HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Analisis Proses Pembuatan Kebijakan
Analisis pembuatan Perda provinsi No. 16 Tahun 1986, Perda No. 2 Tahun 1996 dan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yang berlaku hingga sekarang akan dianalisis menggunakan evaluasi pendekatan proses pembuatan kebijakan yang dilakukan IDS (2006), yang mengkaji peran diskursus/narasi, aktor atau jaringan serta politik dan kepentingan dalam penyusunan suatu kebijakan.
a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana a.1. Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan pembuatan Perda No. 16 Tahun 1986 adalah Perda tentang cendana yang berlaku sebelumnya mulai Perda No. 11 Tahun 1966 yang mengalami perubahan tiga kali sudah tidak sesuai dengan kebijakan peningkatan produksi dan kelestariannya sehingga perlu diubah dan diganti dengan peraturan yang baru. Perubahan dalam pengelolaan cendana tersebut diharapkan dapat lebih menjamin kelestarian cendana di samping meningkatkan pendapatan penduduk dan pemerintah daerah. Dasar hukum yang menjadi acuan dalam pembuatan Perda yaitu UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPH/HPHH, Jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang perubahan Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970.
Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomis cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara sehingga pengelolaannya diatur pemerintah daerah. Nilai ekonomi cendana yang tinggi mendorong pemerintah untuk tetap menguasai cendana sebagai sumber pendapatan daerah (PAD). Masa orde baru, pemerintah lebih menekankan kepada pembagunan ekonomi (Wrangham 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang terpusat (top down) pada masa itu yang menggambarkan pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya yang diperpanjang sampai ke tingkat daerah.
a.2. Proses pembuatan Perda Proses penyusunan Perda mengikuti peraturan perundangan yang
berlaku yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dinas kehutanan provinsi selaku instansi teknis menyusun ranperda cendana kemudian diajukan kepada pemerintah provinsi untuk dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum terkait penulisan dan kaidah-kaidah norma hukum. Hasil pembahasan yang disetujui Gubernur dilanjutkan pembahasan bersama DPRD provinsi. Sesuai peraturan yang berlaku, maka ranperda provinsi yang sudah dibahas di tingkat provinsi akan ditetapkan dan disyahkan di tingkat pusat melalui menteri dalam negeri.
Peran lembaga legislatif pada proses penyusunan perda cendana sangat kecil dibandingkan peran pemerintah yang berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi yang terjadi. Pada masa orde baru tidak ada pusat legislatif pada jantung pemerintahan. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden dan menteri-menteri dengan mengorbankan DPR dan badan peradilan/kehakiman (Wrangham 2003). Tingginya permintaan cendana dari luar daerah dan keberadaan industri penyulingan minyak/ kerajinan cendana,
memperkuat peran pemerintah sebagai pemilik cendana termasuk pembagian jatah bahan baku tiap industri pertahun.
Peran ilmu pengetahuan dan informasi terkait cendana masih sedikit dan sulit diperoleh. Perda apapun yang berkaitan dengan sumberdaya alam harus dibuat berdasarkan hasil temuan ilmiah (Patlis 2004). Pengetahuan atau kearifan lokal cendana “banu haumeni” dan peran lembaga adat yg selama memiliki aturan dalam mengatur cendana tidak dijadikan acuan dalam proses penyusunan. Upaya konservasi sumberdaya alam akan berhasil apabila aspek-aspek ekonomi dan sosial yang ada di seputar sumberdaya tersebut dan masyarakat yang memanfaatkannya juga diperhitungkan (Borrini-Feyerabend 1997 dalam Patlis 2004).
Hasil kajian tahapan pembuatan kebijakan diperoleh informasi bahwa penetapan pembagian hasil cendana dalam perda sebesar 85% dan 15% melibatkan peran pemerintah pusat yakni departemen dalam negeri dan departemen kehutanan. Pasal pembagian hasil cendana termasuk
dalam pasal perubahan (penambahan) pada tahapan pengesahan Perda yang dilakukan di Jakarta. Pembagian hasil penjualan cendana dalam Perda sebelum ditetapkan yaitu 50% untuk pemerintah provinsi dan 50% untuk kabupaten penghasil. Dalalm pasal ini menunjukkan bahwa penguasaan penuh pemerintah provinsi terhadap cendana dengan mengabaikan hak masyarakat terhadap cendana..
