang-undang Darurat Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum;
b. Undang-undang Darurat Nomor 7 tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; c. Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka Permasyarakatan bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.
2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
a) Pengertian Menurut Doktrin Hukum Pidana 1. Pandangan Monitis
Pandangan Monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan21. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman bahwa didalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility). Dibawah ini disajikan beberapa batasan/pengertian tindak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan monistis.
a. D. Simons
Menurut D. Simons22, tindak pidana adalah tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. dengan batasan
21 Ibid
18 ini, maka menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan Manusia, baik dalam arti perbuatan
positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).
b. Diancam dengan pidana. c. Melawan Hukum.
d. Dilakukan dengan kesalahan.
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
b. J. Bauman
Menurut J. Bauman, 23perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, brsifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
c. Wiryono Prodjodikoro
Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
2. Pandangan Dualistik
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana. Apabila menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup didalamnya baik criminal act maupun criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan Dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya
19 apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/pertanggung jawaban pidana.
a. Pompe
Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit(tindakan, pen) yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang24. Menurut Pompe dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana.
b. Moeljatno
Menurut Moeljatno25, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dengan penjelasan seperti tersebut, maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur : 1) Adanya perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1(1) KUHP);
3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).
b) Pengertian Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat, tindak pidana atau delik adat adalah setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan
24 Ibid 25 Ibid
20 materiil dan immateriil orang-orang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan). Tindak pidana sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat ialah reaksi adat karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali26. Berdasarkan batasan-batasan tersebut, maka tersimpul bahwa delik adat memuat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan; 2. Perbuatan tersebut mengganggu keseimbangan persekutuan
masyarakat;
3. Perbuatan tersebut bersifat materiil dan immateriil;
4. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang seorang atau masyarakat;
5. Mengakibatkan reaksi adat.
c) Pengertian Menurut Hukum Islam
Dalam konteks hukum (pidana) islam istilah tindak pidana sering juga disebut dengan istilah jarimah27. Menurut hukum (pidana) Islam, tindak pidana (jarimah) adalah perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara yang pelakunya diancam dengan pidana huud atau taziir28. Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang apa yang dimaksud tindak pidana dalam konteks hukum pidana Islam, berikut ini disajikan dasar filosofi atau illat hukum yang melatarbelakangi ditetapkannya suatu perbuatan sebagai tindak pidana (jarimah).
Menurut para ahli filsafat hukum islam29 , setidaknya ada 5 (lima) kepentingan pokok yang menjadi pusat perhatian dan titik
26 Soebekti Poesponoto, Asas-asas Hukum dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979 hal 255
27 A. Djazuli, op.cit hal 11
28 Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta 1981, Hal 61-62 29 Ibid, Hal 105
21 tolak setiap pengaturan hukum. Artinya, hukum islam mengenai apapun yang telah ditetapkan dalam nash Al-Quran, Al-hadist, Al-qonun (perundang-undangan) maupun yang masih akan ditetapkan sebagai respon yuridis terhadap problem-problem baru yang muncul, hatus bersifat mendukung terhadap terwujudnya lima kepentingan tersebut. Kelima kepentingan pokok tersebut adalah :
1. Terpeliharanya masalah eksistensi agama; 2. Terjaminnya hak hidup (jiwa) manusia; 3. Terjaganya masalah hak milik (harta); 4. Terjaganya kesucian akal;
5. Terjaganya kesucian keturunan dan harga diri (martabat) manusia.
Dengan melihat batasan/pengertian tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 11(1) RKUHP diatas tersimpul, bahwa tindak pidana dapat berupa perbuatan yang bersifat positif (berbuat) dan perbuatan yang negatif (tidak berbuat) yang dilarang serta diancam dengan pidana. Dengan batasan seperti itu, maka batasan/pengertian tindak pidana dalam RKUHP baru menganut pandangan dualitis tentang perbuatan pidana. Ketentuan pasal 11(1) RKUHP baru hanya merumuskan sifat dilarangnya perbuatan dalam rumusan tindak pidana, tidak merumuskan pertanggungjawaban pidananya. Dengan demikian pasal 11(1) RKUHP hanya memuat unsur criminal act.
3. Jenis-jenis / Penggolongan Tindak Pidana
a. Penggolongan Tindak Pidana Menurut Doktrin.
Secara umum, tindak pidana dapat dibedakan kedalam beberapa pembagian sebagai berikut : 30
i. Tindak Pidana dapat dibedakan secara kualifikasi atas kejahatan dan pelanggaran
22 1) Kejahatan
Kejahatan adalah rechdelict, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Jenis tindak pidana ini juga sering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai rechtdelic dapat disebut antara lain pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya. 2) Pelanggaran
Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.
b. Tindak Pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan tindak pidana materiil
1) Tindak Pidana Formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana adalah tindak pidana yang telah dianggap tejadi selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang.
