• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Tindak Pidana 1. Istilah Tindak Pidana

Istilah kalimat "tindak pidana" berasal dari kata Belanda "Strafbaarfeit,"

dan asal -usulnya dalam bahasa Inggris terbukti dari berbagai sumber.

Akhirnya, Strafbaarfeit masuk ke beberapa dialek Indonesia yang berbeda.

1 perbuatan pidana, Delik Pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana adalah istilah-istilah terjemahan yang ditafasirkan dari kata Strafbaarfeit yang telah diusulkan oleh pakar dan akademisi dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang berbeda-beda2. Sementara itu, definisi Strafbaarfeit dirujuk oleh sejumlah istilah yang berbeda dalam berbagai undang -undang dan peraturan. Dalam sistem hukum, antara lain:

1. Peristiwa pidana , Konstitusi sementara tahun 1950, khususnya Pasal 1, menggunakan istilah ini.

2. Perbuatan pidana, Terminologi Hukum yang Digunakan dalam Hukum 1 tahun 1951 tentang langkah -langkah sementara untuk menetapkan

1Tongat. 2008. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang. UMM Press. Hlm 91

2 Adami Chazawi,.2005. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hlm 67-69

(2)

13

kerangka kerja yang seragam untuk yurisdiksi, otoritas, dan prosedur pengadilan sipil.

3. Perbuatan - perbuatan yang dapat dihukum, Secara khusus, frasa ini muncul dalam Undang -Undang Darurat 2 tahun 1951, yang memodifikasi Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

4. Hal yang diancam dengan hukum, Hukum Darurat No. 16 tahun 1951, yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan perburuhan, menggunakan istilah ini.

5. Tindak Pidana , Beberapa undang -undang memanfaatkan istilah ini, termasuk:

a. Pemilihan Umum Undang -Undang Darurat tahun 1953, juga dikenal sebagai UU No. 7.

b. Pasal 7 Undang -Undang Kejahatan Ekonomi Darurat tahun 1953 mengatur penyelidikan, penuntutan, dan persidangan atas pelanggaran tersebut.

c. Dalam konteks koreksi untuk pelanggar pidana, Keputusan Presiden No. 4 tahun 1964 wajib pelayanan masyarakat wajib. 3. Strafbaar Feit dapat berarti salah satu dari yang berikut ini:

a. "Feit" di Strafbaarfeit mengacu pada tindakan atau perilaku.

b. Di Nahwa, Strafbaarfeit merujuk kembali ke kelalaian pelaku sendiri.

3Tongat Op.cit hlm 92

(3)

14

Apa yang disebut dalam butir a diatas, menurut Moeljatno pengertianya berbeda dengan perbuatan dalam istilah perbuatan pidana. Sebab menurut bilau perbuatan mengandung makna kelakuan + akibat, bukan hanya berarti kelakukan saja. Sementara apa yang disebut dalam butir b, maknanya juga berbeda dengan perbuatan pidana, sebab dalam istilah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggung jawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana4.

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar. Persoalan apakah orang yang melanggar itu kemudian benar - benar dipidana atau tidak, hal ini akan tergantung pada keadaan batinnya dan hubungan batin antara pembuat / pelaku dengan perbuatannya . Dengan demikian menurut Moeljatno, perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Dalam perbuatan pidana tidak memuat unsur pertanggungjawaban pidana.

Hal ini menurut Moeljatno , berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian kesalahan5.

4 Adami Chazawi. Op.cit Hlm 71

5Tongat Op.cit hlm 92

(4)

15

Dalam pandangan Moeljatno, istilah perbuatan pidana sama pengertianya dengan istilah criminal act dalam bahasa inggris. Sebab, criminal act juga mengandung arti kelakuan+akibat. Selain itu criminal act juga dipisahkan dengan istilah criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana)6. Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai oleh aturan hukum larangan mana disertai ancaman (saksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar tersebut”7

Moeljatno berpendapat bahwa tindakan kriminal adalah istilah yang lebih akurat untuk digunakan karena:

1) Larangan diarahkan pada tindakannya, karena mereka adalah apa yang dilarang (tindakan manusia, yaitu, suatu peristiwa atau kondisi yang disebabkan oleh tindakan orang). Namun, ancaman kriminal diarahkan ke target secara langsung.

2) Undang -undang (dalam bentuk situasi atau peristiwa yang disebabkan oleh orang tersebut, melanggar larangan) dengan orang yang menyebabkan Undang -Undang memiliki hubungan dekat karena larangan diarahkan pada tindakan tersebut dan ancaman hukuman diarahkan pada orang tersebut.

6Ibid. hlm 93

7 Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana : Bagian 1. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Hlm 70

(5)

16

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih lepat digunakan istiilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu : pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu8.

Inti dari pendapat Moeljatno yang menyatakan bahwa istilah perbuatan pidana lebih tepat digunakan karena perbuatan pidana sebagaimana yang tercantum dalam definisi perbuatan pidana merupakan suatu pengertian abstrak yang merujuk pada dua keadaan konkrit yaitu larangan yang ditujukan pada perbuatan manusia, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orangnya, dan di antara keduanya ada hubungan yang erat.

Sedangkan alasan Moeljatno menyatakan istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana tidak tepat karena :

1) Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang konkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain.

2) Sedangkan istilah tindak pidana, perkataan “tindak” tidak menujuk pada hal abstrak seperti perbuataan, tapi sama dengan perkataan peristiwa

8Ibid Hlm 71

(6)

17

yang juga menyatakan keadaan konkrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak9.

Peristiwa kriminal dan tindakan kriminal bukanlah alternatif yang cocok untuk Strafbaar Feit, seperti yang dikatakan Moeljatno di atas, karena konsep -konsep ini merujuk pada hal -hal konkret daripada ide -ide abstrak.

