• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192

B. Posisi Kasus

1. Sikap Para Pihak …

Standard Chartered Bank (sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Tergugat I/Terbanding I). Victoria Silvia Beltiny (sebagai Termohon Kasasi, dahulu Penggugat/Pembanding). Sdri.Ine dan PT Total Target Nissin (sebagai Turut Termohon Kasasi, dahulu Tergugat II dan turut Tergugat/Terbanding II dan turut Terbanding).

Pada awalnya hubungan hukum antara Tergugat I dengan Penggugat ialah dari kesepakatan kedua pihak dalam hal fasilitas kredit tanpa agunan (KTA).3

Pada mulanya, pembayaran pinjaman dan cicilan yang dilakukan oleh Penggugat berjalan dengan lancar dari tanggal 1 Maret 2004 sampai dengan tanggal 14 November 2006 kepada Tergugat I. Di mana jumlah pinjamannya sebesar Rp. 19.000.000 (sembilan belas juta rupiah) sudah lunas.

Lalu pada tanggal 4 Agustus 2008, Penggugat mendapatkan surat dari Tergugat I tentang persetujuan kenaikan batas pinjaman (top up) yang isinya adalah pemberitahuan tentang ringkasan informasi kredit tanpa agunan. Dimana jumlah pinjamannya sebesar Rp. 41.000.000 (empat puluh satu juta rupiah) dan cicilan perbulannya sebesar Rp. 1.852.358

3

KTA adalah kredit perorangan tanpa agunan dari suatu bank kepada calon debitur yang memenuhi persyaratan. Produk perbankan ini memungkinkan nasabah untuk mendapatkan pinjaman dana tanpa harus memberikan jaminan atau agunan seperti sertifikat rumah atau lainnya.

53

(satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu tiga ratus lima puluh delapan rupiah), dengan jangka waktu pembayaran 36 bulan sampai terakhir pelunasan tanggal 4 Agustus 2011.

Permasalahan terjadi ketika bulan Mei 2009, Penggugat mengalami kesulitan keuangan sehingga pembayaran kreditnya menjadi macet dan pada akhirnya Tergugat I menggunakan jasa pihak ketiga (debt

collector)/turut Tergugat dalam penagihan hutang.

Sebelumnya pada tanggal 7 September 2009, debt collector/turut Tergugat menawarkan reschedule kepada Penggugat dengan membayar

down payment/pembayaran uang muka sebesar Rp. 2.200.000 (dua juta

dua ratus ribu rupiah) dan membayar cicilan perbulannya sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) hingga lunas, dalam hal ini Penggugat menyetujuinya dan melakukan pembayaran sebagaimana schedule tersebut. Tetapi setelah itu, Tergugat I menolak reschedule tersebut.

Hingga akhirnya Para Tergugat melakukan intimidasi, penekanan, pengancaman, dan teror kepada Penggugat baik secara langsung melalui

debt collector/jasa penagih dan telepon, sms (short message service),

mengirim faksimili secara terus-menerus kepada Penggugat dan teman-teman kerja Penggugat dengan cara mencaci maki dan penyebaran isu ketidakmampuan membayar cicilan Penggugat kepada Tergugat, kepada seluruh orang di kantor Penggugat termasuk kepada atasan Penggugat, dengan maksud menghancurkan moral Penggugat, masa depan Penggugat,

dan kerjaan Penggugat sebagai tempat mencari nafkah. Atas perbuatan tersebut, Penggugat menjadi tertekan dan menderita tekanan batin, serta nama baik Penggugat menjadi tercemar. Dengan begitu tindakan yang dilakukan oleh para Tergugat merupakan termasuk perbuatan melawan hukum.

Maka dengan alasan-alasan tersebut, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mana isi dari permohonannya ialah:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dimohonkan; 3. Menyatakan para Tergugat, Tergugat I dan Tergugat II telah

melakukan perbuatan melawan hukum;

4. Menghukum para Tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) kepada Penggugat dibayar secara tunai sejak putusan berkekuatan hukum tetap; 5. Menyatakan turut Tergugat menaati putusan ini;

6. Menghukum para Tergugat untuk membayar ongkos perkara. Bahwa dengan adanya permohonan gugatan tersebut, Tergugat I mengajukan eksepsi yang isi pokoknya ialah:

1. Tergugat I menolak dengan tegas dalil-dalil gugatan Penggugat, kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya;

