• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum

Upaya hukum oleh KUHAP dalam Pasal 1 butir 12 diartikan sebagai hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau Banding atau Kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang ini.

KUHAP membedakan upaya hukum menjadi dua yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur KUHAP dalam bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam bab XVIII. Berikut ini adalah uraiannya:

a. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa dipisahkan menjadi dua bagian, bagian pertama yaitu tentang Pemeriksaan Banding dan bagian kedua tentang Pemeriksaan Kasasi, yang rumusannya sebagai berikut:

1) Upaya Hukum Banding

Pasal 223 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.

Apabila dihubungkan dengan Pasal 67 dan ditelaah lebih dalam lagi, dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu attau penuntut umum dengan pengecualian, pengecualian tersebut antara lain:

a) Putusan bebas (vrijspraak)

b) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum. commit to user

(2)

c) Putusan pengadilan dalam acara cepat.

Diterimanya permohonan kasasi penuntut umum terhadap kasus persetubuhan ini adalah suatu hal yang tidak biasa, akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, pengecualian pada butir (2) tersebut juga menimbulkan masalah. Karena pada dasarnya penerapan hukum dalam peradilan dilaksanakan oleh Hakim, jadi putusan yang mengandung kekeliruan Hakim dalam menerapkan hukum dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum justru tidak boleh dimintakan banding. Hal ini terasa aneh. (Andi Hamzah, 2010: 291). Hal tersebut menjadi sangat aneh karena kesalahan penerapan hukum dalam peradilan sangat mungkin membawa kerugian bagi berbagai pihak juga menghambat penegakkan keadilan.

2) Upaya Hukum Kasasi

Peradilan Kasasi sebenarnya berasal dari sistem hukum Prancis. Kasasi disebut Cassation yang berasal dari kata kerja Casser yang artinya membatalkan atau memecahkan (Leden Marpaung, 2011: 169). Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau Hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika Hakim memutus sesuatu perkara padahal Hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika Hakim pengadilan tinggi memutus padahal Hakim pertama telah membebaskan (Andi Hamzah, 2010: 287-298).

Kamus Besar Bahasa Indonesia menghartikan kata kasasi sebagai pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah

commit to user

(3)

Agung Terhadap putusan Hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai dengan Undang-Undang.

Harun M Husein merumuskan arti upaya hukum kasasi dikaitkan dengan Pasal 253 ayat (1) KUHAP bahwa yang dimaksud upaya hukum kasasi adalah hak Terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan tersebut, dengan alasan (secara alternaif dan atau/kumulatif) bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, perauran hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. (Harun M.Husein, 1992: 47-48).

Pengertian lain dari Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, dan ini merupakan pengadilan terakhir (J.C.T Simorangkir, 2000: 81).

Menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan perminataan pemeriksaaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin, dan uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi.

Dengan demikian dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri

commit to user

(4)

kurang gerak seutuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Adji, 1985: 43).

Tujuan utama upaya hukum kasasi, antara lain sebagai berikut: (M. Yahya Harahap, 2012: 539-542)

a) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan Salah satu tujuan, memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang.

b) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru

Disamping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut hukum kasus atau case law guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka mnyejajarkan makna dan jiwa ketentuan Undang-Undang sesuai dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat.

c) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudnsi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat dihindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para Hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. commit to user

(5)

Pengajuan kasasi harus memiliki dasar-dasar, atau yang juga dapat disebut dengan alasan kasasi. Bahwa yang dimaksud dengan alasan kasasi adalah dasar atau landasan dari pada keberatan-keberatan pemohon kasasi terhadap putusan pengadilan yang dimintakan kasasinya ke Mahkamah Agung.

Alasan-alasan kasasi tersebut, oleh pemohon kasasi diuraikan dalam memori kasasi (Harun M. Hussein, 1992: 74).