Persentase bagi hasil untuk masyarakat dalam Perda sebesar 15% dimaksudkan sebagai upah balas jasa pemerintah terhadap upaya pemeliharaan cendana yang berada di lahan masyarakat. Bagi hasil tersebut didasari sistem bagi hasil cendana untuk masyarakat yang terdapat dalam Perda Timor No. 4 Tahun 1953 (40 sen/kg untuk masyarakat) dan Perda Provinsi NTT No. 11 tahun 1966 (50% untuk masyarakat). Pembagian hasil dalam Perda Timor yang merupakan peraturan yang pertama kali mengatur cendana pasca kemerdekaan merupakan penghargaan pemerintah Timor atas jasa pemeliharaan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap cendana. Hal ini dilakukan karena sejak masa kerajaan, Portugis, dan Belanda (VOC), masyarakat tidak pernah mendapat bagian apapun dari cendana yang berada di lahannya. Dalam penjelasan Perda Timor dinyatakan bahwa
pembagian tersebut dirasakan jauh dari keadilan berdasarkan situasi pasa masa itu dan diharapkan akan berubah lebih tinggi ke depannya.
Proses pembuatan Perda cendana menunjukkan pelaku pembuat kebijakan tidak menjadikan hasil-hasil studi dan kajian masalah kebijakan sebagai landasan pengambilan keputusan. Yang terjadi adalah pengetahuan pembuat kebijakan yang dipakai untuk kepentingan ekonomi dan politik pada masa itu. Keputusan yang sifatnya teknis biasanya dilakukan dengan sangat terbuka melibatkan banyak pihak. Sebaliknya semakin bersifat politis keputusan semakin tertutup prosesnya dan hanya melibatkan pihak-pihak tertentu.
Menurut Kartodihardjo (2006), hal tersebut di atas menunjukkan pada tiga hal yaitu: (1) Kebijakan yang lahir seringkali tanpa subyek atau sumber masalah kebijakan tidak datang dari pihak yang menghadapi masalah (subyek) tetapi dari opini elit tertentu, (2) Kenyataan ini dapat sebagai alasan mengapa lembaga-lembaga penelitian formal seringkali tertinggal untuk berperan memproduksi pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan, (3) Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh keyakinan masa lalu yang sudah usang atau kurangnya keyakinan atas apa yang sebenarnya terjadi di lapangan sehingga isi kebijakan tidak benar-benar sebagai jawaban atas masalah kebijakan.
Hasil analisis pembuatan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 menunjukkan bahwa narasi kebijakan dalam penyusunan Perda terkait nilai-nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomi cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara. Peran pemerintah sebagai aktor tunggal menunjukkan sistem politik dan ekonomi pemerintahan pada masa era orde baru yang merupakan gambaran kepentingan-kepentingan pemerintah sebagai penguasa. Ketiadaan peran pengetahuan dan informasi, keterlibatan pihak lain dan masyarakat, pertimbangan ekonomi dan sosial budaya, serta pengalaman pengelolaan pada masa sebelumnya tidak dijadikan argumen memperbaiki kebijakan pengelolaan cendana.
b. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 tentang Pencabutan Perda No. 16 Tahun 1986
Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 merupakan prakarsa DPR provinsi yang disetujui oleh pemerintah didasari dengan berlakunya peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan kehutanan kepada daerah TK II. Proses pencabutan berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi serta konservasi dengan memberikan peluang kepada pemerintah daerah TK II mengelola cendana sebagai hasil SDA daerah dan meningkatkan PAD.