2) Tindak Pidana Materiil
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana
23 materiil adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi, atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi.
c. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/delik comissions, delik omisionis dan delik comisionis per omissionis comissa
1) Delik Comissionis
Delik Comissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Misalnya melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain sebaginya.
2) Delik Omissionis
Delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah. Misalnya tidak menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.
3) Delik Comissionis Per Omissionis Comissa
Delik Comissionis Per Omissionis Comissa adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.
d. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan dan tindak pidana kealpaan (delik dolus dan delik culpa)
1) Tindak pidana kesengajaan/delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. Misalnya tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338 KUHP, tindak pidana
24 pemalsuan mata uang sebagaimana diatur dalam pasal 245 KUHP, dan lain sebagainya.
2) Tindak pidana kealpaan/delil culpa adalah delik-delik yang memuat kelapaan. Misalnya, delik yang diatur dalam pasal 359 KUHP yaitu karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang, delik yang diatur dalam pasal 360 KUHP yaitu karena kelapaannya mengakibatkan orang lain luka, dan lain sebagainya.
e. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana delik tunggal dan delik berganda
1) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Artinya, delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan. Misalnya pencurian, penipuan, pembunuhan.
2) Delik berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana/delik dalam pasal 481 KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam beberapa kali. Apabila hanya terjadi sekali, maka masuk kualifikasi pasal 480 KUHP (penadahan-biasa).
f. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung terus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus
1) Tindak pidana yang berlangsung terus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan/perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan demikian, tindak pidananya berlangsung terus menerus.
2) Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan
25 selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat. Contoh : tindak pidana pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan lain sebagainya.
g. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan
1) Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dan pihak yang terkena atau yang dirugikan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu :
a. Tindak pidana aduan absolut
Tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya;
b. Tindak pidana aduan relatif
Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah merupakan jenis tindak pidana aduan. Jadi pada dasarnya tindak pidana aduan relatif merupakan tindak pidana laporan (tindak pidana biasa) yang karena dilakukan dalam lingkungan keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.
2) Tindak pidana bukan aduan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Misalnya tindak pidana pembunuhan tindak pidana pencurian, tindak pidana penggelapan dan lain sebagainya.
h. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana biasa (dalam bentuk pokok) dan tindak pidana yang dikulaifikasi
1) Tindak pidana biasa (dalam bentuk pokok) adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan.
26 2) Tindak pidana yang dikualifikasi adalah tindak pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat.
B. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan
Menurut Pasal 89 KUHP31, Kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah. Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dsb. Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.
Pingsan artinya : tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya.
Umpamanya memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan ini tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya.
Tidak berdaya artinya : tidak mempunyai kekuatan atau tenaga
sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurungi dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Perlu dicatat disini bahwa mengancam orang dengan akan membuat orang itu pingsan atau tidak berdaya tidak boleh disamakan dengan mengancam dengan kekerasan. Sebab dalam pasal ini hanya mengatakan tentang melakukan kekerasan, bukan membicarakan tentang kekerasan atau ancaman kekerasan.
Jenis – jenis Kejahatan Kekerasan :
Kejahatan kekerasan didalam KUHP32, pengaturannya tidak disatukan dalam satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu.
31 Lihat di Pasal 89 KUHP yang berbunyi : yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah) (KUHP 55,120,145 s, 170-3,173,175,211s, 285, 289, 300, 330, 332, 335, 365, 368, 438s, 444, 459)
27 Didalam KUHP (R. Soesilo, 1981) kejahatan dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain (pasal 338-350 KUHP); 2. Kejahatan penganiayaan (pasal 351-358 KUHP);
3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan (pasal 365 KUHP);
4. Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya pasal 285 KUHP;
5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kelapaan (pasal 359-367 KUHP).
Adapun bentuk-bentuk kejahatan kekerasan adalah : 1. Kejahatan Pembunuhan
2. Kejahatan Penganiayaan Berat
3. Kejahatan Pencurian dengan kekerasan 4. Kejahatan Pemerkosaan
5. Kejahatan Kekerasan Terhadap Ketertiban Umum Penguraian Kejahatan Kekerasan diatas :
1. Kejahatan Pembunuhan
Sebagaimana terdapat dalam KUHP pada Bab XIX yang merupakan kejahatan terhadap nyawa orang yang selanjutnya diatur dalam KUHP pada Pasal 338 – 350 merupakan suatu delik materiil maka menitik beratkan pada akibat yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang .
Cara dalam melakukan pembunuhan dapat berwujud bermacam-macam perbuatan, dapat berupa menikam dengan pisau, memukul dengan benda keras dan sebagainya.