Adapun alasan-alasan kasasi diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) yang diantaranya adalah apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang; dan apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Alasan kasasi tersebut dikatakan limitatif karena dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa wewenang mahkamah Agung dalam memeriksa perkara dalam tingkat kasasi hanya untuk menentukan tiga hal yang telah disebutkan diatas. Seperti yang diebutkan diatas dan diatur dalam Pasal 248 KUHAP maka pemohon wajib untuk mengajukan memori kasasi. Kewajiban mengajukan atau menyampaikan memori kasasi bersifat imperatif. Sanksinya tegas. Tanpa memori kasasi, gugur haknya untuk mengajukan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 553).

Tujuan dari diwajibkanya mengajukan memori kasasi adalah sebagai sarana bagi pemohon mengutarakan keberatan- keberaannya, berpedoman kepada alasan kasasi yang ditentukan secara limitatif oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP (M.Yahya Harahap, 2012: 553).

Meskipun telah diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP dalam prakteknya sering dijumpai beberapa alasan kasasi yang tidak dibenarkan dalam Pasal tersebut, contohnya: (M.Yahya Harahap, 2012: 567-572) commit to user

(6)

a) Keberatan putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri.

b) Keberatan atas penilaian pembuktian.

c) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta.

d) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara.

e) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda.

f) Keberatan atas pengembalian barang bukti.

g) Keberatan kasasi mengenai novum.

Paparan tersebut apabila diperhatikan secara menyeluruh, secara singkat dapat dikatakan bahwa hal-hal utama yang dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi adalah:

a) Apabila terdapat kelalaian dalam beracara (vormerzium).

b) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksananya.

c) Acara peradilan tidak dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Putusan-putusan Pengadilan Negeri ataupun putusan Pengadilan Tinggi sering kali ditemukan diputus tanpa disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh Undang-Undang, dalam hal ini khususnya yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Tidak ada atau kurangnya pertimbangan dan atau/ alasan-alasan dalam putusan sesuai dengan yang telah ditentukan oleh ketentuan, sulit dimengerti alasan-alasan tersebut atau bertentangan antara satu commit to user

(7)

dengan yang lainnya, dapat menimbulkan kelalaian dan berbagai kerugian dalam beracara serta dapat menimbulkan batalnya putusan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.

b. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya Hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung dalam hal terdapat perbedaan penafsiran dan implementasi Undang-Undang terhadap semua putusan kecuali putusan Mahkamah Agung, dengan syarat putusan pengadilan itu telah berkekuatan hukum tetap. Sedang terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum.

Satu satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengkoreksi putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, melalui upaya peninjauan kembali.

2) Peninjauan Kembali

Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah peninjauan kembali putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

commit to user

(8)

Memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1) dapat dikemukakan beberapa hal seperti yang diuraikan berikut ini:

a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan;

c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. (M. Yahya Harahap, 2012: 607-615)

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan

Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

Perkara pidana dianggap telah selesai atau berakhir proses pemeriksaannya ketika telah dijatuhkan putusan oleh Hakim.

Pengertian putusan itu merupakan hasil dari permusyawarahan para majelis Hakim yang didalamnya berisi fakta-fakta hukum, fakta persidangan, dan dasar hukum serta pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Sedangkan pengertian putusan menurut Yahya Harahap adalah hasil mufakat musyawarah Hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M.Yahya Harahap, 2012: 347).

Putusan merupakan hasil permusyawaratan majelis Hakim, adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya musyawarah yang dilakukan majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Mengenai mekanismenya diatur dalam commit to user

(9)

Pasal 182 ayat (5) KUHAP yaitu musyawarah diawali dengan Hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapanya adalah Hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.

Pasal 186 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya keputusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: (Andi Hamzah, 2010: 283)

1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;

2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah apa yang didakwakan terhadap terdakwa di persidangan oleh penuntut umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, professional, dan bertanggung jawab serta harus independen tidak terpengaruh dari pihak manapun. Dalam hal memaknai adil selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini keadilan procedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi Undang- Undang. Sepanjang bunyi Undang-Undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal (Muhammad Taufiq, 2013:26). commit to user

(10)

Selain mengenai substansi isi materi putusan, Hakim juga harus berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak melanggar aturan tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

KUHAP juga mengatur mengenai syarat suatu putusan agar sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara pidana adalah:

1) Memuat hal-hal yang diperintahkan oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP).

b. Bentuk-Bentuk Putusan

Ada bermacam-macam bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan bentuk-bentuk putusan bisa saja dipengaruhi oleh penilaian Hakim terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya Harahap, 2012: 347). commit to user

(11)

Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut:

1) Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijauhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal.

Pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya terdakwa “tidak dipidana” (M.Yahya Harahap, 2012: 347).

Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang isinya bahwa perbuatan didakwakan penuntut umum pada terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena bukan tindak pidana atau terdakwanya tidak dapat dipidana karena hal- hal yang menghapuskan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 51 KUHP.

3) Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan adalah terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 354). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 193 commit to user

(12)

ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili

Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada perintah dalam Pasal 147 KUHAP yaitu setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan penuntut umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya, Pasal 148 KUHAP telah memberi Pedoman kepada pengadilan negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: 357-358).

Apabila baru diketahui bahwa pengadilan yang memeriksa suatu perkara ternyata tidak berwenang mengadili ketika persidangan telah dimulai dan penuntut umum membacakan surat dakwaan, yaitu saat keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasehat hukum mengenai kewenangan relatif dikabulkan, maka Majelis Hakim yang memeriksa membuat putusan sela yang isinya pemeriksaan tidak dilanjutkan dan menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

commit to user

(13)

5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima

Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 358). Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan penuntut umum tidak dapat diterima, yang disebabkan:

a) Tindak pidana yang didakwakan telah hilang hak penuntutannya karena daluarsa;

b) Tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa sudah diadili (ne bis in idem);

c) Tidak adanya pengaduan, dalam hal tindak pidana tersebut merupakan delik aduan.

6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum

Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan penuntut umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang bunyinya “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal, apabila Penuntut Umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 359)..

3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Satu Saksi Bukan Saksi (Unus Testis Nullus Testis)

Pembuktian dalam proses persidangan menjadikan keterangan saksi memegang peranan yang begitu penting untuk mengungkapkan fakta. Hanya adanya keterangan dari seorang saksi tunggal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (2) commit to user

(14)

KUHAP yang menghendaki bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup, untuk memiliki kekuatan pembuktian, keterangan saksi tersebut harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.

Kamus Blacks’s Law Dictionary mennjelaskan asas unus testis nullus testis sebagai “The rule of evidence which obtains in the civil law, that the testimony of one witness is equivalent to the testimony of none” (Bryan A.Garner, 1999: 141), yang jika diartikan, penjelasan dalam kamus tersebut berarti aturan dalam pembuktian yang berlaku dalam civil law, yang menyatakan bahwa kesaksian yang berasal dari seorang saksi saja, kesaksiannya tidak memiliki nilai”.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP yang memaparkan bahwa dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Dapat diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara cepat satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan Hakim sudah cukup untuk dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tersebut.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Adanya ketentuan ini adalah untuk menjamin penegakkan kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feiten). Menurut Evi Hartanti (Evi Hartanti, 2008: 6) bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Akan tetapi dalam Pasal 183 tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal ini commit to user

(15)

dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum dari KUHAP Belanda.

Mr. Modderman dalam De Wettelijk Bewijslee Instrafzaken mengemukakan bahwa inti sebenarnya dari aturan tersebut adalah bukan terletak pada angkanya, karena tidaklah ada suatu alasan untuk mengatakan bahwa keterangan seorang saksi kurang dipercaya kejujurannya, dibandingkan dengan keterangan dua orang saksi. Tapi alasannya adalah bahwa dengan keterangan seorang saksi saja maka kemungkinannya untuk mengadakan pengecekan timbal balik antara alat-alat bukti tidak akan dapat dilakukan. Oleh sebab itu untuk melakukan pembuktian yang sah diperlukan sekurang-kurangnya dua kesaksian, untuk dapat menghukum atas dasar dua kesaksian tidaklah disyaratkan bahwa harus ada persesuaian tertentu antara kedua kesaksian tersebut, tetapi yang penting terdapat titik pertemuan satu sama lain. (A. Karim Nasution, 1976:11-46)