Pemerintah pada periode ini mendapat banyak kritikan dan masukan dari berbagai pihak antara lain perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk memperhatikan kelestarian cendana di alam dan pengelolaan cendana lebih melibatkan peran serta masyarakat. Pengkajian terkait cendana sudah banyak dilakukan dan menjadi bahan pertimbangan dalam pencabutan Perda No. 16 tahun 1986.
c. Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana
Penyusunan Perda Kabupaten TTS tentang cendana merupakan pengalaman pertama pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan di bidang kehutanan pasca pelaksanaan otonomi daerah sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2001. Selain memberikan landasan kewenangan kepada pemerintah kabupaten, kebijakan desentralisasi juga mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat sesuai UU No. 25 tahun 1999. Kedua peraturan tersebut disusun sebagai upaya kolektif untuk menata kembali sistem pemerintahan yang lebih adil dan demokratis serta mendorong terwujudnya kemakmuran di daerah.
Proses pembuatan Perda cendana Kabupaten TTS diawali pada akhir tahun 1999. Situasi pembuatan Perda ini terjadi pada kondisi tidak menentu yakni masa peralihan pelaksanaan otonomi daerah, dan pasca pelaksanaan “Operasi Bersahabat“. Hasil wawancara dengan tim perumus dan ketua pansus pembahasan Perda cendana menunjukkan penyusunan Perda dilakukan dalam internal dinas kehutanan kabupaten dengan tujuan
menyikapi kekosongan aturan yang mengatur cendana setelah pemerintah provinsi mencabut perda tentang cendana dan menyerahkan pengelolaannya kepada kabupaten, mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat, dan menjaga pertumbuhan populasi cendana yang semakin menurun.
Keterbatasan pemerintah dalam penyusunan Perda dilakukan dengan mengutip dari Perda provinsi tentang cendana sebelumnya dan Perda Kabupaten Sumba Timur No. 19 Tahun 2000 yang berlaku. Perda Kabupaten TTS adalah perda tentang cendana kedua yang dirumuskan setelah Perda Kabupaten Sumba Timur. Model penyusunan Perda cendana demikian termasuk model inkremental atau tahap demi tahap tanpa ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya (Agustino 2008; Sutton 1999, IDS 2006)
c.1. Dasar Pertimbangan
Pertimbangan yang dijadikan dasar yang tertuang dalam bagian menimbang Perda No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yaitu: 1) Menghindari kepunahan cendana, perlu melibatkan peran serta dan memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kepemilikannya, tidak hanya menjadi monopoli pemerintah daerah dan Badan Usaha tertentu agar masyarakat dapat menikmati hasilnya demi kesejahteraan rakyat; 2) Berdasarkan Pasal 5 huruf g PP No. 6 Tahun 1998, maka pengelolaan hasil hutan non kayu (cendana) menjadi kewenangan daerah; 3) Cendana adalah jenis tumbuhan yang menghasilkan kayu beraroma khas dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi yang merupakan asset Kabupaten TTS, perlu dibudidayakan, dikembangkan, dan dilestarikan serta dimanfaatkan sehingga menjadi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat bahwa pemerintah daerah bertujuan menyelamatkan tanaman cendana dari kepunahan di alam dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pelibatan peran masyarakat didasari dengan kegagalan kebijakan sebelumnya dan sikap apatis masyarakat terhadap cendana. Dengan dasar nilai ekonomi cendana diharapkan cendana menjadi asset Kabupaten TTS dan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Besarnya
sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT selama ini diharapkan pengelolaan cendana juga dapat meningkatkan PAD Kabupaten TTS ke depannya.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan cendana dapat terwujud apabila masyarakat juga dilibatkan dalam proses penyusunan Perda melalui kegiatan konsultasi publik. Konsultasi publik adalah musyawarah antara masyarakat dan pemerintah untuk mencari cara terbaik atau untuk memecahkan suatu persoalan dalam pengelolaan cendana. Konsultasi publik biasanya dilakukan oleh lembaga eksekutif (pemerintah) atau dengar pendapat umum yang biasanya dilakukan oleh lembaga legislatif. Hasil wawancara dan studi dokumen menunjukkan bahwa tahap konsultasi publik tidak dilakukan dalam setiap tahapan proses perumusan Perda cendana.
