• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

a. Istilah Tindak Pidana

Istilah Strafbaarfelt dalam Bahasa Belanda yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang mempunyai arti diantaranya, yaitu : tindak pidana, delik perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana. Tetapi tidak ada penjelasan resmi apa yang dimaksus dengan Strafbaarfelt. Oleh karena itu, para ahli dalam mengartikan definisi Strafbaarfelt (tindak pidana) memiliki pemikiran berbeda-beda sehingga pengertian definisi Strafbaarfelt memiliki banyak arti, namun hingga saat ini belum ada pendapat pasti tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaarfelt. (Adami Chazawi, 2002:69)

Perumusan Strafbaarfelt menurut Van Hammel adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan” (Andi Hamzah, 2010:96)

Menurut Pompe Strafbaarfelt adalah ”suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum” (Erdianto Effendi, 2011:97).

Menurut E. Utrecht Strafbaarfelt dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulka karena perbuatan atau melakukan itu) (Erdianto Effendi, 2011:98)

Simons mengartikan Strafbaarfeit adalah “suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang

(2)

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum” (Laden Marpaung, 2012:8).

Sementara Jonkers merumuskan Strafbaarfeit adalah “sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan” (Amir Ilyas, 2012:20).

Meskipun Strafbaarfeit diartikan atau diterjemahkan dalam bahasa indonesia menjadi tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana. Namun demikian hampir semua perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana.

b. Pengertian Tindak Pidana

Tiga masalah pokok dalam hukum pidana berpusat dengan apa yang disebut tindak pidana (criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana), pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility) dan masalah pidana dan pemidanaan.

Pengertian tindak pidana merupakan masalah yang berhubungan erat dengan masalah kriminalisasi (criminal policy) yang diartikan sebagai proses penetapan perbuatan orang yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana, proses penetapan ini merupakan masalah perumusan perbuatan-perbuatan yang berada di luar diri seseorang. (Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:57)

Berkaitan dengan definisi tindak pidana, terdapat dua pandangan yang berkembang dalam kalangan ahli hukum pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis adalah pandangan yang menyatukan atau tidak memisahkan antara perbuatan pidana beserta akibatnya di satu pihak, dan pertanggungjawaban pidana di pihak lainnya. Sedangkan pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan serta akibatnya di satu pihak, dan pertanggungjawaban pidana di lain pihak. (Andi Hamzah, 2012:121)

Dapat diartikan bahwa, pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, di mana pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act), dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal

(3)

responbility). Adapun Sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : Simons sebagai penganut pandangan monistis. Sedangkan, pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Adapun Sarjana yang berpandangan aliran dualistis, yaitu : Moeljatno sebagai penganut pandangan dualistis. (Tongat, 2009:106-107)

Beberapa pengertian tindak pidana menurut pada ahli sebagai berikut :

Menurut Simons tindak pidana adalah “suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang Hukum Pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab” (Moeljarno, 2005:20).

Menurut Moeljatno tindak pidana adalah “Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut”

(Amir Ilyas, 2012:25).

Menurut S.R Sianturi tindak pidana adalah “sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab)” (Amir Ilyas, 2012:22).

Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah “perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan yang bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”

(Indriyanto Seno Adji, 2002:155).

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Bila mana suatu perbuatan suatu perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memenuhi 5 (lima) unsur, sebagai berikut :

1) Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2) Kelakuan iru harus sesuai dengan uraian undang-undang (wetterlijke omschrijiving);

(4)

3) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum);

4) Kelakuan itu dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada pelaku;

5) Kelakuan itu diancam dengan pidana. (Kansil T.S.C., 1989: 290)

Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi 2 (dua), yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan pada diri pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan dari si pembuat itu harus dilakukan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana, yaitu :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus);

2) Maksud dan Voornemen pada suatu percobaan atau Poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain- lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachteraad seperti misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana pembuangan bayi menurut Pasal 308 KUHP. (P. A.