Oleh karena itu, pantas untuk menggunakan definisi tindakan kriminal sebagai pemahaman abstrak yang mengacu pada dua keadaan konkret.

Menggunakan istilah yang berbeda baik -baik saja, selama semua orang memahami apa yang dimaksud, kata Sudarto; Yang penting adalah substansi dari pemahaman itu.

Sementara anggota parlemen mungkin telah menggunakan istilah "tindakan kriminal," Sudarto lebih cenderung menggunakan istilah ini. Istilah ini memiliki "sosiologische gelding" karena banyak digunakan dan diterima.10 2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Secara doktrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.

a. Pandangan Monistis

9Ibid Hlm 71-72

10 Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Cetakan ke II. Semarang : Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip. Hlm 39

(7)

18

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/ tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/ kesalahan (criminal responbility). Dan adapun penjelasan para ahli yang menganut pandangan monistis11.

1. Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabankan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a) perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).

b) diancam dengan pidana positif c) melawan hukum

d) dilakukan dengan kesalahan

e) oleh orang yang mampu bertanggungjawab Dengan penjelasan seperti ini maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat

11Tongat.Op.cit. hlm 94

(8)

19

pada perbuatan pidana. Simons tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responbility.

Apabila diikuti pendapat ini, maka apabila ada seseorang yang melakukan pembunuhan eks pasal 338 KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang melakukan pembunuhan itu adalah orang yang tidak mampu bertanggungjawab, misalnya oleh karena orang gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana. Secara gampang bisa dijelaskan mengapa peristiwa itu tidak dapat disebut tindak pidana, sebab unsur-unsur tindak pidananya tidak terpenuhi, yaitu unsur orang yang mampu bertanggungjawab. Oleh karena tidak ada tindak pidana, maka juga tidak ada pidana.

2. Menurut J. Bauman, perbuatan/ tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

3. Menurut Wiryono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana12.

Pendapat dari golongan monistis ini memasukan unsur pertanggungjawabkan sebagai salah satu unsur tindak pidana sehingga

12ibid

(9)

20

untuk dapat dikatakan adanya tindak pidana maka unsur pertanggungjawabkan pidana harus muncul di dalamnya13.

b, Pandangan Dualistik

Pendapat ahli dari golongan dualistis antara lain ada Pompe dan Moeljatno.

1. Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan, pen), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.

Menurut Pompe, dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana.(tongat) Sedangkan menurut hukum positif pengertian ini merupakan suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang melawan hukum14

2. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dengan penjelasan seperti tersebut, maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur:

a) adanya perbuatan (manusia)

b) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP)

13Tongat. Op.cit.Hlm 95

14 Tri Andrisman. 2007. Hukum Pidana. Bandar Lampung:Universitas Lampung. Hlm 81

(10)

21

c) bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).

Dari definisi/pengertian perbuatan/ tindak pidana yang diberikan Moeljatno di atas tersimpul, bahwa dalam pengertian tentang tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility). Namun demikian, Moeljatno juga menegaskan, bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa memepersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak.

Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan batin orang itu dan bagaimana hubungan batin antara perbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila perbuatan yang terjadi itu dapat dicelakan kepada orang itu yang berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu -maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya15.

Konsekuensi untuk melakukan kejahatan bergantung pada komisi kejahatan. Pertama, harus ada tindakan ilegal yang dapat dimintai pertanggungjawaban seseorang. Apakah unsur tanggung jawab pidana ini

15Tongat. Op.cit. Hlm 96

(11)

22

adalah bagian dari definisi tindakan kriminal, ketika seseorang melakukan kejahatan, ia pada akhirnya akan dianggap bertanggung jawab atas tindakannya.

B. Tinjauan tentang Unsur Kesalahan

1. Pengertian dan Unsur-unsur Kesalahan

Dalam bahasa Latin, istilah untuk studi tentang kekeliruan adalah mens rea.

Suatu tindakan saja bukan merupakan mens rea di bawah doktrin Mens Rea;

Seseorang pasti memiliki niat jahat yang sudah ada sebelumnya. Jika pikiran seseorang tidak bersalah secara hukum, maka tindakan mereka tidak dapat digunakan untuk menghukum mereka. Beginilah doktrin yang diekspresikan dalam bahasa Inggris.16

1. Simons

Kesalahannya terletak pada jiwa pembuatnya, dan jiwa pembuatnya terkait dengan tindakan pembuat dengan cara yang membuat pembuatnya bertanggung jawab atas tindakan pembuatnya. Disimpulkan bahwa untuk kesalahan, ada dua kondisi yang harus dipenuhi, berdasarkan batasan Simons dari kesalahan tersebut, yaitu:

a. Agar ada "kesalahan," pembuatnya pasti berada dalam kerangka pikiran tertentu. Penulis mencirikan cara berpikir ini sebagai normal,

16Tongat. Op.cit. hlm 199

(12)

23

menggambarkannya sebagai kondisi "jiwa" yang belum "dinonaktifkan"

dalam perkembangannya atau oleh penyakit17.

b. Agar "kesalahan" ada, juga harus ada hubungan antara keadaan internal pembuatnya dan tindakannya dengan cara agar pembuatnya dapat

"dicela" karena perbuatannya.

Dalam pandangan ini, kritik sosial adalah kekuatan pendorong di balik kegigihan "kesalahan." Oleh karena itu, jika seseorang melakukan tindakan yang mereka "dicela" oleh masyarakat, itu menunjukkan adanya

"kesalahan" pada individu. Kali ini di sekitar teguran datang dari seluruh masyarakat, bukan hanya beberapa kelompok tertentu. Mentalitas

"keinginan" atau "tidak ingin" adalah jantung dari jenis koneksi ini.

Jika ada hubungan mental yang tersirat, seperti "bersedia," maka kesalahan pelaku adalah varietas "disengaja". Namun, jika sifat hubungan batin adalah

"tidak ingin," kesalahan pelaku (mungkin) mengambil bentuk kecerobohan atau ketidakpedulian.