Menurut Adami Chazawi (Adami Chazawi, 2010: 128) dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas unus testis nullus testis, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah. Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk;

Meskipun dalam prinsipnya asas ini sangat penting untuk menghindarkan fitnah terhadap terdakwa terkait dengan tindak pidana perkosaan, akan tetapi dalam faktanya anak-anak dan perempuan yang menjadi korban perkosaan justru sering dirugikan oleh penerapan asas ini, seperti yang terjadi pada saksi korban Siti Mujayanah dalam peristiwa yang telah dipaparkan diatas. Meskipun asas unus testis nullus testis berlaku dalam proses pembuktian commit to user

(16)

terhadap semua tindak pidana, namun pembuktian tindak pidana perkosaan memiliki masalah yang cukup rumit dibandingkan dengan pembuktian tindak pidana lainnya (Adami Chazawi, 2005: 77).

4. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Persetubuhan Anak a. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa latin disebut dengan delictum atau delicta yaitu delik, dalam bahasa Inggris tindak pidana dikenal dengan istilah delict. Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia sendiri adalah “Tindak Pidana”, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan (Belanda: nalaten; Inggris: negligence) perbuatan yang diharuskan.

Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah starfbaar feit, yang jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana.

Dipakai istilah feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian.

(Andi Hamzah, 2009: 48).

Pengertian tindak pidana yang senada dengan di atas antara lain menurut Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 59) bahwa:

“Tindak pidana dalam bahasa Belanda strafbaar feit, atau dalam bahasa Inggris delict, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subyek tindak pidana”.

Adapun Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel merumuskan sebagai berikut: starfbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.(Moeljatno, 1983: 56). commit to user

(17)

Untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, sebuah perbuatan harus memenuhi beberapa unsur. Vos, dalam tulisan Faried (Andi Zainal A. Faried, 1987: 33) memaparkan bawa unsur- unsur sebuah perbuatan agar dapat disebut tindak pidana antara lain:

1) Elemen (bagian) perbuatan atau kelakuan orang dalam hal berbuat (aktif) atau tidak berbuat (pasif).

2) Elemen akibat dari perbuatan yang terjadi dari suatu delik yang selesai. Elemen akibat ini dianggap telah selesai apabila telah nyata akibat dari suatu perbuatan. Dalam rumusan Undang- Undang elemen akibat kadang-kadang tidak dipentingkan dalam delik formal, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas secara terpisah dari suatu perbuatan seperti dalam delik materil.

3) Elemen subyek yaitu kesalahan yang diwujudkan dengan kata- kata segaja atau culpa (tidak sengaja).

4) Elemen melawan hukum yaitu telah mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang dalam Undang-Undang tetapi tetap dilanggar dengan sengaja.

Apabila meninjau penjelasan diatas, dapat ditentukan bahwa yang dapat memenuhi unsur-unsur tersebut adalah manusia, jika demikian dapat disimpulkan bahwa yang melakukan tindak pidana sudah tentu manusia dengan begitu dapat disebutkan bahwa subyek delik ini adalah manusia. Akan tetapi selain dari itu subyek delik dapat pula berupa badan hukum yang dapat bertindak, misalnya bertindak dalam kedudukan orang.

Menurut Chazawi (Adami Chazawi, 2005: 121) delik dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain:

1) Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam Buku II dan pelanggaran (overtreding) dimuat dalam Buku III.

commit to user

(18)

2) Menurut cara merumuskannya dibedakan antara tindak pidana dengan sengaja (formeel celicten) dan lainnya adalah tindak pidana materil (materiel delicten).

3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana positif dan negatif, dapat pula disebut tindak pidana pasif atau negatif, dan disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissions).

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika, dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama, atau berlangsung lama, atau berlangsung terus menerus.