F Lamintang, 1996: 184)

Sedangkan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1) Sifat melanggar hukum;

2) Kualitas si pelaku;

3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. (Moeljatno, 2015:193)

d. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tiap-tiap perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan gambaran kepentingan hukum yang dilanggar. Oleh sebab itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan menjadi berbagai jenis delik atau tindak pidana.

Dalam hukum pidana mengenal berbagai jenis delik yang dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, yaitu:

(5)

1) Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan delik Pelanggaran (Overtradingen);

Delik kejahatan atau sering disebut sebagai mala per se (delik hukum), yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang karena merupakan perbuatan tercela dan merugikan masyarakat atau bertentangan dengan keadilan, sehingga harus dipidana. Delik Pelanggaran atau sering disebut sebagai mala uila prohibia (delik setelah dirumuskan dalam undang-undang), yaitu perbuatan- perbuatan itu baru diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang- undang.

2) Delik Formil (Fomeel Delict) dan Delik Materiil (Materieel Delict);

Delik formil (Fomeel Delict) adalah suatu perbuatan pidana yang sudah dikemukakan dan perbuatan itu mencocoki pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik Materiil (Materieel Delict) adalah perbuatan dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi persoalan. Dapat dikatakan bahwa Delik Materiil (Materieel Delict) adalah akibatnya.

3) Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (Culpa);

Dolus adalah suatu delik yang dilakukan dengan kesengajaan. Culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kelalaian atau kealpaan.

4) Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gawone Delicten);

Delik Aduan (Klacht Delicten) adalah suatu perbuatan dapat dituntut dengan membutuhkan atau mengisyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, maka apabila tidak ada pengaduan maka delik tersebut tidak dapat dituntut. Delik Umum (Gawone Delicten) adalah suatu perbuatan yang dapat dituntut yang membutuhkan adanya pengaduan.

5) Delik Umum (Delicta Communia) dan Delik Khusus (Delicta Propia);

Delik Umum (Delicta Communia) adalah suatu perbuatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik Khusus (Delicta Propia) adalah suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.

6) Delik Commisionis, Ommisionis dan Commisionis Per Ommisionem Commissa;

Delik Commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang- undang. Delik Ommisionis adalah suatu perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang. Delik Commisionis Per Ommisionem Commissa adalah perbuatan yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

7) Delik berdiri sendiri dan Delik Berlanjut;

Delik berdiri sendiri adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Delik Berlanjut adalah meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

8) Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran;

Delik Politik Murni adalah perbuatan-perbuatan yang ditujukan untuk kepentingan politik. Delik Politik Campuran adalah perbuatan-perbuatan yang

(6)

mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum, makan dapat dikatakan perbuatan ini merupakan tujuan politik atau sebaliknya.

9) Delik Biasa dan Delik Berkualitas

Delik Biasa adalah semua perbuatan pokok atau sederhana tanpa pemberatan ancaman pidananya. Delik Berkualitas adalah perbuatan yang terbentuk khusus karena adanya keadaan tertentu yang dapat memberatkan atau mengurangi ancaman pidananya.

(irsangusfrianto.com, http://www.irsangusfrianto.com/p/hukum-pidana.html, Diakses pada 18 Agustus 2021)

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang a. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

“Istilah money laundering berasal dari para mafia yang melakukan kegiatan membeli perusahaan pencucian pakaian (laundromat) yang dijadikan sebagai tempat menginvestasikan atau mencampurkan hasil kejahatan yang berasal dari hasil penjualan ilegal obat-obatan terlarang (narkotika), penjualan ilegal minuman beralkohol, prostitusi, pemerasan, dan perjudian” (Yenti Genersih, 2016:199).

Istilah pencucian uang mulai digunakan setelah kasus Mayer Lansky pada tahun 1932 di Amerika Serikat. Tindakan yang dilakukan Lansky membuat rekening lepas pantai di Bank Swiss yang digunakan untuk menyembunyikan hasil kejahatan Gubernur Lousiana, Hue Long. Kemudia ia mendirikan usaha mesin slot di New Orleans dan Bank Swiss yang menyediakan dana dalam bentuk pinjaman kepada Lansky dan Co. Kegiatan yang dilakukan ini memungkinkan uang ilegal itu kembali ke Amerika Serikat. Semenjak itu, kegiatan pencucian uang berkembang seiring kemajuan teknologi (Hanafi Amrani, 2015:2).