2. Menurut Karni, yang menggunakan "dosa palsu" berarti "kesalahan,"

berpendapat bahwa konsep "dosa yang salah" menyiratkan penghukuman.

Untuk dimintai pertanggungjawaban berdasarkan kritik ini adalah pusat hukum pidana. Selain itu, jika Undang -Undang dapat dan harus meminta pertanggungjawaban pembuatnya, pembuatnya harus dicela karena Undang

17 ibid

(13)

24

-Undang tersebut, Undang -Undang tersebut berisi konflik hak, dan Undang -Undang tersebut harus dilakukan dengan sengaja atau salah.

3. Kesalahan pikiran dalam konteks ini, "kesalahan" hanya mengacu pada

"koneksi batin" antara pembuat dan tindakannya. Disengaja atau tidak disengaja, tautan internal ini bisa berjalan baik. Hubungan mental antara

"disengaja" dan "kelalaian" mengambil bentuk "tindakan yang bersedia (dan konsekuensinya)," sedangkan tidak ada kemauan seperti itu dalam kasus "disengaja." Itulah mengapa kita dapat meringkas "kesalahan psikologis" sebagai berikut: "Keadaan mental pembuat hanya dijelaskan atau dijelaskan, dan ukurannya adalah sikap mental dalam bentuk keinginan atau tidak ingin bertindak atau konsekuensinya" (tindakan) . Karena menentukan kondisi mental pelaku dari perspektif pelaku bukanlah tindakan sederhana dalam praktiknya, konsep "kesalahan psikologis" lagi diadopsi dalam hukum pidana modern. Karena ini masalahnya, kesalahan

"normatif" telah diadopsi dalam praktik hukum pidana.18. Artinya, "orang harus bertindak berdasarkan" standar biasa sesuai dengan pandangan masyarakat digunakan sebagai tindakan eksternal untuk menetapkan kesalahan pelaku.

4. Ketidaksempurnaan dalam proses standardisasi dalam pengertian ini, kesalahan seseorang tidak hanya memerlukan unsur evaluasi tindakannya,

18ibid.hlm 200

(14)

25

tetapi juga sikap atau keadaan mentalnya dan hubungan batin antara pembuat dan tindakannya. Artinya, ada atau tidak adanya "penilaian" dalam bentuk "celaan" dari masyarakat menunjukkan apakah ada kesalahan dalam hubungan batin pembuatnya dengan tindakannya.19.

Ketika hubungan batin yang merupakan normatif (berdasarkan penilaian eksternal daripada diri pembuatnya sendiri) menggunakan standar sosial menimbulkan celaan, ini menunjukkan kesalahan. Ada atau tidak adanya

"celaan" dalam hubungan mental antara pembuat dan tindakannya dapat diukur dengan melihat apakah ada "disengaja" atau "kelalaian/kelalaian" di pihak pembuat, tetapi evaluasi ini harus datang dari luar pembuat; Artinya, itu harus berasal dari komunitas, yang harus menggunakan metrik berbasis masyarakat, seperti "apa yang seharusnya dilakukan pembuatnya," untuk mencapai kesimpulannya.

Tidak ada yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan kecuali mereka melakukannya dengan sengaja atau lalai. Di sisi lain, jika tindakan kriminal dilakukan tanpa elemen "disengaja" atau "kelalaian," pelaku tidak boleh disalahkan karena tidak ada kesalahan yang terlibat.

Oleh karena itu, agar ada "kesalahan" dalam arti "kesalahan normatif," tiga prasyarat harus dipenuhi: kondisi mental pembuatnya (kapasitasnya untuk tanggung jawab); hubungan antara pikiran dan perbuatan pembuat (yang

19ibid.Hlm 201

(15)

26

bisa "disengaja" atau "kelalaian yang disengaja"); dan "tidak adanya alasan kelalaian" (maafkan alasan).20.

2. Bentuk-bentuk Kesalahan

Bentuk-bentuk dari kesalahan yaitu berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa), yaitu:

1. Kesengajaan (dolus) Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Belanda ada sedikitnya keterangan yang mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan “pidana pada umumnya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens)”. Secara singkat, kensengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui perbuatan tersebut21. Sudarto juga mengemukakan hal yang sama. Sengaja di sini berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukannya.

Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan di samping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.

Misalnya seorang ibu yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, mengehendaki dan sadar akan perbuatannya tersebut22. Berhubungan dengan

20Ibid.Hlm 202

21 Adami Chazawi.Op.cit.Hlm 93

22 Sudarto.Op.cit. Hlm 102

(16)

27

keadaan batin orang yang berbuat sengaja, maka ada dua teori yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. Jika dihubungkan pada rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan diamna akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana (tindak pidana materiil), maka selain ditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada akibat timbulnya akibat itu. Hal ini nampak jelas pada perbuatan pada kejahatan pembunuhan 23 Berdasarkan dari teori kehendak ini, misalnya pada kasus pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP, seseorang yang melalukan perbuatan nyawa orang lain dengan membacok dengan sebilah parang (yang memang ia kehendaki) dan matinya seseorang tersebut (yang juga ia kehendaki).

Perbuatan yang ia kehendaki dan akibat dari perbuatan tersebut keduanya saling berkaitan. Sedangkan menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya.

Jika dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah mengenai segala hal yang ia ketahui dan bayangkan sebelum seseorang melakukan

23Ibid.

(17)

28

perbuatan beserta segala sesuatu sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam UU.

Misalnya kesengajaan pada pencurian 24. Berdasarkan dari teori pengetahuan ini, misalnya pada kasus pencurian dalam Pasal 362 KUHP, seseorang yang mengambil HP milik teman sekelasnya yang bukan kepunyaannya secara diam- diam, dan berdasarkan kesadaraannya ia mengatahui atau dapat membayangkan bahwa perbuatan tersebut adalah hal yang tercela (melawan hukum). Selain itu dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 3 bentuk kesengajaan yaitu :

a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan/atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).