c.2. Tahapan Penyusunan Perda
Tahapan yang dilakukan dalam penyusunan perda Kabupaten TTS yaitu: 1. Penyusunan rancangan Perda (Ranperda) yang dilakukan tim perumus dari
Dinas Kehutanan Kabupaten sebagai instansi pemrakarsa mulai akhir tahun 1999 sampai awal 2001. Tim ini terdiri dari 4 orang. Pelibatan tokoh adat, kelompok tani, pengusaha, dan masyarakat sangat kecil dan tidak terbuka. Naskah akademik dan konsultasi publik dalam tahap ini tidak dilakukan. 2. Hasil Ranperda dinas kehutanan dikonsultasikan dan dibahas di bagian
hukum dan ekonomi sekretaris daerah Kabupaten TTS. Materi pembahasan terutama berkaitan dengan penulisan dan kaidah-kaidah norma hukum Perda. Pada tahap ini dijelaskan mengenai latar belakang, tujuan, dan prinsip-prinsip yang hendak dibangun dalam Perda tersebut. Hasil rancangan tidak dilakukan asistensi ditingkat provinsi karena tanggapan dari biro hukum provinsi menyatakan cendana sudah diserahkan ke daerah tingkat II/ Kabupaten sehingga kewenangan pembuatan Perda menjadi kewenangan kabupaten sesuai PP No. 62 tahun 1998 (Djelahat T 11 Januari 2011, komunikasi pribadi)
3. Hasil pembahasan Ranperda dengan bagian hukum, diserahkan kepada kepala daerah (Bupati) melalui sekretaris daerah. Ranperda yang sudah mendapat persetujuan kepala daerah, selanjutnya dilakukan pengajuan pembahasan Ranperda ke DPRD Kabupaten TTS melalui Nota Pengantar Kepala Daerah.
Berdasarkan nota pengantar tersebut, dewan membentuk panitia khusus (Pansus) untuk membahas ranperda. Rapat panitia khusus dilaksanakan pada tanggal 3–25 Agustus 2001 atau selama 17 hari kerja yang diketuai oleh Drs. Daniel Taneo. Selain Ranperda cendana, pansus juga membahas 17 ranperda lainnya. Dinas kehutanan sebagai instansi teknis dalam pembahasan di tingkat dewan di wakili oleh Jeskial Faah selaku pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kehutanan. Rapat paripurna berlangsung pada tanggal 16 Oktober sampai 5 November 2001 yang bertujuan mendengarkan laporan Ranperda dari pansus, mendengarkan pemandangan umum dari fraksi, pembahasan ranperda lainya (21 buah), dan penetapan Perda-Perda termasuk Perda tentang cendana.
Berdasarkan tahapan penyusunan Perda cendana di atas menunjukkan pembahasan di tingkat legislatif tidak dilakukan dengar pendapat umum untuk menyaring aspirasi masyarakat. Tanpa keterlibatan pihak lain dan masyarakat, secara substansi Perda diangap tidak realistik, sulit diterima, dan dipercaya oleh masyarakat (Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Lebih lanjut dikatakan penyusunan perda melalui proses multipihak memungkinkan pertukaran informasi serta dialog secara langsung dapat memperbaharui pandangan pemerintah yang memiliki hak mutlak sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
c.3. Proses pembuatan Perda
Penyaringan aspirasi masyarakat dilakukan pada saat kunjungan kerja di kecamatan/desa selama proses penyusunan Perda cendana. Keterlibatan pihak luar merupakan pihak yang dipilih secara khusus oleh pemerintah seperti tokoh adat, kelompok tani, pengusaha, dan LSM sedangkan peran perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan instansi terkait belum dilibatkan. Hal ini menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah daerah dalam mengelola cendana dan tidak mempelajari kegagalan pengalaman kebijakan sebelumnya. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara selama ini telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Herawati 2010).
Pengalaman pembuatan Perda di Kabupaten Lampung Barat tentang penyusunan Perda Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat menunjukkan bahwa akumulasi pengetahuan, kekuatan relasi sosial dan kepemimpinan, serta inisiatif mempelajari kelemahan-kelemahan Perda di kabupaten lain membuat proses dan substansi Perda dapat diterima oleh berbagai pihak (Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Hal yang penting dipelajari dalam Perda Kabupaten Lampung Barat yaitu subtansi yang mempunyai titik fokus yang jelas yaitu subyek masyarakat adat dan lokal lainnya.