6) Berdasarkan atas sumbernya, maka delik atau tindak pidana itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

7) Dilihat dari sudut hukumannya dapat dibedakan antara tindak pidana communica (delicta comunica) yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tindak pidana propria yaitu hanya dapat dilakukan oleh yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana pokok (envoundige delecten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeende delicten), dan tindak pidana yang diperingan (depriviligeerde delicten).

10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan commit to user

(19)

hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, tindak pidana terhadap kesusilaan, tindak pidana penipuan dan lain-lain sebagainya.

11) Dari sudut padang berapa kali perbuatan itu untuk menjadi suatu larangan juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten), dan tindak pidana yang berangkai (samengestelde delicten).

b. Pengertian Anak

Pengertian anak baik secara harfiah, etimologis, maupun secara yuridis formal banyak diformulasikan di berbagai literatur maupun di berbagai ketentuan, diantaranya adalah:

1) Dalam salah satu kamus hukum (Yan Pramadya Puspa, 1990: 66 dan 694) didefinisikan bahwa: “Anak (Ind), Pupil mindergarije onder voogdeij (Bld), adalah anak yang berada di bawah pengawasan orang tua/wali”.

2) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk, 1988:30-31) dirumuskan dengan singkat bahwa anak adalah keturunan manusia yang masih kecil, dst.

3) Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

4) Pasal 330 KUHPerdata merumuskan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

5) Menurut UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal I ayat (1) yakni Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

commit to user

(20)

Menilik kelima penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak adalah keturunan manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun dan/atau belum menikah yang masih berada dibawah pengawasan orang tua atau wali, termasuk juga anak yang masih berada dalam kandungan.

Anak adalah pelanjut keturunan dan harapan masa depan seluruh masyarakat, sehingga perlu dibina dan dijaga kehidupan dan perkembangannya, baik dari segi perkembangan fisik dan mentalnya maupun dari segi kebutuhan material demi kelangsungan hidup masa depannya. Agar anak memiliki sikap dan perilaku yang baik, sopan dan terpuji, pembinaan terhadap anak perlu dimulai sejak dini hingga anak cukup dewasa untuk dapat menilai perbuatannya sendiri.

Pembinaan anak juga menjadi sangat penting untuk mendidik anak agar pada waktunya kelak ia dapat berperan dalam masyarakat, melakukan tanggung jawabnya dengan baik, dan tentu saja menjauhkan anak dari kenakalan remaja.

c. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak

KUHP telah menyediakan aturan dan memberikan definisi beserta ancaman hukuman terhadap tindak pidana persetubuhan anak, Pasal 287 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang persetubuhan anak menyatakan bahwa “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Aturan tersebutlah yang digunakan selama beberapa tahun sebelum pada akhirnya dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang secara lebih lengkap mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang- Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lalu diperbaharui dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang commit to user

(21)

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 mejelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abuse), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wàjar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Dalam Undang- Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, tindak pidana persetubuhan terhadap seoarang anak diatur secara tegas dalam Pasal 81 ayat 1 dan 2 yang rumusannya sebagai berikut:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

commit to user

(22)

Hukum Pidana di Indonesia menerapkan asas “lex Specialis derogat lex generalis”, dimana asas ini mengatakan bahwa aturan khusus mengesampingkan aturan umum jika terdapat aturan yang secara khusus mengatur tentang suatu hal yang serupa.

Diterapkannya asas ini adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan anak khususnya dalam Pasal 81 ini, maka dapat dikatakan bahwa Pasal 287 KUHP sudah tidak lagi dapat diterapkan lagi bagi para pelaku persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 81 Undang-Undang perlindungan anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana materiil delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak.

Jadi, dalam hal ini Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan penerapan “lex spesialis derogate lex generalis” dari Pasal 287 KUHP dimana dalam penerapan hukum bagi delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur, penggunaan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak harus didahulukan dari Pasal 287 KUHP.

commit to user

(23)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penjelasan Kerangka Pemikiran:

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis.