Itulah bentuk yang paling sederhana dari pengertian kesengajaan sebagai maksud. Misalnya untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai mati.

Di sini perbuatan menikam itu dikehendaki demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia kehendaki25

b) Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai kepastian adalah berupa kesadaran seseorang terhadap

24Ibid. Hal 93

25 Adami Chazawi. Op.cit.Hlm 95-96

(18)

29

sesuatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga, maka di sini terdapat kesengajaan sebagai kepastian. Contohnya, A bermaksud membunuh B dengan menggunakan sebuah pistol, sedangkan B berada di balik sebuah kaca. Sebelum menggunakan senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang dilakukannya akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca ini adalah berupa kesengajaan sebagai kepastian26

c) Berpikir Kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheidsbewustzijn) juga dikenal sebagai Dolus akhirnya niat sebagai kemungkinan menggambarkan tindakan di mana aktor menyadari adanya hasil yang ia lebih suka hindari tetapi tetap bersedia untuk bergerak maju dengan rencana tersebut. ancaman melakukannya.

Penangkapan kue Hoornse adalah jenis penangkapan SDM yang terkenal yang menggambarkan prinsip ini (19 Juni 1911). Seseorang di Hoorn berencana meracuni kue Taart dan mengirimkannya kepada seseorang yang sangat mereka sukai sehingga mereka ingin mereka mati.

Setelah musuh menerima kue, diketahui bahwa istrinya memakannya, bukan target yang dimaksud, yang mengarah ke kematiannya yang terlalu tepat.

26Ibid Hlm 97

(19)

30

Keputusan Sumber Daya Manusia menyatakan bahwa pengirim kue telah terlibat dalam: (a) Slaying istri direncanakan (b) Suami berusaha membunuh.27 Menyebabkan bahaya (culpa) KUHP tidak memberikan definisi unik untuk bentuk kecerobohan atau tanggung jawab pidana ini. Dalam pandangan Sudarto, kecerobohan semacam ini jatuh di suatu tempat antara kesalahan yang tidak disengaja dan disengaja. Kecerobohan ini tidak terjadi karena kurangnya kehati -hatian, kecerobohan, perawatan, kurang perhatian, atau prediktabilitas.

Beberapa penulis mencantumkan sejumlah skenario di mana kelalaian bisa dimungkinkan. Kelalaian didefinisikan sebagai tidak adanya prediktor atau kegagalan untuk berhati -hati, menurut Hazewinkelsuringa. Sementara itu, Pompe mengatakan bahwa ambang batas kelalaian adalah kemampuan untuk meramalkan hasil potensial, tahu bahwa mereka mungkin, dan bertindak sesuai.

Beberapa orang, misalnya, tidak pernah mematikan mesin mobil mereka saat mengisi bahan bakar. Jika kebakaran pecah sebagai akibat dari tindakannya, ia akan bertanggung jawab untuk itu dan mungkin menghadapi konsekuensi28 (Sudarto, 1990:123-127). Keberadaan kelalaian ini hanya dapat ditetapkan dengan mengamati peristiwa selanjutnya. Standar perawatan untuk kelalaian dipegang oleh hakim. Hakim bertanggung jawab untuk mengevaluasi suatu tindakan secara konkret menggunakan standar pengamat atau estimator sambil juga mempertimbangkan latar belakang dan konteks pembuatnya.

27Ibid. hlm 96

28 Sudarto. Op.cit.Hlm 126

(20)

31

C. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Pidana 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang secara tegas menyatakan, bahwa tiada pidana Una tanpa kesalahan.

Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana --karena telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum-- apabila dalam diri orang itu terdapat "kesalahan. Apabila dalam diri orang itu tidak ada "kesalahan", maka terhadap orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Patut menjadi catatan, bahwa salah satu syarat untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya adalah adanya. "kemampuan bertanggungjawab yang hakikatnya merupakan "keadaan batin" si pembuat- yaitu "keadaan batin" yang sedemikian. rupa sehingga menjadi "pembenar untuk dijatuhkannya pidana, Dengan demikian dapat juga dikemukakan, bahwa salah satu syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah adanya "kemampuan bertanggungjawab".

Artinya, seseorang barulah dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana manakala orang itu dianggap "mampu bertanggungjawab". Untuk memberikan gambaran yang utuh tentang apa yang dimaksud dengan

"kemampuan bertanggung jawab berikut ini dikemukakan berbagai pandangan tentang persoalan tersebut29.

29Tongat. Op.cit.Hlm 203

(21)

32

1) Simons Menurut Simons, "kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya". Menurut Simons, 2 seseorang dianggap "mampu bertanggung jawab, apabila jiwanya "sehat", yaitu apabila :

(a) la mampu untuk mengetahui atau menyadari, bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

(b) la dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. Bertolak dari pandangan Simons yang demikian tersimpul, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab diperlukan dua syarat sekaligus, yaitu kemampuan untuk menyadari, bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya itu30.

Dua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya keduanya harus ada pada seseorang. Apabila seseorang dapat menyadari, bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum, tetapi ia tidak dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya itu, Imaka orang itu juga tidak dapat "dianggap mampu bertanggungjawab. Sebagai contoh dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut: "Sha Nhu Shie" menyadari betul, bahwa melakukan pengrusakan terhadap gedung merupakan perbuatan yang dilarang/ bertentangan dengan

30Ibid. Hlm 204

(22)

33

hukum yang berlaku. Suatu ketika ia ditodong pistol oleh segerombolan teroris untuk meledakan gedung dengan melemparkan bom. Sang teroris menodongkan pistol tepat di kepalanya dan apabila ia berontak dan tidak mau melempar bom itu, maka ia akan ditembak.