“Pada tahun 1980-an berkembangnya bisnis ilegal seperti penjualan narkotika yang menghasilkan uang yang mencapai miliaran rupiah dari hasil kejahatan.

Kemudian muncullah istilah narco dollar, yang berasal dari uang hasil kejahatan penjualan narkotika tersebut” (Adrian Sutedi, 2013:2). Pertama kali penggunaan istilah pencucian uang dalam dokumen hukum pada tahun 1982 melalui kasus penyitaan perdata antara Amerika Serikat vs $4,255,625.39. Kasus ini tentang upaya menyembunyikan atau menyamarkan keuntungan ilegal dan penyitaan perdata atas sejumlah uang dari Molins di Columbia kepada Sonal di Miami, Florida. Pengadilan memutus perkara ini dan menyimpulkan bahwa pengalihan

(7)

dana melalui bank antara Molins dengan Sonal sangat memungkinkan merupakan proses pencucian uang. Pengadilan tidak mengidentifikasikan dengan istilah pencucian uang, tetapi para pakar menyimpulkan bahwa peristiwa ini mengacu kepada pencucian uang (Hanafi, 2015:3).

Pada tahun 1988 pencucian uang baru mendapatkan perhatian yang serius walaupun perbuatan ini sudah muncul sejak lama yaitu munculnya United Nations Conventions Againt Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang disebut konvensi wina 1988. Muncilnya pemikiran bahaya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, awalnnya karena kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenis. Dan awalnya anti pencucian uang dimaksudkan untuk kejahatan dari hasil perdagangan narkotika dan psikotropika saja. Kemudian pada tahun 1990 predicate office sudah diperluas tidak hanya kejahatan penjualan narkotika tetapi berbagai kejahatan, bahkan negara-negara eropa menyatakan dari semua jenis kejahatan sepanjang hasil kejahatannya berbentuk ekonomi (Yenti Garnasih,2016:201-202).

Pada tahun 2002 Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (money laundering) dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Diterbitkannya undang-undang ini karena adanya ancaman sanksi pertama, yaitu Indonesia dimasukkan kedalam daftar hitam dikategorikan sebagai negara yang tidak kooperatif, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang dikategorikan Non-Cooperative Countries and Territories (NCTTs). Setelah dikeluarkan undang-undang itu pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Berdasarkan putusan dari Financial Action Task Force (FATF), adapun ancaman sanksi yang diberikan oleh FATF yang kedua, yaitu bank-bank internasional akan memutuskan hubungan dengan bank-bank Indonesia, hal ini dikarenakan negara-negara lain akan menolak Letter Of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh Indonesia dan lembaga-lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk premium) terhadap setiap transaksi yang

(8)

dilakukan dengan lembaga-lembaga keuangan luar negeri (Iwan Kurniawan,2012:6).

b. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah tindak pidana pencucian uang bersumber dari bahasa Inggris, yaitu Money Laudering yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti pencucian uang. Secara harfiah, money laudering berarti pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan. Para ahli hukum Indonesia menyebut istilah money laudering disepakati dengan istilah pencucian uang. “Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah” (Adrian Sutedi, 2008:12).

Pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan dan menggunakan hasil dari suatu kejahatan atau tindak pidana diantaranya, kejahatan ekonomi, kejahatan korupsi, kejahatan narkotika, dan kejahatan- kejahatan lainnya yang merupakan aktifitas kejahatan. Tindak pidana pencucian uang melibatkan aset (pendapatan atau kekayaan) yang disamarkan, sehingga dapat dipergunakan dengan sah dan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui tindakan pencucian uang atau money laundering pendapatan atau kekayaan berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau legal (Adrian Sutedi, 2008:9).

Pengertian pencucian uang atau money laudering menurut Sutan Remy Sjahdeini adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu yang dari tindak pidana, dengan maksud menyembunyikan, menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah ataupun otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara lain dan terutama memasukkan uang tersebut dalam sistem keuangan (financial system). Sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan sistem keuangan tersebut sebagai uang yang halal (R.

Wiyono, S.H, 2014:21-22).

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang

Salah satu item perubahan yang termuat dalam Undang- undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah “redefenisi pencucian

(9)

uang”. Hal ini terlihat dari unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang meliputi:

1) Pelaku

Pelaku pencucian uang dibedakan antara pelaku aktif yaitu orang yang secara langsung melakukan proses transaksi keuangan. Dan, pelaku pasif yaitu orang yang menerima hasil dari transaksi keuangan sehingga setiap orang yang memiliki keterikatan dengan praktik pencucian uang akan diganjar hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.

2) Transaksi keuangan atau alat keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (M. Arief Amrullah, 2010:25-27)

Transaksi keuangan ialah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.

Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan. Definisi transaksi keuangan mencurigakan dalam pasal 1 angka 5 UU PP-TPPU adalah :

a) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dan pengguna jasa yang bersangkutan;

b) Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;

c) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d) Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

3) Perbuatan Melawan Hukum

(10)

Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU PP-TPPU, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan dalam Pasal 2 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindak pidana tersebut merupakan unsur- unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana dengan membuktikan ada atau tidak terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut.

d. Sanksi Pidana Pencucian Uang.

Sanksi pidana ialah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. “Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan negara kepada pembuat delik” (Tri Andrisman, 2009:8).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan pencucian uang. Pasal- pasal tersebut diatur dalam BAB II tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi :

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(11)

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 5

1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.

Pasal 6

1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.

2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang :

a) dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;

b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pasal 7

(12)

1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).

2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :

a) pengumuman putusan hakim;

b) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;

c) pencabutan izin usaha;

d) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;

e) perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau f) pengambil-alihan Korporasi oleh negara.

Pasal 8

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Pasal 10

Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Dari Pasal-Pasal diatas, menunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana pencucian uang beserta sanksinya, yaitu :

a) Tindak pidana pencucian uang yang bersifat aktif: yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut dihukum maksimal 20 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah.

b) Tindak pidana pencucian uang yaitu: tindakan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya

(13)

atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 20 tahun penjara dan denda 5 milyar rupiah.

c) Tindak pidana yang bersifat pasif berupa menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dihukum maksimal 5 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah.

d) Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dihukum sesuai dengan jenis tindak pidana antara a, b, dan c.

e) Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana poin a, b, dan c dihukum dengan pidana pokok berupa denda maksimal 100 milyar rupiah dan pidana tambahan sebagaimana yang disebutkan. (M.

Arief Amrullah, 2010:67)

Dalam kaitannya dengan pidana denda, bagi pelaku tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam poin a, b, c, dan d yang tidak mampu membayar denda diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Narkotika.

a. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindak Pidana Narkotika dengan kata lain adalah menggunakan atau mengedarkan narkotika tanpa hak dan melawan hukum.

Menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebakan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

Dalam Undang-Undang Narkotika tidak menjelaskan secara tegas bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan kejahatan, karena narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, apabila perbuatan itu diluar kepentingan-kepentingan tersebut maka sudah merupakan suatu kejahatan.

(Amir Ilyas,2012:27-28)

b. Jenis-Jenis Perbuatan yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

(14)

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni:

1) Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 111 dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 untuk narkotika golongan II dan Pasal 122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (a));

2) Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf(b));

3) Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk narkotika golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk narkotika golongan II,Pasal 124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf(c));

4) Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (d)). (Siswanto Sunarno,2012:256)

c. Faktor Penyebab Tindak Pidana Narkotika

Beberapa faktor yang mendorong masyarakat melakukan tindak pidana : 1) Faktor Ekonomi

Tingkat ekonomi yang rendah menjadi motif bagi para pengedar untuk mengedarkan narkotika. Pengedar narkotika mempunyai beberapa alasan dalam menggunakan atau mengedarkan narkotika. Kalangan pengedar melakukan dengan alasan tingginya tingkat kebutuhan rumah tangga yang tidak sebanding dengan penghasilan pelaku, sehingga pelaku memilih jalan mengedarkan narkotika untuk memperoleh pendapatan (Muammar, 2019:Vol.5 No.1).