Pemerintah daerah berasumsi bahwa masyarakat masih memiliki dan berkeinginan menanam cendana dan populasi cendana di kabupaten TTS masih tersebar merata. Data pertumbuhan populasi cendana yang dijadikan dasar dalam penyusunan Perda yaitu data inventarisasi cendana Provinsi NTT tahun 1998 di mana populasi cendana Kabupaten TTS saat itu terdiri dari 16 068 pohon induk dan 95 742 anakan cendana. Informasi yang tidak lengkap dan akurat dalam perumusan kebijakan akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan (Suharto 2008)
Pemerintah daerah menyadari bahwa sampai dengan proses penyusunan, telah terjadi penebangan cendana secara illegal dan pencurian cendana di lahan masyarakat. Hal ini disebabkan tingginya kebutuhan dan permintaan cendana baik di dalam dan luar provinsi. Namun, pemerintah tidak melakukan pengecekan kembali di lapangan untuk mendapatkan gambaran populasi cendana dengan alasan akan menimbulkan kecurigaan, penolakan atau perlawanan dari masyarakat (Faah J 26 April 2010, komunikasi pribadi). Informasi yang dijadikan dasar dalam perumusan masalah pada tahap penyusunan agenda proses pembuatan Perda berdasarkan asumsi pembuat kebijakan. Menurut Dunn (2004), perumusan masalah merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan sehingga arahnya benar, tepat, dan sesuai serta harus membedakan masalah publik dan masalah privat.
Pembahasan Perda antara pemerintah dan DPRD terjadi pro dan kontra dalam pengelolaan cendana kedepannya. Hal ini nampak dari pertanyaan seorang anggota dewan, yaitu: ”Apakah dengan penetapan Perda akan menjamin pulihnya
menjawab bahwa ”punahnya cendana akibat kesalahan pemerintah, maka
diharapkan dengan pembagian hasil 90% untuk masyarakat, diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat melakukan budidaya cendana. Pemerintah akan membantu memberikan subsidi anakan kepada masyarakat dalam rangka penanaman cendana”.
Pembagian hasil penjualan cendana kepada pemerintah dalam bentuk iuran hasil cendana (IHC) sebesar 10% tidak ditetapkan berdasarkan kajian akademis maupun dengar pendapat atau masukan dari masyarakat baik pada saat perumusan oleh pemerintah dan pembahasan bersama lembaga legislatif/ DPRD. Pembagian tersebut berdasarkan himbauan mantan Presiden RI Soeharto pada saat kunjungan ke NTT pada tahun 1996 yaitu agar pemerintah daerah Povinsi NTT memberikan proporsi bagi hasil cendana kepada masyarakat 85% dan pemerintah 15%. Pembagian tersebut bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat dan melestarikan cendana di alam. Himbauan tersebut diadopsi dalam proses penyusunan Perda menjadi proporsi cendana untuk masyarakat sebesar 20%, dan kemudian berubah menjadi 10% pada saat pembahasan pemerintah bersama DPRD Kabupaten TTS.
Besarnya iuran cendana sebesar 10% untuk pemerintah berdasarkan pemikiran bahwa cendana sebagai salah satu sumbangan sektor kehutanan terhadap PAD pada era otonomi daerah dan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan cendana kepada masyarakat karena cendana lebih banyak tumbuh di lahan masyarakat daripada di kawasan hutan. Pemikiran tersebut didasari kepentingan politik dan ekonomi besarnya kontribusi cendana Kabupaten TTS terhadap PAD Provinsi NTT selama penguasaan cendana oleh provinsi. Nilai ekonomi dan politik mempengaruhi alternatif pilihan kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan (Agustino 2008). Kabupaten TTS memberikan kontribusi produksi cendana terbesar setiap tahun yaitu 50% dari total produksi yang ditetapkan propinsi.