Di bawah ancaman yang demikian, "terpaksa" Sha Nhu Shie meledakan gedung itu dengan melempar bom. Dari ilustrasi tersebut di atas tersimpul, bahwa sekalipun Sha Nhu Shie menyadari betul, bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum, tetapi ia berada dalam situasi dimana ia tidak dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya, ia berada dalam situasi dimana ia tidak bebas menetukan kehendaknya, sehingga ia tidak bisa dianggap mempunyai kemampuan bertanggungjawab. Artinya, ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu31.

2) Menurut Pompe seseorang itu dianggap "mampu bertanggungjawab" apabila keadaan jiwanya adalah demikian rupa, hingga apa yang telah ia lakukan itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Apabila dicermati secara seksama, batasan "mampu bertanggungjawab" yang diberikan Pompe tersebut di atas pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Simons.

Dalam batasan yang diberikan Pompe juga terkandung maksud, bahwa untuk adanya "kemampuan bertanggungjawab" pada seseorang itu dipersyaratkan

31ibid

(23)

34

adanya keadaan jiwa yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Penulis percaya bahwa "keadaan jiwa" yang dirujuk Pompe adalah kondisi mental normal/sehat jika dikaitkan dengan berbagai batasan yang disebutkan di atas, yaitu keadaan jiwa yang memberikan kemampuan untuk membedakan antara tindakan baik dan buruk yang buruk dan buruk . Terlarang dan diizinkan dan sebagainya.

3) Van Hamel Van Hamel berpendapat bahwa tiga jenis kompetensi muncul secara alami dan matang pada seseorang dengan "kemampuan bertanggung jawab," termasuk yang berikut:

a. Mampu memahami pentingnya tindakannya.

b. Mampu memahami apakah tindakannya dapat diterima atau tidak dalam konteks sosial yang diberikan.

c. Dalam posisi untuk memastikan kehendaknya sendiri.

4) Satochid Kartanegara Menurut Satochid Kartanegara,untuk adanya kemampuan bertanggungjawab pada seseorang diperlukan adanya tiga syarat, yaitu :

(a) Ketika keadaan batin seseorang memungkinkannya untuk menghargai atau menghargai nilai tindakannya, ia juga dapat memahami efek tindakan tersebut.

(b) Jika semangat orang itu dalam kondisi yang baik, ia dapat bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

(24)

35

(c) Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila.

Menurut Satochid Kartanegara, tiga syarat untuk adanya "kemampuan bertanggungjawab" tersebut di atas harus terpenuhi untuk adanya "kemampuan bertanggungjawab" pada seseorang. Dengan tiga syarat tersebut di atas, maka menurut Satochid Kartanegara, tidak dapat diharapkan dari seorang anak yang masih sangat muda (anak-anak yang berumur delapan tahun ke bawah, pen.) untuk mengerti nilai perbuatannya32.

Oleh karenanya juga tidak dapat diharapkan dari seorang anak yang masih sangat muda untuk mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya. Demikian juga tidak dapat diharapkan untuk dapat mengerti akan nilai perbuatan dan nilai akibat perbuatannya dari seseorang yang menderita sakit jiwa atau orang gila.

Bertolak dari berbagai pandangan tersebut di atas, maka menurut hemat penulis, untuk dapat dikatakan adanya "kemampuan bertanggungjawab pada seseorang, maka keadaan jiwa orang itu haruslah "normal" baik "fungsi maupun

"keadaannya".

Dengan demikian, maka untuk adanya "kemampuan bertanggungjawab diperlukan dua syarat, yaitu "fungsi batiry jiwanya "normal" dan "keadaan"

batin/ jiwanya "normal". Pada seorang anak yang masih sangat muda (dalam

32ibid. Hlm 205

(25)

36

konteks hukum pidana Indonesia --sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak-- usia delapan tahun ke bawah) tidak dapat diharapkan untuk dapat mengerti akan nilai perbuatan dan akibatnya oleh karena "keadaan" batin/

jiwanya belum "normal" Pada seseorang yang menderita sakit jiwa (orang gila) juga tidak dapat diharapkan untuk mengerti akan nilai perbuatan dan akibatnya, oleh karena "keadaan" batin/ jiwanya tidak normal, Pada seseorang yang mendapatkan tekanan baik secara "fisik maupun secara "psikis" yang tidak dapat dihindari secara "wajar"tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas, oleh karena "fungsi" batin/jiwanya tidak normal. Artinya, batin/ jiwanya tidak dapat ber-"fungsi sebagaimana batin/ jiwa yang normal-misalnya ia dapat

"berbuat" sesuai dengan "kehendaknya".

Apabila seseorang tidak dapat "berbuat" sesuai "kehendaknya sendiri -- sehingga oleh karenanya ia kemudian "berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya-- karena adanya "tekanan" (baik fisik maupun psikis), maka berarti "fungsi" batin/ jiwa orang itu tidak normal". Pada kondisi ini sebenarnya "keadaan" batin/jiwa orang itu "normal", tetapi batin/jiwa yang

"normal" itu tidak dapat "berfungsi sebagaimana batin/ jiwa yang normal karena adanya "tekanan"33.

2. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab dalam KUHP

33ibid. Hlm 206

(26)

37

Apabila dilihat secara cermat, maka terlihat, bahwa KUHP tidak memberi batasan/pengertian tentang apa yang dimaksud dengan "kemampuan bertanggungjawab. Secara formal-konseptual KUHP tidak memberikan batasan tentang persoalan tersebut34. KUHP hanyalah memberikan batasan

"kapan dalam diri seseorang itu dianggap tidak ada "kemampuan bertanggungjawab", tidak memberikan batasan kapan dalam diri seseorang itu dianggap ada "kemampuan bertanggungjawab. Dengan demikian, berkaitan dengan persoalan "kemampuan bertanggungjawab" KUHP merumuskannya secara "negatif"35.