(15)

2) Faktor Rendahnya Pemahaman Tentang Hukum

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa sadar masyarakat diatur dan diikat oleh beberapa norma atau aturan, salah satunya adalah norma hukum. Norma hukum membatasi setiap manusia dalam bertingkah laku dimasyarakat dengan tujuan agar terciptanya kehidupan yang aman dan tentram di masyarakat.

Seperti halnya pada pengedar narkotika kurang memiliki pemahaman tentang aturan-aturan hukum. Disisi lain masyarakat kadang tidak peduli aturan yang ada sehingga mereka melakukan apa yang dianggap baik (Sitti Fatimah, 2016:42).

3) Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan yang bersangkutan mudah terpengaruh melakukan suatu kejahatan narkotika tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Salah satunya adalah kejahatan narkotika dikarenakan pelakunya memiliki pendidikan yang rendah dan kemungkinan besar mereka yang berpendidikan rendah tersebut tidak mengetahui akibat dari tindak pidana peredaran narkotika (Sitti Fatimah, 2016:43).

4) Pengaruh Lingkungan Sosial

Didalam masyarakat seseorang dikelilingin oleh orang-orang yang menaati aturan hukum, pada waktu yang sama juga dikelilingi oleh mereka yang tidak menaati hukum. Sebagai makhluk sosial dengan sendirinya seseorang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan masyarakat sekitarnya, masyarakat yang kurang menyadari bahwa mereka sendirilah yang banyak menyediakan sarana yang menyebabkan timbulnya kejahatan (Muammar, 2019:50).

4. Tinjauan umum tentang Gabungan Tindak Pidana (Concursus) a. Pengertian Gabungan Tindak Pidana (Concursus)

Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Concursus atau Samenloop yang berasal dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya yang dimaksud dengan gabungan tindak pidana ialah “terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak

(16)

pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim” (Adami Chazawi, 2002:109).

Delik perbarengan perbuatan merupakan perbuatan Pidana yang berbentuk khusus, karena beberapa perbuatan pidana yang hakikatnya hanya dilakukan oleh satu orang (sameloop van strafbare feiten). Menyangkut istilah sameloop van strafbare feiten atau bahasa jerman verbrechens konkurrenz (gabungan delik), ada pakar yang mempersoalkan seperti Von Liszt menyebutnya gesetzeskonkurrwnz (gabungan peraturan undang-undang karena satu perbuatan atau feit (seperti dimaksud pasal 63 ayat 1 KUHP) hanya dapat mengakibatkan satu feit saja. Oleh karena itu, Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim (Mahzus Ali, 2012:134).

Concursus yaitu ”seseorang dengan satu atau beberapa perbuatan mengakibatkan beberapa peraturan pidana dilanggar, hakim belum pernah memutuskan satupun diantaranya dan putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu akan terjadi serempak dalam waktu yang bersamaan dengan perbuatan lain hakim akan menjatuhkan putusan dalam waktu yang bersamaan” (Waluyadi, 2003:160).

Sifat-sifat concursus (perbarengan tindak pidana) :

1) Melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan itu, ia melanggar beberapa peraturan pidana; atau

2) Seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. (Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:172)

b. Macam-Macam Gabungan Tindak Pidana (Concursus)

Dalam hukum pidana, Gabungan tindak pidana terdiri dari tiga macam, perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (vorgezette handelings), dan perbarengan perbuatan (concursus realis) (Mahrus Ali, 2012:135). Perbarengan pidana diatur dalam Pasal 63 sampai 71 Bab VI KUHP, yang terbagi menjadi tiga macam:

1) Concursus Idealis (Pembarengan Peraturan) yaitu “suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana” (Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:172). Diatur dalam pasal 63 yang berbunyi :

(17)

a) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

b) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

2) Delictum Continuatum/Vortgezette Handeling di Indonesia disebut perbuatan berlanjut (Andi Hamzah, 2007:173). Diatur dalam pasal 64 yang berbunyi :

Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing- masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.