2. Kejahatan Penganiayaan Berat
Sebagaimana terdapat dalam KUHP pada Pasal 354 dan 355 (R. Soesilo, 1981:231) yang berbunyi33 :
Pasal 354 :
28 (1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (KUHP 90, 351-2)
(2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun. (KUHP 37, 90, 338s, 351-2, 356s, 487
1. Dinamakan penganiayaan berat, supaya dapat dikenakan pasal ini, maka niat membuat harus ditujukan pada melukai berat. Artinya luka berat harus dimaksud oleh si pembuat. Apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang berakibat luka berat (pasal 351 alinea 2)
2. Tentang Luka Berat, lihat Pasal 90. Percobaan pada penganiayaan ini dihukum.
Pasal 355 :
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, sitersalahlah dihukum penjara selama – lamanya lima belas tahun.
1. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah penganiayaan dalam pasal 354 yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. 2. Tentang direncanakan lebih dahulu, lihat pada pasal 340.
Percobaan pada pasal penganiayaan ini.
Berdasarkan penguraian diatas34 ,maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan dapat diklarifikasikan dalam penganiayaan berat menurut undang-undang apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja menyebabkan atau mendatangkan luka berat. Luka berat dimaksudkan disini adalah merupakan tujuan utama, jadi niat si pembuat harus ditujukan kepada melukai berat. Artinya luka harus dimaksudkan oleh si pembuat, apabila tidak dimaksudkan oleh si pembuat dan luka berat
29 itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat (pasal 351 ayat 2 KUHP).
3. Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan
Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan diatur dalam pasal 365 KUHP (R. Soesilo 1981;219) yang rumusannya sebagai berikut35 :
(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan (terpegok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap, ada tanganannya. (KUHP 89, 335)
(2) Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dijatuhkan :
1. (e) Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam sebuah rumah atau pekarangan yang ditutup, yang ada rumahnya atau dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang yang sedang berjalan. (KUHP 98, 363);
2. (e) Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih (KUHP 363-4);
3. (e) Jika sitersalahlah masuk ketempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (KUHP 99, 100, 364 s).
30 4. (e) Jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat
luka berat (KUHP 90)
(3) Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan karena perbuatan itu ada orang mati. (KUHP 35, 89, 366);
(4) Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati dilakukan oleh dua orang atau bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No.1 dan 3. (KUHP 339, 366, 486).
Dapat diketahui bahwa pencurian dengan kekerasan pada dasarnya identik dengan modus pencurian 36lainnya. Perbedaannya terletak pada klarifikasi kekerasan atau ancaman kekerasan yang melekat pada perbuatan pencurian. Unsur ni merupakan unsur pokok yang penting dalam pencurian dengan kekerasan. Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut harus ditujukan kepada orang dan bukan barang.
4. Kejahatan Pemerkosaan
Sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP (R. Soesilo 1981:231) yang berbunyi 37: barangsiapa dengan kekrasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. (KUHP 35, 37-2e, 89, 291, 335s)
Melihat isi pasal tersebut, maka pemerkosaan memiliki beberapa unsur diantaranya: laki-laki yang memaksa perempuan dengan kekerasan, perempuan itu bukan istrinya dan paksaan itu dilakukan untuk
36 Raypratama.blogspot.com oleh Ray Pratama Siyadari, SH., MH 37 Pasal 285 KUHP (R. Soesilo 1981 : 231)
31 bersetubuh. Hal lain lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa persetubuhan itu harus benar-benar terjadi.
5. Kejahatan Kekerasan Terhadap Ketertiban Umum
Kekerasan ketertiban umum diatur dalam Pasal 170 KUHP (R. Soesilo, 1981-231) yang bunyinya adalah 38:
(1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap oarang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (KUHP 336)
(2) Tersalah dihukum :
1. (e) dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sestau luka. (KUHP 406s, 412) 2. (e) dengan penjara selam-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan
jika menyebabkan luka berat pada tubuh. (KUHP 406s, 412) 3. (e) dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika
kekerasan itu menyebabkan matinya orang. 4. (e) Pasal 89 tidak berlaku (KUHP 336).
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga 39adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
38 Pasal 170 KUHP (R. Soesilo 1981 : 231)
39 Pasal 1 BAB I UU RI NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
32 pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Bentuk – bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang didalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik 40sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan Psikis41 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakitan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual 42sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan bersama.
3. Penelantaran rumah tangga
1. Setiap orang dilarang 43menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
40 Pasal 6 BAB III UU RI NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
41 Pasal 7 UU RI NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 42 Pasal 8 UU RI NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 43 Pasal 9 UU RI NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
33 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.