Perumusan secara "negatif" tentang persoalan "kemampuan bertanggungjawab ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 44 KUHP yang menyatakan:

i. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena suatu penyakit, tidak dipidana.

ii. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggung jellet jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat

34 Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta: Rangkang Education dan PuKAP Indonesia. Hlm 75

35Tongat . Op.cit. Hlm 207

(27)

38

memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Berdasarkan rumusan Pasal 44 KUHP tersebut di atas terlihat, bahwa dalam KUHP tidak dirumuskan apa yang dimaksud dengan "kemampuan bertanggungjawab", tetapi hanya merumuskan kapan seseorang dianggap tidak "mampu bertanggungjawab". Perumusan secara "negatif" yang dianut KUHP dapat dimengerti, mengingat berkaitan dengan "kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku (tindak pidana), pendirian yang dianut KUHP adalah, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab, kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya.

Dengan pendirian yang demikian, maka di dalam praktek penegakan hukum, manakala seorang pelaku tindak pidana tidak" menunjukkan tanda- tanda yang menunjukkan ke-tidak-mampuan bertanggungjawabnya, maka orang itu dianggap "mampu bertanggungjawab". Sebaliknya apabila dalam diri orang itu menunjukkan tanda-tanda ke-tidak-mampuan bertanggung jawabnya, barulah terhadap orang itu harus dibuktikan ke-tidak mampuan bertanggungjawabnya itu36.

Ketentuan Pasal 44 (1) KUHP tersebut hakikatnya hanya memuat suatu alasan-yang terdapat pada diri seorang pelaku tindak pidana-yang menjadi dasar untuk menyatakan, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu tidak

36ibid

(28)

39

dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Alasan yang digunakan untuk menyatakan, bahwa seseorang itu dianggap (secara hukum) "tidak mampu bertanggungjawab adalah jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit." Perlu dicatat, bahwa masalah "kemampuan bertanggung jawab merupakan masalah yuridis sedang masalah keadaan

"jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit-- merupakan masalah medis. Oleh karena itu juga perlu dipahami, bahwa pihak yang berkompeten untuk menentukan apakah keadaan jiwa seorang pelaku tindak pdana itu "cacat dalam tumbuhnya" atau "terganggu karena penyakit adalah dokter ahli jiwa atau psichiater, sedangkan yang menentukan papakan seorang pelaku tindak pidana itu dianggap mampu bertanggungjawab atau tidak adalah hakim.

Dalam hal ini, meskipun pihak yang berkompeten untuk memberikan

"penilaian terhadap "keadaan jiwa" pelaku itu adalah psichiater/ dokter ahli jiwa, namun apa yang disampaikan oleh psichiater/ dokter ahli jiwa itu tidak mengikat hakim. Secara hukum hakim tidak terikat oleh keterangan yang disampaikan oleh ahli jiwa itu.

Dalam konteks ini, psichiater/dokter ahli jiwa itu hanya "mendeskripsikan"

keadaan jiwa si pelaku pada saat perbuatan itu dilakukan, sementara yang menentukan apakah "keadaan jiwa yang demikian itu ada hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan pelaku atau tidak, yang menentukan adalah hakim. Dengan demikian, maka yang menentukan apakah seorang

(29)

40

pelaku tindak pidana itu mempunyai kemampuan bertanggungjawab" atau

"tidak" adalah hakim37.

3. Beberapa "Keadaan Jiwa" yang Berhubungan dengan "Kemampuan Bertanggungjawab"

Selain keberadaan keadaan mental yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 44 (1) dari KUHP, yang merupakan alasan untuk tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan seseorang, ada juga beberapa keadaan mental yang tidak diatur dalam KUHP, tetapi yang dalam praktik hukum, juga berkaitan dengan masalah "tanggung jawab," beberapa contoh dari kondisi mental ini meliputi::

1) Tidak dapat menerima tanggung jawab banyak gangguan psikologis umum memenuhi kriteria untuk penyakit mental, di mana individu yang terkena dampak dipandang tidak dapat memikul beberapa tingkat tanggung jawab atas tindakan mereka.

Artinya, orang dengan penyakit mental mungkin memenuhi syarat sebagai orang yang tidak dapat bertanggung jawab dalam kondisi tertentu (yaitu, ketika penyakit mental tiba), dengan peringatan bahwa harus dipahami bahwa tindakan kriminal yang dilakukannya benar -benar disebabkan oleh benar -benar disebabkan oleh penyakit mental yang dideritanya. Artinya,

37Ibid . hlm208

(30)

41

antara tindak pidana yang terjadi dengan jenis penyakit jiwa yang dideritanya itu ada hubungan. Beberapa penyakit jiwa yang dimaksud antara lain :

(a) Kleptomanie, yaitu penyakit jiwa yang berujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang orang lain, tetapi tidak sadar, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang terlarang.

Biasanya barang yang diambil itu merupakan barang yang tidak ada nilainya baginya. Dalam keadaan biasa, biasanya keadaan jiwa orang ini adalah sehat.

(b) Pyromanie, yaitu penyakit jiwa yang berujud kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan yang jelas.

(c) Claustrophobie, yaitu penyakit jiwa yang berupa ketakutan untuk berada di ruang yang sempit. Penderita jenis penyakit ini apabila berada dalam ruangan yang demikian dapat melakukan pengrusakan, misalnya memecah kaca, dan sebagainya.

d) Penyakit yang berupa perasaan senantiasa dikejar-kejar oleh musuh- musuhnya38.

2) Kurang mampu bertanggungjawab Seseorang yang dinyatakan oleh dokter jiwa/ ahli jiwa- "kurang mampu bertanggungjawab dalam konteks hukum pidana hakikatnya "tetap dianggap "mampu bertanggung-jawab".