3) Concursus Realis (Pembarengan Perbuatan) yaitu “apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing- masing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri” (Mahrus Ali, 2012:145). Diatur dalam pasal 65-66 yang berbunyi :

Pasal 65

a) Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri dan yang masing- masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja dijatuhkan.

b) Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi, ditentukan untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiga.

(18)

Pasal 66

Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing- masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing- masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang terberat sekali ditambah dengan sepertiga.

c. Hukuman Gabungan Tindak Pidana (Concursus)

Berkenaan dengan pemidanaannya atau sistem penjatuhan pidananya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai empat sistem (stelsel) dalam Concursus, yaitu:

1) Stelsel Absorsi Murni atau Stelsel penyerapan murni.

Dalam sistem ini, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64 Dalam sistem ini, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64 KUHP, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan. (Chidir Ali, 1984:28) 2) Stelsel Absorbsi yang Dipertajam.

Stelsel ini merupakan variasi dari stelsel ke-2, yang dijatuhkan itu semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing tindak pidana, akan tetapi jumlah dari pada semua pidana-pidana itu dikurangi hingga tidak boleh melebihi pidana yang terberat dan ditambah 1/3nya. Adapun dasar

(19)

yang digunakan adalah pasal 65 KUHP. (Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:175)

3) Stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni.

Tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap tiap-tiap tindak pidana yang dilakukan, untuk tindak pidana yang diancamkan atau dikenankan sanksi masing-masing tanpa pengurangan atau semuanya dijatuhkan. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP. (Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:174) 4) Stelsel Komulasi terbatas

tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.

(Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015:175)

Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni, stelsel absorsi yang dipertajam, dan stelsel komulasi terbatas. Sementara itu stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.

(20)

Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 311/Pid.Sus/2018/PN. Mdn B. Kerangka Pemikiran

Pancasila & UUD 1945

(21)

Apakah putusan hakim nomor 311/Pid.Sus/2018/PN.Mdn tersebut sudah sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku ?

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur permasalahan atau isu hukum dalam menggambarkan alur penelitian hukum, yaitu mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Tindak Pidana Narkotika dalam putusan Nomor 311/Pid.Sus/2018/PN.Mdn tetapi dalam kasus tersebut Tindak Pidana asal (Narkotika) belum diputus. Dalam kasus ini yang melibatkan Terdakwa SYAIFUL alias JUNED Bin Alm Hazbi yang berperan sebagai orang yang mencari atau menyediakan kapal untuk mengambil sabu di Malaysia untuk di bawa ke Aceh dan kemudian mencari orang untuk membawanya dari Aceh ke Medan. Dalam putusan ini yang mana amarnya mengadili bahwa SYAIFUL alias JUNED Bin Alm Hazbi secara sah dan terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Tindak Pidana Narkotika. SYAIFUL alias JUNED Bin Alm Hazbi didakwa berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010. Alur pemikiran dari penulis ini ingin menjelaskan apakah putusan hakim dalam mengadili putusan perkara Nomor 311/Pid.Sus/2018/PN.Mdn sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang

H terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel kualitas layanan (X) terhadap loyalitas nasabah (Z). Tingkat signifikan α yang

Sedangkan pada skripsi ini yang berjudul :“PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DITINJAU DARI PESPEKTIF EKONOMI ISLAM ”., penulis tidak membahas mengenai instrument keuangan

Sebelum praktikan melaksanakan mengajar terbimbing, praktikan terlebih dahulu melakukan bimbingan dengan guru pamong dan guru kelas untuk berkonsultasi tentang materi

Macam sarana sastra yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi. Setiap novel akan memiliki tiga

dan nilai Anti-image Correlation variabel- variabel yang diuji diatas 0,5. Pada analisis selanjutnya dari variabel- variabel preferensi konsumen dalam memilih buah durian,

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya peningkatan jumlah nasabah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Adanya kenaikan jumlah nasabah pada tiap tahunnya disebabkan