Garis tebal yang menghubungkan kotak-kotak dalam kerangka

Perkara Persetubuhan Anak

Pemeriksaan Persidangan

Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor:

208/Pid.B/2010/PN.Mgl

Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Oleh Penuntut Umum Dengan No. 01/Pid/2011/PN.Mgl

Putusan Membebaskan

Terdakwa

Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 979 K/Pid.Sus/2011

Upaya Hukum Oleh Penuntut

Umum

Pertimbangan Mahkamah Agung

Pertimbangan Mahkamah Agung

Ketentuan KUHAP

commit to user

(24)

menjelaskan alur perkara yaitu diawali adanya tindak persetubuhan terhadap anak yang kemudian perkara tersebut diperiksa dalam acara persidangan. Perkara persetubuhan terdakwa disidangkan di Pengadilan Negeri Menggala dan menghasilkan putusan bernomor:

208/Pid.B/2010/PN.Mgl yang pada pokoknya membebaskan terdakwa dari semua dakwaan yang ditujukan kepadanya. Atas vonnis bebas dalam putusan Pengadilan Negeri Menggala, penuntut umum mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung sehingga, menghasilkan putusan No. : 979 K/Pid.Sus/2011 yang pada isinya menyatakan terdakwa bersalah dan menghukum penjara terdakwa selama lima tahun dan denda sebesar enam puluh juta rupiah subsider pidana kurungan selama tiga bulan.

Pengajuan kasasi tersebut diajukan penuntut umum dengan alasan-alasan dan pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Menggala dalam putusannya telah tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a KUHAP), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Menggala dalam putusannya telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 ayat 1 huruf c KUHAP), yaitu dalam pertimbangannya yang menyimpulkan bahwa luka yang terdapat didalam vagina saksi korban adalah luka lama/bukan luka yang baru terjadi, dimana hal ini berlawanan dengan alat bukti Visum et Repertum No.

376/02/RSUD/IV/2010 bulan April 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Made Aryana, SP.OG yang tidak menyebutkan, menjelaskan ataupun menyimpulkan bahwa luka yang terjadi didalam vagina saksi korban adalah luka baru atau luka lama.

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis mencoba untuk meneliti apakah putusan pada pengadilan di tingkat pertama dalam perkara diatas telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Dalam kerangka pernyataan ini ditunjukkan oleh garis penghubung yang berbentuk titik- titik.

Selain itu penulis juga berusaha untuk meneliti apakah upaya kasasi yang diajukan oleh penuntut umum terhadap putusan Pengadilan commit to user

(25)

Negeri Menggala yang membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan yang ditujukan kepadanya telah sesuai dengan ketetntuan KUHAP atau belum. Dalam kerangka pernyataan ini ditunjukkan oleh garis penghubung yang berbentuk titik strip.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, reliability (kehandalan) dari Galeri Indosat Solo yang ditunjukkan dengan kehandalan dalam bentuk prosedur pelayanan, kesiapan dan kesigapan

Beliau mengingatkan bahwa “tidaklah cukup bila hanya mengandalkan ilmu yang tinggi, wawasan yang luas tapi tidak bertolak dari ayat tersebut tentu dikhawatirkan pendidik

Objektif yang telah digariskan dalam kajian yang dilakukan ini adalah untuk mengenalpasti jenis kemahiran insaniah yang terhasil melalui amalan penggunaan sumber bahan bantu

This article will focus on the problem of the differences in the selection mechanism for village officials in Yogyakarta, particularly in Kulon Progo, Sleman, Bantul, and Gunung

Apabila pada suatu pada suatu kecelakaan pesawat terbang, kecelakaan pesawat terbang, dua orang dua orang laki-laki laki-laki (36,40) dan 2 orang perempuan (44,48)

Mohammed Arkoun mengakui bahwa sunnah merupakan salah satu sumber otoritas dalam Islam setelah al-Qur’an, dan memaklumi bahwa sunnah (hadis) telah menjadi bidang keilmuan

Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perpaduan metode Inquiry dan Reciprocal Teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap