• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192

B. Posisi Kasus

3. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 3192 K/Pdt/2012

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 3192K/Pdt/2012, sebelumnya terdapat beberapa pertimbangan dari Judex Facti yang menurut penulis sudah benar dalam putusannya. Karena jika dilihat dari kronologis kasusnya pihak Standard Chartered Bank (Tergugat I) telah melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain yang dalam hal ini menggunakan jasa pihak ketiga (debt

collector/Tergugat II) untuk menagih hutang kredit nasabahnya

(Victoria/Penggugat) yang macet.

Tetapi pada saat pelaksanaan penagihan hutang tersebut, pihak debt

collector disini tidak mematuhi aturan-aturan dalam klausul standard

contract tentang pokok-pokok etika penagihan yang sudah ditetapkan oleh

Bank Indonesia seperti melakukan intimidasi, penekanan, teror, dan merusak nama baik nasabah dengan menyebarluaskan permasalahan penunggakan kredit macet nasabahnya kepada orang-orang ditempat nasabah bekerja. Padahal jika mengacu pada SEBI No. 14/17/DASP/2012 ketentuan butir VII.D angka 4 huruf b telah diatur mengenai batasan-batasan etika yang harus dipatuhi oleh pihak penagih, seperti penagihan dilarang dengan menggunakan cara kekerasan, ancaman, atau tindakan yang sifatnya mempermalukan nasabah, dilarang melakukan penekanan

61

secara fisik maupun verbal, dilarang melakukan penagihan kepada pihak selain nasabah, dilarang melakukan komunikasi secara terus-menerus yang bersifat mengganggu nasabah, dan sebagainya, serta didalam Pasal 17B PBI No. 14/2/PBI/2012 pun diatur mengenai perihal penagihan kartu kredit, seperti pihak penagih wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan hutang, penagihan dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika menggunakan jasa pihak lain dalam penagihan kualitas penagihan sama dengan yang dilakukan oleh bank, pelaksanaan penagihan hanya untuk hutang dengan kualitas tertentu (macet), dan terakhir ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

Menurut penulis, aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia maupun Peraturan Bank Indonesia tersebut harus dipatuhi sebagaimana mestinya agar dalam melakukan suatu perbuatan tidak terjadi kesalahan dan kerugian baik untuk pihak penagih maupun pihak yang ditagih. Dalam hal ini, pihak Bank telah melakukan perbuatan yang merugikan nasabahnya (Victoria) karena dalam melakukan penagihan hutangnya terdapat unsur-unsur perbuatan melawan hukum4 seperti yang dimaksud dalam Pasal 1365KUHPer yaitu:

4

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo,

a. Ada perbuatan melawan hukum;

b. Melanggar hak subjektif orang lain: 1) hak-hak perorangan seperti: kebebasan, kehormatan, nama baik, dan lain-lain. Termasuk dalam pelanggaran hak subjektif orang lain adalah perbuatan fitnah, menyebarkan kabar bohong, dan lain-lain; 2) hak-hak atas harta kekayaan misalnya hak-hak kebendaan dan hak mutlak lainnya;

c. Ada kesalahan (schuld), perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang salah yang dapat berupa kealpaan

(onachtzaamheid) dan kesengajaan-kesengajaan sudah cukup

bilamana pada waktu melakukan perbuatan itu akibatnya pasti akan timbul.

d. Ada kerugian, akibat perbuatan itu timbul kerugian yang diderita orang lain, kerugian itu dapat berupa kerugian materill maupun moril. Kerugian moril menyangkut kehormatan, harga diri, tekanan batin, teror, dan lain-lain.

e. Adanya hubungan kausal, untuk menuntut ganti kerugian haruslah ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang diderita nasabah dan hubungan itu harus jelas.5

Jadi dengan adanya unsur-unsur perbuatan melawan hukum diatas, dapat dijadikan pertimbangan putusan yang kemudian ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam perkara ini.

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I (Standard Chartered Bank) merupakan tindakan yang tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme dari pada pendekatan lain dalam hal penagihan hutang, yang mana layak bagi Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat benar adanya. Karena secara hukum telah diatur pokok-pokok etika penagihan hutang kartu kredit, maka jelas pihak

5

63

Standard Chartered Bank disini tidak benar dalam melakukan tindakan

penagihan kredit macet terhadap nasabahnya, karena memfasilitasi debt

collector yang dikuasakan oleh pihak Standard Chartered Bank

melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.14/17/DASP/2012 pada ketentuan butir VII.D angka 4 huruf b maupun PBI No. 14/2/PBI/2012 pada Pasal 17B.

Penulis berpendapat bahwa dengan adanya putusan ini, seharusnya perbankan di Indonesia lebih taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melakukan penagihan kredit macet terhadap nasabahnya, dikarenakan jika nasabah mengalami kerugian dalam melakukan pelunasan hutang terhadap bank, nasabah dapat menuntut tindakan bank yang tidak bekerja secara profesional tersebut. Adapun jika nasabah mengalami kemacetan dalam hal pelunasan hutangnya, belum tentu nasabah tersebut tidak mempunyai itikad baik dalam melunasi hutangnya. Karena itu seharusnya pihak bank dalam menyelesaikan kredit macetnya, terlebih dahulu melihat itikad baik dari nasabah lalu menawarkan kepada nasabah dengan cara merescheduling (penjadwalan kembali) dan merestrucruting (penataan kembali) kredit macetnya.6 Dengan menggunakan cara tersebut, pihak bank dapat meminimalisir

6

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2011),

adanya kerugian yang dialami oleh nasabah dalam menyelesaikan kredit macetnya termasuk jika menggunakan jasa pihak ketiga.

Dalam islam juga menyebutkan bahwa jika ada orang yang meminjam hutang, maka hendaknya dipermudah dalam proses mengembalikan hutangnya tersebut. Karena orang berhutang pada dasarnya ialah tidak mampu dan membutuhkan pertolongan, oleh karena itu sudah sepatutnya jika orang yang memberikan hutang ikhlas akan harta yang diberikan kepada si berhutang. Sesuai dengan firman Allah Swt yaitu:

{َ وملْعتَْمتْنك َْ ِإ اوقَ صترْيخْمكل َْ أو َرسْيم ىلِإ َرِظنف و رْسع َ اك َْ ِإو}

(٠٨٢ : رق لا)

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau

semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS.

Al-Baqarah/2: 280)

Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang yang berada dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum bisa melunasi utang. Lalu dalam hadist juga mengatakan bahwa:

« َهل َْعضيِل َْوأ ارِسْعم َْرِظْنيْلف َِهِلِظ ىِف ََّ َهَلِظي َْ أ ََبحأ َْنم »

“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR. Ibnu Majah II/808 no. 2419)

65

Dengan demikian, penggunaan jasa pihak ketiga memang diperbolehkan dalam penagihan kredit macet yang sudah diatur pada ketentuan SEBI, PBI, maupun BPI, namun pihak bank dalam melakukan kewajiban terhadap penagihan hutang kredit nasabahnya tetap harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku karena berpengaruh terhadap kepercayaan nasabah. Sebab pada prinsip perbankan dengan adanya kepercayaan dari seorang nasabah kepada bank, maka bank wajib untuk menjaga kepercayaannya tersebut. Dengan adanya prinsip kepercayaan yang diterapkan oleh perbankan, maka bank harus selalu menerapkan prinsip kehati-hatiannya dalam melakukan kegiatan usaha bank karena hal tersebut merupakan kunci utama bagi berkembangnya suatu bank7, terlebih dengan menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet yang dialami oleh seorang nasabah bank.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penggunaan Jasa Pihak

Dokumen terkait