38ibid.Hlm 209

(31)

42

Namun demikian, keadaan jiwa "kurang mampu ber-tanggungjawabnya"

itu dapat digunakan sebagai hal yang dapat meringankan dirinya dalam pemidanaan, Jadi, keadaan jiwa yang demikian hanya dianggap sebagai faktor yang dapat meringankan pidana bagi penderitanya39.

Beberapa putusan Pengadilan yang menggunakan keadaan jwa yang kurang mampu bertanggungjawab sebagai hal yang meringankan dapat dilihat dalam beberapa kasus di bawah ini :

(a) M.S. alias D, seorang sopir, dituduh telah membunuh istrinya. (karena menunjukkan ada tanda-tanda, bahwa ia tidak mampu bertanggungjawab, pen.), ia dimasukkan di rumah sakit jiwa di Lawang dan diperiksa oleh dokter ahli jiwa. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukannya, dokter jiwa tersebut berkesimpulan, bahwa M.S. alias D tersebut dinyatakan "kurang sempurna maknawi dan kurang sempurna jiwa". Ternyata, Landraad (Pengadilan Negeri) Malang tidak memperhatikan hasil pemeriksaan itu dan memberikan pertimbangan (dalam putusannya,) antara lain: "Meskipun terdakwa menunjukkan rusaknya maknawi, hal ini tidak dapat membebaskannya dari pidana oleh karena tiap kejahatan boleh dianggap sebagai akibat rusaknya maknawi. Menurut KUHP alasan penghapus pidana adalah kurang sempurna akal atau sakit berubah akal.

39 Ibid. Hlm 210

(32)

43

Ini berarti keadaan kewatakan". Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut tersimpul, bahwa hakim tidak mengakui "keadaan kurang sempuma maknawi" (sebagai dasar/alasan untuk menyatakan ke tidak-mampuan bertanggungjawab seseorang, pen.), sehingga hakim tetap menjatuhkan

"pidana", yaitu pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun40.

(b) Seorang keturunan Jerman menyatakan "simpati" atas di dudukinya negeri Belanda oleh Jerman (tahun 1940). la dipidana oleh Politierechter Batavia selama 4 (empat) bulan penjara berdasarkan peraturan Panglima Tentara Hindia Belanda. Terdakwa naik banding. Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggerechtshof) dalam keputusannya mengubah pidananya menjadi 2 (dua) bulan penjara. Perubahan pidana ini didasarkan atas adanya surat keterangan dokter yang menyatakan, bahwa terdakwa kurang mampu bertanggungjawab. Berdasarkan deskripsi dua kasus tersebut di atas tersimpul, bahwa keadaan jiwa yang berupa "kurang mampu bertanggungjawab hakikatnya tetap dianggap mampu bertanggungjawab", hanya saja keadaan jiwa yang demikian "dapat digunakan sebagai hal yang meringankan pidana.

3) Keadaan "mabuk (intexication, dronkenschap). Persoalan lain yang terkait dengan masalah "kemampuan bertanggungjawab adalah masalah orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan mabuk. Persoalan ini

40ibid

(33)

44

seringkall memunculkan pertanyaan, apakah orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan mabuk dapat dikualifikasi sebagai orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 44 KUHP? Untuk menjawab pertanyan tersebut patut kiranya dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan pengaruh "mabuk terhadap "keadaan jiwa" seseorang.

Seseorang yang *mabuk (dalam pengertian yang seluas-luasnya.)41

biasanya disebabkan karena berbagai hal misalnya, minuman beralkohol, penggunaan zat-zat adiktif secara tidak terukur seperti morfen, ganja, kokain, dan sebagainya. Penggunaan zat-zat tersebut dapat membahayakan pemakainya. Alkohol, misalnya, dapat menyebabkan intoksikasi (keracunan/ kebiusan) dari otak. Penggunaan minuman beralkohol dapat menimbulkan "psycoseaout" dengan tanda-tanda antara lain "perasaan hebat, perasaan gembira (euphorie), kehilangan kontrol moral, kurang kontrol terhadap diri sendiri, konsentrasi berkurang/ hilang, merasa dirinya hebat, memandang sepele terhadap bahaya". Jadi dampak penggunaan minuman beralkohol dapat mengarah pada "ke-tidak-mampuan bertanggungjawab" atau "kekurang-mampuan bertanggung jawab". Namun demikian, menurut Sudarto, berkaitan dengan pe-mabuk-an ini harus dibedakan, antara orang yang "mabuk tanpa kemauan sendiri dan orang yang memang menghendaki "mabuk".

41Ibid. Hlm 211

(34)

45

Dengan kata lain, dampak hukum dari dua kategori mabuk adalah berbeda.

Ketidakmampuan untuk mengambil tanggung jawab juga berlaku untuk seseorang yang mabuk di luar kehendaknya dan karenanya tidak ingin berada dalam keadaan "mabuk". dapat dikatakan menderita semacam penyakit (patologi), dan karenanya dianggap tidak menyadari konsekuensi dari tindakannya. Penting untuk diingat bahwa mengukur tingkat keracunan seseorang adalah bisnis yang rumit, sehingga tidak dapat digunakan sebagai tes lakmus untuk tanggung jawab. Seseorang masih dianggap mampu bertanggung jawab bahkan jika dia mabuk dengan sengaja (sebelum melakukan kejahatan) untuk meningkatkan rasa keberanian atau kepercayaan dirinya. Karena kehendak bebasnya dan tindakannya (kriminalnya) tetap terkait erat dalam skenario ini. Seseorang masih dapat menahan orang itu untuk memiliki pengetahuan tentang pentingnya akta ke -n dan dampaknya42.

4. "Batas" Mampu dan Tidak Mampu Bertanggungjawab Bertolak dari berbagai bahasan tentang kemampuan

Upaya menentukan "kemampuan bertanggungjawab seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat, beralihnya keadaan yang satu ke keadaan yang lain itu sifatnya berangsur-angsur, tidak seketika. Oleh karenanya juga tidak mudah menentukan "batas antara mampu dan tidak

42ibid.Hlm 212

(35)

46

mampu bertanggungjawab, sehingga di dalam praktekpun seringkali terjadi keragu-raguan terhadap ada tidaknya kemampuan bertanggungjawab itu.