Hasil wawancara dengan masyarakat terkait pembagian bagi hasil cendana sebesar 10% untuk masyarakat menunjukkan 72% masyarakat setuju dengan pembagian tersebut dan sisanya menyatakan pemerintah sebaiknya memberikan 100% hak cendana kepada masyarakat. Dasar alasan masyarakat yang setuju yaitu
pembagian hasil tersebut dirasakan jauh lebih besar dari pembagian hasil cendana yang tercantum dalam Perda provinsi No.16 Tahun 1986. Tanggapan masyarakat yaitu ”Kami akan menanam cendana apabila pembagiannya hasilnya lebih besar
serta adanya upaya perlindungan tanaman cendana di lahan kami“.
Dari hasil analisis evaluasi terhadap proses pembuatan kebijakan Perda tentang cendana menunjukkan bahwa permasalahan yang dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan adalah status quo (kekosongan) pengelolaan cendana di daerah dan gejala menurunnya populasi cendana di alam. Asumsi dan data yang tidak akurat serta nilai ekonomi cendana yang tinggi membatasi ruang kebijakan dalam pembuatan Perda cendana. Berdasarkan permasalahan tersebut pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan pengakuan kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat dan kebebasan menjual cendana.
Pengakuan kepemilikan cendana dan kebebasan menjual cendana oleh masyarakat sebenarnya merupakan suatu perubahan yang sangat berarti nilainya bagi masyarakat sepanjang sejarah pengelolaan cendana. Namun, proses penetapan masalah kebijakan yang tidak partisipasif dan belum didasari pengkajian permasalahan pada masyarakat sebagai penerima manfaat langsung menyebabkan tingkat penerimaan dan pelaksanaan perda oleh masyarakat masih rendah. Faktor penentu penolakan masyarakat terhadap suatu kebijakan disebabkan kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada (Agustino 2008).
Berdasarkan pengamatan lapangan dan analisis secara kuantitatif diperoleh permasalahan peluang masyarakat memiliki dan tidak memiliki cendana yaitu dari aspek teknis pemeliharaan dan keamanan kepemilikan cendana dan aspek ekonomi yaitu kemampuan ekonomi rumahtangga, di mana petani yang memiliki cendana cenderung termasuk kategori rumahtangga petani mampu dan petani yang tidak memiliki cendana termasuk rumahtangga petani miskin. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki masyarakat terutama rumahtangga miskin berarti rumahtangga tersebut masih berusaha untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sumberdaya lahan yang dimiliki ditanami jenis pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan belum menanam jenis tanaman jangka panjang seperti cendana yang masa panennya cukup lama.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi petani cendana berdasarkan keragaan ekonomi rumahtangga petani cendana yaitu aspek sosial terkait kurangnya alokasi tenaga kerja (keluarga dan di luar keluarga) dalam budidaya cendana, dan aspek ekonomi terkait kebutuhan sarana produksi cendana dan kebutuhan konsumsi rumahtangga. Namun, dari hasil analisis pendapatan cendana memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan rumahtangga. Hal ini memberikan gambaran bahwa secara umum masyarakat di Kabupaten TTS masih berusaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup hidup sehari-hari atau jangka pendek.
Secara subtansi, informasi dan pengetahuan yang dijadikan dasar acuan penyusunan dilakukan berdasarkan asumsi, pemikiran dan pengalaman tim perumus Perda. Ketersediaan pengetahuan berupa hasil penelitian tentang cendana baik teknis dan sosial budaya sudah cukup tersedia baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi, balai penelitian dan pengembangan kehutanan (Litbang), dan LIPI. Namum dalam proses penyusunan belum dijadikan acuan sebagai dasar pembaharuan kebijakan pengelolaan cendana yang berkelanjutan. Selain itu penyusunan perda juga mengabaikan inisiatif lokal, aturan cendana ”Banu
Haumeni“ dan lembaga adat yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat
Timor.
Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa model proses penyusunan Perda cendana di Kabupaten TTS termasuk model tahap demi tahap (incremental) yaitu model formulasi yang melanjutkan atau memodifikasi kebijakan sebelumnya serta tidak ada perubahan yang mendasar (Sutton 1999; Agustino 2008). Proses perumusan Perda cendana tidak mengikuti teori rasional atau linier di mana kebijakan disusun berdasarkan sejumlah langkah serial yang dimulai dengan merumuskan masalah serta diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah.
Tahapan dalam teori model linier yaitu mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah dengan menentukan kesenjangan atau gap