• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Hakim PN. Jakarta Selatan Mengenai Perkara Pengampuan Atas Orang yang Menderita Cacat Mental

AHLI WARIS DAN CACAT MENTAL

TENTANG DUDUKNYA PERKARA

3. Analisis Putusan Hakim PN. Jakarta Selatan Mengenai Perkara Pengampuan Atas Orang yang Menderita Cacat Mental

Dari hasil pengamatan peneliti pada kasus Pengampuan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara No.:94/Pdt.P/PN.JKT.SEL., peneliti melihat penetapan Hakim PN.JKT. SEL. berdasarkan Kitab Undang-undang yang mengatur tentang pengampuan pada Bab ke-17 tentang Pengampuan pada pasal 433- 461 KUHPerdata. Karena dari kasus diatas jelas bahwa yang dimohonkan oleh pemohon termasuk dalam golongan orang yang menderita cacat mental yang dimana termaktub dalam KUHPerdata, serta dijelaskan pada pasal:

57

433. Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak ataupun mata gelap harus ditaruh dibawah

pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap

mempergunakan pikirannya.Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya.

Artinya, pihak yang dimohonkan pengampuan atau dalam hal ini anak bernama Maria telah jelas memenuhi syarat untuk menerima pengampuan. Meskipun ia telah dewasa secara usia namun karena baik secara fisik dan psikis ia tidak cakap mental atau dungu, sehingga ia tidak dapat melakukan dan memutuskan segala sesuatu secara mandiri, maka sesuai dengan ketetapan yang telah tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa ia berhak mendapat pengampuan.

Dijelaskan pula dalam KUHPerdata yang juga menjadi landasan untuk PN.JKT.SEL tentang perkara pengampuan dalam memutuskan perkara tersebut tentang siapa yang berhak memintakan pengampuan dijelaskan pada pasal :

434. Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap.

Berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat ke empat.

Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya.

Sejalan dengan Pasal diatas bahwa setiap anggota keluarga diperbolehkan untyk meminta pengampuan atas keluarganya yang berada dalam keadaan dungu, lemah otak, atau mata gelap. Maka dari itu,

pengampuan hanya boleh dilakukan oleh kerabat atau yang masih mempunyai hubungan darah dengan si Terampu.

Hal ini dimaksudkan melindungi hak-hak si Terampu dan tidak disalahgunakan oleh orang lain. Karena meskipun ia menderita cacat, namun ia masih memiliki hak yang sama. Apa yang dilakukan oleh Ny. Dorkas atas putrinya adalah telah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dimana saat pembagian hak waris atas Alm. Sahat M. Nainggolan kepada seluruh anggota keluarganya harus dilakukan, Ny. Dorkas selaku wali dari Maria berhak bertindak secara hukum mewakili putrinya untuk melakukan perbuatan hukum atas nama Maria.

58 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah peneliti memaparkan beberapa bab, pembahasan tentang masalah pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut hukum Islam dan hukum Positif, maka peneliti mempunyai beberapa kesimpulan tentang pembahasan diatas yaitu :

1. Jika peneliti melihat dari uraian dan penjelasan setiap bab diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa pengampuan memang perlu dilaksanakan jika orang yang dalam hal ini adalah merupakan penderita cacat mental dan tidak mampu untuk melakukan perbuatan hukum atau tidak cakap hukum, yaitu orang yang dalam keadaan belum dewasa, dungu, sakit otak, atau mata gelap. Bagi mereka yang mempunyai kekurangan tersebut diatas lebih baik berada dibawah wali pengampu (Curator) menurut KUHPerdata atau perwalian menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), karena fungsi dari wali pengampu ataupun perwalian tersebut adalah untuk menjalankan, mengawasi, dan memutuskan setiap gerak perjalanan orang yang diampu atau diwalikan dalam jalur hukum yang ada di negara, wilayah, atau Tempat dimana ia tinggal.

59 2. Pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut hukum Islam itu dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 184 KHI (Kompilasi Hukum Islam) :

"bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga”.

Secara umum, dari penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya pada anak yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya yang memposisikannya kepada perwaliannya saja dan tidak pada Bab tersendiri yang secara khusus menjelaskan dan menerangkan secara jelas. Dan bukan kepada orang yang menderita cacat mental, dungu, sakit otak atau mata gelap, seperti yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Walaupun sebenarnya dalam hukum Islam itu sendiri tertulis atau terdapat bahasan yang sangat jelas menerangkan masalah mahjur itu sendiri mulai dari pengertian, dasar hukum, dan tujuan dari mahjur itu sendir dalam al-Quran, As-sunnah, hadits, dan kitab-kitab fiqh Islam yang ditulis dan di sepakati oleh ulama fiqh.

3. Pembagian Harta waris dan pengampuan bagi penderita cacat mental menurut hukum positif dimana ini semua dijelaskan secara jelas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada buku ke -1 bab ke -17 tentang pengampuan yang dimulai dari pasal 433-461, dan pada buku ke -2 bab ke -12 tentang perwarisan karena kematian.

60 B. Saran-saran

Dari pembahasan penelitian ini kita dapat melihat pentingnya hukum atau aturan-aturan negara yang sudah ditetapkan dan diberlakukan dalam masyarakat, untuk kita jalani sebagaimana mestinya, walaupun itu hanya menyangkut atas kekurangan atau ketidak cakapan orang dalam menjalankan hukum atau aturan-aturan tersebut.

Adapun saran yang ingin peneliti sampaikan kepada:

1. Pemerintah Republik Indonesia agar masalah perwalian (curatele) mendapat perhatian yang lebiih serius lagi, mengingat bahwa hal tersebut berkaitan dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia. 2. Para perangkat hukum di Indonesia, agar lebih banyak memberikan

kajian dan mengembangkan inovasi-inovasi terbaru tentang hukum di Indonesia yang berdasarkan aturan Negara atau Syariah.

3. Kepada yang bertindak sebagai wali atau pengampu (curator) agar dapat menjaga amanah atau kepercayaan atas hak-hak dari si terampu yang ditanggungnya. Serta dapat mempertanggungjawabkan pengampuannya secara hukum.

61

Darmabrata, Wahyono, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata Orang dan Keluarga) cet.1, Jakarta: Gitamajaya Jakarta: 2004.

Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, cetakan. 1, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Kansil, C.S.T., Modul Hukum Perdata I (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata),

Cet.1, Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Moleong, J. Dr.Lexy, M.A ., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya: 2004.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet. 25, Bandung: Sinar Baru, 1992.

Salman, Otje, Hukum Waris Islam, cet.1, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002. Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 31, Jakarta: Intermasa, 2003. Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. 40,

Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009.

Taher, Mursal H.M., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan,cet.1, Bandung: PT

Al-Ma’arif, CV Majasari Indah, 1977.

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005. Vollmar, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet.1, Jakarta: Raja Grafindo

Persada: 1983.

UNDANG-UNDANG

Dokumen terkait