Persoalannya, bagaimana apabila di dalam praktek terjadi keragu-raguan terhadap "kemampuan bertanggungjawab seorang tersangka? Dalam konteks ini ada dua pandangan dalam menyikapi persoalan tersebut, yaitu:

1) Si pembuat/ pelaku tetap dapat dipidana. Pandangan ini bertolak dari asumsi, bahwa kemampuan bertanggungjawab (selalu) dianggap ada, selama tidak dibuktikan sebaliknya43.

Jadi, apabila diikuti logika pandangan ini, maka manakala tidak dibuktikan adanya ke-tidak mampuan bertanggungjawab, maka kemampuan bertanggungjawab" dianggap "ada". Pada hemat penulis, logika pandangan yang demikian dapat dipahami, lebih-lebih apabila pandangan yang demikian dikaitkan dengan prinsip yang dianut KUHP tentang

"kemampuan bertanggungjawab". Sebagaimana pada bagian sebelumnya telah bikemukakan, bahwa berkaitan dengan masalah "kemampuan bertanggungjawab ini KUHP menganut prinsip, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawab, kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan hal yang sebaliknya.

2) Yang bertanggung jawab untuk itu, pembuatnya, tidak pernah bertanggung jawab. Seorang individu tidak dapat dihukum jika ada ruang

43Ibid.

(36)

47

untuk keraguan yang masuk akal tentang "tanggung jawab" mereka, seperti yang dikatakan oleh pandangan ini. Perspektif ini berpendapat bahwa, ketika ragu, keputusan harus dibuat mendukung tersangka (di Dubio Pro Reo).44.

D. Tinjauan tentang Alasan Penghapus Pidana

Alasan penghapus pidana dalam KUHP diatur dalam Buku I, Bab III KUHP mengatur hal -hal yang menghilangkan, mengurangi, atau menjatuhkan hukuman pidana, termasuk alasan untuk menghilangkan penjahat. Kejahatan telah dihapuskan karena alasan yang memungkinkan mereka yang melakukan kejahatan yang sesuai dengan definisi hukum pelanggaran untuk menghindari hukuman. Ada berbagai kategorisasi motivasi untuk reformasi peradilan pidana ini. Misalnya, MVT mengklasifikasikan alasan penghapusan kejahatan ini menjadi dua kategori: (1) alasan yang menjadi tanggung jawab seorang individu tetapi yang ada di dalam individu, dan (2) alasan yang menjadi tanggung jawab seorang individu tetapi yang berada di luar individu.45

Dua perspektif sepakat bahwa ada dua penyebab perilaku kriminal, satu intrinsik bagi pelaku dan satu lagi di luarnya. Individu ini tidak bersalah atas kejahatan apa pun jika salah satu dari kondisi ini dipenuhi. Alasan penghapus pidana ada yang terletak di dalam KUHP Alasan penghapus pidana di dalam

44ibid Hlm 213

45Tri Andrisman 2013. Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia serta

Perkembangannya dalam Konsep KUHP 2013. Bandar Lampung: Anugrah Utama Rahardja (Aura).

Hlm 113-129

(37)

48

KUHP yang dikenal dengan alasan penghapus pidana di dalam undang-Undang terdiri dari Tidak Mampu Bertanggungjawab (Pasal 44), Daya Paksa/Overmacht (Pasal 48), Pembelaan Terpaksa/Noodweer (Pasal 49 Ayat (2)), Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang (Pasal 50) dan Melaksanakan Perintah Jabatan (Pasal 51 Ayat (2)

Moeljatno menjelaskan mengenai pengertian alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapus penuntutan. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan Terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan46

Alasan pembenar merujuk pada “pembenaran” perbuatan pidana tapi menghapuskan sifat melawan hukumnya, sedangkan alasan pemaaf berdampak pada “pemaafan” atas perbuatan tersebut sehingga tidak dipidana. Selain alasan pembenar dan alasan di atas, dikenal pula istilah alasan penghapus penuntutan.

Alasan penghapus penuntutan ini terjadi karena pemerintah menggangap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah

46 Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 148

(38)

49

kepentingan umum. Jika perkaranya tidak dituntut, maka yang melakukan perbuatan tidak dapat dipidana. Misalnya Pasal 53, kalau Terdakwa dengan suka-rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan47Ada tidaknya alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus penunutan menjadi pertimbangan hakim tersendiri sebelum menjatuhkan putusan.

47Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

2. A nem állami fels ő oktatási intézmények hallgatóinak rekrutációja során mind a kulturális, mind pedig az anyagi-jövedelmi hatás érvényesül, ugyanakkor az anyagi

Kementerian Desa PDTT Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Ditjen Pembangunan Kawasaan Perdesaan (PKP) Ditjen Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT)

Menurut Euis Kurniati, peran orang tua dalam membimbing peserta didik saat proses pembelajaran dari rumah selama masa pandemi Covid-19 diantaranya yaitu: sebagai

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2019 merupakan wujud dari tindak lanjut

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas umur terbanyak penderita gagal jantung di Rumah sakit Roemani adalah

Tabel 5.1 : Program ruang dan besaran ruang Pasar Seni Tradisional Modern di Kompleks Candi Prambanan ……… 212 Tabel 5.2 : Konsep skala pada tata ruang luar bangunan

perbedaan factoring dengan depkolektor yaitu meskipun sama sama merupakan penagihan namun dalam factoring hak tagih yang dimiliki oleh perusahaan factor adalah mutlak hak dia

Dalam segi fitur, diantaranya permainan memiliki beberapa chapter dimana pemain dapat melihat score dan rank pemain pada chapter tersebut, puzzle memiliki beberapa