2. Atas gugatan Penggugat, Tergugat I menyampaikan eksepsinya bahwa:

a. Terdapat Surat Kuasa Khusus Prematur, yang dalam hal ini tanggal pemberian kuasa (tanggal 21 Juli 2009) dengan kronologis kasus yang dibuat oleh Penggugat (tanggal 7 September 2009) belum ada. Dengan demikian, Surat Kuasa Khusus ini dapat dikualifikasi premature dan karena itu tidak sah dalam perkara a quo sehingga surat gugatan harus dinyatakan tidak sah dan ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

55

b. Terdapat Error in Persona, dimana dalam surat gugatan Penggugat tidak menguraikan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat I melainkan yang diuraikan adalah perbuatan oleh Tergugat II melulu, sementara itu masing-masing Tergugat berdiri sendiri. Dengan demikian, ditariknya Tergugat I sebagai Pihak dalam perkara ini jelas salah alamat atau Error

in Persona.

c. Terdapat Obscuur Libel, yang mana didalam gugatan tidak menguraikan secara jelas hukum apa yang dilanggar oleh Tergugat I, dan juga permohonan sita yang diajukan oleh Penggugat secara spesifik objek sitanya tidak jelas. Oleh karena itu, Gugatan Penggugat obscuur.

Dengan adanya gugatan dan eksepsi yang diberikan oleh para pihak, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan Putusan Nomor 151/PDT.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Juli 2010 dalam amarnya menolak eksepsi Tergugat seluruhnya, dan dalam pokok perkara menyatakan bahwa:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh puluh juta rupiah);

4. Menghukum turut Tergugat mentaati/tunduk dan patuh putusan ini;

5. Menghukum para Tergugat membayar biaya perkara secara tanggung renteng hingga kini ditafsir sebesar Rp821.000,- (delapan ratus dua puluh satu ribu rupiah);

6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, Penggugat melakukan upaya hukum banding sebab dalam putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri tidak semua permohonannya dikabulkan. Sehingga dalam tingkat banding permohonan Penggugat telah

diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2012 yang amarnya ialah:

Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat, memperbaiki dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 151/Pdt.G/2010/PN.JKT.SEL tanggal 15 Juli 2010 yang dimohonkan banding, sehingga dalam pokok perkaranya menyatakan bahwa:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebagian; 2. Menyatakan para Tergugat/Terbanding telah melakukan

perbuatan melawan hukum;

3. Menghukum para Tergugat/Terbanding secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat/Pembanding sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);

4. Menghukum turut Tergugat/turut Terbanding untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;

5. Menghukum para Tergugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara untuk kedua tingkat pengadilan secara tanggung renteng, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah);

6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Tergugat I/Terbanding I pada tanggal 2 Agustus 2012, maka dalam hal ini Tergugat I/Terbanding I dengan perantara kuasanya mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Agustus 2012 sebagaimana dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 151/Pdt.G/2010/PN.JKT.Sel yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri pada tanggal 28 Agustus 2012.

57

Dalam memori kasasinya, Pemohon Kasasi mengajukan alasan-alasan yang pada pokoknya adalah pertama, menyatakan bahwa Judex

Facti secara fatal telah keliru dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan

melawan hukum yang terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, karena pada saat memeriksa perkara ini Judex Facti tidak bisa membedakan

antara definisi unsur “perbuatan” dalam PMH dengan perbuatan melawan hukum. Kekeliruan dalam membedakan kategorisasi tersebut akan menimbulkan kesesatan pemikiran dan pertimbangan dalam putusan yang dilakukan oleh Judex Facti. Kedua, menyatakan bahwa Judex Facti telah salah dalam menentukan besaran ganti rugi dalam perkara a quo, karena berdasarkan putusan Judex Facti yang sangat tidak berlandaskan asas keadilan yang mana Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sedangkan Termohon Kasasi adalah debitur dari Pemohon Kasasi yang mempunyai hutang sebesar Rp. 34.309.431,- (tiga puluh empat juta tiga ratus sembilan ribu empat ratus tiga puluh satu rupiah) yang harus dibayar kepada Pemohon Kasasi.

Dengan alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi sebelumnya, maka jelas posisi kasus dalam perkara ini terdapat akibat hukum yang merugikan salah satu pihak dan atas dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi (dulunya Tergugat I) maka gugatan dari perkara ini diajukan.

Dokumen terkait